Selasa, 25 Januari 2011

RODA-RODA GILA / 1978

RODA-RODA GILA


Sebuah kisah seorang superstar di dunia balap motor yang egois. Superstar itu adalah Troy (Roy Marten). Dia tidak saja jago di atas motornya, tetapi juga bercinta. Di antara gadis-gadis pengagumnya adalah Ingrid (Yatie Octavia), gadis manis dan lembut. Hubungan mereka terhambat oleh Ny. Effendi (Nani Widjaja), ibu Ingrid, karena melihat bagaimana tingkah Troy di rumah seorang tante (Tutie Kirana), kenalannya. Yopie (Rudy Salam), sesama pembalap dengan Troy, kakak Ingrid tidak setuju dengan sikap ibunya. Ketika kemudian terjadi kehamilan pada diri Ingrid atas ulah Troy. Yopie marah besar terhadap Troy karena tidak mau bertanggung jawab. Yopie ingin menghancurkan Troy. Semua sahabat Troy, termasuk tantenya menganjurkan Troy bertanggung jawab. Troy tetap menolak, sampai akhir film, ketika dia tiba-tiba berubah, karena meski menang, tapi ia tak lagi dipuja. Dan sempat dilukiskan pada saat insyaf itu, bagaimana Troy mendobrak tempat pesta perkawinan Ingrid dan membawanya lari. Tapi, itu hanya angan-angan. Entah bagaimana tiba-tiba Ingrid datang ke tempat balapan itu, dan Troy memeluknya.

 
 

News
07 Juli 1979
Tentang cinta - atau roda

RODA-RODA GILA Sutradara: Dasri Yacob Produksi: PT Bola Dunia Film INI cerita tentang seorang muda juara balap motor Troy namanya (Roy Marten). Anak tukang reparasi arloji (Ami Priyono), digandrungi banyak perempuan, termasuk seorang tante (Tuti Kirana). Juga seorang cewek SMA, Ingrid (Yatti Octavia). Ibu Ingrid, yang tahu bahwa si muda seorang jigolo, melarang mereka berhubungan -- dan karena itu justru Troy menggagahi si gadis. Karena si juara tak mau tanggung jawab, terjadi perkelahian dengan abang Ingrid. Tapi bukan karena perkelahian itu bila akhirnya si juara menerima Ingrid -- melainkan karena "keinsafan". Itu saja. Yang menarik adalah sikap film itu, dibanding film Indonesia umumnya, dalam menghadapi masalah cinta di kalangan remaja. Troy tampil sebagai pemuda yang tegar dan tidak cengeng. Pantang menyerah dan sportif, kecuali dalam soal kehamilan si gadis tentu. Dan Roy Marten bermain bagus -- sangat bebas, mudah-mudahan bukan karena ia sendiri produsernya. Dialog ceplas-ceplos, tidak berbunga-bunga. Dan yang penting: BSF mau meloloskannya, meskipun memang tidak cabul. Misalnya: ketika Ingrid bertanya kepada Troy sehabis digagahi, jawaban si juara: "Itu dilakukan sukarela, sama-sama mau. Kalau kamu hamil itu urusan kamu. Kamu 'kan perempuan, wajar saja kalau hamil" . . . Sudah tentu film keempat yang disutradarai Dasri Yacob (37) yang pernah menjadi asisten Wim Umboh ini, sebagaimana kebanyakan film kita, banyak cacad. Terasa terlalu panjang (walau hanya satu setengah jam lebih) tanpa sanggup memberi akhiran yang baik pada beberapa konflik terbuka. Tapi sebenarnya tak hanya Dasri Yacob yang mengalami "kesulitan" itu. Di satu pihak ingin memberi detail yang memang perlu untuk mempertegas sosok para pelakunya, di pihak lain kesulitan selalu timbul jika hendak menghindari tumbuhnya ranting baru pada batang cerita. Celakanya, untuk mengatasi kesulitan itu kebanyakan dicari kemudahannya saja mematahkan cabang itu, dan jalinan cerita jadi terputus, meski batang cerita mungkin bisa diselamatkan.

Yang dilewatkan dan menjadi kurang jelas dalam film ini misalnya siapa sebenarnya si tante yang kaya raya itu, serta bagaimana awal dan akhir hubungannya dengan Troy. Siapa pula orang yang memasang bahan peledak di sepeda motor Troy pada balapan di Surabaya. Untuk apa pula Troy termenung di pantai sesudah menyuruh Ingrid menggugurkan kandungannya, lantas kepada penonton disuguhkan gambar bayi dalam rahim dalam ukuran besar di tengah layar? Bukankah gambar bocah perempuan yang terkadang telanjang dan terkadang berpakaian (entah apa pula maknanya) ditambah lagi suara kanak-kanak yang menginginkan kehidupannya, sudah lebih dari cukup? Adegan akhir di gereja dalam pada itu terlalu panjang, selain kekanak-kanakan. Penonton memang bisa kecele dan gemas ketika tahu bahwa perkawinan Ingrid dengan lelaki lain serta munculnya Troy yang dengan ugal-ugalan membawa masuk motornya ke gereja dan naik-turun tangga, ternyata hanya khayalan. Ini hanyalah contoh sukarnya membatasi diri, pun dalam bercanda. Selain adegan itu persis bagian akhir film Graduate, walaupun di sana bukan khayalan dan Dustin Hoffman tak pakai motor. Atraksi Motor Rupanya Dasri Yacob memang menitikberatkan filmnya pada atraksi motor itulah. Ia terlalu asyik. Padahal ia sudah berhasil dalam pembatasan lokasi (separuh di arena balap dan sepertiga di rumah Troy) tanpa mengurangi hadirnya bentukan lingkungan. Jadinya ini memang film tentang balap motor -- meskipun judulnya sama sekali tidak menarik. Yudhistira ANM Massardi .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar