Jumat, 16 April 2010

REVOLUSI DALM FILM-FILM INDONESIA

10 November 1990
Revolusi indonesia dalam film-film

Refleksi REVOLUSI INDONESIA DALAM FILM-FILM INDONESIA Oleh: Salim Said SALIM SAID. Sebagai redaktur Film dan Luar Negeri majalah TEMPO, ia pernah sangat produktif menulis kritik film Indonesia. Bahkan ia menyelesaikan kuliah di Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial, Universitas Indonesia dengan skripsi tentang film, yang kemudian dibukukan dengan judul Profil Dunia Film Indonesia. Sejak keluar dari TEMPO, 1987, Salim duduk dalam Dewan Film Nasional dan beberapa kali menjadi juri Festival Film Indonesia. Dalam Dewan Kesenian Jakarta periode 1990-1993, ia terpilih sebagai salah satu ketuanya. Lahir di Pare-pare, Sulawesi Selatan, Salim meraih doktor di Ohio State University, Amerika Serikat pada 1985. 
 
Disertasinya tentang sejarah militer Indonesia, yakni tentang hubungan sipil militer selama Perang Kemerdekaan Indonesia, 1945-1949. Tulisan Salim berikut diambil dari makalah untuk seminar Pekan Festival Film Indonesia 1987 di Ujung Pandang, 4 Agustus 1987 Refleksi ini diterbitkan dengan kerja sama Mobil Oil Corporation untuk menyambut KIAS REVOLUSI INDONESIA DALAM FILM-FILM INDONESIA JENDERAL Naga Bonar (Deddy Mizwar) mencopet arloji seorang perwira Belanda pada suatu perundingan penetapan garis demarkasi. Jenderal laskar zaman revolusi ini menangis seperti anak kecil ketika seorang temannya mati tertembak peluru Belanda. Dan ketika pasukannya harus mengungsi, perintah jenderal yang satu ini ternyata cuma dipatuhi oleh anak buahnya, tapi sama sekali tak digubris oleh ibu kandungnya. Bagi sang ibu, Naga Bonar tetaplah seorang pencopet yang sering keluar-masuk penjara. Dan karena semua harus mengungsi, cara satu-satunya bagi Naga Bonar untuk membawa serta ibunya ialah mendukung sendiri perempuan tua itu. Begitulah beberapa adegan film Naga Bonar (M.T. Risyaf, 1987) yang banyak memancing ketawa penonton. Agaknya memang kebanyakan orang membeli karcis untuk menonton film ini karena Naga Bonar bagi mereka adalah film komedi, yang tidak menggunakan pelawak tapi lucu. Film komedi jenis ini memang tidak tergolong jenis baru di Indonesia, tentu saja, kalau kita ingat bahwa di tahun lima puluhan Perfini telah menghasilkan Tamu Agung (Usmar Ismail, 1955). Tapi kecenderungan baru ini haruslah dilihat sebagai akibat sukses komersial yang dicapai film Kejarlah Daku Kau Kutangkap (Chairul Umam, 1986). 
 
Kecenderungan baru ini haruslah ditafsirkan sebagai gejala kebosanan penonton terhadap film-film komedi yang dibintangi pelawak dengan lawakan yang pada umumnya amat fisikal dan dangkal. Yang barangkali kurang disadari banyak orang yang tertawa ketika menyaksikan Naga Bonar ialah bahwa mereka tergolong kelompok yang beruntung menyaksikan suatu tontonan yang secara jujur dan polos berkisah tentang revolusi Indonesia, tanpa banyak gangguan sensor, baik resmi maupun tak resmi, sebagai yang dulu dialami oleh Darah dan Doa (Usmar Ismail, 1950). Hampir bisa dipastikan bahwa sebagian besar kelucuan tersebut justru bersumber pada penggambaran yang jujur dan polos itu. Karena itulah, tawa yang berhamburan di sejumlah gedung bioskop adalah tawa simpati, sebab yang kita tertawai adalah diri kita sendiri dalam penampilannya di masa silam. Kita ternyata memerlukan waktu puluhan tahun sebelum pada akhirnya sanggup menertawakan diri dan masa lalu kita sendiri. Kita harus melewati puluhan tahun sebelum tiba saat kita menyadari bahwa revolusi kita dahulu bukan cuma dibintangi oleh pejuang-pejuang yang selalu mengerutkan kening -- sembari membolak-balik buku Von Clausewitz -- atau oleh mereka yang telah dimatangkan oleh kebijaksanaan mobilisasi pemerintahan bala tentara Jepang, melainkan juga oleh bekas copet seperti Naga Bonar atau bekas rampok seperti Jabar dalam film Pasukan Berani Mati (Imam Tantowi, 1982). 

Lepas dari kelucuannya yang menghibur, diterimanya -- tanpa sedikit pun protes -- pencopet Naga Bonar sebagai satu dari banyak pahlawan kita, rasanya, harus dilihat sebagai gejala makin dewasanya kita sebagai suatu bangsa. Dan hambatan -- baik sensor resmi maupun "sensor" masyarakat -- yang mengganggu Usmar Ismail merealisasi keinginannya menggambarkan revolusi Indonesia secara sejujur-jujurnya tidaklah terutama harus dilihat sebagai pemasungan kreativitas. 

Hambatan demikian sebaiknya dipandang dari perspektif proses perkembangan suatu bangsa ke arah kedewasaannya. Dalam hubungan ini, maka baik karya Usmar Ismail (dan kawan-kawan sezamannya) yang telah disanitasi oleh sensor maupun tampilnya kisah Naga Bonar, keduanya harus diterima sebagai gejala dari zaman masing-masing. "Setiap karya seni," menurut Arnold Hauser, "selalu meninggalkan bekas dari zamannya." Jika demikian halnya, "bekas-bekas" apakah yang terpatri dalam film-film Indonesia yang berkisah tentang revolusi kita? Dalam makalah singkat ini akan saya coba mengungkapkan pikiran dan perasaan (state of mind) yang hidup dalam masyarakat pada masa film-film tentang revolusi itu dibuat. Tapi pertama-tama harus -- dengan sedih -- saya kemukakan bahwa sebagian besar film kita tentang revolusi telah hancur. Kecuali beberapa film yang telah diselamatkan oleh Sinematek Indonesia, tinggal hanyalah nama dan beberapa guntingan koran atau majalah yang memuat sinopsis atau komentar seadanya tentang film-film tersebut. Karena itulah pada makalah ini saya tidak dimungkinkan bicara banyak tentang karya sutradara Bachtiar Siagian, sebab meski Bachtiar tergolong sutradara terbaik yang membuat sejumlah film tentang revolusi, tak satu pun dari filmnya yang tersisa. Demikian juga halnya dengan sutradara Alam Rengga Surawijaya, yang sebagian besar filmnya adalah tentang revolusi. Dari semua karya Alam, yang kini masih bisa ditemukan hanyalah film yang dibuatnya tahun 70-an. Yang beruntung adalah Usmar Ismail, sebab Perfini menyimpan dengan baik sejumlah karya Usmar. Karena itu, dalam makalah ini pembicaraan terutama bertolak dari film-film yang masih bisa ditemukan. 

Untuk kelengkapan pembicaraan, film-film yang telah musnah terpaksa dicoba direkonstruksi dari bahan-bahan tertulis yang masih bisa ditemukan baik di Sinematek Indonesia maupun di perpustakaan Museum Pusat, Jakarta. Keterbatasan waktu tentu saja ikut menghambat penggunaan sumber-sumber tertulis, di samping bahwa sumber-sumber tertulis tidak akan pernah memadai sebagai bahan untuk merekonstruksi sebuah film yang telah telanjur musnah. Film tertua tentang revolusi Indonesia yang masih tersimpan adalah Untuk Sang Merah Putih (M. Said, 1950), Darab dan Doa (Usmar Ismail, 1950), dan Enam Djam di Jogja (Usmar Ismail, 1950). Perbedaan utama ketiga film ini terletak pada niat pembuatannya. M. Said, yang bekerja untuk Perusahaan Film Negara (PFN), nampaknya membuat film Untuk Sang Merah Putih sebagai media dakwah. Yaitu untuk membimbing para bekas pejuang, agar bisa dengan mudah menyesuaikan kembali diri mereka dengan masyarakat umum setelah masa perang gerilya selesai dan agar para bekas pejuang melanjutkan perjuangan mereka dengan membangun Indonesia yang telah mereka merdekakan. Karena itulah film jenis ini -- pada awal tahun 50-an, film jenis inilah yang banyak diproduksi -- saya sebut saja film kampanye pembangunan. Usmar Ismail membuat dua film dengan niat berlainan. Dalam Darah dan Doa Usmar Ismail hanya ingin berkisah tentang manusia yang terlibat dalam revolusi. Kebetulan yang dikisahkan oleh Usmar Ismail adalah Kapten Sudarto, yang terlalu lembut untuk jadi komandan batalyon pada masa revolusi, dan Kapten Adam, yang terlalu militeristis untuk zamannya, hingga konflik dengan sahabat dan sekaligus atasannya, Kapten Sudarto, akhirnya tak terhindarkan. Di kemudian hari, film jenis ini pun banyak dibuat, baik yang bercerita tentang kejadian di masa revolusi maupun kejadian setelahnya, sebagai akibat revolusi. Karena itu, saya sebut saja jenis ini sebagai film tentang manusia dan revolusi. 

Usmar Ismail juga membuat Enam Djam di Jogja. Meski ada bagiannya yang fiktif, bisa diduga bahwa niat sebenarnya membuat film ini adalah mengawetkan kejadian historis dan heroik yang jadi topik film tersebut. Film seperti ini, terutama pada tahun 70-an dan 80-an, banyak diproduksi. Saya ingin jenis ini disebut dokudrama. Lima tahun sebelum Indonesia menghadapi masalah demobilisasi, Ameri~a Serikat, yang keluar dari Perang Dunia II sebagai pemenang, telah menghadapi masalah yan~g sama. 

Sekitar sembilan juta GI sudah dengan tak sabar menanti saat menanggalkan pakaian dinas untuk kembali ke rumah masing-masing. Kendati Amerika keluar dari perang sebagai negara termakmur, kecemasan tetap saja melanda masyarakatnya mengenai masalah yang menanti para bekas GI dan persoalan penyesuaian diri mereka ke dalam masyarakat. Ingatan terhadap depresi yang mengikuti Perang Dunia I bukannya tak menghantui banyak orang Amerika. Tapi kepercayaan bahwa Amerika adalah negeri tempat semua bisa dicapai, asal siap bekerja keras, juga masih tetap berakar kuat. Perasaan dan pikiran seperti inilah yang antara lain terlihat lewat film Pr~id~e of t~he Marines (1945). Film ini berkisah tentang pahlawan pertempuran Guadalcanal, Al Schmid (John Garfield), yang buta akibat peluru musuh. Di rumah sakit ia menolak semua bantuan dokter dan para perawat. Sikap antisosial Al Schmid muncul setelah diketahuinya bahwa kemungkinannya untuk menggunakan kembali matanya sudah hilang. Dalam mimpinya ia ditolak oleh tunangannya. Karena itulah, ia memutuskan untuk tidak memberi tahu kebutaannya kepada tunangannya. Dengan rasionalisasi bahwa ia tidak ingin jadi beban orang lain, ia memutuskan pertunangannya dengan Ruthie (Eleanor Parker). Teman-teman sependeritaannya di rumah sakit militer mencoba membujuknya dengan meyakinkan bahwa kebutaannya tidak harus jadi halangan baginya untuk melanjutkan hidup. Salah seorang di antara yang cacat perang itu malah meyakinkan Al Schmid bahwa ia sangat ingin jadi pengacara atau bahkan anggota Kongres. Dengan cara demikian, kata teman Al Schmid, kita mengatasi sesuatu dalam damai seperti kita mengatasinya semasa perang. Dengan mengontraskan Al Schmid yang berkeras dengan pendiriannya yang pesimistis dengan teman-temannya yang optimistis, jelas sekali bahwa film ini menekankan betapa masalah Al Schmid semata-mata masalah psikologis, dan sama sekali bukan masalah sosial. Artinya, tidak ada yang salah dengan masyarakat Amerika. Yang tidak beres adalah jus~tru Al Schmid sendiri. 
 
Di akhir cerita Schmid bisa diyakinkan oleh cinta Ruth, dan keduanya bersepakat mengarungi hidup~. Pada tahun 1950 PFN membuat Untuk Sang M~erah Putih. Film ini berkisah tentang Subandrio (Chatir Harro), seorang perwira TNI yang terluka dan kemudian buta akibat peluru musuh. Ketika mengetahui bahwa kebutaannya permanen, ia pun dilanda depresi dan mencoba bunuh diri. Gagal bunuh diri, ia mulai menampakkan sikap antisosial. Seperti Al Schmid, Subandrio juga memutuskan pertunangannya dengan kekasihnya, seorang mahasiswi kedokteran yang bernama Rukmini (Djuariah). Bujukan teman-teman yang samasama cacat di rumah sakit juga tidak berhasil mengubah pendirian keras Subandrio. Suatu kali seorang anak buahnya menghadapi perkara pembunuhan pada mahkamah militer. Subandrio, yang ternyata juga ahli hukum, menawarkan diri menjadi pembela. 

Pembelaannya berhasil dan anak buahnya selamat dari hukuman berat Merasa dirinya berguna, dan karena cinta Rukmini yang tulus, Subandrio akhirnya melunak. Di akhir film, persis seperti Al Schmid dan Ruthie dalam Prid~e of t~he Marine~s, Subandrio dan Rukmini sepakat untuk menghadapi hari depan mereka bersama. Dari kedua film yang khas dari jenis kampanye pembangunan ini, kita bisa menciptakan sebuah model dari jenis yang akan berkali-kali kita temukan di awal tahun 50-an. Ciri utama film jenis ini ialah mengecilkan atau, kalau bisa, menghapuskan ketidakpastian yang bakal dihadapi oleh para bekas pejuang. Film kemudian memusatkan perhatian pada cacat fisik atau gangguan jiwa~ sang bekas pejuang yang merupakan halangan baginya untuk kembali ke dalam kehidupan normal. Mula-mula ditunjukkan bahwa persoalan itu sifatnya umum dan dihadapi oleh semua bekas pejuang Persoalan kemudian dilokalisasi menjadi masalah sang tokoh. itu sendiri. Dengan cara ini, dijelaskan bahwa masyarakat normal adanya, dan yang harus menyesuaikan diri ~dalah para bekas pejuang. Pada akhirnya cinta seorang pacar, tunangan, atau istri, memainkan peranan pelicin bagi kembalinya sang bekas pejuang ke dalam masyarakat. 

Dengan segera dapat disimpulkan bahwa filmfilm jenis kampanye pembangunan ini adalah suatu jenis film komersial dengan formula yang hampir baku, sebagaimana laiknya film-film komersial yang dibuat mengikut tradisi Hollywood. Menarik sekali bahwa di Indonesia, yang memelopori jenis film komersial seperti ini adalah perusahaan milik negara, sebelum pada akhirnya diikuti oleh sejumlah perusahaan film milik swasta. Menonton kembali Untu~k Sang M~erah Putih 37 tahun setelah film itu diproduksi, maka yang masih tetap patut dipuji ialah fotografi yang bagus sebagai hasil kerja juru kamera Belanda yang bernama Deninghoff Stelling. Permainan para pelaku maupun penyutradaraannya semuanya terasa amatiran. Pada tahun 1951 ada tujuh film (20% dari seluruh film yang diproduksi tahun tersebut) yang berkisah tentang revolusi yang menimpa para tokoh bekas pejuang. Sayang, tidak satu pun dari ketujuh film itu bisa diselamatkan. Dari bahan-bahan tertulis dapat diketahui bahwa D~jiwa Pemuda (Bachtiar Effendi, 1951) diproduksi oleh PFN.~ Film ini nampaknya berkisah tentang dua bekas pejuang yang terlibat cinta segi tiga yang berkait-kait dengan usaha mereka membangun koperasi dan bank desa di desa mereka. Suria (R. Sukarno) dan Karnaen (Djauhari Effendi) adalah dua bekas pejuang itu. 

Di desa mereka, Tegalsari, mereka bertekad membangun koperasi. Dalam proses pembangunan koperasi, cinta Surati (Nurhasanah) nampaknya memberikan semangat besar kepada Suria sehingga ia jauh lebih menonjol dari Karnaen untuk merencanakan perbuatan jahat terhadap Suria. Tapi sebelum niat itu terlaksana, alat negara segera datang, dan Karnaen yang luka parah, sebelum meninggal, masih sempat meminta maaf dan menyatakan penyesalan atas perbuatannya kepada Suria. Yang terakhir ini tentu saja hidup bahagia untuk seterusnya dengan Surati sebagai ganjaran atas kerja keras serta akhlaknya yang terjaga. Lewat film ini Bachtiar Effendi dan PFN jelas mengingatkan para bekas pejuang agar menghindari nasib buruk seperti yang menimpa Karnaen. Berbuat baiklah seperti Suria, niscaya kalian akan sukses dalam membangun desa dan bakal berhasil menggaet gadis secantik Surati. Studio Persari pimpinan Haji Djamaluddin Malik di tahun 1951 tampil dengan tiga film tentang masa revolusi. Film tersebut adalah: Bal~ti Bahagia (M. Said), Bunga Bangsa ~Nawi Ismail) dan S~epan~ja~ng Malio~boro (H. Asby).~ Ketiga film ini berkisah tentang kesulitan para bekas pejuang dalam penyesuaian diri selepas revolusi. 

Tapi dengan kerja keras serta dengan bantuan perempuan yang mencintai mereka, para pejuang akhirnya berhasil menjadi orang berguna dalam masyarakat. Studio Perfini juga tampil dengan film jenis kampanye perjuangan. Kali ini yang tampil bukan Usmar Ismail melainkan D. Djajakusuma. Filmnya bernama Embun dan berkisah tentang Sulaiman (A.N. Alcaf~), seorang bekas pejuang yang mengalami kesulitan dalam masyarakat kota yang dalam penglihatannya penuh dengan korupsi. Sulaiman akhirnya kembali ke desanya. Dia bisa bertahan di desa karena siraman "embun" yang menyejukkan hatinya dari Ira (Savitri), gadis yang mencintainya. Korupsi pad~a masyarakat yang baru saja merdeka dan penuh harapan untuk suatu hari depan yang dicita-citakan bersama, bukan saja ditampilkan dalam Embun tapi juga dalam S~elamat B~erjuang Mas~ku (H. Asby, 1951) yang diproduksi oleh perusahaan Djakarta Film Coy. Pada film ini digambarkan dua bekas pejuang, Rais (Chatir Harro) dan Herman (R. Sukarno). Yang pertama memasuki masyarakat dengan menggunakan fasilitas bekas pejuang untuk menjadi pedagang. Ia berhasil kaya tapi hidupnya penuh foya-foya. Teman lamanya, Herman, amat muak dengan Rais, dan memutuskan untuk tetap jadi tentara. Herman memasuki angkatan udara sebagai penerbang, dan karena itu berhasil memenangkan Parmi (Marlia Hardi), gadis yang dicintainya, yang juga diingini oleh Rais.

Dari bahan tertulis yang ada, jelas film ini merupakan kampanye agar para bekas pejuang suka memasuki angkatan udara. Di samping tentu saja agar menjauhi sifat memboroskan fasilitas yang diberikan oleh negara kepada mereka. Menarik untuk diperhatikan bahwa masalah korupsi, hidup berfoya-foya, dan penyalahgunaan fasilitas di kalangan para bekas pejuang sudah menyelinap ke dalam cerita-cerita film Indonesia sepagi tahun 1951, cuma satu tahun setelah kemerdekaan sepenuhnya diperoleh. Gejala ini seharusnya dilihat sebagai simtom dari suatu masyarakat yang sedang memasuki apa yang biasanya dikenal sebagai sosial disintegrasi. Korupsi adalah gejala suatu keadaan pada saat orang sudah tidak lagi mementingkan nasib orang lain. Persahabatan dan solidaritas yang terbina di zaman revolusi -- paling tidak sebagai yang tercermin dalam dua film yang disebutkan tadi -- sudah mulai retak pada tahun 1951. Mungkin karena harapan yang berlebih-lebihan terhadap kemerdekaan, yang baru diperoleh itu, menghadapi kenyataan pahit seperti yang digambarkan oleh film Embun dan S~elama~t B~er~juang Masku, sehingga tahun berikutnya, 1952, hanya dibuat dua film dari jenis kampanye pembangunan. 
 
Film-film tersebut adalah Si Pincang (Kotot Sukardi, 1952) produksi PFN dan Putang (Basuki Effendi 1952) produksi G.A.F/ Sang Saka Film. Si Pincang berkisah tentang si kecil Giman yang pincang sejak lahir. Di zaman revolusi ia hidup sebatang kara. Ayah dan kakaknya dipaksa jadi romusha oleh Jepang, sementara ibu dan neneknya meninggal dalam keadaan melarat. Giman hidup bergelandangan dari desanya hingga sampai ke Yogyakarta. Di ibu kota Republik Indonesia itu Giman, bersama anak-anak korban revolusi lainnya, berteduh di bawah jembatan dan hidup dari berbagai cara yang tidak pantas untuk~ seusianya. Dewa penolong akhirnya datang. Bekas Kapten Yudono yang kembali ke masyarakat, bersama sejumlah pemuda, mendirikan rumah sosial untuk menampung Giman dan anak-anak telantar lainnya. Film yang dianggap karya terbaik Kotot Sukardi ini tidak lagi bicara besar tentang harapan yang bisa diperoleh dari kemerdekaan. Setelah ternyata bahwa para bekas pejuang sendiri sudah mulai mengkhianati cita-cita mereka, yang diminta oleh Kotot Sukardi cumalah agar anak-anak telantar akibat revolusi juga mendapat perhatian. Api harapan, yang tadinya amat menyala-nyala, makin redup saja oleh kenyataan yang makin menyimpang dari dambaan awal. Pada tahun 1954 nanti akan kita saksikan betapa kenyataan yang tidak diinginkan itu sudah mengkristal menjadi kekecewaan pahit yang akhirnya memaksa Usmar Ismail, dalam L~ewat Ja~m Malam, menyuruh Iskandar (A.N. Alcaff) membunuh Gunawan (R. Ismail), bekas teman seperjuangan yang mengkhianati cita-cita bersama. Film jenis kampanye pembangunan produksi tahun 50-an yang tidak boleh kita lewatkan adalah Pulang (Basuki Effendi, 1952). Film yang mendapat hadiah di Carlovy Vary International Film Festival (1955) ini dibintangi oleh Turino Djunaedi (bermain sebagai Tamin). Film ini berkisah tentang disinformasi yang dialami oleh Tamin, seorang bekas H~i~o yang selama pendudukan Jepang bertugas di Burma. Sebagai akibat disinformasi Belanda, Tamin tidak mengetahui pergolakan yang melanda Indonesia setelah kekalahan bala tentara Jepang. Dan karena itu ia dengan mudah diperalat Belanda. Setelah penyerahan kedaulatan, Tamin bekerja di rumah sakit pemerintah sebagai juru rawat. Dalam kedudukan itulah ia kembali ke desanya untuk menolong mereka yang secara mendadak diserang penyakit menular. Kelahiran film ini nampaknya dilatarbelakangi oleh masih kerasnya sikap kebanyakan orang terhadap mereka yang dulu berkolaborasi dengan Belanda. 

Masalah orang Indonesia yang pernah jadi kolaborator Belanda dengan mudah menjadi soal, terutama bagi bekas para pejuang, jika diingat bahwa sebagian besar bekas KNIL, sebagai akibat dari perjanjian KMB 1949, terpaksa diintegrasikan ke dalam tubuh Angkatan Perang Republik Indonesia.

Dan karena pada umumnya pendidikan bekas KNIL itu lebih baik daripada kebanyakan bekas pejuang, tidak jarang terjadi para bekas KNIL itu mendapatkan posisi yang lebih baik dari mereka yang dulu berjuang di hutan. Dengan menonjolkan Tamin sebagai juru rawat yang tenaganya diperlukan untuk mengobati orang desa, Basuki Effendi nampaknya mengantisipasi apa yang kemudian jadi pegangan Deng Ziaoping di Republik Rakyat Cina. Deng konon pernah berkata, "Tidak peduli kucing itu berwarna hitam atau putih, pokoknya dia bisa menangkap tikus." Lewat Pulang, Basuki Effendi mengajak penontonnya untuk menerima kenyataan bahwa Republik Indonesia masih kekurangan tenaga ahli, karena itu para bekas kolaborator yang tenaganya bisa dimanfaatkan jangan sampai tidak digunakan. Dari 47 film yang diproduksi pada tahun berikutnya, 1953, tak satu pun yang berkisah tentang revolusi. Tahun itu agaknya adalah tahun transisi, tahun untuk merenungkan perkembangan masyarakat yang ~ternyata tidak berjalan ke titik seperti yang diharapkan semula. Dan ketika pada tahun berikutnya muncul dua film dengan latar belakang revolusi, nadanya sungguh amat pesimistis. Kedua film tersebut -- L~ewat~ Jam Malam (Usmar Ismail, 1954) dan Debu Revolusi (Sjamsuddin Sjafei, 1954) -- tidak lagi bisa digolongkan ke dalam jenis kampanye pembangunan. Sebaliknya, keduanya seperti mencibirkan optimisme yang tahun-tahun sebelumnya dikampanyekan oleh banyak film. Dan dengan pesimisme itu berakhirlah pula riwayat film-film jenis kampanye pembangunan ini. Di tahun 8~0-an, PPFN memunculkan kembali film jenis ini dengan memproduksi K~ereta Api Terakhir yang berkisah tentang heroisme para pegawai jawatan kereta api di masa revolusi. Karena sebagian besar film yang saya bicarakan ini tidak bisa ditonton lagi, sulitlah bagi kita untuk mengetahui mutu sinematografis film-film tersebut Satu-satunya adalah dengan mempelajari kritik film yang ditulis pada masa itu. 



Dengan nama samaran Ali Akbar, Drs. Asrul Sani menulis sebuah kritik tentang film-film yang berlatar ~belakang revolusi dalam perbandingannya dengan sebuah film produksi Perfini yang dibuat masa yang sama. Asrul Sani antara lain menulis: Kita mengharapkan dari mereka jang mereka akan dapat melihat menembus kulit dan menjinggung isi. Betul mereka telah membuat film perdjuangan dan peperangan, tapi apa jang mereka lakukan sebetulnja tidak lain dari pemotretan orang berpakaian pradjurit, apa jang tersimpan dalam pakaian itu mereka tidak singgung. Saja tidak jakin bahwa gambaran revolusi itu ialah potret orang jang beruniform berbintang atau memakai strip di bahu. Lima tahun kita perhatikan mereka. Achirnja terpaksa kita mengatakan bahwa sebagian besar orang-orang ini bukanlah orang-orang jang dapat melakukan sesuatu untuk film. Mereka bukanlah orang-orang jang punja pendapat sendiri (mereka jang meniru film Amerika), mereka bukan manusia mata terbuka jang dapat melihat sekeliling, mereka bukanlah ~cin~east-cin~east jang mau merintis djalan baru. Amerika adalah tuhan, mereka nabi dan kita diperlukan sebagai kerandjang sampah tempat buangan segala jang kotor. Manusia dalam Kemelut Revolusi Darah dan Doa adalah pemula film-film tentang revolusi yang saya golongkan ke dalam jenis ini. Film yang ide ceritanya datang dari penyair Sitor Sitomurang ini berkisah tentang beberapa perwira dan prajurit Divisi Siliwangi yang terlibat dalam hijrah dan, kemudian, long march. Kapten Sudarto (Del Yusar), tokoh utama film ini, adalah bekas guru dan bekas calon insinyur yang terseret dalam kancah revolusi. Untuk ukuran zamannya ia seorang intelektual yang tidak begitu cocok menjadi komandan batalyon. Sudarto dikontraskan dengan Kapten Adam, kepala stafnya yang sangat militeristis. Adam nampaknya memang lahir bagi zamannya, zaman revolusi yang memerlukan militer. Karena itu, konflik Sudarto Adam tak terhindarkan. Konflik mula-mula muncul dalam bentuk tindakan halus Adam mengusir gadis Indo-Jerman yang dipacari Sudarto, ketika batalyonnya berada di Sarangan selepas menumpas pemberontakan komunis di Madiun, 1948. Kehidupan kekeluargaan Sudarto nampaknya berantakan. Dan ini dikontraskan dengan Adam yang bahagia menerima surat dari istri yang ditinggalkannya di Bandung. Dalam kesepian Sudarto itulah gadis Indo-Jerman itu muncul. Bagi Adam, hubungan komandannya dengan gadis Indo itu bisa merusak disiplin pasukan. Karena itu, harus diputuskan. Dalam film ini juga digambarkan suatu eksekusi terhadap seorang kolaborator dan mata-mata (R. Ismail), yang pelaksanaannya dijalankan oleh seorang sersan. Beberapa jam sebelum eksekusi, seorang perwira, Leo, (Awaluddin Djamin) menegur sang sersan yang kelihatan termenung. "Apakah kau kenal orang itu?" tanya perwira tersebut. "Ya, dia ayahku," jawab sang sersan, datar. Beberapa jam kemudian seorang sersan menjalankan perintah atasan. 

Mengeksekusi ayahnya sendiri. Semua ini digambarkan Usmar Ismail dengan nada datar, tanpa tanda seru. Tanpa permintaan perhatian. 

Tapi justru tanpa dramatisasi seperti itulah tragedi revolusi tersebut terasa amat mencekam. Cerita berakhir pada harihari pertama setelah pengakuan kedaulatan, tatkala teman-teman Sudarto dielu-elukan sebagai pahlawan yang pulang perang, sementara dia sendiri harus menghadap tim screening yang memeriksa laporan Adam. Disilusi dengan perlakuan terhadap dirinya, Sudarto memutuskan keluar dari tentara. Usmar Ismail tidak membiarkan Sudarto kembali ke hidup normal dalam masyarakat, sebab seorang bersenjata pistol telah menantinya di kamar pondokannya. Orang ini ternyata sisa-sisa pemberontak Madiun. Dan Adam mati di ujung peluru orang komunis tersebut. Menonton kembali Darah dan Doa 37 tahun setelah pembuatannya, keharuan masih tetap menyertai kita. Saya kira kekuatan film ini terletak pada kejujurannya. Meskipun setelah selesai film ini mendapat reaksi keras dari berbagai pihak, pada proses pembuatannya Usmar Ismail sama sekali bebas menuangkan apa yang diinginkannya. Dan yang diinginkannya ialah berkisah tentan~g manusia yang terseret ke dalam kancah revolusi. Dilihat dari perspektif masa kini, teknik pembuatan film ini amat kuno, tapi kelemahan teknik itu ternyata diimbangi oleh kejujuran yang menyertainya. Dan seperti yang saya katakan tadi, keharuan itu justru timbul dari kejujuran dan kesederhanaan penggambaran manusia-manusia yang terserimpung ke dalam kancah revolusi. Jika keharuan sudah jarang kita temukan pada film-film tentang revolusi yang akhir-akhir ini dibuat dengan tata warna yang cemerlang serta efek khusus yang fantastis, saya kira itu terutama karena kejujuran tidak merupakan titik tolak pembuatan film-film tersebut. Meski kedua tokoh utama Darah dan Doa pada akhirnya mati sebelum menyaksikan hasil perjuangan mereka, tidak bisa dikatakan bahwa film ini pesimistis, sebab pejuang yang lebih muda dibiarkan tetap hidup. 

Kematian Adam dan Sudarto, sementara tokoh yang dimainkan oleh Awaluddin Djamin dan Aedy Moward dibiarkan hidup, saya kira seyogianya dilihat sebagai prop~hecy Usmar Ismail terhadap hari depan Indonesia. 

Dengan mematikan Adam dan Sudarto, Usmar nampaknya meramalkan bahwa hari depan bangsa Indonesia tidak akan berada pada tangan orang yang terlalu serius seperti Adam, juga tidak pada seorang intelektual seperti Sudarto. Hari depan itu berada pada tangan tokoh seperti yang dimainkan oleh Eddy Moward dan Awaluddin Djamin. Moward adalah tokoh yang sibuk dengan kepentingan pribadi. Juga di tengah-tengah keributan perang. Usmar menggambarkan tokoh ini selalu sibuk mencari pacar di setiap kesempatan dalam perjalanan long march itu. Di samping selalu mencari rokok enak di zaman susah, ia juga digambarkan makan nasi bungkus sembari bersembunyi di balik sebuah batu besar ketika semua anggota pasukan sedang kelaparan. Tokoh Leo (Awaluddin) adalah perwira dengan watak yang tak punya warna yang jelas. Meski ia juga bukan robot. Ketika Adam secara resmi menyatakan Sudarto hilang -- dan tak perlu dicari lagi -- tokoh yang dimainkan oleh Awaluddin, secara diam-diam, memerintahkan beberapa prajurit untuk mencari Kapten Sudarto. Tapi ketika ia tahu bahwa sersan yang akan menjalankan eksekusi adalah anak kandung dari terhukum, sama sekali tidak ada konsolasi dari perwira ini. Keputusan sudah dicapai, perintah harus dijalankan. Tidak terlalu salah untuk menyimpulkan bahwa tokoh yang dimainkan oleh Awaluddin adalah percampuran antara watak Adam dan Sudarto. Pada Lewat~ Jam Malam dan P~ejuang, Usmar tampil lagi dengan ramalannya mengenai jenis manu~sia yang bakal menangani negeri ini. Dalam Lewat Jam Malam, tokoh pengkhianat, Gunawan (R. Ismail), tewas oleh peluru Iskandar (Alcaff). Iskandar sendiri tertembak oleh patroli yang mengawasi jam malam. Puja (Bambang Hermanto), bekas pejuang dan centeng bordil yang tidak punya pendirian jelas, tak ketahuan hari depannya. Sekali lagi, justru tokoh yang dimainkan oleh Aedy Moward -- lebih kurang sama dengan tokoh yang dimainkannya dalam Darah dan Doa -- yang dibiarkan hidup. 

Dalam Pejuang, Sersan Imron (Bambang Hermanto), bekas jagoan Senen yang jadi jagoan revolusi, tewas. Karma (Ismed M. Noor), yang intelektual, gugur. Letnan Amin (Rendra Karno) memang tidak dimatikan, tapi cacat berat hingga bisa dipastikan dalam waktu singkat bakal dipensiunkan. Yang tersisa ialah Seno (Bambang Irawan), anak muda yang masih selalu sibuk pacaran di tengah hiruk-pikuk pertempuran. Seno bahkan sempat melakukan desersi hanya karena ingin tahu tentang keadaan Latifa (Farida Arryani), pacarnya yang ditawan Belanda. Bagi Usmar, hari depan Indonesia ada pada tangan tokoh-tokoh yang dimainkan oleh Awaluddin, Aedy Moward, dan Bambang Irawan. Dan jika disimak dengan saksama, dengan mudah terlihat kemiripan watak tokoh-tokoh tersebut. Film Usmar yang terpenting mengenai manusia dalam revolusi adalah L~ewat Jam Malam. Film yang skenarionya ditulis oleh Asrul Sani dan diproduksi bersama oleh Perfini dan Persari ini berkisah tentang seorang bekas letnan TNI yang bernama Iskandar (A.N. Alcaff). Iskandar gagal menyesuaikan diri kembali dalam masyarakat setelah bergerilya sekian tahun. Berbeda dengan film-film jenis kampanye pembangunan, pada film ini cinta seorang gadis (Netty Herawaty) tidak berhasil menyelamatkan Iskandar. Gagal bekerja pada kantor pemerintah -- ia sempat meninju atasannya pada hari pertama ia masuk bekerja -- Iskandar mencari teman-teman lamanya. Pertemuannya dengan Gunawan (R. Ismail), bekas komandannya, amat mengecewakan hatinya.

Dari seorang teman seperjuangannya Iskandar tahu bahwa kekayaan yang dipergunakan Gunawan untuk memulai usahanya adalah kekayaan pengungsi yang ditembak oleh Iskandar atas perintah Gunawan. Pengungsi kaya itu dituduh mata-mata oleh Gunawan. Dan sebagai anak buah yang patuh, Iskandar hanya menjalankan perintah. Kini ia tahu semua permainan licik yang menjadikan dirinya hanya alat. Malam itu juga Iskandar memberesi Gunawan. Tapi Iskandar sendiri jadi umpan peluru patroli yang mengawasi pelaksanaan jam malam. Kekecewaan dan pesimisme yang merupakan nada dasar film ini tidak usah mengherankan jika kita ingat bahwa film-film jenis kampanye pembangunan, tiga tahun sebelumnya, sudah mulai menampakkan gejala-gejala kekecewaan terhadap keadaan. 

Dalam kehidupan nyata kita bisa menunjuk peristiwa 17 Oktober 1952 sebagai puncak kekecewaan para bekas pejuang terhadap perkembangan keadaan yang tidak kunjung membaik sebagaimana yang mereka harapkan ketika meninggalkan markas gerilya masing-masing untuk masuk ke kota.~ Secara sinematografis, Lewat Jam Malam jauh lebih sempurna dari film-film Usmar sebelumnya. Cara bercerita yang dipilih Usmar jelas sekali mendukung kisah yang ingin disampaikan. Film itu dibuka dengan gambar sepatu tentara yang diseret berat. Ini adalah introduksi yang baik terhadap tokoh yang nantinya bakal gagal menyesuaikan diri dengan masyarakat yang sudah lama ditinggalkannya adegan-adegan Iskandar yang menyelip ke dalam malam untuk memberesi Gunawan dikontraskan dengan pesta di rumah tunangannya. Cara penggambaran seperti ini memberi kesan amat kuat tentang adanya dua dunia dalam karya Usmar tersebut: dunia pesta orang-orang yang mendominasi keadaan yang normal ke mana Iskandar harus mencari tempat dan dunia Iskandar yang pengap tanpa jalan keluar. Simbolis sekali usaha Netty Herawaty, sebagai tunangan Iskandar, mengintegrasikan Iskandar ke dalam kerumunan pesta. Bukan saja tidak berhasil, melainkan Iskandar bahkan menghilang ke dalam malam tanpa diketahui tunangannya. Film Lewat ~Jam Malam adalah satu dari hanya beberapa film Indonesia yang kelahirannya disambut pujian oleh kalangan budayawan dan intelektualil Indonesia. 

Dalam resensinya terhadap film ini, Sitor Situmorang antar Iain memuji karya Usmar ini: . . . sudah sampai pada taraf jang ditjapai oleh sastra dan puisi Indonesia moderen dan seni lukis, dalam hal sikap kedjiwaan terhadap kedjadian dan perasaan manusia sekarang .... Dari sudut kesenian, Lewat Djam Malam jaitu dari sudut vormgeving (pemberian bentuk), banjak menunjukkan kekurangan-kekurangan, tapi dalam pada itu memperlihatkan percobaan eksperimen jang dapat dipertanggungdjawabkan ....~ Pesimisme yang mencuat dalam karya Usmar Ismail ternyata tidak berdiri sendiri. Pada tahun yang sama Ratu Asia Film Coy. memproduksi film Dcbu Revol~si (Sjamsudin Sjafei, 1954). Film ini berkisah tentang Arman (R. Sukarno) yang luka parah dan terpisah dari pasukannya pada masa gerilya. Dirawat oleh seorang lurah, Arman kemudian jatuh cinta kepada Isrihati (Ismah. B), putri lurah tersebut. Pengakuan kedaulatan tiba dan Amran pulang ke kota dengan janji segera kembali mengawini Isrihati. 
 
Di kota, Amran terlibat cinta dengan Martini (Mimi Mariani), Seorang gadis metropolitan. Martini ternyata juga berhubungan dengan Johny (R. Ismail), seorang bandit. Perkawinan Amran dan Martini tidak langgeng, bahkan akhirnya berakhir di penjara. Amran, kemudian, teringat akan janjinya kepada Isrihati. Berangkatlah ia ke desa. Isrihati yang pernah lama merana menantikan Amran ternyata telah kawin dengan seorang pemuda kota yang dijumpainya di kota ketika datang ke sana mencari Amran. Isrihati hidup bahagia di desa. Amran hidup bagaikan debu yang beterbangan. D~ebu R~evolusi dengan jelas berkisah betapa buntunya sudah hidup para bekas pejuang. Ilusinya untuk dengan segera menikmati hasil perjuangan membawa Amran ke sisi Martini. Ternyata, perempuan modern ini sudah terlalu jauh terlibat dalam masyarakat kota yang korup. Dan ketika teringat akan desa dan gadisnya di sana, ternyata desa dan gadis pun tidak lagi bisa menyelamatkan Amran. Berbeda dengan film-film sejenis yang diproduksi pada tahun-tahun sebelumnya, ketika kota yang korup masih mendapatkan alternatifnya dalam bentuk desa yang bersih dan ramah, gadis metropolitan yang materialistis mendapatkan saingannya dalam diri gadis desa yang suci dengan cinta yang tulus, pada tahun 1954 ini keadaan sudah amat berbeda. Dalam Debu Revolusi ini kita lihat betapa desa telah, jenuh memainkan perannya sebagai penampungan kekecewaan bekas pejuang. 

Tapi pada saat yang sama juga terlihat betapa para bekas pejuang sendiri telah berubah. Amran bukannya ditolak oleh masyarakat kota, seperti yang dialami Sulaiman dalam Em~bun. Amran, berbeda dengan para pejuang dalam film-film sebelumnya, justru terlalu siap untuk menjadi bagian dari masyarakat kota hingga ia dengan mudah tersedot ke dalam putaran angin dahsyat masyarakat yang korup itu.

Tokoh bekas pejuang ini telah kehilangan dirinya dan ikut hancur bersama tokoh-tokoh masyarakat kota yang korup (Johny mati tertembak oleh anak buahnya sendiri). Amran bukan tokoh pejuang yang dulu lagi, baik desa maupun sang gadis tahu akan hal tersebut, karena itu tidak ada lagi ruang bagi Amran baik di desa maupun di hati bekas pacarnya. Bekas pejuang itu akhirnya kehilangan segala-galanya. Amran akhirnya melayang-layang seperti debu yang diterpa angin ke sana-kemari. Dalam T~jora~k Dunia (Bachtiar Siagian, 1956) keadaan para bekas pejuang itu bahkan sudah jauh lebih buruk. Satu-satunya tempat berlabuh bagi Djohan (Sukarno M. Noor), bekas pejuang yang cacat akibat luka pertempuran, adalah Lela (Mike Wijaya). Itu pun karena gadis cantik itu, anak tukang kopi, buta. Dan ketika menjelang akhir cerita, Lela bisa melihat -- setelah dioperasi oleh bekas komandan ~Djohan -- Djohan akhirnya kehilangan segala-galanya. Dengan penglihatannya yang baru, Lela dengan jelas bisa melihat wajah Djohan yang cacat mengerikan. Djohan tahu diri, dan menghindar dari gadis satu-satunya yang pernah mencintainya. Bagi Bachtiar Siagian, keadaan rupanya sudah begitu buruk bagi para bekas pejuang dan cita-cita serta impian mereka, hingga wajah mereka pun sudah tampil dengan mengerikan. Tapi berbeda dengan tokoh-tokoh bekas pejuang sebelumnya, tokoh rekaan Bachtiar ini mengambil pelajaran dari nasib buruknya. Di akhir cerita, Djohan sampai pada kesimpulan bahwa nasib buruknya serta kegagalan cita-cita yang diperjuangkannya bukanlah melulu lantaran faktor nasib. Perang sebagaisumber malapetaka adalah sesuatu yang lebih besar dan lebih perkasa dari nasib itu sendiri. Untuk mencegah terulangnya tragedi, perang itu sendiri yang harus dicegah. Dengan jalan pikiran seperti ini, Djohan ikut gerakan perdamaian. Yang amat menarik dari karya Bachtiar ini ialah sikap tokohnya terhadap revolusi itu sendiri. Bagi para pejuang dalam film-film sebelumnya, kemerdekaan dan perjuangan untuk merebutnya adalah urusan antara yang menjajah dan yang terjajah, sedangkan di mata Djohan masalahnya jauh lebih rumit dari sekadar itu. Penjajahan baginya disebabkan oleh adanya kapitalisme yang memuncak pada imperialisme. 

Karena itulah, Djohan ikut gerakan perdamaian, yang hakikatnya adalah gerakan yang di belakangnya berdiri orang-orang komunis. Dengan kata lain, Bachtiar Siagian -- sebagai laiknya seorang komunis -- ingin berkata bahwa jalan satu-satunya bagi keselamatan cita-cita perjuangan kemerdekaan adalah dengan mengikuti perjuangan kaum komunis. Akan lebih mudah mengerti perkembangan sikap tokoh bekas pejuang yang digambarkan Bachtiar jika kita meletakkan T~orak Dunia dalam konteks masa pembuatannya. Film tersebut diproduksi hanya setahun setelah Pemilu 1955 yang dipenuhi dengan konflik ideologi. Setiap golongan, dengan bebas dan dengan jaminan undang-undang, boleh dan bisa mengampanyekan ideologi mereka masing-masing. Dalam keadaan Indonesia yang terkoyak-koyak oleh berbagai ideolo~i itu, tidaklah mengherankan jika para bekas pejuang juga tidak terbebas dari pertentangan ideologi.~ Ini adalah zaman ketika PKI ikut mengorganisasi sejumlah para bekas pejuang ke dalam organisasi veteran yang dikuasai oleh PKI. Maka, bisa dibayangkan bahwa tokoh Djohan itu adalah bekas pejuang yang kecewa dengan keadaan dan memutuskan untuk bergabung dengan kaum komunis. 

Karena kita tidak lagi memiliki copy dari karya Bachtiar ini, satu-satunya cara untuk menduga mutu sinematis film ini adalah dengan membaca resensi yang ditulis orang pada masa film tersebut dilepaskan ke dalam masyarakat. Pada resensinya terhadap film ini, Sitor Sitomurang antara lain menulis: Film ini sebagai keseluruhan memperlihatkan kemungkinan-kemungkinan baru jang menggembirakan dan menimbulkan harapan. Walaupun pilihan serta pengolahan ceritanja masih menurut resep biasa, bersifat melodrama, sedang perkembangan dan saat psikologisnja tidak selalu diselesaikan atau tjukup dipersiapkan, kekurangan-kekurangan jang umum pada penulisan skenario film Indonesia, njata sekali regie dengan mengusahakan unsur-unsur filmis, dan jang terpenting lagi usaha itu dihubungkan pula dengan kemungkinan-kemungkinan filmis dari alam dan manusia Indonesia, dengan mencari ilham dari neo-realisme Italia di sana-sini, jang kesemuanja memperlihatkan hasil-hasil jang menimbulkan harapan tadi .... Mengenai ide kelihatan pula usaha sutradara memasukkan ide positif ke dalam watak-watak di dalam drama (dalam hal ini ide perdamaian jang dimasukkan secara logis) dan dalam hal ini ide asli jang hidup di antara rakjat .. Sajang bahwa susunan skenarionia terlalu banjak menggunakan teknik fla~shback. Beberapa film tentang revolusi masih dibuat sebelum periode tahun 50-an ini ditutup oleh Usmar Ismail dengan Pe~djuang (1959). Film Usmar Ismail yang menghasilkan piala pemain pria terbaik untuk Bambang Hermanto pada Mosco~w Film Festival ini berkisah tentang empat orang sahabat yang terlibat revolusi fisik. Karma (Ismed M. Noor), Amin (Rendra Karno), Imron (Bambang Hermanto), dan Seno (Bambang Irawan). Tidak terlalu banyak kisah tentang Karma karena ia lebih dulu gugur. Amin kemudian luka parah dalam suatu pertempuran, dan kepemimpinan pasukannya diambil oleh Sersan Imron, bekas jagoan Pasar Senen. Ternyata, Imron juga tertarik pada kekasih Amin, Fatimah (Chitra Dewi), seorang dari kalangan kelas menengah yang ikut mengungsi. Kelihatannya rivalitas dalam urusan pacar ini yang menyebabkan Imron tidak berkeras membawa pergi Amin ketika desa pertahanan mereka akan diserbu Belanda. Dalam pengungsian dari desa pertahanan itulah Imron merasa bebas mendekati Fatimah. Menyadari latar belakangnya yang tak sepadan dengan Fatimah, Imron merasa bahagia bisa terus mengembara dalam hutan. Katanya kepada Fatimah, "Di hutan aku tempatmu berlindung. Di kota kau tak akan melihatku sebelah mata.~" Karena itulah Imron menolak desakan Seno menyerbu kamp Belanda untuk membebaskan Amin. Bagi Imron, Seno sebenarnya hanya ingin membebaskan Latifa (Farida Arriani), adik Amin dan kekasih Seno. Bagi Seno, penolakan Imron justru bersumber pada sikap licik Imron yang ingin terus menguasai Fatimah. Imron akhirnya memimpin serangan yang membebaskan Amin dan Latifa. Untuk tindakannya membuktikan kesetiaan kepada Amin itu, Imron mengorbankan jiwanya sendiri. 

Dilihat dari sudut sinematografi, baik teknik maupun cara bercerita, Pedjuang jauh lebih sempurna dari film-film Usmar, maupun dari film-film lain yang diproduksi di Indonesia sebelumnya.

Yang barangkali bisa menimbulkan pertanyaan kecil adalah penampilan pihak Belanda yang digambarkan agak tolol pada saat menjelang akhir cerita. Begitu mudah pasukan Imron menerobos masuk ke kamp musuh yang menawan Amin dan Latifa, seakan-akan Belanda tidak tahu mereka sedang dalam keadaan perang. Tapi cara penggambaran seperti ini tentu tidak harus dipisahkan dari konteks waktu pembuatan film tersebut. Ped~juang diproduksi pada 1959, saat Indonesia kembali ke UUD 1945, saat orang mulai bicara kembali mengenai perlunya semangat 45 dihidupkan kembali. Masa itu udara dipenuhi oleh kampanye tentang perlunya solidaritas revolusi dihidupkan kembali, setelah bangsa Indonesia tercabik-cabik oleh berbagai pertentangan yang antara lain menghasilkan perang saudara di Sumatera dan Sulawesi Utara. Semangat yang melimpah ruah iNlah yang menjegal logika. Menarik untuk melihat bahwa Usmar, yang pada 1954 tampil dengan kekecewaan lewat film Lewat D~jam Malam, kini tampil dengan optimisme yang bersumber pada solidaritas di antara para pejuang. Dan untuk kepentingan itu Usmar menghindarkan diri dari berbicara tentang keadaan setelah revolusi sebagai yang digambarkannya pada Lewat D~jam M~alam. Dengan Pedjuang Usmar Ismail menerjemahkan ke dalam film semangat zamannya yang dengan penuh harapan melihat perubahan politik yang dipelopori Presiden Soekarno -- Dekrit 5 Juli 1959 -- sebagai sesuatu yang bisa mengatasi segala kekecewaan yang melanda Indonesia di tahun '5~0-an. Paruh pertama tahun '6~0-an Indonesia tenggelam dalam semangat dan slogan. Pengalaman pahit tahun '5~0-an dicoba diatasi dengan kampanye persatuan nasional yang antara lain lahir dalam bentuk Nasakom. Persatuan dan solidaritas juga diharapkan muncul dari konfrontasi dengan Belanda dalam soal Irian Barat, serta kemudian soal pembentukan Malaysia. Dalam urusan ini orang banyak berpaling ke masa revolusi, ketika kepentingan bersama berada jauh di atas kepentingan pribadi dan golongan. Dalam masa lima tahun yang tak terbebas dengan kesukaran ekonomi itu ada 13 film tentang revolusi yang diproduksi. Umumnya film-film ini mengandung semangat optimisme seperti yang dibuat pada awal tahun '5~0-an. Meski film-film ini saya golongkan pada jenis film yang berkisah mengenai manusia dalam revolusi, sebenarnya semangat film-film tersebut dekat sekali kepada jenis film kampanye pembangunan. Film terpenting dalam periode ini, tidak syak lagi, adalah Pagar Kawat B~erduri (Asrul Sani, 1961) Film yang kisahnya diangkat dari novel Trisnojuwono ini berkisah tentang sejumlah perwira TNI yang terkurung dalam suatu kamp tawanan Belanda pimpinan Sersan Mayor Kunen (Suryabrata).

Kunen adalah mahasiswa kedokteran Amsterdam yang datang ke Indonesia lantaran terkena wajib militer. Orang Belanda ini sangat cinta pada Indonesia karena selama pendudukan Belanda oleh Jerman ia berjuang dalam gerakan bawah tanah bersama seorang putra Indonesia. Kunen adalah tipe intelektual yang polos. Ia percaya saja propaganda pemerintahnya yang menganggap rakyat Indonesia masih cinta Belanda dan belum siap merdeka, dan hanya berontak karena hasutan para ekstremis pimpinan Soekarno. Konfrontasi pertama Kunen adalah dengan Mayor TNI Chairul (Sukarno M. Noor). Chairul adalah suara rakyat Indonesia yang berontak untuk mendapat kemerdekaannya. Tapi puncak krisis Kunen tercapai ketika atasannya, Letnan De Groot, menguraikan apa sesungguhnya alasan Belanda untuk tetap mempertahankan Indonesia dalam cengkeramannya. "Karena di sini ada karet, ada minyak," kata De Groot. Lewat mulut De Groot itulah Asrul Sani berbicara tentang penjajahan Belanda atas Indonesia yang semata-mata karena kepentingan modal, kapitalisme. Kapitalisme itulah yang memuncak pada imperialisme. 

Berbeda dengan Bachtiar Siagian, Asrul Sani tidak mendorong Kunen ke dalam gerakan perdamaian -- yang sesungguhnya tidak lebih dari suatu kegiatan terselubung kaum komunis -- melainkan bunuh diri. Dengah Kunen bunuh diri, Asrul ingin menunjukkan kebangkrutan kepercayaan Kunen kepada misi suci Belanda di Indonesia. Kematian Kunen merupakan simbol kekalahan imperialisme terhadap nasionalisme. Tapi kemenangan nasionalisme harus dibayar dengan mahal. Itu disimbolkan oleh kematian Mayor Chairul dan kawan-kawannya di depan regu eksekusi Belanda. Pagar Ka~wat Berd~uri menjadi menarik bukan cuma karena konfrontasi imperialisme dan nasionalisme yang dimenangkan oleh yang terakhir. Film ini juga menarik karena konflik watak-watak di kalangan kaum republiken yang berada dalam tahanan Belanda. Dan konflik ini digarap dengan baik oleh Asrul. Kita boleh menafsirkan bahwa konflik di antara para pejuang tersebut adalah sampel dari konflik-konflik yang hidup di kalangan para republiken umumnya pada masa itu. Dan konflik-konflik itulah yang di kemudian hari, setelah pengakuan kedaulatan, berkembang menjadi bibit perpecahan di kalangan para bekas pejuang. 

Secara sinematografis, karya Asrul ini rergolong yang terbaik di antara film-film yang berkisah tentang revolusi. Permainan para pemainnya, kerja kamera, pencahayaan, serta penataan artistik, semuanya tampil dengan baik dalam menciptakan suasana yang mendukung jalannya cerita. Mungkin terlalu berlebihan, tapi Pagar Kawat Berduri rasanya adalah film terbaik yang pernah dihasilkan Asrul Sani. Pagar Kawat Berduri menarik lebih banyak perhatian karena reaksi keras pers komunis dan golongan kiri lainnya terhadap karya Asrul Sani ini, ketika film tersebut memasuki pasaran pada 1963. Saat itu adalah periode tatkala pers komunis amat gencar-gencarnya menyerang lawan-lawan politiknya di berbagai sektor kehidupan, terutama kebudayaan. Dalam salah satu penerbitannya, harian Bintang Timur antara lain menulis: Betapa djelasnja prinsip "Humanisme Universil"-nja Asrul pada achirnja meletakkan tokoh Koenen (tokoh tentara Belanda) ini paling atas dan menjadikan seorang "pahlawan kemanusiaan" karena pada achirnja Koenen bunuh diri, karena kegagalan usahanja, dan djahatnja dengan prinsip "Humanisme Universil"-nja Asrul mengebiri patriotisme dan heroisme pedjuang-pedjuang revolusi. Mereka yang dengan hati terbuka menonton Pagar Kawat B~rduri jelas akan melihat bahwa yang pahlawan di sana bukan Kunen, melainkan Mayor Chairul. Kunen justru korban tragis dari kebodohannya mempercayai Ngasnya di Indonesia sebagai misi suci. Tragisnya pula, kesadarannya tentang penipuan atas dirinya oleh imperialisme justru datang dari mulut Letnan De Groot, atasannya sendiri. 

Patriotisme para pejuang Indonesia justru dijunjung tinggi oleh Asrul. Digambarkan bagaimana sejumlah tahanan melarikan diri, dengan menerobos penjagaan kamp yang ketat, hanya agar teman-teman mereka mengubah rencana penyerbuan yang ternyata telah bocor ke tangan mata-mata musuh. Dan ketika Belanda menembaki mereka yang lari, seorang pejuang, Hamid (Ismed M. Noor), dengan gagah menjadikan dirinya umpan peluru penjaga kamp agar teman-teman yang melarikan diri bisa terhindar dari pengejaran para pengawal tahanan. Cara penggambaran para perwira dan prajurit TNI yang akan dieksekusi menunjukkan keteguhan hati dan kepercayaan mereka kepada cita-cita yang mereka perjuangkan. Masih tentang keyakinan kepada cita-cita perjuangan, sebuah film menarik tampil pada 1964. Inilah film pertama dan barangkali satu-satunya yang berkisah tentang keterlibatan anak-anak remaja ke dalam revolusi.

Anak-anak usia sekolah itu menggabungkan diri dalam perjuangan dengan membentuk pasukan tentara pelajar. Peny~eb~erangan (Gatut Kusumo,1964) berkisah tentang anak TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar) yang berjuang di Jawa Timur. Cerita berputar di sekitar sebuah meriam yang harus diseberangkan melewati Kali Brantas agar tidak jatuh ke tangan musuh, di satu pihak, dan agar termanfaatkan oleh para pejuang, di pihak lain. Patriorisme dan heroisme adalah ciri dalam film ini. Semua ini bisa dimengerti hanya jika film tersebut diletakkan dalam konteks zamannya yang sedang menggebu-gebu berbicara tentang "revolusi yang belum sele~sai", dan bah~wa dengan semangat revolusi 1945 neo-kolonialisme di mana-mana harus dihancurkan. Terutama untuk keperluan masa itu neo-kolonialisme Inggris dalam rupa proyek pembentukan Malaysia. Penyebe~rangan juga memikat karena penggambaran watak yang menarik dari anak-anak remaja yang terlibat revolusi. Ditulis dan sutradarai oleh Ga~tut Kusumo, seorang komandan kompi TRIP, film ini dengan bagus berkisah tentang anak-anak kota yang bergerilya di pedesaan. Konflik antar~ Orangtua, yang masih menganggap anaknya terlalu muda untuk ikut angkat senjata, berhadapan dengan semangat muda yan~g menyala-nyala unNk ambil bagian dalam kegiatan yang heroik itu, digambarkan dengan baik dan mengharukan oleh Gatut Kusumo. Masalah yang timbul di kalangan anak-anak kota yang bergerilya di pedesaan juga tergambar dengan baik dalam film ini. Kendati hiruk-pikuk heroisme, tokoh-tokoh dalam film ini toh tetap manusia biasa. Sam (Wahab Abdi), dalam suatu penghadangan musuh, tampil dengan utuh sebagai anak dengan segala ketakutannya. "Aku terkencing (di celana)," katanya. "Ayo kita pulang," ajaknya kepada teman yang tiarap di sampingnya. Di akhir cerita, sebagian besar anak muda itu tewas setelah meriam sempat diseberangkan. Dengan penutup seperti ini Gatut Kusumo sesungguhnya hanya ingin mempertegas secara sinematis slogan yang populer masa itu dan masa-masa sebelumnya: tidak ada pengorbanan yang sia-sia. 

Semangat yang terus dipompakan lewat sejumlah slogan juga melahirkan suatu fenomena baru dalam film-film tentang revolusi di masa yang kini dikenang sebagai masa Orde Lama. Dan itu adalah gejala tampilnya wanita seba~gai tokoh utama dalam film-film tentang revolusi.~ Yang mencolok diantara film ini adalah Mad~u Tak Gentar (Turino Djunaedi, 1964). Dalam kebanyakan film tentang revolusi sebelumnya, wanita pada umumnya hanya tampil sebagai gadis palang merah (Darah dan Doa), kurir bagi gerilya yang berada di luar kota (Enam DJam di~ Jog~ja), sebagai gadis yang merawat gerilya yang tertinggal pasukannya (Debu Revolus~i), sebagai gadis yang menjadi "embun" yang menyejukkan hati para bekas pejuang yang kecewa dan disilusi se~telah perjuangan fisik berakhir (Embun).

Dalam Mad~ju Ta~k Gentar wanita sudah menjadi bagian dari pasukan tempur. Bahkan pasukan komando yang masuk kota menghancurkan mata-mata musuh. Wati (Sri Rejeki) dalam film ini digambarkan bagaikan wonder ~woman yang memainkan peranan jauh lebih hebat daripada pria. Selain memimpin pasukan komando, lengkap dengan pisau yang diikat di paha, untuk membunuh agen musuh (dimainkan oleh Farouk Afero) di kota, ia juga menjadi komandan untuk menghancurkan rel kereta api yang membawa pasukan dan suplai musuh. Sekali lagi, peranan wanita yang menonjol ini hanya mungkin dimengerti jika film tersebut diletakkan dalam konteks zamannya. Pada masa film ini dibuat paling sedikit ada dua hal yang memungkinkan wanita muncul secara mencolok dan penting dalam film. Pertama, ini adalah masa ketika Herlina tampil sebagai model bagi banyak wanita yang diharapkan ikut memainkan peranan pada masa itu. Herlina adalah wanita anggota barisan sukarelawan pembebasan Irian Barat yang ikut terjun di wilayah musuh. Untuk itu, ia segera menjadi tokoh penting.~ Kedua, masa Orde Lama adalah masa yang menyaksikan banyaknya film buatan negara sosialis yang berkisah tentang Perang Dunia II di Eropa dan peranan kaum partisan dalam perang tersebut. Banyak di antara film tersebut menampilkan wanita sebagai tokohnya. Pengaruh dari film asing inilah,antara lain, yang memungkinkan lahirnya Madju Ta~k Gentar. Satu catatan lagi tentang Madju Tak G~nta~ inilah satu-satunya film tentang revolusi yang menampilkan adegan perayaan Natal. Laksmi (Conny Suteja) adalah seorang anggota pasukan yang beragama Kristen. Ia digambarkan sedih sekali menjelang Natal. Teman-temannya tidak membiarkannya bersedih, dan sebuah kejutan pun direncanakan: perayaan Natal untuk Laksmi yang dihadiri oleh semua anggota pasukan. Saya ingin melihat adegan Natal ini sebagai realisasi satu dari banyak slogan yang dipompakan pada masa itu: persatuan. 
 
Di kemudian hari anjuran persatuan demikian muncul dalam bentuk kampanye kerukunan beragama. Dalam masa Orde Lama ini juga lahir film Antara Timur Barat (Turino Djunaedi, 1963). Film yang lebih merupakan propaganda perlunya kaum Indo (peranakan Belanda) diterima oleh bangsa Indonesia sebagai satu bagian dari mereka amat mengingatkan kita pada film Fri~da (1950). Sulit bagi saya meletakkan film ini dalam konteks zamannya. 

Besar dugaan saya Turino Djunaedi membuat film tersebut terutama untuk memanfaatkan popularitas Suzzanna. Secara sinematis kedua film Turino Djunaedi itu belumlah pantas digolongkan ke dalam film yang bisa dianggap bercerita dengan baik. Kelihatan sekali bahwa kedua film tersebut dibuat dengan kurang imajinasi. Cerita terpotong-potong dalam adegan-adegan pendek yang sarat dialog. Penataan artistik miskin, tata busananya anakronistis. Film ini juga disisipi dengan beberapa lagu yang waktu itu amat populer. Yang menyanyikannya juga penyanyi populer masa itu: Alwi dan Oslan Husein. Kedua penyanyi tersebut memang ikut bermain dalam film-film tersebut. Tokoh-tokoh dalam film ini juga amat hitam putih. Kontras antara yang jahat dan yang baik sungguh bagaikan siang dan malam. Keadaan inilah yang menyebabkan film ini tidak memancarkan suatu suasana zaman revolusi sebagai yang bisa kita rasakan dari karya Usmar Ismail, Asrul Sani, atau Bachtiar Siagian. Di tahun-tahun ketika film Indonesia telah gemerlapan dengan warna yang tampil dengan layar lebar, film-film yang berkisah tentang revolusi ada juga beberapa yang sempat diproduksi. Tapi pada umumnya film-film tersebut saya golongkan dalam jenis dokudrama yang akan saya bicarakan pada bagian akhir tulisan ini. Film tentang revolusi buatan tahun 70-an yang saya anggap tergolong dalam jenis film yang terutama berkisah tentang manusia dalam revolusi adalah Perawan di S~ektor Se~latan (Alam Rengga Surawijaya, 1971) dan L~ewat T~engah Malam (Sjumandjaja, 1972). Alam yang mengaku memang paling senang membuat film tentang revolusi -- ~film tentan~g revolusi mudah dibikin, tokohnya jelas kontras"~ -- dalam P~era~wan d~i Se~tor Selatan bercerita tentang panik dan konflik yang timbul dalam satu pasukan di sektor selatan akibat disusupinya pasukan tersebut oleh seorang mata-mata musuh. Mata-mata itu sendiri mempunyai cerita yang juga tidak kurang menarik. Laura (Farida Feisol) adalah gadis Indo yang keluarganya diobrak-abrik rakyat di awal revolusi. 
 
Laura melihat ibunya disiksa. Inilah yang menimbulkan dendam pada diri Laura. 

Alam Surawijaya memberi kesempatan Laura melampiaskan dendamnya dengan cara menjadi mata-mata tentara Belanda yang juga aktif menyebarkan desas-desus. Ha~sil kerja Laura cukup berhasil. Kekacauan, bahkan pertikaian berdarah, sempat terjadi di sektor selatan itu. Yang dikisahkan Alam tentu saja bukan cuma kelihaian perang urat saraf Belanda. Alam juga berkisah dengan meyakinkan mengenai konflik antara laskar dan pihak TNI. Konflik historis laskar lawan TNI -- khas Jawa Barat masa revolusi -- yang dikisahkan Alam. Konflik mendapatkan bentuknya yang kongkret sebagai hasil kerja Laura, agen perang urat saraf Belanda. Dalam film ini juga ada konflik kecil antara seorang Cina dan anak gadisnya. Putri Cina ini jatuh cinta kepada seorang anggota pasukan di sektor selatan itu. Oran~g Cina ini merasakan dirinya tidak terlibat dalam urusan bangsa Indonesia, sedang anak gadisnya menganggap dirinya bangsa Indonesia. Ternyata, orang Cina itu juga mata-mata Belanda dan berperan dalam suksesnya operasi Laura. Yang dikisahkan Alam tentang orang Cina di zaman revolusi ini bukanlah suatu fantasi, tapi yang menarik ialah ditampilkannya gadis Cina yang berpihak kepada perjuangan Republik. Meski dalam adegan keluarga Cina ini dialogdialog yang ditulis Alam terasa kaku dan sloganistis, sikap sutradara terhadap masalah Cina di Indonesia tidak bisa lebih jelas. Bagi Alam, mereka yang tua-tua, yang lahir di negeri leluhurnya, memang sulit diajak kompromi. Anak-anak mereka itulah yang jadi harapan bagi hari depan integrasi Cina dan pribumi. Masalah Cina yang timbul sebagai isu sampingan dalam film Alam Surawijaya ini tentulah tidak terlepas dari konteks masa pembuatan film tersebut. Cerita tentang cukong merupakan topik pembicaraan sejak awal '7~0-an. Alam nampaknya memberi bentuk dan tafsiran pribadinya terhadap isu tersebut lewat film ini. Kepanikan pasukan di sektor selatan juga barangkali harus kita lihat sebagai cara Alam menafsirkan keadaan masyarakat Indonesia pada saat film tersebut diproduksi. Awal '7~0-an, seperti kita ketahui, adalah hari-hari yang penuh kritik terhadap kebijaksanaan ekonomi pemerintahan Orde Baru. Dan kritik yang gencar itu bisa saja masuk dalam bawah sadar Alam dalam bentuk pertentangan dan kepanikan sebagai akibat masuknya modal asing yang menjadi tumpuan pembangunan Indonesia.

Dan sebagaimana filmnya yang berakhir dengan terkalahkannya agen musuh, dan terkuasainya keadaan oleh sang komandan (Kusno Sudjarwadi), bisa dikatakan --jika penyiasatan saya masuk akal -- bahwa Alam Surawijaya percaya bahwa guncangan di awal tahun '7~0-an adalah keadaan sementara yang akan segera teratasi oleh komandan pasukan.~ Pada tahun 1972 Sjumandjaja menulis cerita, skenario, dan sekaligus menyutradarai L~ewat T~engah Malam. 
 
Film yang kisahnya terjadi pada tahun '7~0-an ini berkisah tentang Lono (Rachmat Hidayat), bekas pejuang setengah baya yang cacat badani. Tokoh yang hidup membujang dalam rumah mewah dan vila mahal di Bali ini digambarkan oleh Sjumandjaja sebagai orang yang kecewa dengan kenyataan masyarakat yang dianggapnya berkembang ke arah yang bertentangan dengan cita-cita masa perjuangan. Berbeda dengan Iskandar dalam L~ewat Djam Malam yang mencoba menyelesaikan soal dengan membunuh Gunawan, bekas komandannya yang korup, Lono dalam Le~wat T~ngab Malam bertindak lebih lihai. Orang-orang korup tidak dibunuh, tetapi harta kekayaan mereka dirampok untuk dimanfaatkan bagi berbagai proyek sosial, selain untuk dinikmatinya sendiri. Perbedaan ini mungkin sekali disebabkan oleh perbedaan umur dan masa kecil kedua tokoh. Iskandar masih amat muda ketika revolusi fisik berakhir. Lono sudah jauh lebih tua pada awal '7~0-an. Iskandar adalah mahasiswa teknik ketika revolusi pecah, dan ini tentu menunjukkan latar belakang yang jauh lebih baik dari Lono yang melarat di masa kecilnya. Bisa diduga bahwa kriminalitas yang digeluti Lono di kemudian hari justru bertolak dari dendam masa kecil seorang yang dibesarkan dalam kemelaratan. Betapapun besarnya simpati sutradara kepada Lono, tokoh bekas pejuang ini tetap saja bukan orang bersih seperti Iskandar dalam L~~ewat Djam Malam. Lono, dengan merampok para koruptor dan manipulator, adalah orang yang ikut makin mengacaukan keadaan dengan melanggar aturan yang ada. Tapi pelanggaran ini juga bisa dilihat sebagai bukti adanya krisis kepercayaan terhadap aparat hukum yang tidak lagi berdaya menangani merajalelanya para manipulator dan koruptor. Yang terakhir ini diberi tekanan tambahan oleh sutradara lewat tokoh Sukma (Rima Melati), putri seorang penegak hukum yang ayahnya jadi korban usahanya membasmi korupsi. Sukma ditampilkan Sjumandjaja sebagai seorang yang bekerja sama dengan polisi untuk melacak kegiatan kriminal Lono. 
 
Di sini pulalah dilema yang dihadapi sutradara. Sjumandjaja mencintai Lono dan Sukma, tapi kedua orang ini mempunyai kepentingan yang bertentangan. Lono adalah lambang kekecewaan pada revolusi yang hanya menghasilkan koruptor dan manipulator. Sukma, sebaliknya, adalah lambang tekad untuk membasmi segala macam penyelewengan itu. Tidak sulit untuk mengerti bahwa ada persamaan cita-cita antara Lono dan Sukma. Perbedaan mereka hanyalah pada cara Lono melaksanakan cita-citanya. Cara Lono yang melanggar hukum itulah pula yang meletakkannya dalam posisi bertentangan dengan Sukma. Persamaan cita-cita mereka digambarkan dengan bagus oleh Sjumandjaja dalam bentuk timbulnya cinta antara Lono dan Sukma. Dan sebagai penghormatan kepada bekas pejuang yang kecewa, Sjumandjaja tidak membiarkan Lono mati konyol. Pada akhir cerita, tatkala Lono tidak lagi sanggup menghindarkan diri dari polisi, bekas pejuang ini dengan gagah menyerahkan sendiri tangannya untuk diborgol. Jika L~ewat Tengah Malam diletakkan pada konteks masyarakat pada saat film tersebut diproduksi, yakni masa ketika secara terbuka muncul banyak kecaman kepada pemerintah yang kemudian hari memuncak dalam apa yang kemudian dikenal sebagai mala petaka Januari (Malari) di tahun 1974, pesan film ini jelas.

Sjumandjaja berpendapat bahwa yang mengkritik pemerintah juga tidak bebas dari noda. Karena itulah, yang sebenarnya pahlawan dalam film ini bukanlah Lono melainkan Sukma. Sukma, yang berhasil menggiring Lono ke tangan polisi, meski unNk itu Sukma juga harus menderita, sebab orang yang dicintainya akhirnya harus menyerahkan tangannya untuk diborgol. Kendati kisahnya yang serius dibanding dengan cerita-cerita murahan yang umumnya ditampilkan oleh film-film Indonesia masa itu, L~ewat Tengah Malam secara sinematis bukannya tanpa cacat. Dalam resensi terhadap film ini, antara lain saya menulis: Adegan flash back tidak mentjapai efek jang diinginkan kecuali hanja mendjadi sumber informasi visual ... kalimat-kalimat jang merangkai dialog dalam LTM ini kadang-kadang terlalu literer. Kadang-kadang Sjuman kurang disiplin dalam mentjipta tokohnja melalui dialog-dialog itu, sehingga nostalgia dan romantisme jang kental itu achirnja meleleh begitu sadja .... Dialog-dialog mendjadi hambar dan kehilangan makna karena diucapkan dengan emosi jang lembek .... Sebagai sutradara Sjumandjaja tidak seteliti sebagai penulis skenario. Kelihatan sekali bahwa dalam menangani pemainnja ia terlalu memusatkan perhatian hanja pada pelaku utama, dan membiarkan pelaku lain mengatur diri sendiri. Pada tahun '8~0-an muncul dua film dengan latar belakang revolusi yang bisa digolongkan ke dalam jenis film tentang manusia dalam revolusi. Tapi bagi mereka yang dengan saksama mengikuti perkembangan film Indonesia dan film-film asing yang beredar di negara ini, kedua film tersebut, Pasukan Berani Mati (Imam Tantowi) dan Lebak Membara (Imam Tantowi), tidaklah lebih dari tiruan film-film silat Hong Kong dan film adventure macam Missing in Action dan Rambo. Kedua film ini hanyalah mengambil latar belakang revolusi untuk memberi tempat adegan perkelahian ala silat Hong Kong (Leba~k Membara) dan pameran efek khusus ala Rambo (Pasukan Berani Mati). Ini adalah contoh film-film yang dibuat dengan formula film asing yang menguasai pasaran sehingga anakronisme sejarah tidak jadi soal yang dianggap mengganggu. Yang penting dalam film-film buatan Imam Tantowi ini bukan revolusi, bukan pula manusia yang terlibat di dalamnya. 
 


Film ini terutama diproduksi untuk mempertontonkan perkelahian ala Hong Kong dan pameran efek khusus yang menakjubkan penonton. Men~gawetkan Se~jarah ~Film pertama yang dengan mudah digolongkan ke dalam jenis doku~~drama adalah Enam Djam di ~Jogja ~~(Usmar Ismail, 1950). Film ini ber~kisah tentang pendudukan Kota Yogya pada perang kemerdekaan kedua (1948-1949) dan kegiatan para pejuang di dalam dan di luar kota. Tokoh utama cerita ini adalah Kota Yogyakarta sendiri, tapi cerita itu sampai kepada penonton terutama lewat penampilan para aktivis gerakan bawah tanah pimpinan Mochtar (Del Yusar). Cerita menjadi menarik oleh tampilnya tokoh orangtua (R. Ismail), ayah seorang komandan gerilya, yang masih saja menginginkan kembalinya zaman normal dan bosan dengan perjuangan yang tak kunjung selesai. Konflik manusiawi seperti itu juga dimunculkan oleh Usmar dalam film Ped~juang lewat tokoh ayah (Jusman) sembilan tahun kemudian. Di tahun 1950 kebencian Usmar kepada orangtua yang tak kunjung menyadari perubahan zaman begitu masih menggebu-gebu sehingga tokoh tua itu harus dikorbankan. Hal yang tidak terjadi pada tokoh ayah dalam Pedjuang. Berbeda dengan film ~Janur Kuning, (Alam Surawijaya) -- yang juga berkisah tentang Yogyakarta di masa yang sama, dalam Enam Djam di ~Jogja tokoh-tokoh historis sama sekali tidak tampil. Penonton tahu bahwa yang memimpin serangan umum ke Kota Yogya adalah Overste Soeharto meskipun Soeharto sendiri tidak pernah tampil. Sebaliknya, dalam .~anur Kuning, yang diproduksi akhir '70-an, baik Soeharto maupun Panglima Besar Sudirman tampil secara mencolok. Karena itulah, yang sebenarnya lebih memenuhi syarat disebut dokudrama adalah ~Janur Kuning. Mungkin itu pulalah sebabnya karya Usmar yang satu ini lebih menyentuh dari karya Alam Surawidjaya. 

Baik Usmar maupun Alam keduanya juga menghasilkan film jenis dokudrama lainnya. Usmar Ismail membuat Toba Pabla~an Bandung Selatan (1962), yang berkisah mengenai kepahlawanan Mohammad Toha di daerah Bandung Selatan di awal revolusi. Sayang, jejak film ini, baik dalam bentuk film maupun tulisan, tidak lagi mudah ditem~kan. Karya Alam Surawijaya yang tergolong dokudrama adalah Bandung Lautan Api (1975). Dalam salah satu resensi tentang film yang diproduksi Kodam Siliwangi ini, antara lain tertulis: Film macam ini biasanya kurang menguntungkan secara komersiil, karena itu ditempuh jalan kompromi: setengah dokumenter, selebihnya khayalan. Hasilnya, ya, begitulah. Dan Alam Rengga Surawidjaja yang menyutradarainya terpaksa tidak sanggup mengimban~gi karya terdahulunya: Perawan di Se~ktor Selatan. Bandung Lautan Api menjadi lebih menarik karena pada pembuatannya Kodam Siliwangi memegang peranan besar. Hal yang sama juga terjadi pada pembuatan film Mereka Kembali (Nawi Ismail, 1972). Film yang mengisahkan kembalinya pasukan Siliwangi dari Jawa Tengah pada awal perang kemerdekaan kedua ini bernilai jauh di bawah Darah dan Doa, yang berkisah tentang hal yang sama. Selain karena karya Nawi Ismail ini terlalu banyak dipengaruhi film action asing yang beredar awal '7~0-an -- pengaruh The Dir~ty Dozen amat terasa dalam film ini -- Mereka Kembali juga tidak berhasil mencapai kedalaman tragedi manusia dalam revolusi seperti yang nampak akan dicapai. Terlalu banyak yang akan dikisahkan oleh Nawi, akhirnya ia hanya bercerita secara datar tentang rombongan tentara yang pulang kandang. Keterlibatan tentara dalam mengawetkan sejarahnya sendiri sebenarnya sudah terjadi jauh sebelum Siliwangi terlibat dalam pembuatan dua film yang disebutkan tadi. Kodam Hasanuddin, pada tahun '6~0-an, bahkan menjadi produser tunggal film Teror di Sulawesi Selatan (Bambang Hermanto, 1964). Di kemudian hari keterlibatan tentara dan pemerintahan sipil dalam pengawetan sejarah dalam benNk film menjadi umum adanya. Pihak pemerintahlah (PPFN) yang memungkinkan lahirnya film dengan biaya besar seperti Serangan Fajar (Arifin C. Noer, 1982). 

Demikian pula halnya dengan film Wolter Monginsidi (Franky Rorimpandey, 1983), yang mencoba mengawetkan sejarah perjuangan seorang tokoh pemuda pejuang di Sulawesi Selatan pada hari-hari terakhir revolusi, sulit terlaksana tanpa bantuan keuangan dari pemerintah. Alangkah berbedanya gejala ini dengan keadaan pada awal tahun '5~0-an, ketika Usmar Ismail, dengan modal sendiri, membuat Enam Djam di Jog~ja. Pembuatan dokudrama di kemudian hari terutama, saya kira, didorong oleh perasaan tak ingin dilupakan oleh sejarah, sambil sekaligus melaksanakan, apa yang lazim disebut "pewarisan nilai-nilai perjuangan". Apa pun alasan pembuatannya, sebuah film akan tetap patut dipuji jika ia memang digarap dengan baik. Dan di antara jenis dokudrama itu, selain Enam Djam di ~Jogja, maka yang juga patut dipuji adalah Serangan Fajar. Karya Arifin C. Noer ini terdiri atas empat episode, masing-masing peristiwa bendera di Gedung Agung, pertempuran Kotabaru, penyerbuan lapangan terbang Maguwo, dan serangan fajar atas kota-kota yang diduduki Belanda. Empat episode ini semuanya terjadi di awal revolusi. Pertempuran Kotabaru adalah pertempuran pemuda-pemuda Yogyakarta -- antara lain dipimpin oleh pemuda Soeharto (sekarang Presiden Soeharto) -- melawan Jepang yang enggan menyerahkan senjatanya. Dengan senjata-senjata rampasan itu, di bawah pimpinan pemuda Soeharto, para pemuda menyerbu lapangan ~terbang Maguwo yang masih diduduki Jepang. Lapangan terbang dan pesawat-pesawat yang tersita oleh pemuda itu kemudian diserahkan kepada penerbang Adisucipto, yang di kemudian hari terkenal sebagai Bapak Angkatan ~Udara Republik Indonesia. Dengan pesawat-pesawat rampasan itulah para pemuda AURI melakukan pengeboman atas Kota Semarang, Salatiga, dan Ambarawa yang masih dikuasai Belanda. Sebagai perangkai empat episode ini, Arifin memunculkan anak kecil yang bernama Temon.

Temon adalah anak tunggal keluarga miskin yang ayahnya dibunuh oleh kenpetai Jepang. Lewat Temon inilah penonton berkenalan dengan tokoh-tokoh fiktif dalam karya Arifin ini. Salah satu tokoh fiktif tersebut adalah Romo (Amoroso Katamsi), seorang, bangsawan Jawa yang dilanda perubahan sosial akibat revolusi. Penonton berkenalan dengan Romo lewat Ragil, paman Temon, yang bekerja sebagai abdi (jongos) keluarga Romo. Perubahan sosial yang menyertai revolusi memecah keluarga Romo ke dalam dua golongan. 

Golongan yang sadar dan menyadari tanda-tanda zaman dipimpin oleh Romo yang disertai dua anaknya, Danur, yang ikut bergerilya, dan Sito, yang jatuh cinta kepada Ragil, bekas pembantunya. Golongan yang menantang perubahan dipimpin oleh istri Romo, disertai oleh Darun, salah satu putri keluarga bangsawan tersebut. Ibu dan Darun menentang Sito pacaran dengan Ragil. Terhadap keberatan Ibu mengenai perbedaan derajat antara Sito dan Ragil, Romo berkata, "Saat ini kita tidak akan lagi bisa membedakan yang mana abdi, yang mana ndoro." Dan kepada Ragil, Danur yang ikut berjuang memohon agar ia tidak lagi dipanggil D~en (singkatan dari Raden). Di sini kelihatan semangat egaliter yang merasuki Romo, Danur, dan Sito. Agar konflik dalam keluarga Romo tidak terlalu sederhana, Arifin menjelaskan latar belakang tokoh Ibu. Ternyata, sang Ibu adalah perempuan dari kalangan rendahan yang mengalami mobilitas vertikal akibat perkawinannya dengan Romo. Justru karena latar belakang itulah Ibu tidak ingin Sito kawin dengan Ragil, sebab itu hanya akan menurunkan derajat keturunan Ibu yang sudah naik lewat perkawinannya dengan Romo. Ketakutan akan turunnya derajat itulah yang menyebabkan Ibu bersikeras menghalangi hubungan Sito dengan Ragil. Cara yang ditempuh Ibu adalah mengusir Ragil. Pengusiran inilah yang menyakitkan hati Danur hingga ia akhirnya meninggalkan rumahnya dan Bergabung dengan para pejuang. Berbeda dengan Naga Bonar, yang menyelesaikan masalah perubahan sosial zaman revolusi dengan membiarkan Naga Bonar, yang bekas copet, kawin dengan Kirana, yang putri dokter, Arifin tidak mengakhiri kisahnya dengan perkawinan antara Ragil, yang abdi, dan Sito, yang bangsawan. Lamaran Ragil, lewat surat, memang diterima oleh Romo, dan baik Romo maupun Sito keduanya siap menerima Ragil dalam keluarga mereka.

Tapi surat lamaran tiba beberapa hari setelah Ragil tewas dalam pertempuran Semarang. Perkawinan antara Putri bangsawan dan bekas abdinya belum sampai terjadi. Namun, ini tidak berarti bahwa tak terjadi Suatu perubahan besar dalam masa itu. Kejadian besar dalam bentuk perubahan sosial itulah yang tetap tidak dimengerti Ibu sehingga ia akhirnya menjadi gila. Darun sendiri terhukum oleh sikapnya yang menentang perubahan zaman. Arifin menghukum Darun (dimainkan oleh Jajang C. Noer) dengan menjadikan tokoh ini menghilang setelah meninggalkan bayi yang lahir dari hubungan gelapnya dengan serdadu pendudukan Belanda. Bayi yang ditimang dengan penuh kasih sayang oleh Romo adalah lambang harapan Arifin akan datangnya kesadaran terhadap perubahan zaman, yang tentu saja diharapkan akan sepenuhnya dihayati oleh bayi yang bakal tumbuh dalam alam kemerdekaan. Jika Serangan Fa~~ja~r mempunyai nilai tambah selain nilai mengawetkan sejarahnya, saya kira nilai tersebut terletak pada kisah yang muncul akibat adanya tokoh Temon. 

Tidak syak lagi, yang paling menarik dan paling penting dari beberapa kisah itu adalah kisah keluarga Romo tadi. Keluarga Romo adalah satu prototipe keluarga kelas atas yang guncang oleh perubahan sosial mendadak akibat revolusi. Keluarga seperti ini ada di mana-mana di seluruh Indonesia. Kisah-kisah seperti itulah yang justru kurang diungkapkan sehingga akibat revolusi terhadap unit-unit kecil masyarakat tidak banyak tampil di layar putih kita. Kisah keluarga Romo ini pun masih kurang rapi ditangani oleh Arifin. Sebagai penonton, kita melihat permainan mata Ragil dan Sito justru sebelum revolusi memperlihatkan dampaknya. 

Sedemikian rupa, sehingga bisa saja ditafsirkan bahwa hubungan Sito dan Ragil adalah akibat cinta buta sang gadis bangsawan dan sikap tak tahu diri si abdi. Dan sama sekali bukan lantaran adanya semangat egaliter sebagai dampak revolusi. Penutup Revolusi kemerdekaan Indonesia adalah pacu raksasa yang telah meledakkan perubahan sosial paling besar yang pernah dialami bangsa yang mendiami Nusantara ini. Sebagian kecil perubahan besar itu telah tertangkap dalam sejumlah film Indonesia. Mungkin karena jarak kita yang masih terlalu dekat dengan masa itu sehingga perubahan yang tertangkap pada umumnya masih bersifat lahiriah. Itu pulalah sebabnya, yang banyak tampil adalah adegan pertempuran, adegan konfrontasi antara Belanda dan pihak pejuang. Belanda senantiasa digambarkan amat hitam, banyak kali tampak dungu, sedang sifat-sifat yang agung menjadi monopoli para pejuang. Dengan kata lain, para pejuang yang tampil -- juga Belanda yang dimunculkan -- pada umumnya belum lagi manusia yang utuh. Dengan berangsur-angsur mundurnya generasi yang secara fisik terlibat dalam revolusi, kisah yang lebih manusiawi tentang revolusi secara perlahan-lahan bekal menyelip ke layar putih kita. Dengan film Naga Bonar, sesungguhnya era baru sudah menyongsong kita. Dalam tahun-tahun mendatang kita berharap akan lahirnya film-film tentang revolusi yang berkisah tentang berbagai macam manusia dengan watak, persoalan, dan konflik masing-masing. Revolusi Indonesia yang berlangsung singkat itu, tidak meragukan lagi, adalah gudang yang sarat berisi banyak kisah yang menanti saatnya untuk tampil di layar putih. Sebelum sepenuhnya era itu bersama kita, sebaiknya kita bersiap-siap menyongsong lahirnya sejumlah film dari jenis dokudrama. Mereka yang pernah berbuat banyak di zaman yang amat menentukan itu nampaknya tak ingin dilupakan oleh mereka yang datang kemudian. Sama sekali tidak ada buruknya keinginan tersebut, sepanjang penggarapan film-film dokudrama dilakukan dengan baik dan tidak memperindah apa yang sebenarnya kurang cantik. Bila pemolesan terhadap sejarah dilakukan juga, apa yang sebenarnya buruk akhirnya malah akan lebih jelek saja. Karena itu, baiklah dipegang sikap untuk membiarkan apa yang telah menjadi bagian sejarah, agar abadi adanya. Biarlah generasi mendatang yang mencoba menghindari kesalahan masa lalu dengan belajar dari pengalaman generasi pendahulunya. Adapun film jenis-jenis kampanye pembangunan, sejarah perfilman Indonesia sendiri membuktikan bahwa usia jenis film demikian pendek adanya. Di tengah-tengah hiruk-pikuknya. propaganda lewat televisi yang ditonton dari Banda Aceh hingga Jayapura, barangkali memang film jenis kampanye pembangunan dirasakan tidak efektif lagi oleh berbagai pihak. Yang punya masa depan jelaslah film yang mencoba berkisah tentang manusia dalam kancah revolusi. Film seperti inilah yang masih akan terus diproduksi di masa-masa mendatang. Revolusi Indonesia terlalu besar maknanya bagi bangsa Indonesia untuk tidak menjadi bahan menarik bagi perfilman di negeri ini. Dan setiap sebuah film tentang revolusi diproduksi, setiap itu pula sebuah kisah kontemporer tentang kita beredar dalam masyarakat. Dalam hal inilah film memainkan peran sebagai "dokumen" yang mencatat sikap kita tentang revolusi, tapi juga suasana jiwa pikiran kita tatkala film tersebut diproduksi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar