Menampilkan postingan yang diurutkan menurut tanggal untuk kueri Permainan yang Nakal. Urutkan menurut relevansi Tampilkan semua postingan
Menampilkan postingan yang diurutkan menurut tanggal untuk kueri Permainan yang Nakal. Urutkan menurut relevansi Tampilkan semua postingan

Selasa, 25 Desember 2012

NURNANINGSIH ( Boom Sex Pertama)

Lahir di Wonokromo, Surabaya. Pendidikan : SLA sampai Kelas I; kursus bahasa Inggris di Ellenschool (berijazah), di Lembaga Indonesia Amerika (berijazah), senam joga, les piano (satu tahun.Muncul pertama kali dan langsung sukses dalam film "Krisis" (1953) yang laris. Menyusul kemudian film-film "Harimau Tjampa" (1953), dan "Kelenting Kuning" (1954), Sekitar tahun-tahun itu Nurnaningsihpernah dihebohkan sebagai bintang sex Indonesia, yang berani berpose polos, diluar film. Setelah menyelesaikan "Kebun Binatang" (1955) namanya tidak pernah terdengar lagi di dunia film sampai tahun 1967.Pada 1968 muncul kembali sebagai figuran dalam "DjakartaHongkong Macao", kemudian meningkat menjadi Pemain Pembantu dalam film-film "Orang Orang Liar" (1969), "Bernafas Dalam Lumpur" (1970), "Derita Tiada Achir" (1971), "Samtidar" (1972). Sedangkan "Seribu Janji Kumenanti" (1972) merupakan film pertama yang diperan utamainya sejak pemunculan kembali ke dunia film. Juga muncul dalam "Kembang Kembang Plastik" (1977),"Donat Pahlawan Pandir" (1978) dan "Bayang-Bayang Kelabu" (79).

Selama menghilang dari dunia film (1955-1967) Nurnaningsih mengembara dari satu kota ke kota lainnya di Indonesia dengan bermain sandiwara dan menyanyi. Juga bermain sepakbola sebagai kiper selama 6 tahun. Disamping itu dia gemar melukis. Selain film, kegiatannya selama tahun-tahun terakhir ini adalah menjadi penjahit serta memberi macam-macam kursus, dari bahasa Inggris sampai memberi pelajaran berhitung kepada anak-anak.

 
1 September 1953
SEBENARNYA ruwet meng-apa – siapakan artis-artis film yang baru! Ruwetnya karena terlalu riskan bicara tentang “mukabaru”. Muka-muka baru yang sekelibat pula terlihat. Belum tentu mukamuka baru itu continue terlihat terus di putih-hitam. Karena kestabilannya masih akan ditentukan oleh si pembikin si pembikin film dan publik.
 
Biarpun begitu  siapa “muka baru” Nurnaningsih diproduksi PERFINI “Krisis” tentu dijawab. Jawabnya bukan penjumlahan tanggal – tahun tempat lahir – belajar di mana – bekerja di kantor apa, dan sebagainya yang konvensional. Tetapi dicoba meneropong Nurnaningsih dari segi yang lain.

Perkanalan saya dengan si “muka baru” Perfini ini membuat saya lebih banyak bingung dan menjadi kurang waras. Kawan-kawan – saya jangan lantas ditertawakan. Bukan bingung dan menjadi tidak waras karena Nurnaningsih qua fisik menarik dan qua face – memang mempunyai camera face yang tidak sering diketemukan dengan begitu saja.

Tetapi – dia artis segala macam (kata orang yang tahu!)   – melukis – menyair – menyanyi – dan ditambah pula dengan yang baru…… bermain di film. Sampai kemana Nurnaningsih kulatitatif tentang seni-seninya di atas dikenal oleh umum saya belum berani bicara. Menurut kawan yang lebih dekat kepadanya (Kawan itu rekan Nurnaningsih): Nur – mempunyai banyak ambisi – kalau mengenai hal-hal seni. Sayangnya – ya memang dia melukis dan bersuamikan pelukis yang cukup terkenal. Tetapi bisa melukis dan bersuamikan pelukis belumlah berarti sudah jadi pelukis. Kemudian bersepak terjang terlalu bebas sebagai artis buat memberikan aksen kenilai artisannya itu. Ini salah, kata kawan itu. Bukan artis itu sendiri yang mesti mengecap dirinya adalah artis! Biar artis apa saja!

Itu juga paham saya kepada kawan dekat Nurnaningsih itu. Dan Nur – sebagai manusia biasa dalam pergaulannya sehari-hari mempunyai “mata-angin” yang tidak konstan.


20 Oktober 1954
PERISTIWA foto-foto telanjang dari bintang film Nurnaningsih yang diedarkan di ibukota sekarang ini bukanlah suatu hal yang mengejutkan sebenarnya, jika kita mau memperhatikan cara hidup dan cara bergembira para pemain film kita pada waktu-waktu belakangan ini dan jiwa kita mau menerima bahwa cara hidup dan cara bergembira itu sebagai kongkretisasi dari pikiran dan pandangan hidup seseorang. Hal inipun dibuktikan oleh ucapan Nurnaningsih sendiri yang mengatakan, bahwa dia tidak bermaksud memerosotkan kesenian ataupun bahwa dia bukanlah tidak berakhlak ataupun rusak moral, tapi semata-mata hendak melenyapkan segala pandangan kolot yang masih terdapat dalam kesenian Indonesia.

Bukalah lembaran-lembaran majalah Film Indonesia, perhatikanlah gambar-gambar nya dan bacalah apa-apa mengenai bintang-bintang film tersebut. Kita akan melihat gaya yang dibuat-buat, tampan-tampan yang dibentuk menurut cap Holliwood tapi secara tidak tepat dan berlebih-lebihan, kita akan melihat bagian-bagian tubuh yang sengaja mau ditontonkan. Kita akan melihat dansa-dansa dan pelukan-pelukan menggairahkan oleh karena tidak biasanya, kita akan membaca hobi-hobi bintang-bintang film yang sengaja dipilihnya dalam majalah-majalah tersebut.. Intervieulah seorang bintang film, dia akan mengatasi apa-apa yang pernah diucapkan oleh rekan-rekannya. Titien Sumarni menyatakan di Medan, bahwa dia tidak keberatan dicium. Kalau nana Mayo nanti diintervieu oleh wartawan  medan, pasti dia akan melebihi lagi keberanian ucapan Titien.

Sebab dari keadaan ini ialah: kita hanya meniru dan dalam meniru itu kita memalingkan muka ke Holliwood Amerika. Di mana sebenarnya hanya ada sedikit sekali kesenian dan hanya sedikit sekali ada daya kreatif. Di sana hanya ada pengembangan naluri-naluri primitif secara intensif, pengembalian cara hidup dan cara berpikir ke masa manusia belum mengenal kebudayaan. Di sana dipaksakan adanya satu dunia mimpi dimana pikiran-pikiran seperti pikiran Nurnaningsih itu mengalami kelegaan bernafas untuk penghabisan kalinya sebelum musnah dilindas oleh arus pikiran-pikiran baru yang lahir dari alam pemikiran kreatif.

Kita lihat Italia, yang sesudah Perang Dunia II dengan cepat memuncak daya kreatifnya dan menciptakan film-film yang mengagumkan seluruh dunia. Dalam sukses itu mulailah mereka meniru, mula-mula mengambil oper pikiran-pikiran Holywood kemudian tidak boleh tidak menyusul cara hidup yang disempurnakan dengan munculnya Hollywood baru di tepi sungai Tiber. Berangsur lenyaplah neo-realisme Italia yang mengagumkan, bertukar dengan realita daging Gina Lollobrigida yang mengalahkan Mariln Monroe. Bahkan Vittoria de Sica yang besar itupun terseret ke dalam arus peniruan ini dan keluar dalam film “Bread, Love and Dream”  yang oleh publik Amerika sendiripun dianggap tidak berharga selain daripada mempertontonkan gumpalan-gumpalan daging Lollobrigida.

Bahwa di lapangan kesenian adanya pribadi dan watak pribadi erseorangan dan watak keseluruhan hasil-hasil ciptaan sebagai kesatuan yang mendukung pandangan hidup dan ideologi sesuatu bangsa, itu sudah diakui dan sudah diperbincangkan berkali-kali dan sudah mulai dibuktikan dalam semua lapangan kesenian, kecuali film.

Salah satu hal yang mempengaruhi lapangan film ialah eratnya hubungn dengan keuntungan keuangan. Sukses dalam film selalu diserupakan dengan sukses keuangan. Sehingga orang melupakan sifat edukatif dari film lalu mengutamakan sifat menghasilkan uang.

Lapangan film menjadi lapangan bussiness dengan segala ekses-eksesnya. Pemain-pemain film jadi penjual-penjual gaya dan kecantikan, sampai-sampai Nurnaningsih bersedia difoto telanjang bulat dengan bayaran Rp. 200.

Bahwa dunia film kita kalau mau maju harus mendapat koreksi, terutama di lapangan pemikiran, sudahlah pasti. Di lapangan kesenian selain film, badan-badan seperti BMKS dan MSDR diharagai pemikiran-pemikirannya dan usaha-usahanya. Hal ini sedikit banyaknya merupakan koreksi yang bermanfaat. Tapi lapangan film sampai hari ini dikuasai oleh pikiran-pikiran dan usaha-usaha money-makers yang tidak tahu ukuran seni tapi cukup ahli mencari untung dengan segala tipu muslihatnya. Hal inilah yang harus dirobah dan perobahan ini terutama harus digerakkan oleh tenaga-tenaga yang masih punya pribadi di kalangan film sendiri.

Film sebagai alat pendidikan dan lapangan kerja seni, tapi juga sebagai perusahaan adala penting bagi kemajuan suatu bangsa. Maka haruslah ada satu badan tertentu yang bisa mengontrol dan mengekang usaha mem-bussiness-kan lapangan ini, sehingga jangan sampai meniru-niru Hollywood dan merupakan Batawood sekarang dengan Nurnaningsih yang menjiplak pikiran-pikiran dan laga-gaya Mariln Monroe, Lollobrigida (PL) dalam harian Patriot.

Ia Tidak Dapat Dituntut, Katanya Untuk Modal Seorang Seniman (Pelukis)
BERKENAAN dengan kenyataan-kenyataan yang diperoleh pihak kepolisian bahwa ada foto-foto telanjang dari bintang layar putih Indonesia, Nurnaningsih pada “Golden Arrow”, polisi bagian kesusilaan untuk kedua kalinya telah mendengar keterangan-keterangan Nurnaningsih.

Menurut keterangan kepolisian bagian Kesusilaan itu, pemeriksaan kedua kalinya atas diri Nurnaningsih  berlangsung selama 2 ½ jam itu, untuk sementara sudah selesai. Nurnaningsih sendiri dalam persoalan ini tidak akan dituntut.

Yang akan diselidiki lebih lanjut ialah siapakah yang telah membuat foto-foto itu dan siapakah yang mengedarkannya, karena dalam perkara ini yang bersangkutan dipersalahkan melanggar pasal 282 dari KUHP.

Menurut Polisi bagian Kesusilaan, Nurnaningsih telah menerangkan bahwa untuk tiap-tiap pengambilan foto itu ia diberi uang Rp. 200.

Atas pertanyaan-pertanyaan pers, bintang film Nurnaningsih yang juga berbakat seni lukis, menerangkan bahwa perbuatannya itu yakin telah menyediakan diri diambil fotonya dalam keadaan telanjang, bukan karena akhlaknya telah merosot, atau tidak tahu akan kehormatan diri, melainkan guna kepentingan seorang senima.
 
 1 November 1954“Rakyat Indonesia tidak mengerti” katanya yang telah menggemparkan tentang gambar-gambar telanjangnya, “Tetapi di Eropa saya sedia gambar-gambar telanjang  saya disiarkan. Rakyat Eropa lebih mengerti menghargai keindahan seni yang terdapat dalam gambar-gambar seperti itu”

Ketika dia diperiksa polisi tentang gambar telanjangnya yang tersiar itu dia berkata:
“Kalau hal ini dianggap salah, sesungguhnya ada wanita-wanita dari golongan tinggi yang patut ditangkap karena perbuatannya yang salah. Bukan saya. Karena saya melakukannya semata-mata untuk kepentingan seni,”

“Saudara lihat pakaian saya ketika menghadiri upacara pemberian hadiah bintang film di hotel Des Indes malam itu” tanyanya. “Ketika itu saya berpakaian terbuka di sebelah punggung. Maksud saya supaya aksi kelihatannya, juga untuk seni,”

Ketika Nyonya Mangkunegoro dari Solo dengan sengaja mengunjunginya di rumahnya – sebuah garasi mobil yang tidak begitu teratur letak barang-barang di dalamnya – dan meminta gambar Nurnaningsih tetapi kebetulan pada waktu itu dia tidak mempunyai foto, dia berkata: “Baiklah nanti saya kirimkan saja ke Solo,”

“Gambar yang bagaimana yang U mau, yang berpakaian biasa, yang berpakaian Yankee seperti saya pakai ini, atau lainnya?”

Dan akhirnya puncak penantangannya jelas kelihatan pada perkataannya yang berikut: yang dikatakannya kepada regisseur dan pimpinan perusahaan film tempat dia bermain dahulu: “Kalau laki-laki boleh, kenapa saya tidak?”

Memang, barangsiapa bertemu dengan dia dan melihat gerak-geriknya,  kata-katanya, pandangannya. Wim Umboh, sutradara muda Golden Arrow tempat Nurnaningsih bermain film sekarang mengatakan bahwa mula-mula dia terkejut ketika bertemu dengan wanita itu untuk pertama kalinya. Tetapi setelah berbicara dengannya, dia kagum melihat keberaniannya. Dalam melihat Nurnaningsih, tepatlah kita pergunakan perkataan Usmar Ismail: Kita harus melihat dia sebagai manusia seni, sebagai artis, tidak sebagai manusia biasa. Dia adalah “de vrouwelijk Chairil Anwar”, tetapi bukan dalam prestasi seninya. Karena walaupun lukisan-lukisan Nurnaningsih sebagai amatir cukup baik, tetapi dia belum mencapai prestasi dan kebesaran Chairil”

Setelah banyak mendengar  cerita teman-teman tentang dia dan memperlihatkannya sendiri dalam beberapa kali percakapan dan pergaulan dengan dia, saya dapat menerima kesimpulan dari USmar Ismail tentang dia, yaitu “Sinting” atau tidak normal. Barangkali dalam istilah Freud dia dapat dimasukkan ke dalam golongan hysteris. Hal ini bukan berarti penghinaan bagi Nurnaningsih, karena juga Rita Hayworth misalnya mempunyai sifat yang hampir bersamaan dan banyak pujangga-pujangga besar .

Biasanya dia dipunyai oleh orang-orang yang mempunyai ambisi besar. Dan kalau kita ingat, bahwa juga Nurnaningsih mempunyai ambisi yang besar pula, yaitu cita-cita menjadi seorang virtuoos  ulung dalam lima macam cabang seni  antaranya sebagai pemain film, pelukis, penyanyi, pemain piano, maka mengertilah kita dorongan yang terdapat dalam dirinya. Hingga sekarang dia baru menjadi seorang bintang Film yang berbakat dan lebih daripada bintang-bintang film  wanita kita lainnya seperti kata Usmar Ismail. Seorang pemain film yang sudah dapat diakui sebagai bintang film kita, seperti kata Wim Umboh.

Biar bagaimanapun juga dia adalah suatu pribadi yang interressant dan unik dan merupakan suatu obyek yang menarik apabila kita dapat menempatkannya pada proporsinya sendiri.

 

Dari Keroncong ke Klasik
Pada hari saya menulis artikel ini, dia sedang melakukan opname film Golden Arrow “Tjemburu” di mana Nurnaningsih untuk pertama kalinya memegang peranan utama dalam kariernya sebagai bintang film selama lebih dari satu tahun. Rupa-rupanya sutradaranya yang baru yaitu Wim Umboh sangat puas dengan dia.

“Nurnaningsih sangat mudah” kata Wim Umboh “Dia selalu menurut kata-kata saya. Bintang-bintang film lainnya sering membantah. Tetapi Nurnaningsih juga ada menyangkal petunjuk saya apabila saya sendiri berada di luar rel, karena kelupaan atau lainnya. Biasanya teguran selalu benar dan dapat saya terima”.

Tentang prestasinya dalam film pada waktu ini, Wim Umboh mengatakan, bahwa Nurnaningsih mempunyai kemauan yang keras. Hanya sampai sekarang dia belum mempunyai inisiatif sendiri: dalam banyak hal dia selalu harus diberi petunjuk dan contoh terlebih dahulu untuk memainkan peranannya. Rupa-rupanya dia masih belum dapat membiasakan dirinya benar-benar dalam kehidupan yang panas dengan sorotan lampu-lampu  beribu-ribu watt itu. Hal ini dapat dimengerti karena dia masih belum lama hidup dalam sinar-sinar panas demikian.

Dalam lapangan seni menyanyi, dia kini telah pula meningkat. Pada saat saya menulis artikel ini, dia sedang melakukan latihan menyanyikan lagu-lagu klasik di studio RRI. Hal ini adalah langkahnya yang pertama terjun ke dalam dunia klasik. Ketika bercakap-cakap dengan Nyonya Mangkunegoro di rumahnya malam kemarin dan sampai kepada soal menyanyi, Nurnaningsih mengatakan: bahwa dia sekarang menyanyikan lagu-lagu klasik, karena dirasa lagu-lagu ini lebih cocok  dengan jiwanya. Karena lagu-lagu klasik berat dan dalam. Sebelumnya dia suka menyanyikan lagu langgam: tetapi sekarang lagu-lagu langgam dirasanya terlalu ringan.

Nurnaningsih tidak malu-malu pula  menceritakan bahwa karier seni suaranya dimulai dengan menyanyikan lagu-lagu keroncong. Ketika itu dia menjadi penyanyi kroncong dari band-band biasa, dan menyanyi di tempat-tempat pesta, dan perkawinan. Pendapatannya kadang-kadang baik juga, sampai seratus atau lebih semalam atau sehari. Tetapi kadang-kadang , setelah sehari-harian menyanyi, dia sebagai penyanyi hanya mendapat bagian lima rupiah saja. Tetapi pemberian selalu diterimanya dengan senang hati, katanya. Karena dia menyanyi dalam perkumpulan perkumpulan musik kroncong itu bukan untuk mencari uang, tetapi semata-mata untuk mengenal penghidupan dunia kroncong.

Dalam Gelombang Amor
Juga pada diri Ibu Nurnaningsih sudah terdapat darah keras dan sifat-sifat yang lain daripada manusia biasa. Walaupun hidup dalam dunia kolot, dia sudah mempunyai kemampuan yang bersifat modern, seperti hendak bersekolah yang lanjut, dan lain-lain.

Dan walaupun orang tua itu hanya lepasan sekolah rendah kelas 2, tetapi dia mempunyai kepercayaan yang kaut kepada dirinya. Dengan penuh kepercayaan dan tanpa gurudia melukiskan perasaan-perasaan hatinya tentang keadaan masyarakat yang dihadapinya di atas kanvas.  Juga setelah tua ini, dia terus melukis. Dengan bangga dia menunjukkan sebuah lukisannya yang unik itu kepada saya. “Begini perasaan saya tentang masyarakat sekarang,” katanya, “primitif” kata Nurnaningsih kepada saya dengan sedikit mencemooh. Memang primitif, tetapi lukisan-lukisan yang primitif ini telah pernah menarik hati pelukis terkenal kita Sudjono pada suatu pameran seni lukis di Magelang, di mana di masa revolusi dahulu, karena tepatnya lukisan dan keberanian yang tergambar dalam lukisan—lukisan sederhana itu: sampai Sudjono bertanyakan pula orang yang melukisnya.

Walaupun mempunyai sifat yang sama, tetapi antara ibu dan anak tidak terdapat persesuaian faham. Buat sang ibu, anaknya terlalu Barat. Baik tentang pakaiannya maupun tentang gerak-geriknya yang selalu gelisah gegabah, dan cara hidupnya. Orangtua itu tidak suka anaknya menjadi bintang film “Dia harus menjadi seorang wanita rumah tangga yang baik,”katanya.

Sesungguhnya Nurnaningsih juga pernah melakukan pengorbanan untuk orangtuanya. Sebagai anak gadis yang tertua dari suatu keluarga dan mencapai umur dewasa, tidak baik di mata orang, kalau dia tidak kawin. Oleh sebab itu dia harus kawin. Nurnaningsih menurut walaupun belum menemukanjodohnya: bukan saja untuk memuaskan hati kedua orangtuanya tetapi juga untuk sekedar meringankan beban sang Bapak. Tetapi ada kebingungan untuk kedua orangtua itu untuk memilih menantunya, karena walaupun banyak yang mau, 9 orang, tetapi tidak ada diantaranya yang langsung meminang kepada orangtuanya. Oleh karena itudiputuskan Nurnaningsih akan berpuasa tak makan ikan dan garam selama 100 hari. Siapa yang pertama kali meminang kepada orangtuanya, dialah yang mendapat.

Hal tersebut terjadi ketika Nurnaningsih baru berpuasa 90 hari. Perkawinannya yang pertama ini hanya 2 bulan umurnya. Nurnaningsih mengharapkan penyerahan penuh dari suaminya kepada dia semata-mata.

“Dengan cermin-pun ia enggan berbagi. Cita-citanya tak tercapai. Kemudian dia putuskan, akan kawin dengan pelukis. Dia tertarik kepada seorang pelukis Indonesia ternama, tetapi orang tersebut telah beristri. Akhirnya diantara beberapa orang pelukisyang mengharapkan kasihnya, dia pilih Kartono. Karena pemuda inilah yang paling tinggi pendidikannya diantara semua pelukis pemujanya itu. Dia tidak cinta Kartono, dia hanya ingin belajar melukis padanya. 7 tahun percampuran tidak dapat menimbulkan cinta. Nurnaningsih tidak mendapatkan cita-citanya: “Dengan cerminpun dia enggan berbagi” walaupun dari pihaknya sendiri, kepada cermin-pun tidak berbagi.

Dia kecewa dalam percintaan, dia tidak percaya lagi kepada laki-laki. Dia jatuh cinta kepada seorang penyanyi. Mereka kawin, tinggal di rumah bekas suaminya, Kartono. Aneh. Tetapi Kartono tetap menganggapnya sebagai saudara, dan kasihan padanya. Mereka tak bisa terlepas sama sekali, karena adanya saling mengerti, walaupun tak ada cinta, dan karena anak keduanya. Ketika saya menginterpiu Nurnaningsih, kebetulan ada Kartono di rumahnya. Nurnaningsih tidak mau menjawab pertanyaan-pertanyaan saya di depan Kartono.

“Bukan takut,” katanya. “tetapi takut timbul perdebatan antara mereka: takut kalau gelas-gelas beterbangan sebagai biasanya kalau mereka sudah berdebat”

Pada waktu ini Nurnaningsih sedang dalam kebimbangan karena gara-gara godaan cinta. Dia sedang jatuh cinta kepada seorang pemuda Douane, dan sebaliknya. Tetapi syarat-syarat yang dimajukan pemuda itu berat: Sang istri harus tinggal memasak di rumah, tidak boleh menyanyi, bermain film, berpakaian Yankee dan bahu atau punggung terbuka. Nurnaningsih menganggap ini kekangan terhadap perkembangan seninya. Sedangkan selama ini segala-galanya dia korbankan, pendapat umum dia tantang, untuk memberikan kebebasan bergerak kepada jiwa seninya. Dia tidak mengatakan bahwa dia akan puasa lagi untuk mengambil keputusan. Walaupun menurut pendengaran saya sampai sekarang dia masih mengerjakan yogi, meditasi atau pemusatan pikiran kepada Tuhan, walaupun dia belum kuat dalam hal ini. Dan dia juga bersembahyang rupa-rupanya. Pernah dia berkata kepada Usmar Ismail:

“Saya tidak sejelek yang disangkakan orang. Saya sembahyang, bertarikat”.
Kita menanti keputusannya. Apakah dia betul-betul seniwati, ataukah hanya seorang wanita juga.
 

1 Juni 1955
Setiap manusia mempunyai hak penuh untuk mencari uang dengan jalan apapun. Asal jalan mana sah dan tidak menyinggung nama perseorangan. Di dalam hal ini Nazar Dollar dengan sandiwara “reklame”nya, mencoba mencari uang dengan mempergunakan nama orang, sebagai nama khayalan atau nama fiktif.

Baru-baru ini , Nazar Dollar mempertunjukkan “Nurnaningsih Gila” di gedung Kesenian. Kita tahu bahwa pertunjukan ini bukan nilai seni yang dikejar, tetapi lebih dititikberatkan pada kebutuhan uang. Nurnaningsih yang sudah kita sinyalir bahwa dia sebenarnya “geestelijk ziek” dengan permainannya dalam cerita ini, sudah tidak dapat disangkal lagi akan kebenaran dari pada penyakit jiwa yang ada pada diri Nurnaningsih sendiri.

Ada kalanya kita bertanya apakah dengan cerita berkepala “Nurnaningsih Gila” nurnaningsih in persoon tidak menyadari bahwa Nurnaningsih sebenarnya belum meninggal dunia? Bahwa nama Nurnaningsih bukan nama dari cerita seribu satu malam. Bahwa nama Nurnaningsih sekarang punya suami dan calon ibu. Dan nama Nurnaningsih betul-betul kita kenal sebagai makhluk hidup yang punya pengertian dan intelegensia. Tetapi ada kalanya kita sendiri jadi kabur, mengapa Nurnaningsih in persoon tidak menghargai akan namanya sendiri. Dia dengan spontan dan dengan tidak menyadari lagi memproklamasikan diri di hadapan ribuan masyarakat bahwa dia kini sudah ‘gila”, ternyata dari cerita “Nurnaningsih Gila”.

Kita yang sedikit banyak mengenal Nurnaningsih dari dekat, dari caranya dia bercakap, dari caranya dia mengemukakan visi citanya dan dari caranya dia membela diri dalam soal ilmu yogi, jadi tidak habis tarik leher dan hidung, mengapa begitu buramnya memandang namanya sendiri. Lebih-lebih dalam menerima peranan yang terang-terangan memakai namanya sendiri, tidak begitu disadari.  Bahwa nama Nurnaningsih yang namanya begitu populer kini dibikinnya hitam di atas panggung sandiwara.

Nurnaningsih gila! Apakah Nurnaningsih sudah benar-benar gila? Apakah kegilaan Nurnaningsih itu sudah benar diakui oleh Nurnaningsih sendiri, bahwa dia itu sebenarnya sudah gila? Semuanya itu berkisar pada suatu titik pertanyaan yang tidak berujung pangkal.

Sekarang kita sendiri akan mengambil definisi. Kalau misalnya Nurnaningsih tidak gila, mengapa dia mau menerima peran yang telah menentukan (verzekeren) bahwa Nurnaningsih gila. Mengapa Nurnaningsih tidak mau menolak atau dengan alasan lain nama kepala karangan dirobah menjadi “Nuraningish bermain dalam …. Sebagai orang gila”. Dengan cara demikian kita akan dapat mengenal Nurnaningsih sebagai seorang yang waras otaknya. Tetapi dengan cara yang demikian, kita sendiri jadi sangsi apakah dalam menerima peran itu Nurnaningsih menganggap hal tersebut sebagai propaganda stunt untuk lebih mempopulerkan namanya? Atau Nurnaningsih ingin dikenal sebagai seniwati yang eksentrik dan histeris? Yang tidak punya pendirian dan tujuan hidup? Atau Nurnaningsih dilupakan karena gabungan uang yang disodorkan oleh Nazar Dollar yang terkenal sebagai “Tuan Seni”?

Kita tidak akan menyinggung Nazar Dollar dulu sebagai “Tokoh Tuan Seni”. Tetapi kita akan meneropong perjalanan hidup Nurnaningsih yang pada akhir-akhir ini menunjukkan gejala kegilaannya. Sejak kegagagaln pertunangan dengan Boogie Harieanto. Nurnaningsih sudah memproklamirkan akan bunuh diri. Dan sudah mencoba dengan menjatuhkan diri dari atas tangga. Tapi Tuhan Yoginya masih melindungi dirinya, dan mengatakan dalam hidup masih banyak hal yang belum diselesaikan. Dan Nurnaningsih menarik kembali niatannya akan bunuh diri.

Tetapi dari cara semacam itu, kita sudah dapat menyimpulkan bahwa Nurnaningsih sudah kena penyakit angstpsychoge. Dia sudah dikejar bayangannya sendiri. Psikis dan fisik Nurnaningsih sudah tidak normal lagi. Tambah-tambah perhubungannya dengan Boogi mempunyai bukti, ialah akan lahirnya sang anak. Nurnaningsih sebagai manusia sedikit banyaknya mempunyai tanggung jawabnya akan lahirnya sang anak. Meskipun dengan “onbewuat” dia hampir jadi pembunuh kanak-kanak. Kini bayangan lahirnya seorang anak dapat pembelaan, dengan pengorbanan Basir, mau mengawini Nurnaningsih yang sudah mengandung tiga bulan.

Nurnaningsih dalam kejaran bayangan menambahkan kegilaannya di Kediri dengan mengatakan sebagai “Bintang Telanjang”. Dan kita bisa mengharapkan bahwa sekali lagi Nurnaningsih akan emngatakan sebagai “Bintang Gila”. Ini bisa diharapkan karena menilik cara-cara Nurnaningsih mengucapkan segala pernyataannya dengan tidak disadari atau dipikirkan akibat-akibatnya lagi. Asal ceplos keluar. Bagaimana nantinya dia sendiri tidak mau tahu menahu.

Kini kita berpindah pada Nazar Dollar dengan cerita “Nurnaningsih Gila”. Sebagaimana Nurnaningsih yang biasa mengatakan “Nurnaningsih Sebagai Bintang Telanjang”   atau sebagai halnya ketika di Palembang dia mengatakan: “Saya Nurnaningsih. Rumah saya di jalan Lombok 45. Siapa yang butuh gambar saya, yang telanjang maupun dalam pakaian apa saja, boleh kirim surat. Asal disertai uang sebersar Rp. 250,” demikian pula dalam menerima teks cerita “Nurnaningsih Gila”, tidak diteliti ataupun dipelajari dalam-dalam akibatnya maupun ekses dari pada permainan cerita itu, Nurnaningsih menganggap cerita “Nurnaningsih Gila” sebagai suatu cerita khayalan atau cerita yang realistis, yang menunjukkan akan sifat-sifat sebenarnya dari Nurnaningsih sendiri.

Yang kita sesalkan dan kita sayangkanbukan Nurnaningsih. Karena kita sudah tahu bahwa dengan permainan ini Nurnaningsih sebenarnya sudah gila. Tetapi yang benar-benar turut gila ialah Nazar Dollar. Sebagai “Tuan Seni” yang sedikitnya banyak mengenal sopan-santun dan mengerti kode karang mengarang, tidak akan begitu saja memakai nama Nurnaningsih in person berhak menuntut akan pemakaian nama tersebut. Untungnya Nurnaningsih sudah gila, jadi dia sendiri menganggap tidak begitu penting namanya dibikin gila.

Dan Nazar Dollar yang turut gila, sebenarnya tidak usah menunjukkan corak aslinya. Nazar Dollar sebaiknya dapat mencari jalan lain, untuk menjatuhkan nama seseorang di mimbar panggung sandiwara. Nazar Dollar bisa menjatuhkan nama Nurnaningsih dengan cara yang lebih licin lagi, tapi hendaknya Nazar Dollar jangan begitu kotor dan ceroboh dalam menjatuhkan nama Nurnaningsih di hadapan publik. Kita sudah tahu, Nurnaningsih kini sedang mengalami krisis batin. Meskipun dia berulang-ulang menyatakan bahwa dia kini sudah mempunyai tugas untuk mengembangbiakkan agama Yogi (tetapi dalam tanya jawab dengan saya, antara  Babaya dan Tuhan, Nurnaningsih lumpuh tak dapat menjawab dengan tegas. –Pen). Tetapi semuanya itu hanya pelarian saja. Karena itu, kita yang masih waras otaknya jangan turut-turut gila. Bahkan sudah menjadi tugas kewajiban seorang pengarang untuk membimbing dan menuntunnya ke arah jalan yang benar. Tetapi, Nazar Dollar sebagai seorang pengarang sandiwara sebenarnya tidak mempunyai pertanggungan jawab sama sekali. Bahkan sebagai seorang pengarang  dia menjerumuskan orang yang sedang dalam keadaan gelap. Kalau misalnya ini sudah menjadi sifat dan watak dari setiap pengarang roman picisan, benar-benar kitas sesalkan sikap dan kelakuan para pengarang roman picisan, yang sangat immoril dan tidak mempunyai pertanggungan jawab sedikitpun pada sesama manusia.

SETIAP MANUSIA berhak mencari jalan hidup yang syah. Tetapi cara-cara Nazar Dollarmencari pertahanan hidup, sebenarnya tidak dapat kita setujui. Meskipun dalam pembelaan ini kita menghadapi seorang yang sinting. Tetapi untuk kebaikan  Nurnaningsih yang sedang harum dan populer ini, janganlah begitu saja dilempar ke dalam tumpukan telepong kerbau yang masih basah dan hangat. Kita tidak rela melihat nama Nurnaningsih begitu saja dibuang dengan tidak disrtai perasaan kemanusiaan   yang waras. Karena di dalam hal ini, kita harus bisa memisahkan Nurnaningsih sebagai seniwati dan Nurnaningsih sebagai manusia wajar yang sedang mengalami penyakit jiwa. Sebagai seniwati dia mengabdi pada masyarakat dengan tidak menghiraukan dirinya. Tetapi sebagai manusia, Nurnaningsih sebenarnya harus dikasihani dan disayangi. Karena keadaan di sekitarnya yang menyebabkan dia sakit. Dan pada orang sakit kita harus mengobati dan membimbingnya.

Dan untuk mengadakan imbangan dan tegenprestasi dari pada tekanan dan contrengan pada muka Nurnaningsih, kita juga ingin melihat sebuah spanduk reklame lagi di mana tertulis GERAKAN PELOPOR PEMUDA akan menyuguhkan sebuah drama klasik dengan mengambil cerita “NAZAR DOLLAR BENAR-BENAR JADI GILA” cerita/Regie/pelaku Nazar Dollar (Tuan Seni)

Bagi Nazar Dollar peringatan ini mungkin terlalu menusuk perasaan, tapi kita yakin, bahwa dengan kupasan ini, Nazar Dollar akan dapat membatasi diri, dalam cara-ara penyuguhan cerita Roman Picisan dan juga mencari tema cerita yang sedikit bernilai dan dapat dipertanggungjawabkan.

Bagaimanapun buruknya cerita tetapi kalau cara penyuguhannya tetap masuk akal, orang akan memperbincangkannya dan membicarakannya. Tetapi kalau nama Nurnaningsih dijual algi dengan alasan untuk amal dan korban bencana, semoga orang-orang yang menerima uang tersebut benar-benar mengalami bencana dan turut gila!

 

20 Desember 1955.
NURNANINGSIH,  bintang film sensasional yang untuk selama seminggu berada di Medan memenuhi undangan “ISDRAFIN” (Ikatan Seni Drama dan Film Indonesia) telah menimbulkan kesan bahwa dia sudah gagal tetapi juga telah berhasil. 

Gagal di dalam mempertunjukkan diri sebagai seorang pemain sandiwara yang dapat ditiru, tetapi berhasil mempertahankan nama sebagai seorang bintang sensasional.

Pada tanggal 25 dan 26 November 1955 Nurnaningsih berlakon dalam sandiwara 3 babak “Korban Revolusi” (Korban Korupsi – Red) karangan Rustam Effendi. Pada tanggal 27 November dia muncul, menari dan bernyanyi dalam suatu “Malam Gembira” ketiga kalinya di Gedung Kesenian Medan dan pada tanggal 27 November dia menari dan menyanyi lagi SEAC, suatu perkumpulan kaum elite di Medan.

Korban Korupsi ini adalah sebuah lakon yang karena ada persamaannya mengingatkan orang pada “Sayang Ada Orang Lain” karangan Utuy Tatang Sontani yang sudah pernah pula dipentaskan di Medan oleh Perhimpunan Sandiwara lain. Nurnaningsih di sini bermain sebagai Ratnasari, seorang istri yang sebagai sekretaris seorang kepala Jawatan mengadakan hubungan kasih nafsu dan akhirnya “tertangkap basah” di kamar tidur.

Nurnaningsih (yang karena baru beberapa bulan melahirkan bayi lelaki kelihatan sedikit gemuk dari biasa) mengecewakan sekali karena tidak kelihatan dia cukup menguasai teks. Malahan kadang-kadang dia kelihatan menanti-nanti souffleur membisikkan kata-kata yang mesti diucapkannya, dan di lain waktu kelihatan dia disengaja dibantu oleh tegenspelernya untuk mengingatkan apa yang mesti diucapkannya.

Keadaan ini tidak terlalu mengherankan kalau diketahui orang latar belakangnya, yaitu nurnaningsih sebanyak-banyaknya hanya 3 kali mengadakan latihan bersama-sama pemain dari Medan, walaupun teks lakon telah dikirim terlebih dahulu kepadanya di Jakarta.

Kekurangan Nurnaningsih ini bisa ditutup karena gerakannya yang bebas dan kata-kata yang kadang-kadang diucapkannya dengan spontan. Terutama dalam adegan kasih mesra, Nurnaningsih berhasil menghilangkan kesan dia tidak hafal teks, karena di sini dia bermain dengan begitu baik sehingga mengesankan seolah-olah waktu itu hanya dia dan Arifin Esnery saja ada di dalam ruangan Gedung Kesenian itu.

Cara Nurnaningsih mengajak Arifin Esnery masuk ke kamar tidur, rasa-rasanya sulit diperbaiki oleh Sutradara Rustam Effendy sendiri. Malahan, mungkin di sinilah letak sebab mengapa Nurnaningsih yang diundang ke Medan, karena belum tentu pemain-pemain sandiwara penggemar di kalangan wanita mau melakonkan peran yang “dahsyat” seperti itu.

Yang juga membikin Nurnaningsih sanggup mengatasi kekurangannya dalam penghafalan teks ialah keadaan penonton yang membayar Rp 50 dan Rp.  20 itu (tentunya sebagian besar kaum lelaki) seolah-olah seperti terpesona, karena orang diam, kalau Nurnaningsih berkata walaupun dia tidak sempat berpakaian “you can see” dan meniru “Mariln Monroe walk”.

Arifin Esnery yang bermain sebagai kepala jawatan yang korup itu mulanya disangsikan kalau-kalau dia “Tjuak” (Tjuak itu istilah Medan yang mengumpulkan perasaan-perasaan takut, gamang, rendah diri, dan mau-malu).  Karena di dalam film “Peristiwa di Danau Toba” kelihatan leading man Eddy Nast  sudah hilang ditelan oleh bintang film besar Dhalia.

Dugaan orang keliru karena Arifin bermain lebih baik dari yang diharapkan, malahan kekuatan lakonan itu bertumpu pada dia nampaknya, karena pembawaannya yang bebas. Terutama di dalam saat dia dalam waktu sekejap mata sudah marah-marah pada pegawainya seperti “harimau mau menerkam”, dia menjadi “kambing domba yang lunak” ketika memancing Nurnaningsih supaya mau jadi sekretarisnya.

Di dalam adegan roman dia tidak tanggung, enak saja dia menjamah dagu Nurnaningsih, merayu dengan penuh kasih sayang (dengan mempergunakan tangannya dengan tidak segan-segan memegang bahu Nurnaningsih), terutama ketika melekatkan kalung di leher Nurnaningsih, Arifin memperlihatkan diri sebagai pemain sandiwara yang mempunyai harapan besar.

Hazman yang bermain sebagai suami Nurnaniningsih memang digambarkan sebagai seorang yang “bodoh” seolah-olah menganggap bekerja sebagai pegawai negeri itu merupakan suatu pengabdian yang luhur dan murni sekali. Permainannya tidak jelek, walaupun kadang-kadang kelihatan over acting dan “Tjuak” pada waktu berkelahi dengan Nurnaningsih.

Dalam pertunjukan ini, yang agak kurang memuaskan ialah terlalu banyaknya lagu-lagu Melayu yang sebenarnya, walaupun tetap indah dan populer, tetapi telah selalu kali didengar penonton, seperti “Makan Sirih”, “Anak Tiung”, dan tari-tarian Melayu seperti “Serampang Dua Belas”, “Tandjung Katung”, dan lain-lain. Tetapi ini bisa dimengerti juga kalau diketahui latar belakangnya bahwa Rustam Effendi pemimpin Isdrafin adalah juga pemimpin dari Orkes Melayu “Rangkaian Deli” yang di Medan juga populer.

Diambil dalam keseluruhannya, pertunjukan ISDRAFIN dengan bantuan Nurnaningsih itu adalah “not so bad” tetapi juga tidak bisa dibikin 2 kali seperti itu juga lagi.

Hasil yang baik dicapai oleh Nurnaningsih ialah dari segi finansial karena “pekerjaannya” seminggu di Medan adalah lebih bagus daripada “pekerjaannya” selama 3-4 bulan membikin film di Jakarta.

Ini juga terbukti dari keterangan Nurnaningsih sendiri dalam suatu konferensi pers di Medan di mana dia mengatakan bahwa dilihat dari segi keuangan dia merasa lebih senang main untuk sandiwara daripada main di film.

Pada tanggal 24 November, Nurnaningsih bersama suaminya turun di lapangan terbang Polonia Medan, ribuan peminat-peminatnya menanti dan mengelu-elukannya. Belum pernah sebanyak itu perhatian orang (terutama pemuda-pemuda pelajar) yang tertumpah pada seorang bintang film, seperti juga belum pernah sebegitu besar keinginann orang melihat bintang film satu-satunya yang mau  difoto telanjang, untuk mencari jawaban: Bagaimanakah rupa keindahan bentuk tubuh Nurnaningsih itu?

Belum pernah orang begitu berdesak-desakan sehingga pintu kaca restoran Polonia pecah ditubruk orang, karena buru-buru mau mencari tempat untuk dapat melihat Nurnaningsih.


Belum pernah PAU (Polisi Angkatan udara) di Polonia sesibuk mengawasi keadaan seperti waktu itu.

Ada seorang yang nakal melemparkan batu yang tidak mengenai Nurnaningsih tetapi mengenai seorang wartawan yang “melindungi” dia dari serbuan dan desak-desakan (dan juga mungkin cubit-cubitan orang banyak). Hal ini tidak jelas apa sebabnya, apakah orang benci karena dia sudah mau digambar telanjang (bintang-bintang film dari Jakarta lain yang datang ke Medan semua menyesali tindakan Nurnaningsih itu!), apakah orang tidak suka mengapa Isdrafin yang mendatangkan dia, atau karena memang orang tidak suka pada “perlindungan” yang diberikan wartawan itu.

Baik di hotel de Broer di mana Nurnaningsih menginap maupun di depan central restaurant di mana Nurnaningsih mengadakan konferensi pers, beratus-ratus orang berkumpul untuk melihat dia lewat beberapa menit saja dari dan ke motor.

Suatu hal yang menarik adalah bahwa Rustam Effendy itu karena dulunya pernah bekerja sebagai wartawan, mengetahui, bahwa wartawan itu perlu untuk membantu dia. Kalau dahulu Bing Slamet dan Sam Saimun (yang kabarnya di dalam “show” dan di dalam bussines”nya mengalami kegagalan) dianggap sepi oleh pers, maka Nurnaningsih mendapat “a good press”.

Dia mulai konferensi pers dengan keterangan bahwa dia belum pernah mendapat sambutans eramai ini dari publik dan belum pernah menghadapi wartawan-wartawan sebanyak itu, sekaligus dan wartawan-wartawan yang muda-muda pula dan simpati. (Nurnaningsih juga melemparkan senyum kiri kanan dengan bibir dan matanya!).

Keterangan Nurnaningsih tidak banyak berbeda dari keterangan di lain-lain tempat. Ada beberapa bahagian yang belum pernah disiarkan di dalam majalah “ANEKA” ini.

Nurnaningsih pertama sekali menjawab pertanyaan pers, menerangkan, bahwa DIA BERSEDIA SEKALI LAGI DIPOTRET TELANJANG.

Tetapi dengan syarat ini musti dilakukan di luar negeri karena dia berjanji dengan pihak kepolisian, bahwa dia tidak akan bergambar telanjang lagi di Indonesia. (Seperti pernah disiarkan dia pernah dipanggil Kepolisian Jakarta Raya karena potret telanjang itu, tetapi tidak dituntut!).

Gambar itu tidak boleh diperedarkan tetapi mesti dicetak di dalam buku dan diterangkan khusus untuk dijadikan bahan studi-obyek mengenai seni lukis.

Mengulangi keterangannya yang sudah terkenal, Nurnaningsih menyatakan bahwa dia dijanjikan digambar telanjang untuk dijadikan studi-obyek bagi pelukis-pelukis suapaya dapat menggambar bentuk tubuh wanita menurut anatomi yang sebenarnya. Tetapi dia menyesal gambar itudiperedarkan orang dengan tidak setahu dia/ “Saya tidak digambar dengan maksud phornografis, untuk membangkitkan nafsu birahi orang, tetapi untuk seni dan keindahan,” katanya.

“Yang diperedarkan orang sekarang bukan gambar saya yang asli. Tetapi potret kepala saya ditempelkan kepada tubuh orang lain. Saya tahu ini dengan pasti, karena bentuk tubuh saya, achtergrond ketika saya dipotret bukan seperti gambar itu. Dan pose saya juga tidak seperti dalam potret palsu itu!”

Dijelaskannya lagi, bahwa “kunst-foto” seperti yang dimaksudkannya “u bukan soal baru diluar negeri, cobalah perhatikan buku-buku mengenai seni lukis.” Katanya dia sekarang masih sabar untuk tidak menuntut orang yang menjual-belikan potret telanjangnya itu, kalau dia menuntut bukan ratusan, tetapi jutaan rupiah. Tetapi katanya lagi, dia pernah menulis dalam sebuah majalah bahwa dia tidak akan menuntut orang yang merugikan dia, jadi kalau dia sekarang menuntut , tidak sesuai lagi dengan tulisannya.

Dalam konferensi pers itu, Nurnaningsih menjawab terus terang semua pertanyaan wartawan. Katanya dia pernah ditawarkan bekerja untuk “Peristiwa di Danau Toba” bikinan Radial Film Company, Medan, tetapi dia menolak, karena honorariumnya tidak cukup. Dia minta Rp. 15.000 tetapi Radial Cuma berani Rp. 10,000. Padahal kalau film sudah siap, mereka menarik keuntungan tidak terbatas, katanya.

Diantara 9 buah filmnya, dia merasa paling senang main dalam film “Krisis” (Perfini, filmnya yang pertama) dan dia senang berlakon dengan Aedy Moward (Anak Medan sekarang) tetapi di dalam pergaulan Aedy Moward bukan temannya yang rapat.

Nazar Dollar yang selalu mengajak Nurnaningsih itu bermain dalam sandiwara di jakarta,  sekarang tidak disenangi oleh Nurnaningsih, karena menurut Nurna, Nazar Dollar itu pelit dengan rupiah. Dia merasa bahwa dia dikecewakan Dollar mengenai uang.

“Saya tukang cemburu,” kata Nurnaningsih yang duduk disamping suaminya, Basir Ibrahim, “Dan suami saya juga tahu itu. Saya tidak senang dia bicara manis saja pada wanita lain. Perasaan saya lantas tidak senang,”

Baginya “Kehidupan tanpa cinta adalah bukan hidup” dan cintanya yang pertama ialah Suroto. Seorang teman kecilnya yang sudah meninggal dunia, sebelum mereka menikah.

Waktu dia bermain dalam sandiwara “NURNANINGSIH GILA” di Jakarta, dia bermain sungguh-sungguh dan minta supaya bisa terus jadi gila, katanya. Tetapi syukur, belum jadi gila.

“Kadang-kadang” kata Nurnaningsih, dia ingin lekas mati saja. Karena bikin apa saya ini sebenarnya hidup, katanya.

Sesudah bercerita tentang “yogi” dan lain-lain Nurnaningsih memproklamirkan “Pantja-Tjita” yang diidam-idamkan, yaitu:
  1. Mau jadi Rembrand (putri) Indonesia
  2. Mau jadi Bethoven (putri) Indonesia
  3. Mau jadi penyanyi yang ulung
  4. Mau menjadi bintang film yang ulung
  5. Mau jadi pianiste yang ulung
Basir Ibrahim yang ketika Nurnaningsih yang “praatziek” itu bicara terus menerus selama 1 jam tetap diam saja, akhirnya sedia menjawab pers. Basir menerangkan, bahwa dia menikah dengan Nurnaningsih secara Islam. Karena dia mau menyelematkan Nurnaningsih dari jalan yang keliru. Mereka menikah dengan tidak ada syarat apa-apa. Tiap waktu mereka bisa bercerai, kalau diinginkan satu pihak.

Menurut sang suami, sang istri itu kurang ingatannya, kalau ditanya olehnya tentang “yogi” dan tentang “cinta” Nurnaningsih juga tidak tahu apa-apa.

Selama 1 minggu Nurnaningsih di Medan, tidak kekurangan perhatian, di luar soal apa yang menyebabkan orang lebih merasa tertarik padanya. 


 
 
REWEL1955

Actor
NODA TAK BERAMPUN 1970 TURINO DJUNAIDY
Actor
BERNAFAS DALAM LUMPUR 1970 TURINO DJUNAIDY
Actor
HARIMAU TJAMPA 1953 D. DJAJAKUSUMA
Actor
KEMBANG-KEMBANG PLASTIK 1977 WIM UMBOH
Actor
AKHIR SEBUAH IMPIAN 1973 TURINO DJUNAIDY
Actor
SERIBU JANJI KUMENANTI 1972 ISKAN LAHARDI
Actor
DERITA TIADA AKHIR 1971 IKSAN LAHARDI
Actor
DJAKARTA - HONGKONG - MACAO 1968 TURINO DJUNAIDY
Actor
KEBON BINATANG 1955 NJOO CHEONG SENG
Actor
KRISIS 1953 USMAR ISMAIL
Actor
PENDEKAR BAMBU KUNING 1971 PITRAJAYA BURNAMA
Actor
PATGULIPAT 1973 M. SHARIEFFUDIN A
Actor
MENCARI AYAH 1974 INDRA WIJAYA
Actor
COWOK KOMERSIL 1977 ARIZAL
Actor
NAPSU GILA 1973 ALI SHAHAB
Actor
MALAM JAHANAM 1971 PITRAJAYA BURNAMA
Actor
KLENTING KUNING 1954

Actor
LANTAI BERDARAH 1971 MOH YUNUS
Actor
ORANG-ORANG LIAR 1969 TURINO DJUNAIDY
Actor
INTAN BERDURI 1972 TURINO DJUNAIDY
Actor
BOBBY 1974 FRITZ G. SCHADT
Actor
MALAM SATU SURO 1988 SISWORO GAUTAMA PUTRA
Actor
SUSANA 1974 B.Z. KADARYONO
Actor
BENYAMIN SPION 025 1974 TJUT DJALIL
Actor
DJEMBATAN EMAS 1971 IKSAN LAHARDI
Actor
REMANG-REMANG JAKARTA 1981 LUKMANTORO DS
Actor
DENDAM BERDARAH 1970 LIE SOEN BOK
Actor
 



Minggu, 13 Maret 2011

BENYAMIN SUEB 1971-1992

BENYAMIN S


Ia menjadi figur yang melegenda di kalangan masyarakat Betawi khususnya karena berhasil menjadikan budaya Betawi dikenal luas hingga ke mancanegara. Celetukan ‘muke lu jauh’ atau ‘kingkong lu lawan’ pasti mengingatkan masyarakat pada Benyamin Sueb, seniman Betawi serba bisa yang sudah menghasilkan kurang lebih 75 album musik, 53 judul film serta menyabet dua Piala Citra ini. Sejak kecil, Benyamin Sueb sudah merasakan getirnya kehidupan. Bungsu delapan bersaudara pasangan Suaeb-Aisyah kehilangan bapaknya sejak umur dua tahun. Karena kondisi ekonomi keluarga yang tak menentu, si kocak Ben sejak umur tiga tahun diijinkan ngamen keliling kampung dan hasilnya buat biaya sekolah kakak-kakaknya.

Benyamin sering mengamen ke tetangga menyanyikan lagu Sunda Ujang-Ujang Nur sambil bergoyang badan. Orang yang melihat aksinya menjadi tertawa lalu memberikannya recehan 5 sen dan sepotong kue sebagai ‘imbalan'. Penampilan Benyamin kecil memang sudah beda, sifatnya yang jahil namun humoris membuat Benyamin disenangi teman-temannya. Seniman yang lahir di Kemayoran, 5 Maret 1939 ini sudah terlihat bakatnya sejak anak-anak. Bakat seninya tak lepas dari pengaruh sang kakek, dua engkong Benyamin yaitu Saiti, peniup klarinet dan Haji Ung, pemain Dulmuluk, sebuah teater rakyat - menurunkan darah seni itu dan Haji Ung (Jiung) yang juga pemain teater rakyat di zaman kolonial Belanda.

Sewaktu kecil, bersama 7 kakak-kakaknya, Benyamin sempat membuat orkes kaleng. Benyamin bersama saudara-saudaranya membuat alat-alat musik dari barang bekas. Rebab dari kotak obat, stem basnya dari kaleng drum minyak besi, keroncongnya dari kaleng biskuit. Dengan ‘alat musik’ itu mereka sering membawakan lagu-lagu Belanda tempo dulu. Kelompok musik kaleng rombeng yang dibentuk Benyamin saat berusia 6 tahun menjadi cikal bakal kiprah Benyamin di dunia seni.

Dari tujuh saudara kandungnya, Rohani (kakak pertama), Moh Noer (kedua), Otto Suprapto (ketiga), Siti Rohaya (keempat), Moenadji (kelima), Ruslan (keenam), dan Saidi (ketujuh), tercatat hanya Benyamin yang memiliki nama besar sebagai seniman Betawi. Benyamin memulai Sekolah Dasar (dulu disebut Sekolah Rakyat) Bendungan Jago sejak umur 7 tahun. Sifatnya yang periang, pemberani, kocak, pintar dan disiplin, ditambah suaranya yang bagus dan banyak teman, menjadikan Ben sering ditraktir teman-teman sekolahnya. SD kelas 5-6 pindah ke SD Santo Yusuf Bandung. SMP di Jakarta lagi, masuk Taman Madya Cikini. Satu sekolahan dengan pelawak Ateng. Di sekolah Taman Madya, ia tergolong nakal. Pernah melabrak gurunya ketika akan kenaikan kelas, ia mengancam, “Kalau gue kagak naik lantaran aljabar, awas!” Lulus SMP ia melanjutkan SMA di Taman Siswa Kemayoran. Sempat setahun kuliah di Akademi Bank Jakarta, tapi tidak tamat. Benyamin mengaku tidak punya cita-cita yang pasti. “Tergantung kondisi,” kata penyanyi dan pemain film yang suka membanyol ini. Benyamin pernah mencoba mendaftar untuk jadi pilot, tetapi urung gara-gara dilarang ibunya.
 
 

Ia akhirnya menjadi pedagang roti dorong. Pada 1959, ia ditawari bekerja di perusahaan bis PPD, langsung diterima . “Tidak ada pilihan lain,” katanya. Pangkatnya cuma kenek, dengan trayek Lapangan Banteng - Pasar Rumput. Itu pun tidak lama. “Habis, gaji tetap belum terima, dapat sopir ngajarin korupsi melulu,” tuturnya. Korupsi yang dimaksud ialah, ongkos penumpang ditarik, tetapi karcis tidak diberikan. Ia sendiri mula-mula takut korupsi, tetapi sang sopir memaksa. Sialnya, tertangkap basah ketika ada razia. Benyamin tidak berani lagi muncul ke pool bis PPD. Kabur, daripada diusut. Baru setelah menikah dengan Noni pada 1959 (mereka bercerai 7 Juli 1979, tetapi rujuk kembali pada tahun itu juga), Benyamin kembali menekuni musik. Bersama teman-teman sekampung di Kemayoran, mereka membentuk Melodyan Boy. Benyamin nyanyi sambil memainkan bongo. Bersama bandnya ini pula, dua lagu Benyamin terkenang sampai sekarang, Si Jampang dan Nonton Bioskop. Sebenarnya selain menekuni dunia seni, Benyamin juga sempat menimba ilmu dan bekerja di lahan yang ‘serius’ diantaranya mengikuti Kursus Lembaga Pembinaan Perusahaan dan Pembinaan Ketatalaksanaan (1960), Latihan Dasar Kemiliteran Kodam V Jaya (1960), Kursus Administrasi Negara (1964), bekerja di Bagian Amunisi Peralatan AD (1959-1960), Bagian Musik Kodam V Jaya (1957-1969), dan Kepala Bagian Perusahaan Daerah Kriya Jaya (1960-1969).

Dari berkesenian, hidup Benyamin (dan keluarganya) berbalik tak lagi getir. Debutnya Si Jampang, mengalir setelah itu Kompor Mleduk belakangan dinyanyikan ulang oleh Harapan Jaya, Begini Begitu (duet Ida Royani), Nonton Bioskop (dibawakan Bing Slamet) dan puluhan lagu karya Benyamin yang lain. Tidak puas dengan hanya menyanyi, Benyamin lalu main film. Diawali Honey Money and Jakarta Fair (1970) lalu mengucur deras puluhan film lainnya. Seniman yang suka ‘mengomel’ bila melawak ini menjadi salah satu pemain yang namanya sering digunakan menjadi judul film.

Selain Benyamin tercatat diantaranya Bing Slamet,Ateng, dan Bagio. Judulnya, antara lain Benyamin Biang Kerok (Nawi Ismail, 1972), Benyamin Brengsek (Nawi Ismail, 1973), Benyamin Jatuh Cinta (Syamsul Fuad, 1976), Benyamin Raja Lenong (Syamsul Fuad, 1975), Benyamin Si Abunawas (Fritz Schadt, 1974), Benyamin Spion 025 (Tjut Jalil, 1974), Traktor Benyamin (Lilik Sudjio, 1975), Jimat Benyamin (Bay Isbahi, 1973), dan Benyamin Tukang Ngibul (Nawi Ismail,1975). Dia juga main di film seperti Ratu Amplop (Nawi Ismail, 1974), Cukong Blo'on (Hardy, Chaidir Djafar, 1973),Tarsan Kota (Lilik Sudjio, 1974), Samson Betawi (Nawi Ismail, 1975), Tiga Janggo (Nawi Ismail, 1976), Tarsan Pensiunan (Lilik Sudjio, 1976), Zorro Kemayoran (Lilik Sudjoi, 1976). Sementara Intan Berduri (Turino Djunaidi, 1972) membuat dirinya, dan Rima Melati, meraih Piala Citra 1973. Benyamin juga membuat perusahaan sendiri bernama Jiung Film - diantara produksinya Benyamin Koboi Ngungsi (Nawi Ismail, 1975) - bahkan menyutradarai Musuh Bebuyutan (1974) dan Hippies Lokal (1976).
 
 
 
Sayang, usahanya mengalami kemunduran, dan PT Jiung Film dibekukan tahun 1979. Benyamin tidak selalu menjadi bintang utama di setiap filmnya. Seperti layaknya semua orang, ada proses dimana Benyamin "hanya" menjadi figuran atau paling mentok menjadi aktor pembantu. Dalam hal ini, paling tidak ada dua nama yang patut disebut, yaitu Bing Slamet dan Sjuman Djaya. Walau sudah merintis karir sebagai "bintang film" lewat film perdananya, Banteng Betawi (Nawi Ismail,1971) yang merupakan lanjutan dari Si Pitung (Nawi Ismail, 1970), tetapi kedua nama besar itulah yang mempertajam kemampuan akting Benyamin. Dalam "berguru" dengan Bing Slamet, Benyamin tidak saja bekerja sama dalam hal musik - seperti dalam lagu Nonton Bioskop dan Brang Breng Brong. Tapi dalam hal film pun dilakoninya. Terlihat dengan jelas, di film Ambisi (Nya Abbas Acup, 1973) -sebuah "komidi musikal" yang diotaki oleh Bing Slamet - Benyamin menjadi teman sang aktor utama, Bing Slamet menjadi penyiar Undur-Undur Broadcasting. Di film ini, sudah terlihat gaya "asal goblek" Benyamin yang penuh improvisasi dan memancing tawa. Di sini, dia berduet dengan Bing Slamet lewat lagu Tukang Sayur. Tetapi, sebenarnya, setahun sebelumnya, Benyamin juga diajak ikutan main Bing Slamet Setan Djalanan (Hasmanan, 1972). Karena itulah, saat sahabatnya itu wafat pada 17 Desember 1974, Benyamin tak dapat menahan tangisnya. Dengan Sjuman Djaya, Benyamin diajak main Si Doel Anak Betawi (Sjuman Djaya, 1973).

Dirinya menjadi ayah si Doel, yang diperankan oleh Rano Karno kecil. Perannya serius tapi, seperti stereotipe orang Betawi, kocak dan tetap "asal goblek". Adegan terdasyat film ini adalah saat pertemuan antara abang-adik yang diperankan oleh Benyamin dan Sjuman Djaya sendiri, terlihat ketegangan dan kepiawaian akting keduanya yang mampu mengaduk-aduk emosi penonton. Talenta itu direkam oleh ayah dari Djenar Maesa Ayu dan Aksan Syuman, dan dua tahun kemudian Benyamin pun main film sekuelnya, Si Doel Anak Modern (Sjuman Djaya, 1975). Kali ini Benyamin menjadi bintang utamanya, dan meraih Piala Citra. Yang menarik, lebih dari dua puluh tahun kemudian Rano Karno membuat versi sinetronnya. Castingnya nyaris sama: Rano sebagai Si Doel, Benyamin sebagai ayahnya - selain theme song-nya dan settingnya yang hanya diubah sedikit saja.
 

Lagi-lagi Benyamin menjadi aktor pendukung, tapi kehadirannya sungguh bermakna. Sebenarnya ada satu lagi film yang dirinya bukan aktor utama, tetapi sangat dominan bahkan namanya dijadikan subjudul atawa tagline: Benyamin vs Drakula. Film itu adalah Drakula Mantu, karya si Raja Komedi Nyak Abbas Akub tahun 1974. Film bergenre komedi horor itu "memaksa" Benyamin beradu akting dengan Tan Tjeng Bok, si aktor tiga zaman. Begitulah, meski beberapa kali pernah tidak "menjabat" sebagai aktor utama, tetapi kehadirannya mencuri perhatian penonton saat itu. Penyanyi Beneran Tahun 1992, saat sibuk main sinetron dan film televisi (Mat Beken dan Si Doel Anak Sekolahan) Benyamin mengutarakan keinginannya pada Harry Sabar, "Gue mau dong rekaman kayak penyanyi beneran." Maka, bersama Harry Sabar, Keenan Nasution, Odink Nasution, dan Aditya, jadilah band Gambang Kromong Al-Haj dengan album Biang Kerok. Lagu seperti Biang Kerok serta Dingin-dingin menjadi andalan album tersebut. Inilah band dan album terakhir Benyamin. "Di lagu itu, entah kenapa, Ben menyanyi seperti berdoa, khusuk. Coba saja dengar Ampunan," jelas Harry, sang music director. "Mungkin sudah tahu kalau hidupnya tinggal sebentar," imbuhnya. Memang betul, setelah album itu keluar, Benyamin sakit keras, dan rencana promosi ditunda dan tak pernah lagi terwujud kecuali beberapa pentas. Di album ini, Benyamin menyanyi dengan "serius". Tetapi, lagi-lagi, seserius apa pun, tetap saja orang-orang yang terlibat tertawa terpingkal-pingkal saat Benyamin rekaman lagu I’m a Teacher dan Kisah Kucing Tua dengan penuh improvisasi. Sementara lagu Dingin Dingin Dimandiin dan Biang Kerok bernuansa cadas. Dan Ampunanmu kental dengan progressive rock, diantaranya nuansa Watcher of the Sky dari Genesis era Peter Gabriel. Yang menarik, masih menurut Harry, saat Benyamin menonton Earth, Wind, and Fire di Amerika - saat menjenguk anaknya yang kuliah di sana - dia langsung komentar, "Nyanyi yang kayak gitu, asyik kali ye?", dan nuansa itu pun hadir di beberapa lagu di album itu, salah satunya dengan sedikit sentuhan Lady Madonna dari The Beatles. Benyamin yang sudah tiga kali menunaikan ibadah haji ini meninggal dunia seusai main sepakbola pada tanggal 5 September 1995, akibat serangan jantung.

Ia bukan lagi sekadar sebagai tokoh masyarakat Betawi, melainkan legenda seniman terbesar yang pernah ada. Karena itu banyak orang merasa kehilangan saat dirinya dipanggil Yang Maha Kuasa. Dari pelawak yang pernah tampil dalam variety show Benjamin Show sambil tour dari kota ke kota sampai Malaysia dan Singapura ini muncul banyak idiom atau celetukan yang sampai kini masih melekat di telinga masyarakat, khususnya warga Jakarta. Sebut saja, aje gile, ma'di kepe, atau ma'di rodok, yang semuanya lahir dari lidah Benyamin.




NEWS 1977.

Benyamin s gagal jadi pilot, malah jadi kondektur bis, pegawai pn, penyanyi dan pemain film. sejak dinobatkan sebagai aktor terbaik tahun 1973 menjadi terkenal dan laris.

SETELAH Bing tiada, setelah Kwartet Jaya pecah, setelah Gudel berhenti pada langkah kecil, sering ditanyakan pada siapa lagi kita letakkan harapan sebagai penghibur kita semua.

Banyak grup bermunculan di ibukota. "Surya Grup" misalnya. Tapi ada seorang yang jauh lebih menampakkan potensi, karena dia berjuang sendiri. Setidak-tidaknya bahaya laten berupa perpecahan yang selalu melanda "grup" yang baru saja sukses, tidak jadi momoknya.

Dan orang itu adalah Benyamin. Lengkapnya: Benyamin S. Ia sudah tegak di antara kita, meskipun dimulai dengan banyak ganjelan. Tatkala seorang penyanyi dan pelawak dari kampung dinobatkan sebagai aktor terbaik pada tahun 1973, banyak orang melongo. Sedikit sekali yang benar-benar percaya, bahwa sebuah film komedi yang bernama Intan Berdun telah sanggup menyulap seorang penyanyi "gambang keromong" menjadi orang yang berhak menerima kehormatan yang diidamkan oleh setiap Bintang Film itu.

Benyamin - sang aktor - barangkali membuka juga telinganya pada waktu itu. Tetapi hatinya tetap tenang. Ia terus membuka mulutnya untuk mengucurkan lagu "pop" Betawi dengan lirik-lirik yang menyentuh hati masyarakat kelas bawah. Sementara itu tangannya mulai sibuk menandatangani kontrak film, untuk muncul dalam beberapa dagelan-dagelan konyol.

Kombinasi ini ternyata merupakan alat yang efektif sekali untuk menjadi orang yang populer dan kaya. Tiba-tiba saja anak bungsu keluarga Syuaib ini, sekarang sudah menempati sebuah rumah baru di Pondok Labu yang berharga sekitar Rp 100 juta. Tak kurang dari itu banyak orang menyangkakan permainannya dalam film Si Doel Anak Modern amat meyakinkan. Memang, Benyamin lebih dianggap sebagai seorang badut biasa. Tapi kini mungkin mulai terpikir juga apa yang ada sebenarnya di balik banyolan-banyolannya yang sederhana Sebab jelas ia tak lagi cuma badut. Setidaknya ia kini menjadi seorang produser yang antara lain menghasilkan film Koboi Ngungsi dan Hipies Lokal

Pada masa Rachmat Kartolo dipuja karena kecengengan dalam lagu "Patah Hati", Benyamin masih menjadi anggota rombongan yang berbunyi "cuap-cuap". Ia menempuh jalan yang cukup panjang sebelum mengecap enaknya macam sekarang.

Anak nomor 8 yang lahir dengan pertolongn dukun Saodah ini (5 Maret 1939) pernah bercita-cita untuk menjadi pilot. Setengah jam bergaul dengan dia sudah bisa terasa bahwa pilot gagal ini tidak hanya mengandelkan spontanitas dan lirik-lirik lagu yang bisa menukik cabul. Tapi juga punya "wawasan" tentang hidup. Ia tidak hanya tangkas, tukang sabet yang cerdik dari kenyataan sehari-hari yang kecil, tetapi juga manusia yang berpikir.

Ambisinya untuk mencuat sebagaimana seorang artis tidak sempat mematok dia jadi semata-mata robot penangkap duit. Ada gagasan moral yang selalu dicoba untuk dipeliharanya. Kalau kita katakan bahwa dia moralis, barangkali terlalu mengagetkan. Tetapi sesungguhnyalah dia tidak acuh tak acuh dan blo'on sebagaimana yang mungkin terkesan dari wajahnya. Barangkali perlu disebutkan di sini bahwa setelah tamat SMA (Taman Madya) bagian C, ia pernah menjadi mahasiswa Universitas Sawerigading jurusan Management sampai hampir tingkat II.

Kendati pada masa kecilnya tak pernah bermimpi akan jadi penyanyi dan bintang film, caranya mengutarakan kariernya pada saat ini, tidaklah dramatis. Benyamin memandang dengan biasa saja dan bercerita, betapa ibunya tidak berkenan memberi dia izin jadi pilot. Dengan kepintarannya sebagai tukang bola ia berhasil diterima sebagai pegawai PPD (Perusahaan Pengangkutan Djakarta) sebagai kondektur. Sebulan ia melayani rute Banteng-Jalan Minangkabau, Manggarai lalu berhenti. Ia tidak puas ijazah SMA-nya disamakan dengan SD. "Kerja saya suka brantem sama penumpang", kata Benyamin.

Tahun 1961 ia tercatat sebagai pegawai PN Asbes Semen selama 7 tahun. Tapi kemudian tatkala ada rasionalisasi ia keluar. "Saya keluar, saya nggak mau dipindah ke DKI untuk mulai dari nol lagi. Saya berhenti kerja, lalu ngandelin dari musik saja", kata Ben selanjutnya. "Saya nggak pikir, apakah saya bisa hidup atau nggak, pokoknya jalan terus!"

Kekerasan hati ini tidak dibarengi oleh kekonyolan, tapi perhitungan. Waktu itulah dia mengendarai DKW Humell milik kantor menyerahkan lagu "Nonton Bioskop" di studio DIMITA pada Bing Slamet. Almarhum Bing pada waktu itu hanya berkata: "Gua tahu lu bisa nyanyi, coba aja nyanyi". Benyamin tak berpikir lagi. Ia masuk ke studio. Kemudian lahirlah sebuah LP Pop Betawi yang berisi "Teisennya", "Kembang Jatoh", "Asal Mogok Genjot". Lagu yang disebutkan terakhir lahir karena DKW-nya mogok-mogok melulu di tengah jalan. "Asal mogok genjot", kata Ben sambil ketawa.

Caranya menulis lagu, yang bisa lahir di mana saja, barangkali dapat jadi gambaran hahwa orang ini telah berusaha tampil apa adanya. Kekasaran dalam lirik-liriknya, irama yang diketemukannya, dan kadangkala ke sentimentilan yang mencuat keluar dari lagu-lagunya, di samping merupakan ekspresi yang jujur juga merupakan satu cara supaya bisa komunikatif.

Dengan mengandelkan segi-segi yang murah dalam lagu-lagu itu kemudian Ben mencoba menitipkan sedikit pesan moral. Banyak orang dengan tidak sengaja hafal lagu-lagunya. Barangkali mula-mula karena tertarik oleh kemungkinan-kemungkinannya untuk memberi asosiasi cabul, tapi lama-lama ternyata Ben berusaha mengingatkan pada sesuatu tanpa kesan mendikte. Sampai di sini orang mau tak mau jadi berpikir bahwa di balik segala kejenakaan Benyamin yang spontan, tersimpan disiplin yang baik untuk melempengkan kenyataan yang timpang sehari-hari. Maka tak heranlah berkata seorang Mus Mualim: "Hanya satu yang tidak diketahui orang tentang Benyamin. Dia menghidupkan lagu Betawi yang nyaris mati, itu jasanya. Sebaiknya memang kepadanya diberikan penghargaan".

Benyamin sendiri tak bisa berkata-kata terhadap hal ini. Barangkali ia tidak tahu benar apakah dia menggali atau mengacaukan kebudayaan Betawi. Seperti dinyatakannya sendiri, setelah ia tidak berhasil menjadi pilot, cita-citanya yang lain yakni menunaikan ibadah ke Tanah Suci. Dan itu telah terlaksana haru-baru ini. Kini ia Haji dan ayah dari anak laki-laki. Dan ia sekarang lebih banyak memikirkan hari depan anak-anaknya, di samping sibuk main flm dan rekaman manakala ada kesempatan, dengan grup pengiringnya yang bernama The Bebi's.

Dengan didampingi oleh Noni, isterinya yang dinikahnya waktu tamat dari SMA (waktu dia berumur 19 tahun sedangkan Noni 17 tahun) Benyamin jadi salah seorang artis yang paling sibuk kini di Ibukota. Tahun ini (1976) saja ia sempat menolak beberapa film, karena tak mungkin bisa dilayaninya lagi. Sedangkan tahun depan (1977) hampir sepanjang tahun telah penuh.

Toh ia masih merencanakan melakukan beberapa tour ke daerah. Ia menulis lagu, juga kini mulai menulis cerita untuk film-fllm yang digarapnya sendiri. Selain itu ia membiarkan juga putera sulungnya Beib Habani (17 tahun) mendirikan band yang kini sudah menghasilkan dua buah kaset lagu-lagu, yang tak jauh warnanya dari lagu-lagu Ben sendiri. Anak-anaknya yang lain Bob Benito (14), Beim Triani (12), Beno Rachmat (10) dan Benny Pendawa (7) ada kemungkinan juga akan men8ikuti jejaknya, sebagai penyanyi atau pemain film.


PUJIAN DARI PARA SUTRADARA, DAN KOLEGAN KERJA

BERIKUT ini adalah komentar dari beberapa kalangan yang lebih merupakan parade pujian. Mudah-mudahan tidak terasa sebagai sekedar "kecap" saja.

Turino Junaidi (produser dan sutradara Intan Berduri)

Aktor Benyamin adalah gambaran dari orang yang ulet, kritis dan tahu menyampaikan pesan dalam film. Ini menyebabkan aktingnya selalu mengena dan bagus. Itu sebabnya kalau dia main film dan kebetulan sutradaranya kurang mampu bisa termakan oleh Benyamin. Ia akan menjadi aktor yang baik, asal dia bisa lebih teliti dalam memilih peran. Karena selama yang saya lihat ia hanya main begitu saja dalam banyoian yang konyol. Mau tak mau masyarakat penonton kalau disuguhi yang begitu-begitu saja tentu bosan. Akibatnya orang tidak gandrung lagi pada Benyamin, padahal sekarang ini dia cukup berakar di masyarakat, terutama di angan masyarakat Betawi.

S.M. Ardn (penulis dan sutradara Lenong)

Benyamin adalah orang Betawi yang ikut menggali kebudayaan Betawi. Walaupun itu dilakukan dengan caranya sendiri, tapi memang kebanyakan orang Betawi cara hidupnya seperti yang dinyanyikan oleh Benyamin. Sok keren, tapi tidak mau kerja. Di sinilah baiknya Benyamin. Ia tidak hanya menunjukkan kelakuan orang Betawi tapi juga memperlihatkan pada orang Betawi bahwa cara yang semacam itu bisa terlintas, zaman.

Sebetulnya tidak hanya Benyamin, para penulis dan pengarang lagunya juga ikut berjasa. Tapi biasanya yah siapa yang menyanyikan, itu yang menonjol. Satu hal yang menggembirakan adalah bahwa Benyamin tetap bertahan dengan Kebetawiannya. Ia tidak tergoda menyanyikan lagu selain dengan gaya dan lagu Betawi. Walaupun iramanya hard rock tapi syairnya letap Betawi, bahkan lagu Melayu pun gayanya tetap Betawi. Itulah yang menyebahkan dia tetap bertahan di hati masyarakat Betawi. Memang lagu-lagunya tidak bersumber pada lenong, cokek maupun topeng Betawi, tapi gaya pembawaannya boleh dikatakan ia meniru atau berkiblat pada kebudayaan teater asli Betawi tersebut.

Syuman Jaya (sutraara Si Doel Anak Modern)

Benyamin punya bakat dan bakat alam. Dia bisa menjadi aktor besar asal diarahkan sutradara yang tahu betul-betul bakatnya. Dia pencipta lagu, penyanyi, pemain film, bisa jadi pelawak tapi bukan down dalam jasmani ataupun ucapan yang disalah-salahkan. Ia melawak untuk menyindir suasana. Ia adalah gambaran dari kehidupan orang Betawi. Ia juga bisa menulis sajak walau pun masih acak-acakan. Dari semua itulah saya melihat kemampuannya yang belum dipunyai oleh orang lain, katakanlah aktor lain .

Saya katakan berbakat alam, karena ia tidak pernah menginjak bangku akademi. Ia anak Betawi yang jenial. Lawakan maupun lagu-lagunya selalu hasil pengamatan dari fenomena keadaan Betawi, ini menyebabkan dia berakar di kalangan rakyat Betawi, meskipun memang belum bisa berakar pada tingkat nasional seperti Bing Slamet. Tetapi kalau dia tidak terlalu sering mengobral banyolan dalam film-film yang konyol, pada suatu saat nanti Benyamin akan mencapai akar yang sama dengan Bing.

Mus Mualim (musikus)

Meskipun Benyamin kuat di panggung dan layar putih, yang pertama lebih bisa diterima karena dia mula-mula lahir sebagai penyanyi. Sejak dia tampil ke depan publik dengan lagu "Nonton Bioskop" (karangan Benyamin) yang dibawakan almarhum Bing, sampai ia memperoleh pasangan baru Lina Effendy, tidak ada yang berubah dalarn dirinya. Dia lebih menonjol ketimbang Rachmat Kartolo atau Lily Suhaeri yang menyanyikan gambang kromong, karena kedua penyanyi ini terlalu asli. Lagu-lagu Betawi Benyamin lebih pop, mempunyai banyak variasi dan tidak mengganggu. Dia juga kaya dalam berimprovisasi dan spontan. Dia telah menghidupkan lagu Betawi yang nyaris mati. Sebaiknya kepadanya diberikan penghargaan.

Oma Irama dan Benyamin mempunyai persamaan, dua-duanya berada di kalangan bawah. Cuma saja lagu-lagu Oma ada falsafahnya sedikit, seperti lagu "Rupiah" yang bikin heboh itu. Secara musikal Oma lebih berbobot. Tapi letak kekuatan Benyamin bukan pada lagu tapi pada lirik -- yang sering bikin geger. Tapi lirik itu kalau tidak dibawakan oleh Ben sendiri jadi jelek. Karena bicara tentang Benyamin adalah bicara soal dialek. Kalau dia habis nyanyi, selesai. Sedangkan pada Oma baik lirik musik, lagu dan aransemen semuanya rapih ada yang bisa diomongkan. Untunglah Benyamin mempunyai medium lain, film. Kalau tidak ia akan terdesak Oma.

Nonton Benyamin di film jangan bicara soal akting, selama ini kita nonton dia membadut saja. Badutannya memang cocok untuk konsumsi golongan bawah apalagi Jakarta. Nggak ada gunanya dia melompat ke tengah atau ke atas. Dia harus dipelihara untuk bawah, kalau dia pergi dari situ, berarti akan terjadi kekosongan. Belakangan mungkin dia bisa jadi aktor. Tapi untuk film Si Doel Anak Modern misalnya justru jadi tanda tanya, soalnya digarap serius. Seperti halnya pada lagu, kalau digarap serius, menimbulkan tanda tanya.

Junaidhi (pelawak Yogya - duplikat Beryamin)

Sebagai seorang pelawak saya sukar untuk tertawa. Tapi melihat Benyamin saya jadi heran kok bisa menarik. Padahal melihat wujudnya dia itu nggak bagus. Dia ini punya ilmu apa?

Saya ini, terus terang saja, sekarang ini banyak meniru Benyamin, baik logatnya, nyengirnya. Dia membongkar peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat, terutama melalui lirik lagunya. Semua orang kena, baik yang lagi pacaran, yang utang maupun yang kredit. Lawaknya memang bawaan bukan dibuat-buat. Dia memang sudah ditakdirkan jadi pelawak sendirian. Jorok dan porno memang kadang-kadang perlu kalau mau tenar.

Yasir Syam (pengarang lagu)

Ciri lagu Benyamin: humor, suka ngeledek dan sekenanya. Tapi tidak menyeleweng dari perasaan, sebab dia selalu membuat lagu itu apa adanya. Notnya gamblang, bisa difahami. Saya menghargai lirik-lirik lagu yang dihasilkannya. Apalagi kalau sudah diselingi oleh banyolan Ida yang genit, sedikit binal.

Lagu "Kompor Meleduk" dibandingkan dengan lagu-lagunya yang dulu seperti "Ondel-Ondel", "Panjat-Panjatan" sebenarnya sudah kurang kena. Kenapa? Chordnya sudah kebarat-baratan. Rock'n Roll, itu kan beat Barat. Menurut saya"Ondel-Ondel" rasa lndonesianya masih kuat. Saya sarankan agar Benyamin kembali ke jalan yang dulu, terutama pada jenis lagu dan lirik lagu. Sebab akhir-akhir ini saya lihat Betawinya hilang.

Saya terapkan taktik napoleon...

Wawancara dengan benyamin tentang menyanyi, lagu betawi, mengarang lagu, serta main film. juga tentang sikap hidupnya.

DI bawah ini wawancara dengan Benyamin yang dilakukan di tempat kediamannya yang baru di Pondok Labu. Ini adalah gedung beton dengan halaman seluas lebih dari 500 mÿFD dengan perlengkapan sebuah ~VW Beetle, Peugeot Coklat sebuah VW Combi, meja bilyard dan Ensiclopaedia Britanica Rumah ini tampaknya tenang dan orang-orangnya rukun.

Tanya: Mengapa ar~da menyanyikan pop Betawi?

Jawab: Bersamaan dengan masa konfrontasi Malaysia, lagu ngak-ngik-ngok diganyang. Lagu-lagu Minang kemudian mengorbit. Dalam hati saya timbul pertanyaan, lagu Betawi 'kan banyak? Saya kan orang Betawi, kenapa nggak bisa? Kemudian lagu-lagu itu saya gali. Tadinya sih cuma ngarang lagu, misalnya saja "Ade-Ade Saja" dan "~ujan Cerimis" Kemudian Bing memberi kesempatan.

T: Bagaimana caranya anda bisa mengarang lagi begitu banyak?

J: Inspirasi timbul di mana saja, kapan saja. Sering di kakus jadi. Pada hal kebanyakan orang kan bengong di kakus. Lagu "Lampu Merah" lahir di perempatan jalan, lagu "Si Jampang" dikarang waktu anak saya main gambar tempel di baju kaosnya.

T: Lirik-link anda sering menjurus jadi jorok, apa disengaja?

J: Kadang disengaja, kadang tidah. Biar kayak pisau mata dua. Naa, tinggal asosiasi kita saja, sebab pikiran orang 'kan selalu menjurus ke sana. Kalau kita belajar Etnologi, manusia 70% cenderung berbuat kejahatan, naa yang cenderung ini saya ambil. Mereka tidak sadar, asal kita sendiri jangan sampai menjurus ke sana. Manfaatnya, kayak lagu "Lampu Merah", dia kan akhirnya tahu peraturan lalu lintas.

Saya nggak berani bikin lagu yang sifatnya mendikte. Sebab saya sendiri nggak mau dinasehati, makanya saya kasih humor saja, supaya ingat. Sebab harus kita akui pikiran manusia itu kriminil. Lagipula sifat orang Indonesia kan humoristis, biar di rumah berkelahi. di jalanan bertemu teman bercanda. Ini sifat dari Sabang sampai Merauke.

T: Untuk siapa anda menyanyi?

J: Saya pikir dulu saya nyanyi untuh lokal Jakarta, ternyata sekarang sampai luar negeri. Tanya deh mahasiswa yang baru pulang dari luar negeri pasti punya lokasi, eh, koleksi kaset saya. Baili lia di Jerman atau London. Saya tidak bcrpikir untuk golongan manakah saya nlenyanyi. Saya mencoba mengetrapkan lagu-lagu Betawi - kayak lagu-lagu Minang.

T: Apa anda punya guru?

J: Guru dalam spirit almarhum Bing Slamet. Waktu Bing nyanyi saya tanya pada diri sendiri kapan saya bisa nyanyi kayak dia. Gua nggak mau nyanyi kalau nggak kayak dia. Saya sering berkunjung ke rumahnya. Bing sering pesan: "Kalau kita mau nyanyi jangan malu-malu dan jangan lupa asal mula".

T: Kenapa anda sering main film-film konyol?

J: Ibarat dalam lagu, kita bedakan ada lagu yang serius dan rusak-rusakan. Jadi ada pemisahan menurut kemauan produser dan sutradara. Kalau misalnya filmnya dibikin brengsek seperti Biang Kerok, mau nggak mau saya mesti main begitu. Kalau diminta lagi kayak si Doel saya berusaha menyesuaikan bagaimana kemauan Syumanjaya (sutradara). Jangan lupa si Doel skenarionya saya baca beberapa kali. Di film lainnya, begitu saya tahu jalan ceritanya, saya improvisasi saja.

T: Apa karier anda tidak mempengaruhi kehidupan keluarga anda?

J: Tidak. Sebab isteri saya dapat mengerti dan membantu saya. Itu sebabnya saya jarang pergi sama-sama dengan dia khawatir kalau-kalau ada perlakuan dari orang-orang terhadap saya yang tidak bisa diterimanya. Cuma satu hal yang saya takutkan dalam hal ini, efek terhadap anak. Dalam film perasaan orang awam sudah ngecap: "Oh Benyamin itu begitu!" Saya takut kalau dalaun hati anak-anak itu lalu bilang: "Oh bapak lu begitu". Untuk ini saya selalu berikan mereka kebesaran hati, itu hanya dalam film. Pada isteri saya bilang: Saya tidak bercita-cita untuk jadi bintang, itu terbawa hidup saja.

T: Apa anda banyak membaca atau punyaa hobi lain?

J: Ya. Saya baca buku karangan Hamka. Dan saya senang filsafat. Filsafat hidup saya: dalam jejak kita harus menengok ke belakang, musuh yang utama adalah diri sendiri. Saya senang membaca riwayat hidup orang-orang besar. Bismarck dan Napoleon misalnya. Saya terapkan taktik Napoleon dalam lagu. Menurut dia sebelum kita tanyakan rencana kita pada seorang Jenderal lebih baik tanyakan dulu pada seorang Kopral. Jadi dalam lagu, sebelum saya tanyakan pendapat orang pinter tentang lagu saya, saya tanya dulu anak saya sendiri.

T: Bagaimana sikap anda terhadap kritik atau kecemburuan orang terhadap sukses anda?

J: Sebetulnya dulu saya tukang ribut, fisik, orang ngeliatin saja nggak boleh. Tapi sekarang lain. Di dunia ini tak semua orang benci pada kita tapi juga tidak semuanya senang sama kita, itu kan baik buat balans. Menghadapi serangan saya lebih banyak diam, karena saya ibaratkan sebagai bantingan bola bekel, makin keras bantingnya makin keras juga mumbulnya.

Dulu pernah ada kasus Persoalan Bintang Mirip, ada orang yang mirip saya yang mau menantang ngadu akting, ada tulisan yang sifatnya menyerang menjelek-jelekkan, tapi tidak saya ladeni. Belakangan orangnya datang sendiri secara baik-baik tanya mengapa saya tidak balas. Saya bilang pada dia: "Kamu kan sebagian kecil dari embel-embel yang diadu oleh orang. Kalau saya layani itu kan ngotor-ngotorkan mulut saja". Bagi saya andaikan ada orang berbuat kesalahan lalu datang pada kita, kita jangan memberi hukuman, biarkan hati kecilnya yang menghukum dirinya sendiri.

T: Kadangkala terselip pula lagu sentimentil dalam alum anda, apa anda punya masa lalu yang menyedihkan?

J: Karena saya senang pada Percy Sledge, di samping senang yang jantan-jantan seperti Marlon Brando, Kirk Douglas dan Charles Bronson. Terus terang barangkali karena saya anak bungsu kurang sekali yang menyedihkan. Tapi itu terbawa sampai sekarang, saya suka ngambek. Kepada isteri saya juga begitu, saya kira saya lebih manja daripada dia.

T: Apa harapan anda untuk masa datang?

J: Dulu saya bercita-cita jadi penerbang, sekarang apalagi cita-cita saya kalau bukan membesarkan anak. Tapi di depan Ka'bah saya minta supaya orang Indonesia semuanya disiplin dalam segala hal. Tapi saya sadar semuanya tidak bisa diminta saja, tapi harus dijalankan.

T: Bagaimana dengan pasangan baru Herlina Effendy, puas?

J: Saya merasa paling cocok dengan Ida. Lina Effendy dalam penyesuaian. Insya Allan bisa, tapi harus usaha cari bentuk. Ida kan sampai 5 tahun, dari tahun 1971 sampai kawin. Bahkan kemarin dulu setelah kawin masih mau saya ajak ke Ujung Pandang.

Pilih bing atau ben
Animo masyarakat terhadap kaset maupun film benyamin di kota kota kisaran, asahan, tanjung tiram, yogya, surabaya dan semarang.
DI Kisaran, Kotamadya Tanjung Balai, Tanjung Tiram, berkatalah A Kang pemilik toko kaset Matahari: "Orang mau Benyamin, bukan Ida Royani atau Herlinanya. Siapa saja pasangan Benyamin nampaknya tidak akan berpengaruh".

Memang di kabupaten Asahan, propinsi Sumatera Utara ini, Benyamin disambut lumayan. Barangkali karena penduduknya heterogen. Terbukti semua pengusaha kaset yang dihubungi TEMPO di sana menyatakan kelarisan Benyamin. Pembelinya meliputi segala lapisan masyarakat. Memang kebanyakan di antaranya adalah orang-orang kebon - karyawan perkebunan - yang berasal dari Jawa. "Lagu Benyamin banyak lucu, pokoknya lucu mereka senang", ujar Minarni, pengusaha toko Sanyo. Disebutkannya juga bahwa lirik-lirik yang cenderung menjadi jorok tidak membendung orang tua membelikan kaset untuk anak-anaknya.

Tapi 27 Km dari Kisaran, di Tanjung Balai. Benyamin tak bisa berkutik. "Payah", kata orang sana. Per bulan paling banter hanya bisa terjual 20 buah, sementara tak kurang 2000 buah kaset setiap bulan disabet oleh para pembeli. "Paling yang tanya kaset Benyamin orang-orang kota sini, yaitu bapak-bapak pejabat, yang lain jangan harap", kata pengusaha toko Victory.

Untuk layar perak, nasib Benyamin di daerah ini lebih terang. Bahkan film Karmila yang meledak di Ibukota dan di sini dipublikasikan besar-besaran hanya mampu bertahan 3 malam. Sedangkan Benyamin selalu sempat mengeruk penonton kelas bawah, tengah dan atas meskipun yang disebutkan terakhir memasuki gedung untuk mengantar anak-anaknya.

Ada yang mencoba menganalisa ini karena adanya kegemaran untuk berbahasa Betawi sedikit-sedikit dalam pergaulan seperti memprgunakan kata deh, sih, dong dan ente. Bahkan di Kisaran ada yang merasa lebih gagah kalau memakai istilah-istilah Betawi dalam bicara. Di Tanjung Tiram Benyamin bahkan mampu menggeser film India dan Mandarin. "Peranan yang dibawakan Benyamin selalu akrab dengan rakyat kecil, meski dibawakan dengan lawakan, selalu mencerminkan sketsa kehidupan rakyat kecil", kata Camat Tanjung Tiram mencoba cari alasan. "Orang tak peduli apakah filmnya itu bermutu atau tidak, pokoknya lucu dan akrab, habis perkara, penontonnya banjir".

Satu-satunya yang mampu mengalahkan film Benyamin adalah film-film dari Bing Slamet. Film Dukun Palsu dan Setan Jalanan pernah diputar selama 2 malam berturut-turut dengan 14 kali show. Ternyata tempat padat. Sampai saat ini Benyamin belum mampu demikian.

Kekalahan Ben kontra Bing juga terjadi di Yogya. Baik Biang Kerok I, Biang Kerok II maupun Si Jimat selalu keok kalau berhadapan dengan film-film Bing. Si Jimat misalnya seperti diungkapkan oleh Kiatantho pengusaha bioskop Soboharsono hanya mampu menarik sepertiga kali penonton Setan Jalanan. Ini menyebabkan dia tidak punya ambisi lagi memegang film Benyamin. Pengusaha ini menyangkakan dialek Betawi Benyamin serta guyonnya yang kasar tidak berkenan di hati Wong Yogya. Sebagaimana diketahui Yogya adalah kota mahasiswa, Kiatantho merasa Benyamin belum mampu menembus masyarakat elite. Publiknya adalah anak-anak 15 tahun ke bawah. Apalagi belakangan ini dirasanya permainan Benyamin kurang mantap, sedangkan pembuatan filmnya sembrono. Sedangkan segi lain dari Benyamin, sebagai penyanyi (dengan pasangan Ida Royani) dahulu pernah posisinya cukupan. Kini grafiknya menurun, bukan saja karena Herlina Effendy pasangan barunya dianggap belum setarap dengan Ida, juga karena publik sana lebih doyan kalau Ben menyanyikan pop Indonesia ketimbang gambang kromong.

Di Surabaya dahulu kaset-kaset Benyamin sehari bisa sampai laku 10 biji dalam sebuah toko di Pasar Turi. Tapi kini jarang yang menjajakannya. Diperkirakan karena tertutup oleh popularitas kaset Edy Silitonga, Koes Plus atau Bimbo. Tapi alasan yang lebih banyak disebut adalah karena Herlina memang belum bisa menggantikan tempat Ida.

Beruntunglah bahwa dalam gedung bioskop Benyamin masih mampu berkutik, meskipun hanya untuk bioskop golongan D. Untuk daerah Jawa Timur yang memiliki 152 bioskop yang tersebar di 54 buah kota Benyamin pernah mencatat angka 60.000 penonton untuk Koboi Ngungsi dan sekitar 45.000 untuk film Samson Betawi dan Traktor Beyamih.

Kejenakaan Benyamin dalam lagu untuk kota Semarang rupanya bukan apa-apa. Tapi ini bukan gara-gara lenyapnya Ida. Sejak lama sudah Benyamin memang tak punya pasaran di kota ini. Beberapa cukong yang sering mengundang artis untuk show di Gelanggang Olah Raga kurang yakin kalau mendatangkan Benyamin akan bisa meraih uang, kecuali kalau didampingi oleh tokoh lain. Memang film-film Benyamin laris, juga filmnya yang terakhir Si Doel Anak Modern Tapi itu amat terbatas pada masyarakat bawah.

Hanya saja ada terasa bahwa kendati logat Betawi Benyamin serta kekasarannya membuat dia hanya dinikmati kelas bawah, kemajuannya sebagai pemain film akan menolong dia menembus kelas elite. Sebagaimana Oma Irama yang juga bertekad membawa dang-dutnya ke kalangan atas, Ben mungkin masih menunggu waktu saja untuk menjadi milik setiap orang, sebagaimana halnya almarhum Bing.Majalah Tempo 1 Januari 1977


TANTE GARANG                                    1983IDA FARIDA
                    Actor
SAMA GILANYA 1983 NAWI ISMAIL
Actor
MUSUH BEBUYUTAN 1974 SYAMSUL FUAD
Actor
BIANG KEROK BERUNTUNG 1973 NAWI ISMAIL
Actor
BING SLAMET SETAN DJALANAN 1972 HASMANAN
Actor
SELANGIT MESRA 1977 TURINO DJUNAIDY
Actor
RAJA COPET 1977 SYAMSUL FUAD
Actor
CUKONG BLO'ON 1973 C.C. HARDY
Actor
SI KABAYAN SABA METROPOLITAN 1992 MAMAN FIRMANSJAH
Actor
HIPPIES LOKAL 1976 BENYAMIN S
Actor Director
PINANGAN 1976 SJUMAN DJAYA
Actor
BETTY BENCONG SLEBOR 1978 BENYAMIN S
Actor Director
DUYUNG AJAIB 1978 BENYAMIN S
Actor Director
AKHIR SEBUAH IMPIAN 1973 TURINO DJUNAIDY
Actor
BUAYE GILE 1974 SYAMSUL FUAD
Actor
MUSANG BERJANGGUT 1983 PITRAJAYA BURNAMA
Actor
LIMA SAHABAT 1981 C.M. NAS
Actor
DUKUN KOTA 1978 SYAMSUL FUAD
Actor
BERSEMI DI LEMBAH TIDAR 1981 FRANK RORIMPANDEY
Actor
TUAN, NYONYA DAN PELAYAN 1977 SYAMUL FUAD
Actor
BAPAK KAWIN LAGI 1973 LILIK SUDJIO
Actor
TARSAN PENSIUNAN 1976 LILIK SUDJIO
Actor
TARSAN KOTA 1974 LILIK SUDJIO
Actor
SORGA 1977 TURINO DJUNAIDY
Actor Composer
PERCINTAAN 1973 PITRAJAYA BURNAMA
Actor
SI DOEL ANAK BETAWI 1973 SJUMAN DJAYA
Actor
SI DOEL ANAK MODERN 1977 SJUMAN DJAYA
Actor
ANGKARA MURKA 1972 CHAIDIR RACHMAN
Actor
HOSTESS ANITA 1971 MATNOOR TINDAON
Actor
DRAKULA MANTU 1974 NYA ABBAS AKUP
Actor
RATU AMPLOP 1974 NAWI ISMAIL
Actor
SETAN KUBURAN 1975 DAENG HARRIS
Actor
INTAN BERDURI 1972 TURINO DJUNAIDY
Actor
DUNIA BELUM KIAMAT 1971 NYA ABBAS AKUP
Actor
SAMSON BETAWI 1975 NAWI ISMAIL
Actor
TIGA JANGGO 1976 NAWI ISMAIL
Actor
BENYAMIN RAJA LENONG 1975 SYAMSUL FUAD
Actor
BENYAMIN KOBOI NGUNGSI 1975 NAWI ISMAIL
Actor
BENYAMIN SPION 025 1974 TJUT DJALIL
Actor
BENYAMIN SI ABUNAWAS 1974 FRITZ G. SCHADT
Actor
BENYAMIN BRENGSEK 1973 NAWI ISMAIL
Actor
BENYAMIN BIANG KEROK 1972 NAWI ISMAIL
Actor
BENYAMIN TUKANG NGIBUL 1975 NAWI ISMAIL
Actor
AMBISI 1973 NYA ABBAS AKUP
Actor
JIMAT BENYAMIN 1973 BAY ISBAHI
Actor
KOMEDI LAWAK 88 1986 SYAMSUL FUAD
Actor
SI RANO 1973 MOTINGGO BOESJE
Actor
TRAKTOR BENYAMIN 1975 LILIK SUDJIO
Actor