Selasa, 01 Februari 2011

DJAKARTA 1966 / 1982

DJAKARTA 1966


Film ini secara kronologis membeberkan proses lahirnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) di tahun 1966. Setelah peristiwa G-30S-PKI tahun sebelumnya, Presiden Soekarno (Umar Kayam) tidak segera melakukan penyelesaian politik yang memuaskan. 

Hari-hari itu Jakarta dipenuhi demonstrasi mahasiswa yang tergabung dalam KAMI dan KAPPI. Mereka mencetuskan Tritura: pembubaran PKI, perombakan kabinet, dan penurunan harga. Sewaktu keadaan makin genting, Soekarno akhirnya memberi wewenang berupa Supersemar pada Letjen Soeharto (Amoroso Katamsi) untuk memulihkan keamanan negara. Berdasar kewenangan itu Soeharto memerintahkan pembubaran PKI.

P.P.F.N.

UMAR KAYAM
AMOROSO KATAMSI
IKRANAGARA
COK SIMBARA
RATNA RIANTIARNO
A. NUGRAHA
RACHMAT KARTOLO
JAJANG C. NOER
PIET PAGAU
TIZAR PURBAYA


Secara kronologis, film garapan Arifin C Noer ini membeberkan proses lahirnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) di tahun 1966. Film produksi tahun 1988 ini merupakan jilid terakhir dari trilogi kiprah Soeharto di masa revolusi Indonesia. 

Dua film sebelumnya adalah Serangan Fajar (1981) dan Pengkhianatan G-30-S PKI (1982). Sama seperti kedua film sebelumnya, "Djakarta 1966" juga dibiayai oleh pemerintah lewat Pusat Produksi Film Negara (PPFN).

Ketiga film tersebut ‘dipesan’ oleh rezim Orde Baru sebagai upaya pelanggengan kekuasaan dengan menyuntikkan phobia terhadap komunisme ke masyarakat. Caranya dengan menciptakan teks yang menyokong, seperti yang diutarakan Khrisna Sen, tatanan yang tertib (order).

Dalam film Djakarta 1966, diceritakan bahwa setelah peristiwa Gestok, Presiden Soekarno (yang diperankan Umar Kayam) tidak segera melakukan penyelesaian politik yang memuaskan. Hari-hari itu Jakarta dipenuhi demonstrasi mahasiswa yang tergabung dalam KAMI dan KAPPI. 

Mereka mencetuskan Tritura: pembubaran PKI, perombakan kabinet dan penurunan harga. Sewaktu keadaan makin genting, Soekarno akhirnya memberi wewenang berupa Supersemar pada Letjen Soeharto (Amoroso Katamsi) untuk memulihkan keamanan negara. Berdasar kewenangan itu Soeharto memerintahkan pembubaran PKI.

Pertama, film Pengkhianatan G30S/PKI pada 1984, yang disutradarai Arifin C Noer. Kedua, Djakarta 1966, yang merupakan sekuel film Pengkhianatan G30S/PKI, juga garapan Arifin C Noer pada 1988.

Tak mudah bagi Amoroso memerankan karakter Soeharto, yang saat itu tengah berada di puncak kekuasaan di Indonesia. Walau sudah berkecimpung di dunia teater sejak 1961, Amoroso mengaku kesulitan memerankan Soeharto. Ia kerap memerankan tokoh siapa saja, namun untuk Soeharto, Amoroso mengaku tak bisa sembarangan.

“Sulit banget sih nggak, karena saya sudah terbiasa main film. Yang sulit itu memerankan tokoh Pak Harto. Dia itu kan tidak ekspresif. Bagaimana menggambarkan emosi tapi tidak terlalu tampak. Soalnya, beliau kan tidak ekspresif,” ujar Amoroso

Amoroso menceritakan bagaimana ia harus memerankan Soeharto, yang saat itu menjabat Panglima Komando Cadangan Strategi Angkatan Darat (Pangkostrad), tengah memikirkan sesuatu dengan keras dan tegang. Tetapi ketegangan itu tidak tampak dari raut wajah Soeharto yang diperankannya. “Itu kan tidak gampang, ya. Saya banyak terkesan di akting itu. Banyak bermain emosi dan ekspresi sedih,” imbuhnya.

Karena itulah, dalam film Pengkhianatan G30S/PKI, Amoroso mempelajari karakter Soeharto selama tiga bulan penuh melalui buku-buku dan referensi film lainnya. Bahkan, selama satu hari penuh, ia diberi kesempatan bersama Soeharto, baik di rumah kediaman di Cendana maupun di Istana Presiden. “Gestur dan mimik dia itu yang saya pelajari,” ucap suami penyanyi seriosa legendaris Pranawengrum Katamsi (almarhum) ini.

Amoroso mengaku tak tahu dipilih untuk memerankan Soeharto dalam film produksi Perum Produksi Film Nasional (PPFN), yang diketuai oleh Brigjen Gufran Dwipayana, itu. Selain punya kemampuan akting, Amoroso memang memiliki wajah mirip dengan Soeharto. Sama dengan tokoh presiden pertama RI, Sukarno, yang diperankan Umar Kayam (almarhum).

Yang jelas, Amoroso diminta rekan satu teater dan sutradara beken yang sama-sama berasal dari Yogyakarta, Arifin C Noer. Keduanya memang pegiat seni peran sejak berkuliah di UGM sampai mereka membentuk Teater Ketjil. Suatu hari pada 1981, kepada Amoroso, Arifin mengatakan akan membuat film tentang G30S/PKI. “Amoroso, saya calonkan untuk peran Soeharto, ya,” kata Amoroso mengutip Arifin C Noer saat itu.

Awalnya Amoroso menganggap biasa permintaan rekannya itu. Apalagi main tunjuk di dunia teater sudah jadi hal biasa. “Biasa saja, rasanya sama. Tapi, begitu masuk peran itu, baru rasanya berbeda. Yang harus kita pelajari lebih banyak. Ya, kan, karena Pak Harto muda,” tuturnya.

Jajang C Noer, istri Arifin C Noer (almarhum), mengatakan Amoroso dipilih sebagai pemeran Soeharto karena memang wajahnya mirip. Juga karena kewibawaan, pengalaman akting, dan latar belakang sebagai anggota TNI Angkatan Laut. Bahkan Soeharto saat itu langsung sreg dengan Amoroso ketika melihat fotonya. “Jadi saat itu tidak ada masalah dengan dia (Amoroso),” kata Jajang.

Jajang, yang saat itu mendapat tugas sebagai pencatat adegan, menjelaskan ada lima orang yang ditugasi mencari sejumlah pemain utama yang mirip Sukarno, Soeharto, DN Aidit, Sarwo Edhie Wibowo, tokoh tujuh jenderal, dan lainnya. Mereka adalah Budi Setiawan (asisten sutradara 1), Edi Deronde (asisten art), Hadi Purnomo (asisten casting), serta Sumantri dan Edi Suryono (bagian produksi). Mereka langsung direkrut Arifin C Noer selama enam bulan.

Dalam pencariannya, yang tersulit adalah pemeran Sukarno. Saat itu banyak aktor yang mirip dengan Proklamator RI itu, tapi tak memiliki kemiripan intelektualitas dan kewibawaan. Arifin C Noer sangat mementingkan sosok yang lebih berwibawa. Sama sulitnya ketika mencari pemeran DN Aidit, yang akhirnya jatuh pada Syu’ban Asa (wartawan Tempo). “Untuk Sukarno akhirnya jadi deh Mas Umar Kayam. Jadi tidak mirip sama sekali, tapi dia sosok yang berwibawa,” tutur Jajang.

Film Pengkhianatan G30S/PKI diproduksi pada 1981-1982 dengan biaya Rp 800 juta. Skenario film bersumber dari buku Tragedi Nasional Percobaan Kup G30S/PKI di Indonesia, yang ditulis sejarawan militer Nugroho Notosusanto (saat pembuatan film menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan) serta Ismail Saleh pada 1968. Film ini merupakan film kolosal yang melibatkan 100 peran kecil dan seribu pemeran tambahan.

Syuting film mengambil lokasi di sejumlah tempat, yaitu di rumah tujuh jenderal Pahlawan Revolusi; Markas Komando Kostrad di Jalan Medan Merdeka Timur, Jakarta Pusat; kantor Radio Republik Indonesia (RRI), Lapangan Banteng; Istana Presiden; dan Istana Bogor. Syuting juga dilakukan di bekas rumah dinas Soeharto di Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat. Lokasi lainnya adalah kebun karet di Cibubur untuk menggantikan kawasan Lubang Buaya, yang sudah dibangun Monumen Kesaktian Pancasila. “Itu di timur, wilayah Cibubur, tahun 1981 masih kebun-kebun karet. Sekarang sudah jadi mal-mal,” ujar Amoroso.

Saat itu Amoroso meyakini peristiwa G30S sesuai dengan yang ada dalam cerita film. Ia sendiri tak begitu tahu persis apa yang sebenarnya terjadi dalam peristiwa itu. Ia hanya memainkan perannya dalam film sesuai dengan tuntutan naskah cerita. Ia pun tak tahu film itu bakal diputar setiap tahun menjelang peringatan Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober oleh TVRI.

Namun, menurutnya, tujuan pembuatan film itu sebetulnya bagus, yakni mengingatkan masyarakat akan peristiwa kelam saat itu. Dalam peristiwa itu, tujuh jenderal difitnah, lalu dibunuh dalam satu malam, lalu dimasukkan ke sumur. Tentu saja hal itu merupakan perbuatan yang sangat biadab. “Ya, kalau saya bikin film, ya main ya mainkan saja, sejalan perannya saja.”

Amoroso menilai Soeharto menghentikan gerakan PKI untuk menghindari terjadinya perang saudara yang akan menyengsarakan rakyat. “Soal bener atau tidak, itu relatif kan, ya. Yang sudah terjadi, kalau nggak (ada Soeharto), ya waduh, bisa perang saudara. Begitu beliau datang, akhirnya (PKI) bisa ditumpas, kan,” dia menandaskan.
 
Ia tak tahu persis kenapa pemerintah pada 1998 menghentikan pemutaran film Pengkhianatan G30S/PKI. Yang ia tahu, karena situasi politik saat itu berubah, film tersebut dinilai sebagai film politis. Agar tak menimbulkan masalah, dihentikanlah pemutaran film tersebut. “Penayangan di televisi itu yang diberhentikan. Pak Harto mau lengser, situasi politiknya kan berubah,” ujarnya.

Kalau saat ini ada wacana untuk membuat ulang film itu, ia tak mempermasalahkannya. Sebab, setiap orang memiliki kreasi sendiri-sendiri asalkan film barunya dibuat dengan fakta dan dengan niat baik, apalagi ditambahi demi kepentingan estetika film. “Kalau film yang di zaman saya dibuatnya itu kan ada adegan-adegan yang kuat dan dramatiknya bagus, tapi peristiwanya memang betul ada,” ujarnya.

Soal nonton bareng film yang dibintanginya itu di sejumlah tempat di Indonesia, Amoroso juga tak begitu mempersoalkan. Justru, menurutnya, pada era Reformasi, sangat bagus bagi kalangan muda untuk kembali melihat sejarah. “Bagus, ini zaman Reformasi, zaman demokrasi, ya silakan saja, apalagi yang nonton kan orang dewasa. Kalau anak-anak belum ngerti,” tuturnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar