ALI YUGO
1956
Ali Yugo (lahir di Makassar, 17 Maret 1907 – meninggal 18 Februari 1970 pada umur 62 tahun) adalah seorang pemain film di era tahun 1940an hingga era tahun 1960an. Masa kanak-kanaknya dihabiskan di Singapura. Sekembali ke tanah air, ia ikut dalam rombongan sandiwara “Dardanela”. Dalam masa pendudukan Jepang, ia memimpin rombongan sandiwara "Batu Tjinta" dan "Nusantara". Ali Yugo mulai main film sebelum perang hingga tahun 1950an.
1956
ALI YUGO yang terkenal sebagai pemain sandiwara dan film di
Indonesia, kini dengan cerita film “OH IBUKU” muncul mengunjungi
penonton di Indonesia. Film ini adalah yang pertama-tama buatan
Indonesia, suatu film serie dua bagian dengan titel keseluruhan adalah
“GADIS 3 JAMAN”, dan dengan bijnaam untuk bagian I “OH IBUKU….!” Dan
untuk bagian II “PUTRI REVOLUSI”. Biaya untuk film serie Indonesia yang
pertama ini telah mencapai Rp. 1.500.000 dan masa pembikinannya di
Studio Garuda selama dua tahun.
Film ini adalah hasil joint procution “Garuda Film” dan “Semeru”.
Producer adalah Turino Djunaedy, cerita Ha van Wu yang memegang
penyelenggaraan keseluruhannya.
Untuk melihat film ini tentu kita pertama-tama harus mengetahui siapa yang bertindak selaku sutradaranya, ialah ALI YUGO.
Sutradara ini lahir di Sulawesi 17 Maret 1907, dibesarkan di
Singapura, Malaya. Setelah melihatkan kemauan hidupnya di lapangan
seni-wayangan, maka sekeluarnya dari sekolahannya (American Boarding
School Singapura) Ali Yugo terus memasukkan dirinya di “Star Opera”
sebagai penyanyi dan penari cabaret barat. Dan dengan Star Opera itulah
dia keliling negeri Melayu.
Sebelumnya Ali Yugo terjun ke dunia film Indonesia dan sesudah punya
pengalaman sekedarnya selama di Star Opera dia kemudian, atas ajakan
seorang temannya bangsa Rusia, Piedro Calimanov, dia bekerja pula di
sandiwara yang terkenal “DARDANELLA”. Di sinilah dia bertemu dengan
Andjar Asmara, Njoo Cheong Seng, Ferry Cock, Dewi Mada, Sho Boen Sheng,
Miss Dja, Fifie Young dan lain-lain tokoh yang sampai kini terkenal
dalam dunia senia wayangan (ini menurut istilah Ali Yugo sendiri).
Seperti diketahuii Dardanella telah menjelajahi seluruh dunia pada
masa jayanya. Asia, Eropa, dan Amerika Serikat. Beberapa diantara mereka
kini banyak tinggal menetap di Eropa dan Amerika Serikat. Sedangkan Ali
Yugo sendiri tidak turut terus karena ketika rombongan Dardanella baru
sampai mengelilingi tanah Malaya, lalu pulang kembali ke Indonesia.
Miss Dja sendiri pernah menjadi ipar Ali Yugo ini, karena Ali Yugo
kawin dengan adiknya Miss Dja. Tapi di sinilah juga Ali Yugo mengalamii
apa yang biasa tentunya dialami pemuda dan pemudi yakni sampai-sampai
dia patah hati karena berpisahan….
Dalam kehancuran hatinya, Ali Yugo bertahun-tahun mengembara keliling
Sulawesi, Maluku dan kalimantan dengan satu rombongan sandiwara yang
dibuatnya sendiri yakni Sandiwara “HAPPY DAYS” (1934-1938).
Pertama kali dia menginjakkan kaki di dunia film ialah pertama-tama
bermain dalam film KARTINAH , satu film yang disutradarai oleh Andjar
Asmara (1941), suatu roman jaman perang dunia, dalam kegiatan-kegiatan
LBD (Lucht beschermingdienst). Dan sesudah itu berpuluh-puluhlah filmya
di mana ia menunjukkan bakatnya. Film-filmnya yang terkenal dapat
diingat saja pada “JAUH DI MANA” (South Pacific Film orp – PFN kini).
Di jaman orang-orang Indonesia mencakapkan soal-soal “non” dan “co”
(1948), Ali Yugo bekerja di Studio Radio Jakarta bersama teman baiknya
Bahrum Rangkuty, itu penyair yang digelarkan orang “Iqbal Indonesia”.
Dalam penyutradaan film, Ali Yugo pertama-tama membawakan kreasinya
dengan satu kesempatan yang diberikan oleh Djamaluddin Malik.
Di jaman Jepang, diapun aktif juga dalam persandiwaraan, satu bagian dari Djawa Eiga Haikyusha,
Betapa hasilnya dari penyutradaraan film-serie di Indonesia yang
untuk pertama kalinya ini, marilah sama-sama kita saksikan nantinya,
setelah film-film tersebut diputar oleh bioskop-bioskop seluruh
Indonesia.
Pemain-pemain dalam film ini antaranya: Soekarno M. Noor, Amran S.
Mouna, Turino Djunaedy, Marlia Hardi, Lies Noor, Hasnah Thahar, Mien
Tjendrakasih, dan Mimi mariany.
Sedikit kita kenalkan kepribadiannya, karena memang sebagai seorang
yang sudah punya banyak pengetahuan dalam soal-soal kehidupan, dia
begitu simpatik, dan dengan sebutan lain, ialah Ali Yugo tidaklah
benar-benar tua, dalam arti kata yang biasa, tetapipun tidaklah muda,
dalam artikata kedangkalan orang umumnya.
Demikian itulah Ali Yugo, sutradara film serie pertama di Indonesia: GADIS 3 JAMAN.
1952.
PENGGEMAR sandiwara dan film Indonesia sejak sebelum perang dahulu
niscaya mengenal peran-peran terkemuka di waktu itu dan yang sampai
sekarang masih terus bergerak di lapang usahanya. Ada diantara mereka
yang sudah meningkat ke jenjang yang lebih tinggi, ada lagi yang masih
berjalan terus sesuai dengan jiwa dan cita-citanya. Dan antara mereka
yang hendak dilukiskan di sini ialah: ALI YUGO, bintang film dan
sandiwara sedari “DARDANELLA”.
Kembali ke masanya yang lalu teringat ia akan kawan-kawan lamanya
yang kini sudah memegang berbagai jabatan seperti Suska dll. Sebagai
seorang yang tahu akan kemauan jiwanya, Ali tetap pada pilihannya semula
meskipun ia akan berjalan sendiri.
SEBELUM perang ia telah bermain diantaranya dalam film-film:
KARTINAH, ELANG DARAT, PUTERI RIMBA, DJULA-DJULI BINTANG TIGA. Sebelum
beraksi di muka kamera, ia juga memulai pengalamannya dalam berbagai
sandiwara seperti STAR OPERA, kemudian DARDANELLA. Dan kini ia bekerja
untuk WONG BROTHER FILM COMPANY di samping sewaktu-waktu membantu
perusahaan film lainnya.
TIDAKLAH lengkap menceritakan seorang manusia bila tidak disebut
asal-usul kelahirannya. Bila melihat tipe muka akan menimbulkan dugaan
bawa Ali ini berasal dari gurun sahara di mana terdapat kurma dan unta.
Tapi ia sebenarnya adalah anak Indonesia tulen – untuk tidak menggunakan
istilah asli, berasal dari Bugis yang terkenal dengan darah pelautnya.
Dan dilahirkan pada tahun 1907 bulan Maret tanggal 17. Sejak berumur 7
tahun telah disekolahkan orangtuanya di Singapura sehingga dalam bicara
sering terluncur bahasa Inggrisnya sepotong-sepotong.
Ali Yugo mempunyai 8 orang anak. Sebagai bapak ia keras dan
berkehndak memberikan anak-anaknya pendidikan yang baik. Dan di rumah,
iapun tidak segan-segan pula membantu rumah tangganya.
Sewaktu berkunjung ke tempatnya ia sedang asyik “bekerja” di dapur
dalam pakaian ala Marunda. Terasa seperti mengganggu dalam kesibukannya.
Tapi Ali berkata bahwa ia tidak mengapa – hanya “to keep my body fit”
katanya – untuk menghilangkan ragu-ragu dan tandatanya.
Kalau melihat Ali dalam rollnya terutama dalam filmnya yang terbaru
di masa federal “DJAUH DI MATA” dari South Fil Corporation di mana ia
masih memegang peran orang muda yang gagah dan tampan akan merupakan
surprise dalam keadannya sekarang, justru karena sudah jauh lebih tua.
Meskipun rambutnya sudah dalam “dwi-colour” – black and white – tapi
matanya masih tajam menentang.
Mengapa ia berhenti dari south Pasific dulu ialah karena turut
terseret dalam kehangatan suasana. Sebelum perusahaan film tersebut
berganti nama menjadi PFN. Dalam kehangatan pertentangan non dan co, Ali
mengundurkn diri.
Mengenai kariernya sebagai peran yang telah cukup dikenal oleh
penggemar-penggemar film memang tidak luput dari suka dan duka.
Bagaimanapun Ali merasa bahwa dunia film itu justru adalah merupakan
pilihannya sendiri yang dimimpikan sejak kecil. Justru sebagai orang
yang sadar akan kemauan jiwanya banyaklah kekecewaan yang harus dialami
dan kesulitan-kesulitan yang harus diatasi.
Sangatlah berat baginya untuk menekan perasaan selaku seniman yang
tidak berkehendak diperkuda begitu saja untuk melaksanakan ide merdeka,
di mana ia harus menyesuaikan diri dengan keadaan yang menjadi
kenyataan. Adalah menjadi kenyataan bahwa para artis film Indonesia
umumnya belum mendapat penghargaan sebagaimana mestinya.
Selain apa yang dinamakan mutu seni dari permainan umumnya belum
dapat mencapai tingkat yang tinggi dan di samping itu pengetahuan rakyat
akan arti dari nilai seni permainan itu belum dapat sempurna sehingga
dapat memberikan penghargaan yang setimpal, juga dari pihak majikan dan
film produser menitikberatkan pada segi komersial. Bahwa mereka itu
mengutamakan usahanya dari sudut keuntungan adalah soal yang dapat
dianggap logis, sehingga perbaikan itu hendaklah menjadi titik perhatian
dan perjuangan bersama dari para artis film itu sendiri. Dalam hal ini
akan beruntunglah mereka yang dapat menyesuaikan diri, lebih tegas
menurutkan kehendak sang majikan seperti ada yang melakukan – dengna
memperoleh hasil yang lumayan.
Ali Yugo adalah seorang yang bersahaja. Dalam peran-peran yang
dibawakannya beraksi di layar, ia menunjukkan watak kuat yang patut
dihargakan. Menjalankan rol-nya dalam “DJAUH DI MATA” dulu sebagai
seorang buta, dengan tidak terlalu berlebih-lebihan dapatlah dikatakan
sempurna. Meskipun demikian dalam menghadapi kenyataan dan kehidupan
yang keras (hard life) harus banyak memakai pertimbangan.
Ia tidak suka didikte dan berkehendak untuk berdiri sendiri. Kebaikan
mutu peranan yang dilakukan seorang peran itu adalah karena sejalan
dengan pembawaan dan kemauan jiwanya. Dan ia tidak akan dapat berkembang
bila hanya menerima dikte dari atas yang sering bertentangan dengan
kehendak hati sendiri.
Berbicara tentang kekecewaan-kekecewaannya Ali menceritakan tentang
kenyataan pahit yang harus dihadapinya dalam pembikinan film yang baru.
SELAIN membawa peranan dalam studio di mana ia bekerja, Ali juga
mencipta cerita untuk dijadikan film. MARUNDA yang telah dibikin film
oleh PERSARI adalah salah satu cerita dari Ali Yugo.
Kini sebuah ceritanya yang digubah menjadi film oleh sebuah unit dari
Wong Brothers (Dragon) ialah “DJALI-DJALI” berasal dari sebuah lagu
yang sudah populer bagi rakyat sehingga dapat dianggap sebagai
“folksong”. Opname semuanya sudah hampir selesai dengan tidak memakan
terlalu banyak tempo, apalagi karena dikerjakan secara gampangan dan
buru-buru. Sesuai dengan semboyan dalam businnes life yang tak lapuk
oleh hujan dan tak lekang oleh panas “time has no stop and time is
money”.
Tentang “DJALI-DJALI”nya Ali sendiri menganggap hanya sebagai film
pasaran dengan melihat pelaksanaan pembikinannya meskipun ide yang
dikandung semula baik. Cerita tersebut selain diinspirasi dari lagu
“Djali-Djali” yang populer dan selaku penghargaan bagi pengarangnya yang
sampai sekarang tidak dikenal, juga dimaksud untuk menembus kabut gelap
yang masih melekat di kalangan rakyat yaitu katahyulan.
Meskipun telah menginjak ke jaman atom di mana pikiran manusia sudah
begitu maju, tapi di pelosok tanah air yang jauh terpencil tahyul
dan cerita tentang hantu dan setan masih memenuhi alam pikiran rakyat
yang primitif. Kalau ada orang yang jatuh sakit berubah ingatan dan
sebagainya disangkalah itu hasil perbuatan jin dan setan yang jahat. Ke
arah pemberantasan itulah semula tujuan film tersebut. Tapi kemudian
telah berubah 90% sesuai dengan kehendak majikan.
“Djali-Djali” mengisahkan tentang seorang komponis yang dalam suatu
kecelakaan telah mendapat goncangan otak (hersenschudding) sehingga
melupakan masa silam. Oleh seorang kaya yang telah menolongnya dan
menyerahkannya dalam eprawatan dokter ia diserahi untuk mengurus
perusahaannya. Dalam kecelakaan yang diperolehnya sekali lagi dan dengan
bantuan dokter yang merawat komponis ini akhirnya telah mempertemukan
dia kembali dengan anak-istrinya , dan menyingkapkan tabir misteri yang
telah melingkupi kehidupannya yang aneh.
Semula film itu dimaksudkan Ali Yugo selain selaku alat penerangan
dan bersifat pendidikan juga mengandung arti pengetahuan. Ada dimaksud
untuk menunjukkan scene-scene bagaimana seorang dokter bekerja dengan
alat-alatnya yang modern dalam melakukan operasi dan
memberikanpertolongan bagi penderita. Juga lokasi keluar kota seperti ke
Bogor dan Semarang tidak jadi dilakukan karena terlalu berabe dan
banyak mengeluarkan begroting yang bertentangan dengan motif ekonomi dan
kehendak pengusaha.
Sebagai peran dan seniman, Ali Yugo cinta akan peranan dan
pekerjaannya, tapi dalam hal-hal di atas tiada daya. Karena kalau
majikan telah mengeluarkan veto-nya si seniman atau si pencipta hanya
dapat mengusap dada. Ia sudah boleh merasakan puas kalau buah pikiran
dan ciptaannya diterima, setelah dirombak dan diubah begitu rupa.
Karena itu, mengapa para artis film kita tidak dapat bersatu dan
mengumpulkan hasil dari cucuran keringat bersama untuk membikin produksi
sendiri, seperti yang telah dilakukan rekan-rekannya di luar negeri?
Dan untuk Ali CS masih terentang jalan panjang yang harus ditempuh.
SEHIDUP SEMATI | 1949 | FRED YOUNG | Actor | |
GAMBANG SEMARANG | 1955 | TAN SING HWAT | Actor | |
DJAUH DIMATA | 1948 | ANDJAR ASMARA | Actor | |
GEMBIRA RIA | 1959 | NAWI ISMAIL | Actor | |
DJALI-DJALI | 1954 | ALI YUGO | Director | |
BUNG TEMPE | 1953 | ALI YUGO | Director | |
KUSUMA HATI | 1951 | HENRY L. DUARTE | Actor | |
PELARIAN DARI PAGAR BESI | 1951 | H. ASBY | Actor | |
BINTANG PELADJAR | 1957 | DJOKO LELONO | Actor | |
BINTANG SURABAJA 1951 | 1950 | FRED YOUNG | Actor | |
DAERAH HILANG | 1956 | BACHTIAR SIAGIAN | Actor | |
DAERAH TAK BERTUAN | 1963 | ALAM SURAWIDJAJA | Actor | |
KARTINAH | 1940 | ANDJAR ASMARA | Actor | |
PENGANTEN BARU | 1951 | Actor | ||
POETRI RIMBA | 1941 | INOE PERBATASARI | Actor | |
MARUNDA | 1951 | ALI YUGO | Director | |
OH, IBUKU | 1955 | ALI YUGO | Director | |
AIR MATA IBOE | 1941 | NJOO CHEONG SENG | Actor | |
RATNA MOETOE MANIKAM | 1941 | SUSKA | Actor | |
HOLOKUBA | 1959 | BASUKI EFFENDI | Actor | |
TITIAN SERAMBUT DIBELAH TUDJUH | 1959 | ASRUL SANI | Actor | |
SRI ASIH | 1954 | TURINO DJUNAIDY | Actor | |
NOESA PENIDA | 1941 | ANDJAR ASMARA | Actor | |
SEPIRING NASI | 1960 | AMIR JUSUF | Actor | |
PUTERI REVOLUSI | 1955 | ALI YUGO | Director | |
HARUMANIS | 1950 | FRED YOUNG | Actor | |
HOUSE, A WIFE AND A SINGING BIRD, A | 1956 | MIRIAM BUCHER | Actor | |
MOMON | 1959 | DJOKO LELONO | Actor | |
TAUFAN | 1952 | ALI YUGO | Director | |
GADIS DESA | 1949 | ANDJAR ASMARA | Actor | |
BADJA MEMBARA | 1961 | BACHTIAR SIAGIAN | Actor | |
ELANG DARAT | 1941 | INOE PERBATASARI | Actor | |
DILERENG GUNUNG KAWI | 1961 | TAN SING HWAT | Actor | |
MELATI SENDJA | 1956 | BACHTIAR SIAGIAN | Actor | |
RELA | 1954 | DJA'FAR WIRJO | Actor. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar