Rabu, 26 Januari 2011

ISTRIKU SAYANG ISTRIKU MALANG / 1977

ISTRIKU SAYANG ISTRIKU MALANG


Hamil untuk ketiga kalinya, Shinta (Marini) terpaksa dioperasi untuk menyelamatkan nyawanya. Seusai operasi, Shinta menjadi "dingin" di tempat tidur. Norman (Broery), suaminya, lama-lama tak tahan, dan mendapat pacar, Yulia (Lenny Marlina), teman sekantornya. Shinta dicerai, melepas suaminya dan bersama dua anaknya terseok-seok mengarungi kehidupan Jakarta. Norman yang kemudian sadar, mencari istri dan anaknya. Ia sempat menjumpai istrinya dalam keadaan nestapa.
 P.T. DARA MEGA FILM

MARINI
LENNY MARLINA
BROERY PESOLIMA
RIA IRAWAN
RATNO TIMOER
YAN BASTIAN
BAGUS A
ALAM SURAWIDJAJA
NICO PELAMONIA

14 Januari 1978
ISTRIKU SAYANG, ISTRIKU MALANG Cerita & Skenario: Asrul Sani; Wahab Abdi Sutradara: Wahab Abdi Produksi: PT Dara Mega Film FILM ini dimulai dengan adegan operasi. Di sana terbaring lunglai Shinta (Marini), ibu dari dua orang anak yang gagal melahirkan anak ketiga. Di rumahnya yang mewah -- tanpa seorang pelayan pun -- menanti dengan sabar suami dan anak-anaknya. Shinta memang berhasil ditolong oleh dokter, tapi operasi itu telah menghilangkan kemungkinannya untuk hamil dan sekaligus "hasrat"nya terhadap sex. Dan suaminya yang binal bagai kuda Sumba (dimainkan oleh Brury Pesolima) mula-mula amat cinta pada isterinya - terpaksa mencari perempuan lain, Yulia (Lenny Marlina). Dan konflik cerita itu pun berkembang dari sana. Menerima Jahitan Bisa dibayangkan bahwa Shinta serta dua anaknya menanggung derita ditinggal pergi sang suami. Tapi penderitaan itu barangkali saja bisa dihindari jika cerita sedikit dibenahi dari awal. Syahdan, Shinta melakukan kawin lari dengan ayah kedua orang anaknya itu. Ini tentu lantaran cinta yang hebat. Cerita kemudian kurang meyakinkan ketika harus merenggutkan sang suami dari isteri dan anak-anaknya. Paling tidak, di sana terasa ada lompatan yang amat mengejutkan dari sikap sang suami terhadap isteri dan anak-anaknya. Nampaknya renggutan cerita yang demikian bukan tak bermanfaat bagi rencana sutradara. Wahab Abdi kelihatannya ingin menonjolkan suatu tokoh Shinta sebagai tokoh yang bukan hanya pantang menyerah, tapi juga menolak uluran tangan siapa pun. Ia, misalnya menolak untuk kembali mengharap uluran tangan orang tuanya yang pernah ia tinggalkan dahulu ketika kawin lari. Tapi yang tidak dicoba oleh cerita ini adalah kemungkinan lain bagi Shinta untuk menolong dirinya sendiri, selain menerima jahitan dan mengambil cucian para buruh stasiun kereta api setelah rumahnya digusur. 

Di Jakarta hidup memang tidak selalu gampang, dan kesusahan selalu datang beriringan tapi perempuan cantik, terpelajar dan pernah mendapat pendidikan seperti Shanti ini rasanya terlalu dibiarkan menderita oleh Wahab Abdi dalam filmnya ini. Sayangnya pula, di akhir cerita, perempuan malang itu tidak pula dibiarkan hidup oleh yang empunya cerita. Seperti kisah-kisah tentang penderitaan perempuan sejati dalam beribu dongeng, Shinta mati di gubuk reotnya setelah sang suami kembali menemukannya. Dengan senyum sembari meraba tangan sang suami, perempuan malang itu berkata: "Aku kini rela pergi." Sudah itu Shinta memang digambarkan mati. Dan penonton pun sulit untuk tidak mencurigai bahwa penderitaan yang berlebihan yang ditimpakan oleh Wahab Abdi ke atas diri Shinta sebenarnya tidak lebih dari sekedar cara menciptakan efek dramatis. Sebab toh pada akhirnya keangkuhan perempuan itu hanya membawa bencana bagi diri dan anak-anaknya. Kalau cuma ingin mengemukakan kepapaan perempuan tanpa lelaki, penderitaan yang bertele-tele itu sebaiknya dihindari sajalah. Tapi flim karya Wahab ini masihlah film yang bisa ditonton. Kerja kamera (Kasdullah) dan editing (Cassim Abbas) boleh dipujikan. Kalau saja peranan Marini dan Lenny dipertukarkan, tontonan ini barangkali saja akan lebih mudah dicerna. Bahwa Brury kurang berkenan sebagai aktor, sudah lama diketahui orang banyak. Yang segera akan diketahui orang banyak nampaknya adalah ini: Wahab Abdi makin memperlihatkan kebolehannya sebagai sutradara. Kepadanya sebaiknya diserahkan cerita dan skenario yang tidak mengada-ada. Salim Said.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar