Rabu, 12 Mei 2010

DAGANG FILM

Mengh
12 Maret 1977
Dagang film, dari kantor "bill ... "

PARA produser dikabarkan marah oleh kecaman juri Festival Film Indonesia 1977 pekan lalu. "Calon penonton golongan atas bisa kabur mendengar itu", kata seorang produser. Tapi benarkah bahwa pasaran film Indonesia ditentukan oleh pendapat juri festival tahunan? Mungkin tidak. Masalah pemasaran mungkin masalah kemampuan P.T. Perfin. PT Perfin didirikan tahun 1975 untuk melaksanakan SK 3 Menteri (Penerangan, P&K dan Dalam Negeri) yang memberi proteksi pada industri film nasional. Zulharmans, selama ini dikenal sebagai ketua PWI Jaya, diserahi tugas memimpin PT Perfin sejak hampir setahun lalu. Zul, demikian ia dipanggil, berkantor di komplex Blavatsky, Jl. Medan Merdeka Barat, Jakarta. Stafnya sedikit, tapi tantangannya berat. Sesekali Zul, sambil makan goreng paru, teringat pada masa jaya AMPAI, asosiasi perfilman Amerika di Indonesia.

Bill Palmer yang memimpin AMPAI nerpengaruh ketika itu, terutama di kalangan distributor film dan pemilik bioskop. Sejak ia diganyang tahun 1964, zaman konfrontasi, belum ada organisasi distribusi film lain di negeri ini yang begitu disegani, bahkan sangat didengar, seperti AMPAI. Dengan SK 3 Menteri, jika tidak dicabut, PT Perfin akan bisa juga tampil sebagai distributor besar di bidang perfilman nasional. Setidaknya itulah kemauan Zul. Buat sementara, sudah ada terdengar julukan (terutama dari golongan anti-Perfin) terhadapnya sebagai Bill Palmer kecil. Bahwa ia sudah mulai didengar, terbukti dari kepatuhan semua bioskop di DKI (136 jumlahnya), Jawa Timur (133) dan Sulawesi Selatan (39) memutar produksi nasional. Sesungguhnya wajib-putar itu berlaku untuk seluruh Indonesia. Tapi baru di tiga daerah itulah PT Perfin bisa bekerja. Bahwa ia belum disegani, terbukti dari kesulitan yang sukar diatasinya untuk memperluas jaringan pemasarannya ke propinsi lain. Pasar "gemuk" yang sekarang diincernya ialah Sumatera Utara. Tapi tidaklah gampang baginya membuka cabang di Medan jika tanpa kerjasama Pemerintah Daerah. Jika tahun ini juga berhasil PT Perfin memasuki Medan dan kota besar lainnya seperti Bandung, Semarang dan Yogyakarta, Zul memang membuktikan kebolehannya. Sesudah cabang dibuka, belumlah jaminan bagi PT Perfin akan bisa memonopoli pasaran setempat.


Di DKI sekalipun, misalnya, belum semua produser melepas film mereka melalui PT Perfin. PT Sinabung Film, PT Safari Sinar Sakti dan PT Alam Siwa - cuma inilah yang terpegang 100% oleh PT Perfin di DKI. Produser lainnya, seperti PT Sarinande ((anasnya Nafsu), PT Sinar Indonesia Medan (Penghuni Bangunan Tua), PT Dipa Jaya (Jinak-jinak Merpati), PT Madu Segara Film (Karmila) dan PT Sugar Indah Film (Rahasia Perawan) mengedarkan via flatter, semacam cukong perantara. Namun, PT Perfin tetap menyediakan jasanya supaya produk mereka terkena wajib-putar. Di Ujungpandang, juga dijumpai banyak film nasional yang beredar dari flatter maupun booker, bukan distributor Perfin. Padahal PT Perfin sudah punya cabang di kota itu, dan karena itu pula ia tetap memungut uang jasa 5% berhubung wajib-putar dan jadwal bioskop diaturnya. Pungutan 570 itu merupakan pajak tambahan, tentu saja, yang tampaknya akan berlaku di mana pun ia bercabang. Selama FFI 1977 yang berakhir minggu lalu, ada suara dari Ujungpandang yang tidak gembira terhadap pajak Perfin itu. Kehadiran PT Perfln dirasakan perlu terutama sekali bila di tempat itu penggemar film nasional sedikit. Ternyata di Ujungpandang, film nasional sudah bisa laris walaupun tanpa wajib-putar. Bahkan di kota itu sudah ada bioskop mengkhususkan diri untuk film nasional. Di Surabaya, penggemar film nasional juga sudah meningkat.

Karmila, misalnya, di kota itu bisa bertahan lebih dari satu minggu di lima bioskop kelas atas, dengan rata-rata 10.000 penonton. Film One Way Ticket yang dibintangi si cantik Widyawati (ia dapat piala Citra untuk ini) bertahan sampai 5 hari-pemutaran dengan 5000 penonton. Tapi ini bukan berarti para pen,usaha bioskop di Surabaya sudah gembira selalu memutar film nasional. Sedikitnya ada 70 film nasional, berasal produksi 1973, 1974 dan 1975 yang ditolak bioskop Surabaya. Walaupun sudah ada PT Perfin di sana, pengusaha bioskop ternyata tidak bisa dipaksa, juga filmnya memang jelek. Menurut catatan Moedjimun, Ketua GPBSI Jawa Timur, dari sekitar 40 judul film nasional yang beredar sejak PT Perfin berdiri, cuma 9 buah yang "lumayan" hasilnya. Malah kata Sofyan Ali, direktur bioskop Mitra, sebuah film pernah cuma ditonton oleh sembilan orang, di gedung yang berkapasitas 900 kursi itu. "Termasuk dua di antaranya nonton pakai tanda bebas masuk". Mungkin mutunya payah. Jadi? "Kami mengharapkan agar produser membuat film yang berbobot", kata Suwono, wakil PT Perrm di Jawa Timur. 

Berbobot atau tidak, bagi banyak pengusaha bioskop bukanlah soal utama. Dengan berbobot saja, belum tentu karcis terjual.

Ini bisa dilihat dari pengalaman dua bioskop yang berdekatan Wira dan Viva--di Tebet, Jakarta Selatan. Wira biasanya dikunjungi penggemar film nasional. Selalu penuh. Viva jarang memutar film nasional, sedang pengunjungnya dianggap golongan atas. Ketika Viva menghidangkan film nasional, bioskop itu sepi. Dipasangnya pula harga karcis sama dengan Wira ketika film nasional diputar, tapi Viva tetap tak berhasil menyedot penonton dari Wira. Ini menyangkut Citra sesuatu bioskop. Benyamin Tukang Ngibul, pernah dikritik sebagai film konyol, tapi bioskop tertentu ramai dibuatnya. Ini menyangkut selera masyarakat, yang jadi landasan policy kaum pengusaha. Berkata John Tjasmadi, sekjen GPBSI (Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia), dalam suatu wawancara: "Kalau daerahnya memang daerah Cina, maka ke sana akan kita lempar film Mandarin.

Tapi kalau suatu daerah di mana masyarakat penontonnya adalah penggemar film nasional, ke sana kita kirim film nasional. Dalam hal ini kita tinggal menjaga variasi thema cerita, agar penonton di suatu daerah tidak jenuh, dan pengunjung bioskop ada terus". Wajib-putar oleh PT Perfin akan sering konflik dengan "peta selera masyarakat" dari GPBSI, terutama yang menyangkut bioskop kelas A. Bagi produser, pemutaran filmnya di kelas A itu penting sekali, suatu prestise. Dalam hal ini PT Perfin jelas melindungi kepentingan produser. Direktur Zulharmans mengatakan dia berusaha agar pengusaha kelas A tidak dirugikan benar. Misalnya, jadwal Perfin diatur sedemikian rupa hingga film nasional tidak diputar bersamaan pada bioskop yang berdekatan. Tetapi tidak ada anggota kelas A yang bisa menghindarkan wajib-putar 2 judul tiap bulan. 

Keduanya itu harus berlangsung masing-masing pada akhir pekan. Minimal 2 hari, mulai Kamis dan Jum'at. "Film nasional sekarang mempunyai hari pekan, sama dengan kaum tani di pedalaman yang pergi ke pasar pada hari-hari pekan", kata Zul. Suka atau tidak, l.k. 50 bioskop kelas A di DKI saja mulai Mei s/d Desember '76 sudah menarik 1,7 juta penonton film nasional.

Bandingkan, tahun 1972 cuma 15,1 juta penonton film nasional di seluruh Indonesia (lihat grafik). PT Perfin mencatat lima judul film yang terbesar meraih penonton DKI di kelas A, masing-masing: Ateng Sok Tahu (220.000), Karmila (2 13.000), Kampus siru (168.000), Cinta (117.000) dan Si Doel Anak Modern (103.000). Kelima itu berhasil melampaui 2 hari wajib, menggembirakan bagi pengusaha bioskop. Maka "peta selera" itu sesungguhnya bisa berobah dari waktu ke waktu. Suatu film nasional berbobot yang dulu, sebutlah 3 tahun lalu, bertahan 2 hari di kelas A, sekarang bisa 4 hari atau lebih lama. Group Jakarta (Jakarta Theater Menteng dan International) memutar Kampus Biru selama seminggu (23.624 penonton). Jika film itu diputar 3 tahun lalu di Group Jakarta, menurut pengamatan seorang produser, mungkin ia bertahan 2 hari saja. Perobahan selera ini juga terasa di Bandung, membuat harga film nasional naik. Mujiarto, pengusaha bioskop di Bandung yang mempunyai jalur sampai ke Sumedang, Tasikmalaya dan Garut, malah menyebut harganya sudah "gilagilaan". Kalau PT Perfin mau hadir di Bandung, kata Mujiarto pada Syarief Hidayat dari TEMPO, cukuplah ia berfungsi sebagai pengendali harga saja, tidak perlu sebagai distributor. "Tanpa Perfin (di Bandung), film nasional sudah berjalan baik".

Adanya pembatasan impor film tampaknya membantu membangkitkan apresiasi pengusaha bioskop terhadap produk nasional. Tahun ini pemerintah memberi quota impor untuk 200 judul film saja, dibanding 300 pada tahun 1976 dan 400 selama 1975. Quota ini cenderung menurun terus. Melalui empat konsorsium, pelaksanaan impor film pun makin tertib. Dirjen Radio, Televisi & Film, Sumadi, mengatakan "tambang emas" sudah tidak dijumlpai lagi dalam impor film. Bagaimanapun film impor masih selalu menguntungkan. Ditaksir labanya mencapai hampir 60% dari seluruh biaya per judul pada tahun pertama dan sekitar 85% lagi pada tahun kedua. Karena melihat adanya keuntungan besar itu pula maka pemerintah mewajibkan perusahaan membuat 1 film nasional bila mengimpor 5 judul. 

Tetapi paket semacam itu telah tidak menciptakan iklim perfilman yang sehat. Kebanyakan film nasional yang jelek, menurut pengamatan PT Perfin, lahir dari paket itu. Kenapa? Umumnya dibuat asal jadi. Importir menetapkan biaya produksi serendah mungkin, katakanlah Rp 30 juta per judul dengan risiko rugi 10% saja. Sedangkan ia sedikitnya beruntung 100% per judul dari impor, misalnya seharga Rp 20 juta. Maka 5 judul impor bisa membawa rezeki Rp 100 juta. Apalah arti rugi 10% dari produksi Rp 30 juta. Paket itu bertujuan meningkatkan produksi, terutama setelah pemerintah melihat cuma 41 film nasional dibuat dalam tahun 1975, dibanding 77 pada tahun 1974. Tetapi apakah kwantitas yang diandalkan?

Kalau ini ditanyakan pada sutradara-produser Wim Umboh, yang ingin mengutamakan kwalitas, paket itu dianjurkannya supaya ditinjau kembali. Produksi berkwalitas sekarang paling sedikit menelan Rp 50 juta, tetapi ada kemungkinan beruntung 100%, terutama bila sukses di bioskop kelas A di DKI. Sebagai contoh, Ateng Sok Tahu ditaksir makan biaya Rp 45 juta. Ia memecahkan rekor dalam meraih penonton kelas A. Sebanyak 300% akan kembali uangnya, menurut taksiran PT Perfin. Bisnis film nasional sebenarnya makin cerah. Permintaan akan film baik meningkat terus. Dari impor belakangan ini jarang pula kelihatan film bermutu. "Harus segera direbut situasi sekarang", kata Wim Umboh. "Jika girah tetap (stabil), produksi 100 judul setahun bukan mustahil". Itu adalah sasaran produksi dari pemerintah, yang dianggap orang ramai sebagai sesuatu yang mustahil. 

Mustahil atau tidak, sutradara nasional yang berbobot sudah berharga Rp 7 juta per film. Jadwal mereka gampang terisi sepanjang tahun karena meningkat permintaan dari produser. Tetapi sutradara seperti Teguh Karya dan Syumanjaya, walaupun tancap gas, paling cepat bisa mengerjakan satu film dalam 4 bulan. Jika dikumpul 10 sutradara, mungkin akan ada maximum 30 produksi yang baik tahun ini. Nilai aktor maupun aktris, karena ada permintaan tinggi, pun bisa mencapai sekitar Rp 3,5 juta. Bintang muda seperti Roy Marten, menurut Wim Umboh, sekarang berani berkata pada produser supaya menunggu giliran.

"Kini produser meminta-minta", katanya. Investasi laboratorium oleh pengusaha dan tokoh perbankan Nyoohansiang di Ragunan, Jakarta Selatan, sebanyak Rp 590 juta kini tampaknya tak akan sia-sia. Ketika setahun lalu Lab itu siap untuk memproses film berwarna, disangsikan apakah cukup tersedia order pekerjaan. Kalau harus pergi ke Tokyo seperti biasa, produser akhirnya terkena ongkos sekitar Rp 11 juta. Ke Ragunan, biayanya per film Rp 6 juta, dan bisa selesai lebih cepat. Sebentar lagi PFN akan membuka Lab yang sama pula. Bersaing dengan bankir Nyoo?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar