Senin, 24 Januari 2011

BACHTIAR SIAGIAN 1955-1964

BACHTIAR SIAGIAN


Lahir di Binjai Sumatra Utara, 19 Febuari 1923.

Sebelumnya ia aktif dalam menulis naskah drama, The Blood People, The Blood of Worker, dan Rosanti.

1974 ia belajar menulis skenario dari buku "Pundovkin's Book" , sebelumnya ikut berjuang melawan Belanda dan Jepang.

1955 Bachtiar terjun ke film, langsung sebagai sutradara untuk film "Tjorak Dunia", "Kabut Desember" 1955, "Daerah Hilang" 1956, dan juga merangkap sebagai peran utama dalam film "Melati Sendja" 1956. Dan dalam FFI 1960 ia mendapat penghargaan sutradara terbaik dalam film "Turang" 1957.

Bachtiar juga di kenal sebagai Ketua Lembaga Film Indonesia (LEKRA), karena itu ia lama mendekam di pulau buru, 1977 baru ia bebas.

Setelah masa peralihan kemerdekaan, pada tahun 1949, produksi film di Indonesia meningkat dengan pesat dan mencapai puncaknya padata tahun 1955, yaitu mencapai 58 per tahun. Pada saat yang sama terjadi pergeseran sosial dalam industri film, yaitu lebih banyak "pribumi" yang terlibat di dalamnya. Banyak film tentang perjuangan yang dibuat. Pada awal 1960-an dunia perfilman menjadi ajang berpolitik. Sutradara yang menonjol pada waktu itu, a.l. Usmar Ismail dan Djamaluddin Malik yang berlatar belakang Islam (NU) dan Bachtiar Siagian yang berideologikan komunisme (PKI). Setelah upaya kudeta tahun 1965, Bachtiar Siagian dipenjarakan di Buru dan baru dibebaskan tahun 1979.


Bachtiar Siagian adalah seorang tokoh LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat), sebuah lembaga yang terkait erat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Dalam garapannya Bactiar Siagian memang banyak menggarap film-film berlatarbelakang budaya. Sayangnya semua film karya Bactiar Siagian termasuk Turang dan Piso Surit telah dimusnahkan karena dianggap berbau komunis pada saat kejadian G30S. Padahal Turang dan Piso Surit tidak mempunyai tema komunisme. Piso Surit dibuat karena Bachtiar Siagian terinspirasi dari lagu ciptaan Djaga Depari yang memang sedang hangat-hangatnya kala itu. Lagu tersebut juga menjadi soundtrack dari film ini. Film-film Bachtiar sering dituding sebagai menonjolkan ideologi Lenin-Marx melalui film,

Misbach menerangkan tentang film-film Bachtiar, tidak ada tampak nilai-nilai komunisnya, tapi karena dia pemimpin LEKRA, maka apapun yang ada padanya dan yang berhubungan dengannya adalah hal yang perlu di musnahkan.
 
 

NEWS
Bachtiar Siagian tidak bisa lepas dari seni dan buadaya di Sumatra Utara, mulai dari tulis-menulis sastra, teater panggung hingga Film Kejayaan Film Di Sumatra Utara 
Perfilman dan tanah studio film

"Film Sumut telah mati” demikian judul berita ukuran 4 kolom harian “Kompas” yang terbit beberapa waktu yang lalu. Sedikitnya tidaknya berita tersebut menyadarkan kita bahwa memang benar perfilman di Sumut telah mati. Sementara di daerah lain mulai bangkit, hal ini ditandai dengan akan dilangsungkannya Festival Film Indonesia (FFI) direncanakan di Batu, Malang dalam waktu yang dekat ini.

Dalam kaitan ini Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik menyatakan bahwa telah dianjurkan kepada para Gubernur agar daerahnya memproduksi film baik bertemakan kepahlawanan maupun tema yang lain. Film dapat menarik wisatawan.

Anjuran Menteri Kebudayaan dan Pariwisata perlu disahut oleh Sumatera Utara, kendatipun film Sumut telah mati, perlu dihidupkan kembali apalagi mengingat potensi Sumut baik dibidang teater dan film cukup besar. Kegiatan teaterpun kelihatan menggeliat dan generasi muda terus berlatih baik dalam bidang acting maupun bidang yang lain.

Kegiatan perfilman yang mati karena berbagai sebab, yang sudah mati bisa kita hidupkan kembali asal saja kita ada kemauan where there is will, there is a way.

Sumut pernah produksi 22 film cerita
Kalau kami ungkapkan betapa menggeliatnya perfilman di Sumatera Utara dimasa yang lalu janganlah dianggap nostalgia kami hanya sekedar ingin mengemukakan fakta. Betapa tidak, antara tahun 1953 s/d 1983 Sumut pernah memproduksi tidak kurang 22 buah film cerita dan 8 film dokumenter.

Dalam kegiatan memproduksi film waktu itu Sumut juga bekerjasama dengan orang orang dari Jakarta. Sumatera Utara selalu ikut dalam Festival Film Indonesia (FFI) yang dimulai tahun 1955, menyertai film “Lewat Jam Malam” yang disutradarai Bachtiar Siagian, Tahun 1967 Sumut menyertai film “Piso Surit”, sedangkan dalam FFI tahun 1975 di Medan – Sumut menyertai tiga film yaitu “Setulus Hatimu”, “Butet”, dan “Batas Impian”.

Film setulus hatimu yang pameran utamanya Tanty Joseva berhasil meraih piala Citra. Adapun film yang diproduksi di Sumatera Utara dimasa lalu adalah :”Kabut Desember” (Garuda Film Jakarta), “Kuala Deli” (Pesfin Medan), “Peristiwa di Danau Toba” (Radila Film Medan / PFN).

“Turang” (REFIC, Rencong Film Corperations Medan), “Piso Surit” (Refic-Medan), “Baja Membara” (Refic-Medan), “Zamrud Putri Hijau” Radial Medan). “Sungai Ular” (Kodam II BB/Yayasan Koperasi Veteran Sumatera Utara) “A Sing-Sing So” (Idfil-Jakarta) “Nelayan di pantai Seberang” (Gema Masa Film-Jakarta).

Adapun tokoh – tokoh yang telah memberi sumbangsih dalam perkembangan perfilmandi masa yang lalu antara lain, Baharuddin, Amir Yusuf, Abubakar Abdy, A. Manap Lubis. A.s. Rangkuty, H. Ismail Sulaiman dan lain – lain.

Sedangkan sutradara yang telah menaikkan nama Sumut adalah Bachtiar Siagian, Jacop Harahap, M. Suif Yusuf Lubis, A.R. Qamar dan Edisaputra penulis skenario. Memang, masa lalu berbeda dengan masa sekarang, tetapi yang jelas masa lalu itu dapat kita jadikan cermin perbandingan bagi kita dimasa sekarang. Apa yang kita perbuat dimasa sekarang demi kepentingan masa depan.


 
Studio film sunggal
Karena menggeliatnya kegiatan perfilman di masa itu, maka orang – orang film berpikir, bahwa perlu dibangun studio film lengkap dengan prosesingnya. Dengan demikian untuk prosesing film tidak perlu lagi harus terbang ke Jepang atau Hongkong.

Untuk kerperluan tersebut tidak diharapkan dana APBD Sumatera Utara. Kepada Gubernur Marah Halim diusulkan penambahan harga karcis bioskop baik yang ada di kota Medan atau diluar kota Medan. Penambahan harga karcis selama 2 tahun 1975 dan 1977, berhasil dibeli tanah seluas 5 ha di Sunggal dengan harga Rp 66.000.000,- membangun studio Film Rp 77.845.000,-.

Peralatan dubbing Rp 55.550,- Camera 35 mm merk Arriflec Rp 27.299.00,-. Produksi “Film Buaya Deli” Rp 92.000.000,- dan berbagai keperluan yang lain melengkapi studio film seluruhnya berjumlah Rp 359.000.000,.

Inventaris yang dapat diselamatkan hanya camera 33 mm merk Arriflex kini tersimpan rapi di Museum Negeri Sumatera Utara Jl. H.M. Joni Medan. Pada tanggal 23 Mei 1981 didirikanlah PT. Studio Film Sumatera Utara berdasarkan Akte Notaris Raskami Sembiring No. 59.

Setelah 10 tahun lebih studio film itu terbengkalai dan bangunannya mulai rusak dan asset-aset yang pernah dibeli tidak diketahui lagi kemana perginya, maka Yayasan Pelestarian Fakta Perjuangan Kemerdekaan RI, tanggal 30 Agustus 1994 diterima ber audiensi oleh Gubernur Sumatera Utara Raja Inal Siregar. Mereka yang diterima oleh Gubsu adalah. Drs. H. Muhammad, H.AR. Qamar, Arifin Kid (Alm) dan Yohani Zahri (Alm) Dalam pembicaraan dengan Gubernur Sumut 15 tahun yang lalu, insan perfilman mengusulkan agar tanah studio film yang dibeli dengan hasil tambahan karcis bioskop, dimanfaatkan kembali untuk kepentingan masyarakat.

Waktu itu telah mulai berkembangnya stasiun – stasiun televisi, maka di Medan perlu dibangun Production House (Rumah Produksi) yang dilengkapi dengan berbagai peralatan perfilman. Waktu itu, tanah studio film tersebut dibawah pengawasan PT. Hiburan kemudian beralih kepada Perusahaan Daerah Aneka Industri Dan Jasa.

Prinsipnya Gubernur Raja Inal dapat menerima saran dari insan film Sumut, tetapi untuk lebih jelas mengenai masalah tanah studio film tersebut, Gubsu menginstruksikan kepada stafnya untuk menginventarisir mengenai tanah studio film tersebut termasuk peralatan yang
pernah ada.

Beberapa bulan kemudian terbentuklah Tim Invenatarisasi yang diketahui oleh Drs. Syarifuddin, wakil ketua Drs. H.N. Nopel Nasution, Sekretaris Drs. R. Simanjuntak, wakil sekretaris H. AR. Qamar, sedangkan anggota antara lain H.A. S. Rangkuty, Muhammad TWH dan lain – lain.

Pembentukan Tim Inventarisasi ini dibentuk berdasarkan keputusan Gubsu No. 484/2452.K. Sesudah itu lahirlah sebuah buku yang berjudul “Latar Belakang / Sejarah Pendirian Studio “Film Sumut” yang diterbitkan oleh Tim Inventarisasi Studio Film Sumut. Dari tahun ke tahun masalah tanah studio film tersebut terus dibicarakan tetapi belum ada kesimpulan.

Pembincaraan antara Pemprovsu dengan instansi terkait dan insan perfilman Pemprovsu bermaksud untuk membuat sertifikat tanah tersebut. Kemudian terdengar kabar bahwa “BPN Deli Serdang waktu itu mendapat ancaman, agar tidak mengeluarkan sertifikat untuk tanah tersebut.

Tidak berapa lama kemudian ada kabar tanah stdio film tersebut telah dijual oleh seseorang kepada orang lain.

Standvast dan semak belukar
Beberapa tahun yang lalu masalah tanah studio film sunggal itu ramai menjadi pembicaraan pers masyarakat, karena tanah tersebut dijual oleh orang yang tidak berhak, sedangkan selama puluhan tahun tanah tersebut berada dibawah pengawasan Perusahaan Daerah Aneka Industri dan Jasa.

Masalah sengketa tanah tersebut menjadi perkara di Pengadilan Negeri Medan. Entah bagaimana pihak Pemprovsu kalah ditingkat pengadilan Negeri Medan. Ketika perkara ini dibanding ke Pengadilan Tinggi kabarnya Pemprov SU menang. Tapi pihak pembeli mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, kami tidak tahu bagaimana hasilnya.

Dalam kaitan ribut – ribut masalah tanah studio film yang luasnya sekitar 5 ha, maka Komisi E DPRD Sumatera Utara periode yang lalu beberapa tahun yang lalu memanggil pihak Pemprovsu (Biro Perlengkapan) dan juga pihak pembeli dan pengacaranya. Dalam sidang Komisi E di gedung DPRD SU lantai dua.

Biro Perlengkapan mengundang Muhammad TWH sebagai orang yang mengetahui masalah tanah studio film itu. Diantara anggota komisi E yang hadir waktu itu antara lain H. Raden Syafii (Romo), Drs. H. Nurdin Ahmad dan lain – lain, sedangkan wartawan / seniman yang mengikuti sidang ini antara lain adalah Idris Pasaribu.

Pihak pembeli menyatakan dalam sidang Komisi E itu, ketika tanah tersebut dibeli tidak ada bangunan atas tanah tersebut. Biro Perlengkapan Provsu menyatakan diatas tanah tersebut ada dua bangunan memang telah tua salah satu diantaranya studio film. Kemudian Biro Perlengkapan mempersilahkan Muhammad TWH berbicara dan memperlihatkan fakta sejarah, bahwa diatas tanah tersebut yang memang ada bangunan.

Muhammad TWH menjelaskan tanah tersebut dibeli hasil penambahan harga ticket bioskop juga dirinci biaya pengeluaran untuk pembangunan studio film tersebut. Dan diperlihatkan foto besar studio – studio film yang dimuat oleh harian “Sumut Pos” yang terbit tanggal 10 Maret 2002.

Setelah mendengar keterangan semua pihak mengenal masalah tanah studio film tersebut kemudian Ketua Komisi E waktu itu menyatakan masalah tanah studio film itu di standvast-kan. Perkembangan selanjutnya kami dengar orang yang membeli tanah tersebut tidak berada di Medan, dan beberapa waktu yang lalu salah seorang pengacaranya yaitu H. Syarif Siregar, SH meninggal dunia.

Beberapa hari yang lalu kami sengaja pergi melihat tapak tanah studio film itu di Sunggal. Kami hanya sekedar ingin mengetahui apakah standvast yang telah ditetapkan oleh DPRD SU (Komisi E) itu dipenuhi atau tidak. Ataukah diatas tanah tersebut telah berdiri bangunan – bangunan yang mentreng.

Kenyataan yang kami temui adalah diatas tanah studio film tersebut tidak ada bangunan apapun. Malah ada bagian yang telah menjadi semak belukar. Bagian yang agak dalam atas tanah tersebut ditanam padi oleh sementara orang – orang tempat itu. Berarti standvast tersebut dipatuhi.

Penutup dan saran
Kendatipun standvast yang ditetapkan oleh DPRD SU tidak mempunyai kekutan hukum, namun telah berhasil menghentikan maksud pembeli tanah tersebut untuk membangun diatas tanah itu. Karena masalah tanah itu telah menjadi perkara di Pengadilan dan kabarnya sudah sampai pada tingkat kasasi, Alangkah baiknya kalau Biro Hukum Setdaprovsu mengkaji kembali masalah tanah tersebut.

Apakah mungkin di “PK”-kan (Pemeriksaan Kembali) atau diadakan pendekatan untuk mencari jalan, kemungkinan yang dapat ditempuh sehingga menguntungkan kedua belah pihak. Dengan adanya penyelesaian masalah tanah studio film itu barang kali dapat membantumenghidupkan kembali perfilman di Sumut yang telah mati.

 

MELELAHKAN
Setelah dibebaskan dari tahanan politik Pulau Buru pada 1977, Bachtiar Siagian pernah menyatakan hendak mengawali lagi perjalanannya sebagai sineas. Namun selama 25 tahun berikutnya, karena pemerintah membatasi akses pekerjaan "eks tapol", karya Bachtiar hanya sanggup sejauh naskah film. Itu pun anonim.

Mendiang Bachtiar adalah satu dari sejumlah sineas awal Indonesia pasca-revolusi. Dia tidak belajar film di sekolah formal. Namun selama satu dekade pada 1955-1965, Bachtiar cukup produktif dengan mengarahkan 12 film cerita panjang dan menulis semua naskahnya. Film kelimanya, Turang (1957), memboyong empat Piala Citra termasuk film terbaik dan sutradara terbaik. Hak edar Turang juga dibeli sejumlah negara sosialis.

Nyaris seluruh film karya Bachtiar sudah dilenyapkan, kecuali Violetta (1962) yang hingga kini masih tersimpan di kantor Sinematek.

Krishna Sen, dalam buku Indonesian Cinema (1994), menyebut Bachtiar punya peran signifikan dalam perjalanan perfilman Indonesia, terutama dalam hal cerita. Berdasarkan skenario film Bachtiar yang tersisa, ditambah ulasan, wawancara, dan tulisan teoritis dari Bachtiar, Khrisna menduga bahwa film-film Bachtiar, dalam perjalanan, berupaya menggali situasi historis dan sosial tokoh.

Artinya, masalah yang dihadapi tokoh dalam cerita Bachtiar bermula dari masyarakat dan berakhir di masyarakat. Berbeda dengan cerita sutradara Usmar Ismail, yang konfliknya bermula dan berakhir di lingkup batiniah. Misalnya Corak Dunia (Bachtiar) dan Lewat Jam Malam (Usmar), keduanya berkisah tentang eks tentara revolusi yang kembali ke masyarakat.

"Sebagian besar dunia dalam Corak Dunia dibangun oleh yang miskin dan pinggiran, sementara dalam Lewat Jam Malam, bagian masyarakat yang lebih miskin terlihat entah sebagai kumpulan tanpa wajah, atau sesuatu yang tragis dan abnormal, seperti diwakili Puja (tokoh dalam Lewat Jam Malam) dan saudaranya yang gila," tulis Krishna.

Krishna menyebut Bachtiar dan Usmar sama sekali tidak mewakili sutradara film kebanyakan. Karya mereka menjadi semacam standar praktik pembuatan film era itu. Namun keduanya punya perspektif sosial serta perjalanan profesi berbeda. Jika Usmar dianggap sebagai Bapak Perfilman Indonesia, Bachtiar dicap sebagai komunis karena menjadi anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).

Menurut Bachtiar, dalam tulisan memoar yang dimuat Indoprogress, orang-orang film lama kalangan Usmar dan PERFINI tidak suka padanya setelah film Turang meraih prestasi.

"Melancarkan kampanye yang menuduh aku 'orang politik yang masuk film' – dan karena aku anggota seksi film Lekra, aku dituduh komunis, walau aku bukan anggota PKI (Partai Komunis Indonesia)," tulis Bachtiar, seperti dikutip Indoprogress pada November 2013.

Selain soal pendekatan, Khrisna juga menduga sebagian besar cerita pilihan Bachtiar tidak seperti Usmar, yang mendapat pengaruh kuat Hollywood, atau Djadoeg Djajakusuma, yang berangkat dari budaya tradisional seperti dongeng lokal dan pencak silat. Cerita pilihan Bachtiar dianggap sebagai "kritik kompleks atas praktik budaya tradisional, tetapi bukan dari sudut pandang sosialis utopis atau developmentalist."

Misalnya Karma Pala, proyek ambisius yang sudah punya konsep cerita, tetapi batal diproduksi karena Bachtiar ditangkap pada 1965. Kisahnya tentang pemuda Bali bernama Wayan yang mengalami konflik antara keyakinan warisan masyarakat dengan kesadaran baru atas ketidakadilan.

Wayan punya saudara Ayu, yang bunuh diri setelah diperkosa oleh raja. Wayan tidak kuat menahan rasa bersalah akibat marah terhadap sang raja. Dia pun pergi dari desa ke kota dan mengenal gerilya melawan penjajah. Dari situ, Wayan belajar konsep ideal baru tentang masyarakat.

DI ANGGAP KIRI

Riwayat Bachtiar di Lekra membuat sosoknya kerap dianggap sebagai seniman kiri dengan ideologi yang diusung PKI. Lekra adalah organisasi seniman yang dekat dengan PKI, kendati sebetulnya terbuka dan anggotanya tidak selalu ikut partai bahkan ideologi. Film Baja Membawa (1961) garapan Bachtiar, menurut Krishna, justru menampilkan cerita yang tidak disukai DN Aidit.

Bunga Siagian, putri Bachtiar yang menempuh studi filsafat dan menjadi anggota Forum Lenteng, mempertanyakan mitos bahwa fillm-film Bachtiar berhaluan kiri perlawanan.

Menurut Bunga, seperti dikutip Pikiran Rakyat, sejumlah aktivis dan peneliti terlalu asal-asalan ketika menganggap Bachtiar berhaluan kiri dan karya-karyanya berbau perlawanan progresif. Anggapan ini berangkat dari penelitian Krishna Sen, bahwa karya Bachtiar merujuk ke realisme sosial.

"Penelitian disertasi Krishna Sen membagi antara realisme Usmar Ismail dan realisme sosialis Bahctiar Siagian. Sayangnya, dia melakukan kritik yang tidak sebanding, Usmar dari film dan Bachtiar dari sinopsis dan skenario. Padahal, tesis Krishna Sen itu dapat terpatahkan jika kita menonton film ini. Di mana titik realisme sosialis Bachtiar?" ungkap Bunga dalam acara diskusi film Violetta di Bandung, dua tahun silam.

Misbach Yusa Biran, sineas dan penulis yang sempat bergabung ke Perfini pimpinan Usmar, menulis bahwa Bachtiar adalah sutradara yang dikenal sebagai aktivis "kiri" dan "mendirikan sanggar ini dan itu untuk menghimpun orang yang akan dia pengaruhi". Bachtiar dan para seniman pengikutnya juga sering nongkrong di Senen, yang saat itu memang populer sebagai tempat berkumpul seniman dan wartawan.

Sejak PKI mulai punya kuasa setelah Pemilu 1955, kata Misbach dalam buku Kenang-kenangan Orang Bandel (2008), terbentuk citra bahwa ada dua blok terpisah dalam dunia seni. Namun di Senen tidak terasa suasana terpecah, setidaknya hingga 1962. Para seniman Senen berusaha terlihat netral.

"Saya belajar menyanyikan lagu Karo Piso Surit dan lagu Turang yang terdapat dalam film-film Bachtiar dan asisten beliau. Saya senang lagu Karo karena melodinya mirip lagu Sunda. Saya juga senang pada film-film Bachtiar yang tidak nampak ada ideologi komunisnya," tulis Misbach.

"Yang menarik buat saya adalah tidak sedikit pun terbayang paham komunis dalam film-film Bachtiar. Paham komunis tidak berkar menjadi jalan pikirannya," imbuhnya. Bachtiar memang pernah membuat film berbau propaganda komunis, tetapi Misbach menyebut film itu terasa terlalu dipaksakan.

Sebelum Tragedi 1965

Bachtiar lahir di Binjai, Sumatera Utara, pada 19 Februari 1923. Kakek-neneknya adalah orang Sunda. Sejak kecil, dia sudah bersentuhan dengan dunia seni lewat kedua orangtuanya.

Ibunya, pekerja perkebunan yang mahir memainkan lagu-lagu Melayu, mengenalkan Bachtiar kepada alat musik harmonium. Ketika remaja, Bachtiar ikut orkes gambus dan memainkan harmonium, lalu berpindah ke akordeon dan kadang menari japin.

Dari ayahnya, Bachtiar mengenal syair-syair kisah Timur Tengah dan Arab, teater klasik opera barat, dan tonil modern. Dia juga sering melihat pertunjukan rombongan teater yang berkeliling dari kebun ke kebun. Lalu ada "ketoprak dor", opera Cina, teater modern orang-orang Belanda, serta teater kaum intelektual Indonesia. Kelak, dia juga membuat kelompok drama di Binjai bernama Kencana yang tidak berumur panjang.

Pentas pertama Teater Kencana berlangsung di sebuah bioskop Belawan, beberapa bulan setelah Jepang menguasai nusantara. Bachtiar menjadi sutradara dan pemain utama. Sambutan meriah. Begitu babak kedua dimulai, polisi militer Jepang naik panggung dan membubarkan pertunjukan. Dia dan seorang rekannya ditangkap, disiksa, dan dikurung dua pekan di kerangkeng tanpa atap.

Setelah sempat membuka warung, Bachtiar dan istrinya bergabung dengan grup teater profesional di Banda Aceh. Dari situ, dia kenal dengan penulis naskah teater Saleh Umar. Salah satu naskahnya yang terkenal, Corak Dunia, kelak diadaptasi Bachtiar ke film panjang.

Menurut Krishna Sen, seperti ditulis dalam artikel The Conversation, satu-satunya pendidikan formal Bachtiar hanyalah sekolah dasar. Dia dibantu oleh seorang wanita Belanda, pemilik rumah tempatnya bekerja. Sebagian besar ilmu mengenai perfilman didapat lewat bekerja dan belajar mandiri.

Pada usia 20-an, ketika koloni Jepang masih berkuasa, Bachtiar berkenalan dengan medium film lewat Kapten Nakamura dari Jepang. Dia diminta membantu produksi film semi dokumenter tentang Tonari Gumi (1944) dengan film seluloid hitam putih 16 mm.

Setelah itu, menurut catatan Sinematek, dia ikut melawan tentara koloni Belanda dengan bergabung ke Laskar Rakyat dan Badan Kongres Pemuda, serta menjadi Perwira TNI selama 1947-1950. Begitu keluar dari tentara, Bachtiar menjadi penulis kolom koran-koran Medan dan belajar menulis naskah film. Dia menyerap teori dari buku Film Art tulisan Pudovkin terjemahan Cina, yang telah dibaca sejak 1948 atas bantuan seorang teman.

Proyek film pertama Bachtiar berjudul Musim Badai, tetapi batal karena masalah keuangan. Naskah yang menjadi film debut adalah Kabut Desember (1955) produksi Muara Film. Naskah ditulis selama kunjungan ke beberapa negara Eropa dan Asia. Setelah jadi, Kabut Desember diputar terlebih dulu di Cekoslovakia, Italia, dan Tiongkok.

"Ada orang-orang film senior yang 'melecehkan' aku karena aku belum pernah jadi sutradara dan tahu-tahu menyutradarai film dengan pemain kelas satu seperti Dhalia," tulis Bachtiar dalam memoar.

Film kedua adalah Corak Dunia, yang diadaptasi dari naskah teater tulisan Saleh Umar. Ini menjadi film pertama Bachtiar yang diputar secara reguler di Indonesia, sebelum diedarkan di Tiongkok, Vietnam, dan Korea. Menurut Bachtiar, tokoh pendidikan Pak Kasur memuji film ini sebagai film pendidikan yang bagus.

Hingga 1964, hampir setiap tahun ada sedikitnya satu film rilis karya Bachtiar. Tahun tanpa filmnya adalah 1958, ketika Bachtiar punya peran dalam "politik" perfilman dengan menjadi Ketua Lembaga Film Indonesia. Sejak 1957, Bachtiar sudah menunjukkan perhatian terhadap pendidikan film dengan menulis sejumlah artikel teoritis. Salah satunya adalah tujuh episode artikel Pelajaran Sinematografi di Majalah Purnama.

Selain Lekra dan LFI, Bachtiar sempat menjadi pengurus Sarikat Buruh Film dan Seni Drama (Sarbufis) dan serta sekretaris jenderal Persatuan Produser Film Indonesia (PPFI).

Ketika perseteruan PKI dengan militer pecah pada September 1965, Bachtiar ikut terseret gelombang "bersih-bersih" PKI. Menurut Indra putranya, seperti diceritakan kepada Detik-X, waktu itu Bachtiar sedang berada di Bali untuk menyiapkan proyek film Karmapala. Dalam perjalanan pulang, kata Indra, Bachtiar melihat kepala orang dipajang di pinggir jalan Banyuwangi.

Bachtiar bersembunyi. Tak lama, dia tertangkap dan ditahan tanpa diadili. Tempat tahanan pertama adalah Salemba. Lalu dipindah ke Tangerang, Pulau Nusakambangan, hingga akhirnya ke Pulau Buru Maluku hingga 1977. Setelah 12 tahun menjadi tahanan politik, karier Bachtiar sebagai pembuat film tidak lagi sama.

 Setelah Bebas dari Buru

"Kalau masih mengizinkan, saya ingin tetap bekerja di bidang perfilman. Namun saya harus banyak berlajar dan menonton film nasional sebanyak-banyaknya karena selama ditahan, saya gelap sama sekali tentang perfilman kita," kata Bachtiar kepada Pos Film di rumah Kebayoran Lama, beberapa hari setelah pulang.

"Saya hanya bekerja di sawah dan sudah pandai bertani. Selain bertani, kami diajarkan menganyam, membuat tikar, keranjang, dan pekerjaan tangan lain. Saya juga telah kembali melukis, tetapi melukis dengan pelepah pisang. Saya pernah melukis Presiden Suharto dan lukisan-lukisan saya sudah dibeli orang selama di tahanan," lanjutnya.

Bachtiar dibebaskan bersama sejumlah tahanan pada Desember 1977. Selama ditahan belasan tahun, dia merasa semakin dekat dengan Tuhan dan memperteguh iman. Pos Film juga menuliskan bahwa Bachtiar mengaku ikhlas dan tidak mendendam.

Dalam wawancara itu, Bachtiar bercerita bahwa dia telah menyimpan begitu banyak cerita, termasuk drama, komedi, dan spiritual. Namun dia ingin mencari tempat tinggal lebih dulu, sebelum kembali ke jalur sutradara.

Namun cap "eks tapol" dari pemerintah membuat perjalanan karier Bachtiar serba sulit. Pemerintah orde baru memang membuat aturan khusus bagi eks tahanan politik seperti Bachtiar dan keturunan mereka. KTP mereka diberi kode khusus. Menurut Indra, seperti dilaporkan Detik-X, ayahnya memakai nama samaran untuk bekerja. Bunga menyebut ayahnya menjadi jarang berhubungan dengan sesama eks tahanan politik.

"Dia seperti trauma dan menjaga diri demi keluarga," kata Bunga, seperti dikutip Detik-X.

Keterlibatan Bachtiar dalam film hanya sebatas menulis naskah film cerita, film dokumenter, dan radio dengan nama samaran. Sejumlah film yang dirilis di bioskop antara lain Mendulang Cinta, Membelah Kabut Tengger, dan Busana dalam Mimpi. Dia tinggal di Jakarta hingga sebelum meninggal pada 19 Maret 2002.

Ketika dibebaskan pada 1977, tidak hanya masa depan perfilman Bachtiar yang dihambat. Masa lalu juga diberangus. Bunga, seperti dikutip Pikiran Rakyat, menyebut bahwa pemerintah menyita film-film karya Bachtiar dan sutradara lain di Lekra. Selain Violetta yang kini masih tersimpan di Sinematek, bagian dari sejarah perfilman Indonesia ini sangat sulit didapatkan.

Bunga juga pernah ke Vietnam untuk mencari film Bachtiar yang pernah diputar di festival. Namun akses terhadap arsip ini butuh dukungan pemerintah.

"Barang-barang termasuk film di festival Vietnam tahun 1960-an dinyatakan sebagai barang sitaan perang. Jadi, kalau (mengakses) sendiri itu sangat susah, tidak mungkin, harus hubungan resmi antar-negara," kata Bunga.

Sebagai Penulis Skenario:
Ho Lopis Kuntul Baris (1959) adalah film dokumenter di mana Lukman Hakim Nain menjadi juru Kameranya. Film ini bermasalah dengan isu PKI. Padahal film ini produksi SANGGABUANA, berdasarkan semboyan yang dipopulerkan Sukarno pada waktu itu untuk mengobarkan semangat gotong royong. Selayaknya yang dilakukan oleh desa-desa dalam kerja bakti membangun desa mereka. Mungkin permasalahan saat itu adalah karena Palu, Arit, Cangkul dan wajah orang desa bergerombol di konotasikan sebagai perlawanan, bahkan dalam mereka bekerja juga selalu bernyanyi, dan melakukan sesuatu dengan tujuan bersama, secara bersama, dan satu komando (sedikit menyerempet pada paham komunisme memang). Semua satu arah, satu tujuan dan untuk kepentingan bersama. Rakyat bersatu, dhemitpun dikalahkan.

Meneguhkan niat, menguatkan raga, serta membarakan semangat, para pemuda-pemudi rengeng-rengeng tembangan:
Ayo konco ngayahi karyaning projo
kene, kene, gugur gunung tandang gawe
sayuk-sayuk rukun bebarengan ro kancane
lilo lan legowo kanggo mulyaning negoro
Siji, loro, telu, papat, mlaku papat-papat
diulang ulungake mesti enggal rampunge
holopis kuntul baris, holopis kuntul baris, holopis kuntul baris, holopis kuntul baris ….
menggunakan frasa "ganyang," "holopis kuntul baris," "bercancut taliwondo," atau "ini dadaku, mana dadamu," yang sebelumnya tak dikenal dalam khazanah pidato di Indonesia.

= Sekedjap Mata (1959)
= Iseng (1959)
= Kamar 13 (1961)
= Memburu Menantu (1961)



NJANJIAN DILERENG DIENG 1964 BACHTIAR SIAGIAN
Director
KAMI BANGUN HARI ESOK 1963 BACHTIAR SIAGIAN
Director
DAERAH HILANG 1956 BACHTIAR SIAGIAN
Director
KABUT DESEMBER 1955 BACHTIAR SIAGIAN
Director
TURANG 1957 BACHTIAR SIAGIAN
Director
VIOLETTA 1962 BACHTIAR SIAGIAN
Director
SEKEDJAP MATA 1959 BACHTIAR SIAGIAN
Director
PISO SURIT 1960 BACHTIAR SIAGIAN
Director
NOTARIS SULAMI 1961 BACHTIAR SIAGIAN
Director
TJORAK DUNIA 1955 BACHTIAR SIAGIAN
Director
BADJA MEMBARA 1961 BACHTIAR SIAGIAN
Director
MELATI SENDJA 1956 BACHTIAR SIAGIAN
Actor Director

Tidak ada komentar:

Posting Komentar