Senin, 24 Januari 2011

PENUMPASAN SISA-SISA P.K.I. BLITAR SELATAN / 1986

PENUMPASAN SISA-SISA P.K.I. BLITAR SELATAN

 
Film kisah dan kejadian nyata, agak kontroversi filmnya dengan siatuasi yang ada. Maklum saat G3os/PKI Arifien C.Noer sukses dari segi film yang propaganda juga sukses dipasaran yang prpaganda juga. Maka film ini muncul. Setelah presiden Soeharto turun, kedua film ini di cela karena tidak sesuai dengan realitanya.

Kisah penumpasan anggota gerakan G-30-S PKI yang melarikan diri dari Jakarta dan berbagai daerah. Mereka ini bertahan dan menyusun gerakan dari wilayah tandus, berbukit, dan bergua-gua di Blitar Selatan. Mereka dilukiskan sebagai perampok, pelaku sabotase dan meresahkan penduduk. Sebuah Operasi Trisula dibentuk untuk membasmi mereka.

P.P.F.N.

JEFFRY SANI
TIEN KADARYONO
RACHMAT KARTOLO
YATTI SURACHMAN
EVA ROSDIANA DEWI
LINA BUDIARTI
HASSAN SANUSI
ARIE SANDJAJA
MAWARDI HARLAND
RUDY GOZALI
YOS SANTO
TOMMY KALONG


News
22 Agustus 1987

Membajak Blitar selatan
SEJUMLAH gembong PKI pelarian dari Jakarta menelusup ke Blitar Selatan, Jawa Timur, lewat pantai. Mereka tiba di sebuah kecamatan berbukit kapur, terpencil, dan gersang. Mereka bermaksud menghimpun kekuatan, dan berhasil mempengaruhi penduduk desa dengan terlebih dahulu meneror sejumlah ulama dan tokoh masyarakat. Kekejaman sisa-sisa PKI itu luar biasa, misalnya menembaki orang-orang yang lagi sembahyang. Kejadian pada tahun 1968 itu, sehari sebelum FFI 1987 ditutup, Jumat dua pekan lalu, dipertunjukkan di sebuah hotel di Jakarta. 

Itu memang hanya sebuah kaset video, yang diputar sebagai bagian dari pelayanan hotel. Kebetulan di antara tamu-tamu hotel adalah peserta Musyawarah Besar PPBSI (Persatuan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia), yang datang dan berbagai daerah. Mereka kaget, film itu tentu hasil rekaman kaset video dari film asli. Akan tetapi, film itu sendiri baru beberapa yang beredar. Artinya, ini pasti bajakan. Lalu PPFN (Pusat Produksi Film Negara), yang memproduksi film itu, dilapori. Memang, menurut pengamatan beberapa wartawan TEMPO film video itu sudah ada di beberapa toko penyewaan kaset video, menjelang FFI dibuka. Direktur PPFN, G. Dwipayana, pun sudah tahu. "Pembajakan itu mestinya dilakukan di Jakarta," katanya. Kasus ini menjadi bukti bahwa bukan hanya film laris yang dibajak. Bukan hanya film yang masuk nominasi FFI, lalu diduplikat ke dalam kaset video secara tak sah, kemudian dijual-belikan. Soalnya, film Penumpasan Sisa-sisa PKI di Blitar Selatan, yang punya judul lain Operasi Trisula itu, menurut sejumlah video rental, tidak laku. Juga, dalam peredarannya di gedung bioskop di Jakarta, film yang disutradarai B.Z Kadaryono ini tak  menggembirakan. 

Tapi memang, film yang diangkat dari peristiwa sebenarnya ini punya misi. Yakni memberi penerangan kepada masyarakat bahwa PKI itu berbahaya. Ini kata Direktur PPFN, Dwipayana, sendiri. Itu sebabnya, "Masalah keuntungan tak terlalu dipikirkan," katanya kepada wartawan TEMPO Gatot Triyanto. Jadi, memang berbeda misinya dengan film PPFN sejenis, misalnya Serangan Fajar, yang disutradarai Arifin C. Noer. Dalam film ini, PPFN punya misi, selain menanamkan jiwa patriotik, juga mengharap keuntungan -- dan itu memang dicapai. "Jadi, dibandingkan Serangan Fajar, film Operasi Trisula ini kecil sekali. Apalagi kalau dibandingkan film Pemberontakan G-30-S/PKI," kata Dwipayana pula. "Sutradara Operasi Trisula juga relatif masih yunior." Operasi Trisula yang sebenarnya itu sendiri cukup bersejarah dari sudut militer. Di situ  terlibat Kolonel Witarmin, yang di kemudian hari menjadi Pangdam Brawijaya, Jawa Timur. (Kini sudah almarhum karena serangan jantung). Di awal-awal film malah sempat disisipi film dokumentasi, ketika Kolonel Witarmin memberikan instruksi-instruksi operasi. Toh, meski diangkat dari kisah sebenarnya, meski kekejaman PKI juga dicoba digambarkan, dari awal hingga akhir ketegangan tak hadir di gedung bioskop. 

Dilukiskan bagaimana sisa-sisa PKI ini memeras, merampok, membunuh, dan sebagainya. Lalu, teror itu tercium oleh aparat keamanan. Operasi pembersihan pun dilakukan dengan nama sandi, itu tadi, Trisula. Ada sedikit kesempatan untuk menyuguhkan adegan action menarik, sebenarnya. Yakni ketika tentara menyeberang Kali Brantas dengan rakit yang ditembaki PKI. Sayang, ini pun tak tampil secara baik. Dengan singkat dan gampang, PKI dilumpuhkan. Sebuah film yang diangkat dari peristiwa sebenarnya, dan lalu setia pada kejadian itu, biasanya memang menjadi tidak menarik. B.Z. Kadaryono, sutradara, tampaknya memahami hal ini pula. Ia pun telah berusaha "mengembangkan" cerita. Hasilnya, sejumlah adegan fiktif -- maksudnya, hal itu pada tahun 1968 tak benar-benar terjadi. Umpamanya, sebuah adegan dialog antara seorang bapak yang antikomunis dan anaknya yang ikut Gerwani, Gerakan Wanita Indonesia, organ di bawah PKI. Mestinya ini bisa menyentuh hal-hal yang sifatnya manusiawi. Bagaimana "Politik sebagai Panglima" bisa memporak-porandakan sebuah keluarga, umpamanya. Tapi itulah, hal  tersebut tidak hadir. Yang penting di sini tampaknya cuma dar-der-dor kekejaman PKI, lalu dar-der-dor penumpasan PKI. Dari sudut seni akting pun, permainan Rachmat Kartolo, Hassan Sanusi, Yati Surachman, Lina Budiarti, dan sejumlah artis dari Surabaya itu sama sekali tak berkembang. Ini sebuah contoh film yang lebih mementingkan misi, tanpa penggarapan memadai. Menjadi terasa scdikit penting karena kisahnya benar-benar terjadi. Itu saja. Maka, agak aneh bahwa film seperti ini pun dibajak. Untung tidak laris.

 
Kisah Goa Tersebut 
(ada juga yang menyebutnya sebagai manusia Gua)

Mbah Gimo (70) menceritakan bahwa dia ingat dulu di goa ini banyak didatangi tentara. "Sebenarnya warga tidak tahu menahu kalau ada orang-orang PKI di dalam goa, dan saya ingat banyak tentara bergerak mengepung goa," terangnya.

Dengan latar ingatan pelajaran sejarah serta cerita Mbah Gimo itulah, dua anggota tim ekspedisi dengan ditemani pemandu mencoba memasuki goa. Kamar Goa Tim perlahan memasuki mulut goa dengan berendam di sungai sedalam 1 meter. Cahaya matahari perlahan hilang berganti dengan cahaya petromaks yang diusung dua orang pemandu yaitu Yani dan Purwoto.

Bagaimana para pelarian orang-orang PKI yang bersembunyi kemudian lari di dalam goa terus membayangi tim yang perlahan tapi pasti menyusuri goa. Pertama masuk, terpaksa membungkuk karena dihadapkan dengan langit goa yang sangat rendah. Penyusuran goa harus berhati-hati karena stalaktit dan dinding goa yang tajam. Sekilas pemandangan dari luar yang biasa saja sontak berubah ketika sudah masuk ke dalam goa sejauh 500 meter.

Ternyata aliran sungai dalam goa bergerak tenang. Beberapa kali dikecohi dengan suara riak air yang jatuh di sela sebuah chamber atau kamar yang dihiasi daratan. Dalam goa banyak terdapat chamber yang sangat luas bahkan bisa diisi 200 orang. Di chamber ada daratan yang benar-benar kering dan ada yang sedikit basah oleh aliran air sungai di goa.

Terbersit di kepala, di ruang ini kah orang-orang PKI dulu istirahat, duduk maupun tiduran? Purwoto sambil bercerita tentang keadaan goa. Dia mencatat lebih dari sepuluh jenis stalaktit dan stalakmit yang telah diberi nama dan rata-rata dengan ukuran besar dan bentuk yang unik dan khas. "Sampai batu Sangga Buana saya perkirakan bisa mencapai sejauh 1,5 kilometer ke dalam goa dan bisa tembus ke Desa Sidomulya," terangnya.

Potensi Wisata Sejarah silam Tumpak Kepuh dengan Goa Mbultuk memang suram. Tapi kini pemerintah setempat mengubahnya menjadi potensi wisata. Goa ini mulai dikembangkan menjadi wahana wisata petualangan susur goa.

Yani menyebutkan, saat hari libur kawasan ini terutama di mulut goa sangat ramai. Para pengunjung biasanya mandi di sungai yang keluar dari mulut goa. "Kalau ada yang mau masuk warga sudah menyiapkan para pemandu yang mengantar," ujarnya.

2 komentar:

  1. Peristiwa G30S PKI (?) sampai saat ini adalah sebuah misteri kekejaman yang tak sanggup dikuakkan. Jutaan rakyat Indonesia mati sia sia akibat pemecah belahan (devide et impera) nya kaum penjajah melalui para penguasa rakus penjilat dan pengecut. Coba kalian komentar apa pendapatmu tentang peristiwa pemelekotoan sejarah ini kawan.

    BalasHapus
  2. Sebagian dari cerita ini benar, di luar unsur politik dari film ini. Kakek saya termasuk orang yang dikepung PKI di rumah saat ibadah dan diancam dibunuh karena mengajarkan mengaji pada orang orang sekitar. Pelakunya memang tetangga-tetangga yang saat itu merupakan tokoh PKI. Pimpinannya akhirnya dikirim ke nusa kambangan dan tidak pernah ada kabar lagi, sedangkan sebagian yang lain malah dilindungi kakek sehingga selamat dari operasi Trisula.
    Beliau juga bercerita beberapa kali harus mengungsikan nenek dan ibu saya yang masih bayi.

    BalasHapus