Menampilkan postingan yang diurutkan menurut tanggal untuk kueri Pembalasan Ratu Laut Selatan. Urutkan menurut relevansi Tampilkan semua postingan
Menampilkan postingan yang diurutkan menurut tanggal untuk kueri Pembalasan Ratu Laut Selatan. Urutkan menurut relevansi Tampilkan semua postingan

Selasa, 29 November 2011

FILM SEX, HANYA MENGIKUTI PASAR ATAU PRODUSER MENCEKOKI PENONTON?

 FILM SEX, HANYA MENGIKUTI PASAR ATAU PRODUSER MENCEKOKI PENONTON?
 

Sudah saya bilang, pornografi adalah ratting tertinggi penontonnya, artinya yang akan ditonton oleh semua orang, baik yang malu-malu ataupun yang terang terangan. Yang pasti pornografi dari jaman dulu memang sudah di sukai semua orang. Jadi jelas disini, kalau mau laku ya, bikin pornografi. Baik yang terang-terangan atau yang malu-malu dengan sejumlah alasan. Tetapi kalau mau tidak terlalu untung besar, kan bisa tanpa pornografi?

Sekarang pertanyaan saya adalah, apakah produser mau untung besar banget dengan modal kecil. Atau mau untung biasa saja? Dari pertanyaaan ini bisa diartikan serakah keuntungan atau tidak?

Jadi siapa yang sebenarnya? Kata Produser mengikuti pasar penonton? Atau kata penonton mengikuti pasar film? Ini sama saja mencari jawaban, telur dulu atau ayam?????

25 Juni 1994


Film indonesia, silakan back to basic 
SEORANG
gadis cantik melepaskan sepatunya, stokingnya, blusnya, lalu roknya yang berwarna merah. Seorang lelaki mendekatinya, menggendongnya, membawanya ke ranjang. Dan kemudian ranjang bergoyang-goyang. Pada saat lain seorang gadis desa yang belum lama di kota, hampir menjadi bulan-bulanan pemerkosaan pamannya. Ia sempat kabur. Di tengah jalan, terjadi lagi adegan "hampir" itu, oleh lima pemabuk. Untunglah, seorang lelaki mengaku fotografer free-lance menolongnya. Dan seterusnya, dan apa pun yang ingin diceritakan, adegan buka- bukaan (secara sukarela atau dipaksa), gendong-menggendong, atau tindih-menindih itulah yang disajikan. Inilah film berjudul Gaun Merah, yang pekan lalu beredar di Jakarta, juga Bali. Seperti itulah dalam satu setengah tahun belakangan ini prototip sebagian besar film Indonesia. Apa pun judulnya, adegan semacam itu yang berulang disajikan. Adapun cerita boleh dianggap tak ada. Begitulah laporan wartawan dan koresponden TEMPO di berbagai kota, yang menonton berbagai film Indonesia. Dari Gaun Merah sampai Cinta dalam Nafsu, dari Gadis Malam sampai Akibat Hamil Muda. Dan film Indonesia jenis itulah, tampaknya, yang mendapatkan penonton. Jenis yang lain, film laga (action) misalnya, asal dibumbui seks secukupnya, ditanggung mengundang penonton juga. Pun film komedi gaya Warkop, yang belakangan aroma seksnya makin semarak, laris. Tanpa bumbu seperti itu, lazimnya film itu seret. 

Menurut data PT Perfin, distributor tunggal film Indonesia, di Jakarta tahun 1993 film komedi karya Putu Wijaya, Plong, yang tak mencoba bermain-main dengan seks, hanya mendapatkan sekitar 8.400 penonton. Sedangkan film yang berbau seks, Gadis Metropolis, umpamanya, ditonton lebih dari 200.000 orang. Pada triwulan pertama tahun ini, perbandingan seperti itu masih terjadi: film komidi Si Kabayan hanya memperoleh pembeli karcis hampir 35.000. Sedangkan Gairah Malam mendapatkan penonton hampir 265.000. Tentu, ada perkecualiannya, Ramadhan dan Ramona, pemenang Citra tahun 1992, yang beredar tahun 1993, ternyata laris (lihat tabel). Tetapi lain dulu lain sekarang, film seks masa kini hadir dengan mulus, tanpa komentar ramai, tanpa protes dari masyarakat - protes secara grenengan sih masih ada. Tahun 1989, muncul protes masyarakat, bahkan juga DPR. Waktu itu film Pembalasan Ratu Laut Selatan karya Tjut Djalil dianggap vulgar karena menjadikan seks dan kekerasan sebagai menu utama. Akhirnya, Pembalasan ditarik dari peredaran. Kalau toh ada ramai-ramai soal film seks sekarang ini, bukan filmnya yang diprotes, melainkan posternya. Di Pamekasan, Madura, akhir Mei lalu, para ulama menyatakan keberatan dipasangnya poster-poster film nasional yang menurut mereka tak senonoh. Itu antara lain poster film Gadis Malam, Perempuan, dan Gaun Merah. "Kami keberatan jika poster semacam itu dipasang di muka umum," kata Hamid Manan, Ketua NU Cabang Pamekasan. Keresahan itu langsung mendapat tanggapan dari Mul- yadi, Penjabat Bupati Pamekasan. 
 
 
 
Dua hari kemudian, poster- poster pun diturunkan. Tak jelas mengapa filmnya itu sendiri tak diprotes. Mungkin filmnya masih bisa diterima oleh para kiai itu, atau kemungkinan besar para kiai memang tak menontonnya. Tapi memang, tim Laporan Utama TEMPO kali ini menyimpulkan, poster-poster film Indonesia kini lebih merangsang daripada filmnya itu sendiri. 

Lihat saja poster Cinta dalam Nafsu, yang menggambarkan seorang perempuan telentang penuh gairah. Atau iklan film ini di majalah: lelaki bermotor, memboncengkan seorang wanita asing yang mengibarkan beha putih. Harap maklum, adegan berboncengan dalam keadaan topless itu tak ada dalam filmnya -- mungkin kena gunting sensor. Tapi, tak lalu film-filmnya itu sendiri bertutur dengan gambar-gambar yang alim. Seperti sudah disinggung, film jenis ini mementingkan gambar, mengabaikan cerita. Cinta dalam Nafsu adalah cerita seorang suami, pengusaha kaya dan tampan, yang cerai dengan istrinya. Lalu, sepanjang film itu ia jatuh ke pelukan wanita yang satu pindah ke yang lain. Maka, sepanjang film pun, sekitar 70 menit, adalah adegan percumbuan ke adegan ranjang. Tapi apa salahnya menyajikan adegan seks? "Seks itu indah, dan itulah yang diungkapkan dalam film-film bermutu," kata Sutradara Slamet Rahardjo, yang film kanak-kanaknya, Langitku Rumahku, banyak dibicarakan para pengamat film meski hanya beredar singkat di Indonesia. Slamet tak menjelaskan bagaimana itu "film bermutu". Mungkin ia mengacu pada film Barat, misalnya Last Tango in Paris, yang berkisah tentang dua manusia yang mencari diri, dan caranya dengan melakukan hubungan seks. Atau The Piano, yang melukiskan hubungan seks sebagai alat berkomunikasi dan berekspresi tokoh wanitanya yang terbelenggu oleh suaminya yang tak mau memahaminya. Masalahnya, dalam hal film Indonesia belakangan ini, kata Slamet pula, "apakah adegan-adegan itu ada konteks ceritanya atau tidak, dan bagaimana cara mengungkapkannya." Sayang sekali, adegan seks dalam film kita itu, katanya, lepas dari cerita, dan dari sudut sinematografi cara pengungkapannya sangat vulgar. Sebagai wakil ketua Karyawan Film dan Televisi, yang harus menandatangani rekomendasi untuk produksi sebuah film, Slamet mengaku merasa malu melihat keadaan ini. "Seakan-akan para sutradara sudah kepepet dan kehilangan akal untuk membuat film, hingga mereka mencari jalan pintas untuk bisa menjual filmnya," katanya. Tapi Budiati Abiyoga, produser yang tampak optimistis tentang nasib film Indonesia, tak melihat soal kepepet itu. 
 
Di setiap zaman, katanya, masalah ini akan selalu muncul, karena seks adalah salah satu naluri manusia. Bentuk penampilannya dalam film tentunya disesuaikan dengan zamannya pula. Dan biasanya pula, katanya, akan selalu ada pihak yang menentangnya. Ia memberi contoh. Pada tahun 1960-an, sebuah film berjudul Bumi dan Langit karya Dokter Huyung diprotes oleh Pelajar Islam Indonesia Medan, sebelum sempat beredar. Gara-garanya, poster film itu menggambarkan adegan berciuman antara pria dan wanita. Lalu, tahun 1967, ketika film Indonesia lesu karena keran impor dibuka, muncul Bernapas dalam Lumpur yang mencoba mengatasi kelesuan dengan adegan ranjang. Film ini tercatat sebagai film terlaris masa itu. Suzanna, aktris yang membintanginya, langsung populer sebagai aktris termahal yang berani melakukan adegan ranjang dengan pakaian yang agak terbuka. Bernapas disusul film lain seperti Tante dan Seks. Garin Nugroho, sutradara Cinta dalam Sepotong Roti -- film pemenang Citra tahun 1992 -- kurang optimistis ketimbang Budiati. Menurut Garin, dulu di antara film-film seks lahir sejumlah sutradara baik dengan film yang baik. Karena itu, terjadi keseimbangan, kurang-lebih. Kini, suasana berbeda, karena terasa dunia film makin macet. Setidaknya, dari segi jumlah, dominasi film seks sangat terasa. Lalu, kenapa bisa terjadi dominasi itu? Pada ulang tahun Persatuan Produser Film Indonesia setahun silam, Ketua Komisi Sosial Budaya Dewan Film Nasional, Rosihan Anwar, mengemukakan sebuah konsep, yakni back to basic. Maksudnya, anjuran agar "para produser membuat film dengan formula menghibur, misalnya dengan tema ringan, komedi dibumbui ramuan seks," tutur Rosihan. 

Rosihan mengemukakan "konsep" itu menjawab keluhan para produser tentang lesunya perfilman nasional dua atau tiga tahun terakhir ini. "Saya juga mengimbau Badan Sensor Film untuk sedikit melonggarkan sensor mereka terhadap film nasional," kata Rosihan pula. Tak jelas, apakah Badan Sensor Film menuruti imbauan itu. Kenyataannya, dari 32 film Indonesia yang beredar di Jakarta tahun 1993, hanya tiga di antaranya yang bisa dikatakan bebas bumbu seks yang norak. Yakni, Plong karya Putu Wijaya, Ramadhan dan Ramona karya Chaerul Umam, dan Yang Muda yang Bercinta karya Syuman Jaya (ini film lama yang diputar kembali). Sedangkan sisanya adalah film silat, horor, komedi, dan drama yang menempatkan bumbu seks sebagai menu, kadang malah menu utama. Tahun ini, dari 15 film yang sudah beredar di bioskop Indonesia, tak satu pun yang bisa dianggap film "serius". Memang, ada Surat dari Bidadari dan Badut-Badut Kota, tapi sampai pekan lalu berlum beredar. Jadi, benarkah Badan Sensor Film kini banyak mengistirahatkan guntingnya? "Kami selalu kena getahnya," kata Ketua Harian BSF, Soekanto. "Banyak film Indonesia yang kami potong hingga beratus-ratus meter panjangnya," katanya. Tapi, kata Soekanto pula, memang ada kebijakan untuk melonggarkan penyensoran film Indonesia. Dan itu bukan karena imbauan Rosihan, melainkan "kebijakan lisan yang mengimbau agar kita semua mendukung film Indonesia, di awal tahun 1970-an." Maksudnya, sensor untuk film Indonesia janganlah seketat untuk film asing. Lain dari itu, Soekanto mengingatkan, BSF hanyalah filter kedua. "Filter pertama adalah Direktorat Pembinaan Film dan Rekaman Video, di bawah Departemen Penerangan. Mereka yang berwenang memberikan izin produksi," tuturnya. Maka, kalau BSF memotong adegan seks dengan giat, padahal adegan itu sudah disetujui Direktorat Pembinaan tersebut, "produsernya segera memprotes pemotongan itu." Hal itu dibenarkan oleh Narto Erawan, Direktur Pembinaan Film dan Rekaman Video Departemen Penerangan. Yang menjadi masalah, "Ketika para produser menyerahkan skenario, mereka cenderung mengembangkannya di lapangan. Apa yang tertulis di skenario lantas menjadi lain dengan filmnya," tutur Narto. Repot, memang. Mungkin hanya beberapa film, bahkan mungkin tak ada, yang persis 100% dengan skenarionya. Jadi, masih efektifkah pemeriksaan itu? Bisa jadi memang ada produser dan sutradara yang sengaja membikin skenario yang bisa disetujui, lalu dikembangkan di lapangan. Jawaban seorang produser ketika ditanya mengapa ia memproduksi film-film seks, secara tak langsung bisa ditafsirkan membenarkan pernyataan di atas. "Mau gimana lagi. 

Itu yang disenangi penonton Indonesia sekarang. Ringan, nggak usah mikir dan gambarnya enak dilihat," kata Ferry Angriawan, produser Cinta di Balik Noda. Tommy Burnama, sutradara Cinta dalam Nafsu, mengakui bahwa ia menggarap film berbau seks lantaran mengikuti kecenderungan pasar. "Itu upaya memancing selera penonton," katanya. Tapi salahkah para produser dan sutradara itu? Kata Produser Budiati Abiyoga, membuat film macam apa pun adalah hak produser. Bila iklim perfilman kita kini oleh beberapa pihak dianggap tak sehat, bukan karena film seks itu, melainkan absennya film bermutu. Dan seperti juga lagu pop, film seks pun akan sepi dari penonton, karena mereka sudah jenuh. Ketika itu, bila tak ada film Indonesia yang cukup serius, kata Salim Said, pengamat film, musim film seks yang kemudian surut itu bisa berdampak negatif: masyarakat makin kehilangan kepercayaan pada film Indonesia. Jadi, adakah nasib film Indonesia bagaikan judul sebuah film Warkop: maju kena, mundur kena? Tampaknya, perlu sedikit berkelit, lalu melihat bukan "depan" atau "belakang". Yakni melihat ke samping, adanya sineas-sineas muda serius, adanya Kine Klub, tempat selera sehat masih dipelihara. Dan jangan lupa, tetap saja ada film-film tanpa seks, misalnya Ramadhan dan Ramona, yang beredar di Jakarta Maret tahun lalu, dan mendapat lebih dari 180.000 penonton. Adapun kesimpulannya, penonton tidaklah perlu dilindungi dengan berbagai aturan. Yang dibutuhkan, beragam alternatif, bukan selera yang seragam. Leila S. Chudori dan Biro-Biro

Sabtu, 05 Maret 2011

GADIS METROPOLIS / 1992

GADIS METROPOLIS


Tiga gadis yang saling bersahabat, Lisa (Sally Marcelina), Fanny (Inneke Koesherawati) dan Sandra (Febby R. Lawrence), adalah gadis metropolis yang hidupnya hanya hura-hura dan tanpa moral. Fanny dengan seenaknya tidur dengan Jacky, pacar Lisa yang barusan bentrokan. Lalu karena ia ingin jadi penyanyi, maka dengan gampangnya juga tidur dengan produsernya, sambil terus terang pada pacar yang dicintainya, dan lalu dikawininya, yaitu Maxi (Alex Kembar), yang homoseks. Sandra, seorang foto model, kepribadiannya hampir sama juga dengan Fanny. Perbedaannya, Fanny senang sama oom-oom yang berduit. Sedangkan Lisa yang dianiaya oleh teman-teman Jacky, dirayu terus oleh seorang tante yang lesbian, Mirna (Baby Zelvia). Suami Mirna lebih gila lagi. Dia selalu membawa perempuan pulang ke rumah. Ketika Lisa kembali lagi pada Jacky, maka ngamuklah Mirna. Jacky dibunuhnya.
 P.T. VIRGO PUTRA FILM


SALLY MARCELINA
INNEKE KOESHERAWATI
FEBBY R. LAWRENCE
ALEX KEMBAR
JAMES SAHERTIAN
BABY ZELVIA
PIET PAGAU
PITRAJAYA BURNAMA
GUGUN BENGET
DAVID G. TASMAN
TEDDY MALA
LUTHI TAMBAYONG

INNEKE KOESHERAWATI, bintang Gadis Metropolis dan Kenikmatan Tabu, antara lain. "Saya sumpek kalau tak ada syuting," kata gadis 18 tahun ini. Kata orang, ia ngetop sejak berani melakukan adegan panas dalam Gadis Metropolis. Tapi buru-buru ia bilang keberaniannya masih sesuai dengan alur cerita dan masih ada pakaian yang melekat di tubuhnya. "Saya tak mau disuruh bugil," kata cewek 168 cm dengan berat 54 kg ini. Pertama kali mengenal syuting semasa SMP, menjadi figuran dalam film remaja, Lupus IV. Ia dibayar Rp 15 ribu untuk syuting seharian, kata juara kontes gadis berbakat versi majalah Gadis tahun 1990 itu. Ia pertama kali jadi pemeran utama dalam Misteri Ronggeng dengan honorarium Rp 300 ribu. Saat itu "saya tak punya modal akting, dan masih takut-takut." Ayahnyalah, seorang karyawan perusahaan swasta, pernah ikut grup teater di Bandung, yang mengajarinya pasang aksi di depan kamera. Apa yang dicarinya dari film-film yang mengharuskannya memamerkan bentuk tubuhnya itu? "Terus terang saja, uang," kata lulusan SMA PSKD II Matraman, Jakarta itu, seraya mengepulkan asap Dunhill mentol dan menenggak Capuccini. Dan duit itu kini tengah mengalir deras. Tahun ini ia bikin kontrak delapan film panas, dengan tarif Rp 10 juta hingga Rp 15 juta satu film. Dengan uangnya Ine kini pergi ke mana-mana dengan sedan Great Corolla, ditemani sebuah telepon genggam. Tak risi disebut bintang seks? "Habis, tak ada pilihan lain,"jawabnya. "Memang, saya disebut-sebut sebagai bomb sex, tapi itu berarti saya diperhatikan orang," ucap bibir tipisnya yang menebarkan bau parfum Kenzo yang lembut. 

TAFANNA DEWY, pemeran pembantu dalam Misteri Permainan Terlarang dan Gairah Malam. "Film itu bukan realita, antara keduanya tak saya baurkan," kata cewek kelahiran Yogyakarta 17 Juli 1974 itu. Bibir mungilnya disapu lipstik merah menyala. Rambut ikal kecokelatan, dan sesekali digerainya di sela dada dan punggungnya yang terbuka. Itulah Tafanna Dewy, artis panas pendatang baru yang sedang sibuk memilih lagu di sebuah karaoke di kawasan Kelapa Gading Permai, Jakarta, Jumat malam pekan lalu. Tak lama kemudian terdengarlah suaranya mendesah, mendendangkan Mutiara yang Hilang. Tafanna mengaku mulai gemar tampil di depan publik sejak di bangku SMA. Tahun 1990, disabetnya Putri Ayu Malioboro, setahun kemudian Putri Batik Indonesia, dan tahun 1992 ia merebut Putri Esteem 1992. Masuklah tawaran untuk menjadi model iklan dan kalender, tentu saja dalam pose pamer bentuk tubuh. Dunia film dimasukinya setelah bermain dalam sinetron Sebening Air Matanya (bersama Adi Kurdi dan Uci Bing Slamet), dan Si Buta Dari Goa Hantu tayangan RCTI sebagai Komariah Si Mawar Berbisa. Setelah dua kali berperan dalam film, tawaran main film mengalir, katanya. "Tapi, kok perannya itu-itu melulu," ujar cewek yang gemar mandi lulur ini. Baru dalam Tergoda Nafsu, yang baru akan beredar, ia mendapatkan peran utama. Tapi, ya, "itu-itu juga." Ia memerankan tokoh Elisa yang lembut, korban perkosaan. Gadis 167 cm dengan berat 48 kg ini mengaku melakukan adegan-adegan syur tanpa canggung. Karena sudah terbiasa? Bukan itu soalnya, tapi karena ia selalu dikawal sang ibu, sekaligus guru dan manajernya, hingga merasa aman. 

LELA ANGGRAINI, berperan pembantu di Kenikmatan Tabu, menjadi peran utama dalam film silat Selir Sriti. Tapi yang paling mengesankan buat Lela adalah film Skandal Iblis, film panasnya pertama. "Skandal iblis, ya apalagi kalau bukan skandal seks yang brutal," tuturnya sambil ngakak. Bercelana pendek, dengan kaus tanpa lengan, di rumahnya, pekan lalu, Lela kelihatan seadanya. "Bila perlu, ke warung saya cuma dengan kain melilit di tubuh," katanya tanpa bergurau. Janda kembang yang akan genap 27 tahun Oktober nanti itu sudah membintangi sekitar 20 film. Film pertamanya, setelah meninggalkan profesinya sebagai model di Surabaya, adalah film komedi Giliran Saya Mana, bersama Kadir dan Doyok. Ketika itu ia sekadar muncul sebagai figuran, hanya berbikini. Wanita 170 cm dengan berat 53 kg ini dengan sadar melakukan peran-perannya dalam film panas. "Produser tak mau rugi, mencari yang mau buka-bukaan, berani, cantik, mulus. Dan modal saya memang cuma itu, badan," katanya terus terang. Wanita yang bicaranya ceplas-ceplos ini toh tak mau melakukan adegan bugil. "Buat apa, kan nanti dipotong sensor juga, dan enak dong para kru film, mendapatkan hiburan gratis. Tapi mau juga, lo, kalau dibayar semiliar...," tawanya yang keras terdengar lagi. Berapa ia dibayar? Masih di bawah Rp 30 juta, katanya. Hasil main dalam filmnya antara lain berwujud 2 ha kebun pepaya hawai di Bogor, yang buahnya ia pasok ke beberapa pasar swalayan di Jakarta. 

AYU YOHANA, bintang dalam Susuk Nyai Roro Kidul. "Dulu, pada adegan perkosaan wanitanya masih pakai baju. Sekarang, wah ...," kata Ayu, yang sudah terjun dalam film panas sejak awal 1980-an. Janda yang tingginya 160 cm dan berat 48 kg ini mengaku tak sungkan melepaskan penutup dadanya, asal "sutradara yang minta". Bahkan mojang Priangan yang mogok SMA-nya ini siap melakukan adegan bugil bila saja aktris lain begitu juga, dan memang sutradaranya mengharuskannya begitu. Tekad Ayu terjun dalam film memang besar. Ia bersedia melakukan adegan buka-bukaan sekadar untuk merintis jalan ke dunia film. "Waktu itu ada yang bilang yang bisa jadi bintang film hanyalah orang-orang kaya," ceritanya. Tak tahunya, peran itulah yang kemudian selalu diterimanya, dan makin lama perannya makin panas saja. 

FERRY ANGRIAWAN, Produser PT Virgo Putra Film, yang sudah membuat 50 film. Beberapa di antaranya mendapat penghargaan. Cinta di Balik Noda, misalnya, mendapat Piala Citra pada Festival Film Indonesia 1985, untuk aktris utama terbaik (Meriam Bellina). Pada festival tahun 1986, Cinta Anak Zaman meraih Citra untuk aktor pembantu terbaik (Didi Petet). Tahun berikutnya, Selamat Tinggal Jeannete, pemeran pembantu wanitanya yang mendapat Citra (Ria Irawan). Dan Festival Film Indonesia 1988 memberinya Citra lagi untuk peran pembantu wanita (Ayu Azhari) dalam Dua Kekasih. Dengan prestasinya itu, toh Ferry terpaksa ikut arus, membuat film-film yang menyajikan adegan panas sebagai menu utamanya: Gadis Metropolis, Tiga Dalam Satu, dan beberapa lagi. Awalnya adalah terjangan film impor, tahun 1991. Ia mengaku ketika itulah mulai babak-belur. "Utang saya banyak," katanya terus terang. Ia bahkan sampai menjual rumah yang pernah ditinggali ketika masih menjadi suami Meriam Bellina. Maka, ia pun melakukan strategi menekan ongkos produksi: memakai artis yang belum punya nama. Maka, apalagi yang keluar dari cara itu bila bukan film syur tadi, tutur anak seorang pemilik sembilan bioskop di Sumatera Barat ini. "Mau bagaimana lagi, itu yang disenangi penonton sekarang?" katanya. Ferry punya resep sendiri untuk film-filmnya. "Yang penting citra, bukan detailnya. Dan itu bisa lewat ekspresi wajah, kaki, atau tangan yang seksi," katanya. Ia pun melakukan taktik yang tampaknya dilakukan oleh hampir semua produser film panas: gambar dan foto yang dipasang sebagai reklame filmnya sebenarnya tak ada dalam adegan sesungguhnya. Dengan resep itu ia mengaku bisa untung 30% dari modal Rp 250 juta -- rata-rata ongkos produksi film panas sekarang. Sebagai produser profesional, katanya, ia tak peduli filmnya dicap murahan, ngeseks, atau apa pun. Yang penting, dapur produksinya jalan. 

TJUT DJALIL, sutradara yang filmnya lima tahun lalu menghebohkan, Pembalasan Ratu Laut Selatan. "Film Indonesia sekarang sudah murni barang dagangan," kata lelaki berusia 62 tahun ini. Tjut termasuk orang film yang bicara blak-blakan. Coba dengar pendapatnya tentang film Indonesia belakangan ini. "Film Indonesia? Itulah film yang dibuat dengan biaya semurah mungkin, harus laku dijual, tak peduli segi artistik dan alur cerita. Pokoknya, ada adegan cumbu-mencumbu, cium-mencium, polos-polosan, lalu ah-eh-oh." Ia pun tak ingin sok-sokan membuat film horor atau film laga berbumbu seks, karena harus mengeluarkan ongkos untuk adegan-adegan tipuan yang biayanya mahal. Menurut pendapatnya, dunai film Indonesia kini dikuasai oleh produser. Dulu, misalnya, pengedar masih ikut menentukan artisnya. Malah kala itu produser menyetujui saja usul pengedar. Sekarang zaman sudah berbeda, kata Tjut, "produser yang punya duit yang menentukan segalanya. Dari soal cerita sampai bintangnya...." Sutradara tinggal menjalankan apa maunya produser. "Maka, kalau mau jujur, saya membuat film semata karena urusan perut," kata ayah sembilan anak itu, yang mengaku honorariumnya sebagai sutradara kini sekitar Rp 10 juta bersih. Orang Aceh yang pernah menjadi pegawai negeri lalu menjadi wartawan di Medan ini, awal tahun 1960-an, pindah ke Jakarta. Setelah diterima menjadi asisten sutradara, tahun 1974 film pertamanya lahir, Benyamin Spion 025, sebuah film komedi satir. Melihat sosok Tjut, sulit membayangkan bahwa dari tangannya lahir film-film merangsang. Tjut, yang berambut lurus, bertubuh ceking, adalah haji yang rajin salat. Meski dia yang mengarahkan artis untuk membuka ini-itu, ia mengaku tak pernah tergoda. "Mending perempuan desa, asli dan sederhana, jauh dari polesan rias wajah atau manipulasi keseksian karena operasi," katanya. Ia kini menunggu saat "pensiun". Ia mengaku mengalami konflik batin tiap membuat film panas. "Saya punya anak yang bekerja sebagai guru SMA," tuturnya. Itulah salah satu yang menyebabkan konflik batin itu, dan karenanya ia ingin bisa cepat berhenti dari dunia film. 

RAAM SORAYA, produser yang sudah bikin 50 film, demi film Indonesia mengaku pernah langsung meminta Badan Sensor Film melonggarkan guntingnya. "Saya minta supaya ada pancingan buat penonton, supaya mereka mau masuk bioskop yang memutar film Indonesia. BSF setuju. Dan bioskop luber lagi, bioskop kelas bawah tapi," tuturnya. Raam tidak membantah, filmnya banyak menampilkan adegan seks. "Tapi itu cuma bumbu," ujarnya. Dialah produser Pembalasan Ratu Laut Selatan. Dalam sebelas hari, sebelum terjadi protes dan ia menarik film itu dari peredaran, sudah 500.000 karcis terjual. "Karena film itu diributkan, orang malah penasaran dan mencari film itu," katanya kepada Rihad Wiranto dari TEMPO. Ada yang disayangkan Raam, bahwa film-film sekarang bebas ditonton semua umur. Mestinya itu cuma untuk orang dewasa, katanya. Bahkan film komedi Warkop, menurut dia tak cocok ditonton anak-anak, karena banyak adegan buka dada dan paha. Jebolan Institut Teknologi Surabaya ini masuk dunia film dengan menjadi distributor film di Jawa Timur, tahun 1973, terlebih dahulu. Baru tahun 1987 ia mendirikan PT Soraya Intercine Film. Sri Pudyastuti R., Wahyu Muryadi, dan Indrawan.

Jumat, 25 Februari 2011

IDRIS SARDI



Saya suka saat di masa tua Pak Idris, di main biola dengan busana peci hitamnya.
Terlalu banyak buat Idris Sardi sehingga sulit untuk menuliskan kekaguman atas musiknya. Lihatlah betapa banyaknya musik film yang dia hasilkan.

Idris Sardi (lahir di Batavia, Hindia Belanda (sekarang Jakarta), 7 Juni 1938; umur 71 tahun) adalah seorang pemain biola yang sangat berbakat dan luar biasa sekali, hingga kini di Indonesia belum ada yang bisa menandinginya. Ia adalah anak dari pemain biola Orkes RRI Studio Jakarta, Bp. Sardi.

Idris Sardi adalah anak Dari M.Sardi bapak perintis ilustrasi musik film, karena M Sardi lah yang pertama kali membuat ilustrasi film secara khusus dan kesinambungan di JIF (java Indrustri Film)


Latar Belakang

Pada usia enam tahun, pertama kali mengenal biola. Pada umur sepuluh tahun ia sudah mendapat sambutan hangat pada pemunculannya yang pertama di Yogyakarta tahun 1949. Boleh dikatakan sebagai anak ajaib untuk biola di Indonesia, karena di usia muda sekali sudah lincah bermain biola (seperti Mozart di Eropa dalam komposisi).

Tahun 1952 Sekolah Musik Indonesia (SMIND) dibuka, dengan persyaratan menerima lulusan SMP atau yang sederajat. Pada tahun 1952, Idris Sardi baru berusia 14 tahun, sehingga ia belum lulus SMP, namun karena permainannya yang luar biasa ia bisa diterima sebagai siswa SMIND tersebut. Bersama temannya yang juga pemain biola, Suyono (almarhum) namun bukan anak ajaib, yang lebih tua 2 tahun merupakan dua orang siswa SMIND yang berbakat sekali.

Pada orkes slswa SMIND pimpinan Nicolai Varvolomejeff, tahun 1952 Indris yang masih memakai celana pendek dalam seharian duduk sebagai concert master pada usia 14 tahun, duduk bersanding dengan Suyono. Rata-rata siswa SMIND berusia di atas 16 tahun.

Guru biola Idris waktu di Yogyakarta (1952-1954) adalah George Setet, sedangkan pada waktu di Jakarta (setelah 1954) adalah Henri Tordasi. Kedua guru orang Hongaria ini telah mendidik banyak pemain biola di Indonesia (orang Hongaria adalah pemain biola unggul).



Karir Musik
Ketika M. Sardi meninggal, 1953, Idris dalam usia 16 tahun harus menggantikan kedudukan sang ayah sebagai violis pertama dari Orkes RRI Studio Jakarta pimpinan Saiful Bahri.

Pada tahun 60-an, Idris beralih dari dunia musik biola serius, idolisme Heifetz, ke komersialisasi Helmut Zackarias.

Seandainya dulu Idris Sardi belajar klasik terus dengan Jascha Heifetz atau Yahudi Menuhin, maka ia akan menjadi pemain biola kelas dunia setingkat dengan Heifetz dan Mehuhin. Namun, meskipun dia belum pernah belajar biola di luar negeri, ia tetap setingkat dengan Zacharias.

Orang Indonesia yang belajar dengan Haifetz adalah Ayke (Liem) Nursalim, yang kini masih berada di AS, dan merupakan wanita pemain biola Indonesia yang terpandang (dulu di usia 4 tahun/1955 di Yogyakarta sudah main di orkes, tapi bukan anak ajaib seperti halnya Idris Sardi).
Penghargaan
Penghargaan yang diraih antara lain sebagai komponis dan ilustrator musik untuk film. Mendapat piala citra untuk Penata Musik Terbaik antara lain dalam Film-film.



Kehidupan pribadi
Ia juga ayah dari pemain film Santi Sardi dan pemeran muda Indonesia Lukman Sardi dari pernikahannya Zerlita. Setelah perceraiannya dengan Marini, Perkawinannya yang ketiga adalah dengan Ratih Putri.

Sardi mempunyai seorang murid yang telah sukses menjadi violis perempuan papan atas Indonesia, yaitu Maylaffayza Wiguna. Ia juga pernah terkenal karena memiliki tanda nomor kendaraan "B 10 LA" yang dapat dibaca "biola". Setelah hal ini dipublikasikan secara luas, ia merasa tidak nyaman karena menjadi perhatian masyarakat ke manapun ia pergi. Karena hal ini Sardi mengganti nomor kendaraannya dengan nomor biasa.

Biografi :
Idris Sardi adalah seorang musisi senior dan dikenal sebagai maestro dalam memainkan biola. Lahir di Jakarta, 7 Juni 1938, Idris pertama kali mengenal biola pada usia enam tahun. Namun pada usia sepuluh tahun, dirinya mendapat sambutan hangat pada kemunculan pertamanya di konser Akademi Musik Indonesia (AMI) di Gedung Negara, Yogyakarta pada 1949. Ketika ayahnya, M. Sardi meninggal dunia pada 1953, Idris menggantikan kedudukan beliau sebagai violis pertama merangkap pimpinan Orkes RRI Jakarta, dalam usia 14 tahun. Kesempatan itulah yang kemudian mengantarkan kemampuannya dikenal dunia sebaga maestro biola. Idris sendiri dalam perjalanan hidupnya pernah menikah dengan model dan bintang film Marini, meski kemudian berakhir dengan perceraian. Ia kemudian menikah dengan perempuan bernama Ratih Putri. Ayah dari aktris film Santi Sardi dan aktor Lukman Sardi itu dalam sejarah prestasinya tercatat pernah mendapat penghargaan atas debutnya sebagai komponis dan ilustrator film. Termasuk penobatannya beberapa kalai sebagai pemenang piala citra untuk Penata Musik Terbaik dalam Festival Film Indonesia. 

1992
Pemenang di Festival Film Indonesia, Indonesia
Kategori: Penata Musik Terbaik
Penghargaan: Piala Citra
Pada film: Kuberikan Segalanya
1991
Unggulan di Festival Film Indonesia, Indonesia
Kategori: Penata Musik Terbaik
Penghargaan: Piala Citra
Pada film: Soerabaia 45
Unggulan di Festival Film Indonesia, Indonesia
Kategori: Penata Musik Terbaik
Penghargaan: Piala Citra
Pada film: Potret
1989
Pemenang di Festival Film Bandung, Indonesia
Kategori: Musik Terpuji
Penghargaan: Penghargaan Festival Film Bandung
Pada film: Tjoet Nja Dhien
Unggulan di Festival Film Indonesia, Indonesia
Kategori: Tata Musik Terbaik
Penghargaan: Piala Citra
Pada film: Pacar Ketinggalan Kereta
Pemenang di Festival Film Indonesia, Indonesia
Kategori: Penata Musik Terbaik
Penghargaan: Piala Citra
Pada film: Noesa Penida (Pelangi Kasih Pandansari)
1988
Pemenang di Festival Film Indonesia, Indonesia
Kategori: Tata Musik Terbaik
Penghargaan: Piala Citra
Pada film: Tjoet Nja Dhien
1987
Unggulan di Festival Film Indonesia, Indonesia
Kategori: Musik Terbaik
Penghargaan: Piala Citra
Pada film: Penyesalan Seumur Hidup
1986
Unggulan di Festival Film Indonesia, Indonesia
Kategori: Tata Musik Terbaik
Penghargaan: Piala Citra
Pada film: Arie Hanggara
Pemenang di Festival Film Indonesia, Indonesia
Kategori: Tata Musik Terbaik
Penghargaan: Piala Citra
Pada film: Ibunda
1985
Pemenang di Festival Film Indonesia, Indonesia
Kategori: Tata Musik Terbaik
Penghargaan: Piala Citra
Pada film: Doea Tanda Mata
1984
Pemenang di Festival Film Indonesia, Indonesia
Kategori: Tata Musik Terbaik
Penghargaan: Piala Citra
Pada film: Budak Nafsu (Fatima)
1982
Unggulan di Festival Film Indonesia, Indonesia
Kategori: Musik Terbaik
Penghargaan: Piala Citra
Pada film: Sekuntum Mawar Putih
1981
Pemenang di Festival Film Indonesia, Indonesia
Kategori: Penggarapan Unsur Musik Tradisionil dalam Film
Penghargaan: Piala MMPI
Pada film: Para Perintis Kemerdekaan
Unggulan di Festival Film Indonesia, Indonesia
Kategori: Tata Musik Terbaik
Penghargaan: Piala Citra
Pada film: Para Perintis Kemerdekaan
1980
Unggulan di Festival Film Indonesia, Indonesia
Kategori: Tata Musik Terbaik
Penghargaan: Piala Citra
Pada film: Anna Maria
1979
Pemenang di Festival Film Indonesia, Indonesia
Kategori: Tata Musik Terbaik Ke-II
Penghargaan: Piala Akademi Sinematografi
Pada film: Pengemis dan Tukang Becak
Unggulan di Festival Film Indonesia, Indonesia
Kategori: Tata Musik Terbaik
Penghargaan: Piala Citra
Pada film: Pengemis dan Tukang Becak
1977
Pemenang di Festival Film Indonesia, Indonesia
Kategori: Tata Musik Terbaik
Penghargaan: Piala Citra
Pada film: Sesuatu yang Indah
1976
Pemenang di Festival Film Indonesia, Indonesia
Kategori: Tata Musik Terbaik II
Penghargaan: Piala Akademi Sinematografi LPKJ
Pada film: Cinta
1975
Pemenang di Festival Film Indonesia, Indonesia
Kategori: Tata Musik Terbaik
Penghargaan: Piala Citra
Pada film: Senyum di Pagi Bulan Desember
1974
Pemenang di Festival Film Indonesia, Indonesia
Kategori: Tata Musik Terbaik
Penghargaan: Piala Citra
Pada film: Cinta Pertama
Pemenang di Festival Film Indonesia, Indonesia
Kategori: Tata Musik Terbaik Ke-II
Penghargaan: Piala Akademi Sinematografi LPKJ
Pada film: Rio Anakku
1973
Pemenang di Festival Film Indonesia, Indonesia
Kategori: Tata Musik Terbaik
Penghargaan: Piala Citra
Pada





04 September 1971
SESUMBAR kemenangan terhadap prestasi Indonesia dalam Festival Film di Taipeh tahun ini wadjar. Kemenanngan "Apa Jang Kau Tjari Palupi" jang didengarkan orang setengah tidak pertjaja, dijakinkan dengan menangnja "Pengantin Remadja". Tetapi memang agak berkelebihan kalau kemudian menggembar-gemborkan bahwa segala elemen jang membangun keutuhan film itu semuanja bernomor djempol. Njonja Widiati Taufiq, seorang pemain sandiwara senior di Teater Ketjil, jang belum pernah menonton Pengantin Remadja, betapa terkedjutnja ia mendengar sebuah Iagu Indonesia jang mengingatkan ia kepada sebuah lagu barat jang lagi hangat: Love Storm.

Lebih terkedjut lagi dia setelah mengetahui bahwa lagu jang dinjanjikan oleh Broery itu, jang partiturnja ditulis oleh Idris Sardi, jang liriknja direka oleh Sjuman Djaja, adalah lagu jang mengiringi film terbaik Asia: Pengantin Remadja. "Love Story" adalah lagu jang mengiringi film "Love Ston, "fang mengangkat novel karangan Erich Segal jang luar biasa larisnja. Novelnja, filmnja, lagunja, membuat perdjalanan emas keliling du,-:ia dengan sangat mengherankan Novel jang bergaja sedikit urakan itu telah mendjadi semakin tersohor gara-gara dimainkan dengan sangat baik oleh bintang-bintang Ali MacGraw dan Ryan O'Neil. Sementara lagunja jang keluar dari sanubari Francis Lai, seorang pemain akordeon didaerah Montmartre, bekerdja sama dengan Carl Sigman jang menulis liriknja jang lumajan djuga, melakukan perdjalanan jang lebih tjepat mendahului film dan bukunja, keseantero dunia.

Penjanji-penjanji kakap dan jang tidak kakap sama-sama berhasil mengangkat dirinja dengan menjanjikan lagu tersebut. Mireille Mathieu, Shirley Basey, Johny Mathis dan barangkah jang paling berhasil adalah Andy William jang mempunjai suara bagai kabut menembus terowongan. Hampir selusin orkes-orkes seperti: Paul Mauriat, RonieAldrich, James Last, Billy Vaughn, Percy Faith, Ray Coniff, memainkan lagu tersebut dengan segala gajanja, semuanja laris. Pembadjakan. "Berani sumpah saja tidak mendjiplak", kata Idris Sardi dengan nada keras kepada reporter Harun Musawa. Kemudian dengan melunakkan suaranja dan tertawa ramah pemain biola jang sering didjuluki pendjiplak Helmut Zacharias itu meneruskan pembelaannja. "Ketika saja mengerdjakan lagu untuk Pengantin Remadja saja belum melihat film Love Story atau mendengar lagunja. Belakangan ini setelah mendengar lagu nja dan nonton film Love Story di Tokyo lagu itu mendjadi favorit saja", katanja.

Kemudian ia mentjeritakan proses tertjiptanja lagu pertjintaan Romi dan Juli itu, pertjintaan jang tak djauh bedanja dengan pertjintaan Oliver Barrett ke IV dengan Jeniffer Calliveri dalam film Love Story. "Setelah saja melihat skrip film dan melihat rush copy Pengantin Remadja, hati saja betul-betul tergerak untuk membuat lagunja dengan penuh perasaan". Diterangkannja pula bahwa is sering pula membuat lagu-lagu untuk film jang dilakukannja tanpa dorongan perasaan, hanja berdasarkan tanggung djawab pekerdjaan, bila film itu tidak berdjddohan dengan hatinja. Rupanja kisah jang skenarionja dibuat oleh Sjuman Djaja berdasarkan rantjangan tjerita Wim Umboh itu betul-betul dapat mempengaruhinja. "Lagu itu terdiri dari 3 bagian jang mempunjai tema sendiri-sendiri, jang bisa dipasang dimana mau", katanja sambil menerangkan pula bahwa Broery menjanjikannja dengan agak terburu-buru. Sjuman jang tidak membuat kata-kata untuk bagian pertamanja adalah disengadja lantaran dibutuhkan untuk solo instrumental. "Ini memang tjara membuat lagu untuk film", kata Idris Sardi.

Francis Lai jang sekarang djadi terkenal dan sudah mengarang lebih dari 400 lagu, tidak memberi komentar apa-apa, karena tak sempat dihubungi. Ia boleh djadi akan menamakan soal itu sebagai pembadjakan, atau mungkin djuga koinsidensi atau djuga reminisensi (lihat TEMPO Tembadjakan Lagu-Lagu). Atau ia tinggal diam sadja tjukup puas dengan Oscar jang diterimanja untuk musik filmnja, karena toh Indonesia tak mungkin dituntut dalam soal pembadjakan lagu sete(ah keluar dari Konvensi Bern pada tahun 1958. Tetapi lain soalnja dengan pentjinta-pentjinta musik di Indonesia, sesudah kagum mereka djadi tertegun dan gemas karena merasa di kibulin. Merasa dianggap bodoh. "Apa Idris Sardi tidak mengerti kalau kita bisa metldengar radio luar negeri", tanja seorang penggemar musik dengan perasaan adjaib. Seorang penjanji jang tak mau disebut namanja berbisik bahwa Idris Sardi pernah mengaku bahwa "Francis Lai"-lah jang telah mendjiplak lagunja. Ini berita "besar kepala" djuga. Mozart dan Beethoven. "Saja berangan-angan terlalu tinggi kalau saja mengatakan bahwa lagu saja didjiplak oleh Francis Lai", kata ldris Sardi memberi komentar bisikan sang penjanji. Ia mengatakan hal itu sulit terdjadi karena ia belum pernah membawakan lagu tjiptaannja diluar negeri. "Saja hanja komponis lokal sadja", katanja merendahkan diri.

Lalu mendjawab ken upa lagunja mirip. dengan lagu love Story, ia memberikan alasan: bahwa persamaan lagu antara beberapa komponis memang sering ada. Menurut dia hal ini disebabkan karena djumlah noot lagu jang terbatas hanja 7 nada ditambah 7 buah nada setengah. "Antara lain persamaan lagu saja dengan lagu Love Story adalah temanja jang minir", kata "pemain biola maut" itu dengan terus terang. Sarnbil menerangkan itu is meraih sebuah gitar dan menjadjikan lagunja didepan.reporter Harun Musawa. Tak puas hanja dengan menjanji, iapun membongkar sebuah chasanah musik dunia, dan mendjemput Mozart dan Beethoven dari liang kuburnja. "Karja-karja Mozart djuga ada jang berbau Beethoven", katanja dengan bersemangat dan jakin telah memberikan alasan jang kuat. Pemain biola jang telah membuat ilustrasi untuk 35 buah film Indonesia itu, pada achir pembelaannja tetap teguh menjatakan tidak membadjak maupun tidak dibadjak. Ia menamakan lagu "Pengantin Remadja"-nja sebagai: lagu spekulasi dan lagu nekad. Sebabnja: "Lagu itu adalah lagu klasik dengan piano jang tidak. komersiil", katanja. "Sedangkan lagu sematjam itu kurang bisa diterima oleh selera masjarakat jang banjak tidak suka kepada tung-tung-tung suara piano". Melihat persamaan tjerita Pengantin Remadja dan Love Story, mendengarkan persamaan bunji jang terdapat dalam lagu kedua film tersebut, lalu mendengarkan pembelaan Idris Sardi, kita hanja bisa angkat bahu. Tiba-tiba kita djadi menaruh hormat kepada Broery jang dengan terang-terangan berani berkata: "Saja memang telah membadjak lagu-lagu Barat".



Idris sardi: Jenggot franki terbakar?
14 Agustus 1976

RUPANYA seseorang, paling sedikit mesti keluaran Wina -- lengkap dengan repertoir abad ke-19 -- baru boleh menangani sebuah orkes simponi. Atau kalau tidak lihatlah Idris Sardi, sebagaimana ditulis oleh Franki Raden: penampilannya hanya suatu lawakan, sembrono dan serba kekurangan lainnya. Saya sungguh kaget membaca artikel tersebut, karena bukan demikian kesan yang saya peroleh. Penyajiannya, dengan aneka ria musik berbagai daerah dan yang digarap dengan tekun serta bersungguh-sungguh, menurut saya nyaman menyegarkan. Satu jam acara telah berlalu dengan cepat tak terasa. Peduli apakah musik itu seni atau hiburan, keberanian Idris Sardi menggunakan medium yang 'angker' untuk menghayatkan musiknya pantas diberi semangat.

Tapi rupanya telah membakar jengot Franki, penulis kritik tersebut. Memang harus diakui bahwa penampilan Idris belum mulus betul. Musiknya pun belum sinkron dengan gerak, karena siaran tersebut adalah hasil rekaman. Beberapa instrumen juga masih harus mencari posisinya agar lebih harmonis sekalipun hal ini tak terlalu penting. Soalnya ini hanyalah merupakan proses bagi Idris sebagai konduktor, yang tentu saja meminta waktu lama. Sungguh mustahil untuk mencap jerih payah salah seorang pemusik terbaik kita sebagai 'lawakan' dan 'badutan'. Lalu bagaimana seharusnya seorang dirigen'? Georg Solti, pemimpin Simponi Chicago dan salah seorang dirigen terbaik di dunia, suatu saat mau main di pusat pertokoan. Secara pribadi, ia mendatangi kampus-kampus, mengajak para mahasiswa nonton konser. "Boleh datang dengan bikini'?" tanya seorang mahasiswi. "Selama engkau diam dan mendengarkan", jawab Solti. "Kami memberi publik apa yang mereka suka", demikian manager Simponi San Francisco. Tapi Antal Dorati menimpali: "Bukan urusan mereka untuk mengetahui apa yang mereka suka. Itu adalah urusanku". Dan Pierre Boulez pun, direktur musik New York Philharmonic mengambil risiko dengan memainkan musik abad ini, dan dianggap berhasil. Sederetan konduktor-konduktor muda muncul mengajak penonton menikmati musik masa kini . Concerto for Amplified Violin and Orchestra, tampil dengan biola yang dipasangi amplifier. Bunyinya meraung-raung, dimainkan oleh Paul Zukofsky, penggesek biola yang cemerlang.

Tapi dengan dirigen Michael Tilson Thomas yang tak kurang bakatnya, tampaknya mereka masih harus menunggu sampai bisa diterima oleh publik yang ternyata kemudian bersungut-sungut usai pergelaran. Standar repertoir mereka: oke Siapa yang tidak mendambakan Mahler di tangan Solti Berliotz oleh Seiji Ozaha atau Brahms dibawakan oleh William Steinherg? Pemusik bule memainkan repertoir bule, toh masih menunggu sampai publik tak lagi bersungut-sungut. Padahal pemainnya pun yahud. Akan tetapi di sini, mengapa pula kita masih membanding-bandingkan, kemudian meributkan dan mempertanyakan tentang seorang pemusik pribumi dengan repertoir pribumi, yang lagi memimpin sebuah orkes simponi sebagai sesuatu yang tak pantas? Sungguh mencengangkan! Dengan jujur saya mesti bilang bahwa pergelaran Idris Sardi menyenangkan dan menarik -- tanpa ruwet memikirkan karyanya akan termasuk dalam kategori apa. Para snob kita pasti mempunyai banyak waktu untuk memikirkannya. Sementara itu, sebagai ilustrasi boleh dikutip pernyataan Charles Wourinen, komposer muda yang paling berhasil: "Jurnalis dan kritikus musik. sebenarnya tak tahu apa-apa". Dan untuk Idris, barangkali galaknya saja yang perlu ditambah, seperti kata Herbert Von Karayan "tentu saja saya tiran -- good conductor mana yang tidak....". B. SONDAKH Perumahan Wartawan, Cipinang Muara Blok I, Jakarta Timur.


Jurus Kungfu Idris Sardi
Jum'at, 27 Februari 2009 | 12:37 WIB

Jakarta: Bila mendengar kata kungfu, biasanya terbayang jurus-jurus ala Bruce Lee atau Jet Lee yang diperagakan dalam film-film yang dibintanginya. Namun, siapa sangka jika sang maestro violis, Idris Sardi, ternyata juga mahir memerankan jurus kungfu. Nah, lho!

"Saya kalau main biola selalu kungfu. Dari nada rendah ke nada tinggi, jarinya kudu lincah," kata musikus senior Indonesia di sela-sela peluncuran alat bantu dengar di Jakarta, Rabu lalu. Meski telah fasih menggesek biola, bagi sang maestro ini tidak ada kata henti dalam belajar dan mengasah kemampuan. Dia menuturkan setiap pukul lima pagi selalu memainkan biola dengan nada panjang. Pasalnya, pada jam-jam tersebut dia akan dapat mendengar nada dengan tepat.

"Ini didikan dari ayah saya. Musik itu kejam. Sumbang itu aib bagi pemusik. Makanya harus selalu belajar agar tampil bagus," ujar pria yang mengaku sering dijewer sang ayah jika melakukan kesalahan bermain biola. "Makanya sejak usia sembilan tahun telinga saya sudah rusak."

Meski sering mendapat jeweran dari sang ayah, dia tidak patah semangat. Bahkan dengan bangga dia menyebut biola sebagai kekasihnya. "Dia (biola) selalu saya peluk, saya raba, saya gesek, dan nyanyi di kuping saya," ujar pria kelahiran Jakarta, 7 Juni 1938, ini.



Capcay komplit & sayur asam
19 Mei 1973

BANYAK orang menuduhnya membuat barang kodian. Hasil kerjanya pernah mendapat julukan "musik konveksi". Kalau memang begitu, menurut Idris Sardi, kesalahan bukan hanya datang dari dirinya. Dalam pembuatan musik untuk film dikatakannya masih terdapat jurang: "ada sutradara yang tidak mengerti". Ada pula produser yang pesan musik seperti beli pisang goreng.

"Malah ada yang minta kalau bisa dalam dua hari harus jadi", kata Idris. Dan pengalaman komponis yang sudah membuat hampir 60 musik film itu dibenarkan Frans Haryadi, yang mengatakan: "Kesan saya mereka memang mau cepat saja". Padahal menciptakan musik untuk sebuah film, paling sedikit membutuhkan waktu dua minggu. Itupun, menurut Frans kalau kondisinya memungkinkan. Sehingga bagi Ketua Jurusan Musik LPKJ itu, "musik film kita pada umumnya hanya menempelkan saja". Sudah tentu penilaian musik tempel tidak berlaku untuk semua film. Paling tidak usaha untuk membuat musik film yang baik sudah dimulai. Lihat saja misalnya musik film Perkawinan yang telah berhasil mendapat hadiah pertama pada festival film yang lalu. Irawati Sudhiarso, salah seorang jurinya, menilai musik karya Idris Sardi itu: cocok, manis dan sangat membantu. "Lagunya simple dan pengolahannya tidak mengganggu". Idris dalam film itu berhasil menyajikan musik yang karakteristik untuk orang Indonesia modern. "Tidak ada liku-liku yang bersifat pretensi", ujar Ira. Lagi: "polanya menjadi satu dan ada kontinuitas". Jadi bukan lagi musik yang hanya sekedar tempel. Sebab seperti kata Idris pula: musik untuk film "adalah musik untuk gambar, musik yang kawin dengan gambar". Dan dia telah melakukannya dalam Perkawinan. Saya sendiri malu. Tentu saja kemenangan Idris Sardi dalam festival itu tercapai setelah melalui jalan yang panjang. Hampir 20 tahun yang lalu, pada zaman Perfini dan Persari, bersama Saiful Bahri dan Cok Sinsu, Idris sudah ikut-ikutan jadi anggota. Baru sepuluh tahun kemudian, dalam film Jakarta By Pass yang disutradarai Liliek Sudjio, Idris menangani penuh pembuatan musiknya. Namun menurut pengakuannya, baru dalam film Macan Kemayoran dia merasa berhasil untuk meyakinkan diri, jadi memang beralasan kalau dia mengatakan: "Membuat musik film bukan barang baru". Walau begitu sampai kini tukang viul itu merasa belum mendapat kemantapan. "Saya masih mencari bagaimana membuat musik film yang tepat", katanya. Sehingga dengan terus-terang diakuinya: membuat musik film sampai kini dilakukannya dengan perasaan saja. Dengan serba kira-kira. Di ceritakannya: bagaimana dia di samping waktu yang sempit, h arus menonton rush copy yang masih berantakan.

Belum lagi proses mixingnya kadang-kadang tak sempat hadir - untuk mengatur bas dan treblenya. "Sehingga kadang-kadang kepegang kadang-kadang tidak", demikian ia berkeluh. Keluhan Idris malah tidak hanya sampai di situ. Walaupun instrumen musik tidak mutlak harus lengkap Ingemar Bergman misalnya hanya mempergunakan sebuah selo untuk mengiringi filmnya - namun peralatan dan jumlah pemain yang serba terbatas di negeri ini memaksa Idris berkiblat ke negeri Jepang.

Musik untuk tujuh film Idris seperti Mereka Kembali, Anjing-Anjing Geladak, Perkawinan dan lainnya, dimainkan dan direkam di Jepang. Hasilnya memang belum tentu lebih bagus. Tapi barangkali pengalaman Irawati selaku juri musik dalam festival film kemarin bisa memperkuat pilihan Idris itu. "Angka-angka yang lumayan", kata Ira, "ternyata hasil rekaman luar-negeri. Padahal saya sendiri malu memberi nilai tinggi untuk komponis atau rekaman luar negri". Konon musik dalam film Pahlawan Gua Selarong yang diciptakan Murdiana dan seorang Jepang bernama Kaburake, juga cukup berhasil memberikan suasana yang Indonesia. Musik borongan. Mengandalkan kondisi pribumi, jelas Idris tidak suka. Coba bayangkan ceritanya kalau akan membuat pesanan seorang produser. Yang harus dicari dulu pemainnya. Kemudian mesti dipikirkan instrumennya. Yang terakhir itu sungguh terasa sulit. Sehingga pernah dialaminya: keinginan memakai nada setinggi-tingginya tidak bisa terpenuhi dan terpaksa diturunkan. Bahkan Idris cepatcepat menarik kesimpulan, "Kita mengalami krisis di seksi tiup". Maka ibarat memhikin sayur asam, "terpaksa asamnya diganti dengan cuka", katanya. Sedang di Jepang, tak heran, semuanya serba lengkap. Pemain maupun instrumen. "Disana saya bisa bikin capcay komplit". Sukses Idris barangkali tidak menjadi ukuran kepuasannya sendiri. Dia bilang "selalu bertemu dengan kesalahan-kesalahan dalam film saya, termasuk Perkawinan", Irawati pun bukannya tidak menemukan karya jelek Idris dalarn beberapa filmnya. "Saya hampir tidak percaya bahwa itu karya dia juga". Karena itu akan lebih baik barangkali kalau Sardi tidak lagi mem buat musik borongan. Kata Irawati: "Ilham lebih baik untuk atu cooker daripada untuk banyak cooker". Tentu saja asal orang film pun mau mengerti. Karena sekarang masih terasa "komponis terlalu didikte oleh sutradara", kata Frans Haryadi. Bahkan kepada Frans, pembuat karya musik film Malinkundang, Mat Dower, Salah Asuhan itu, pernah ada produser yang menganjurkan agar membuat lagu yang sederhana dan tidak usah rumit. Maksudnya yang gampangan saja. "Ini tandanya tidak punya apresiasi", kata Frans. Lantas kalau sutradara sudah inain cut, "wewenang komponis dimana ?", tanya Irawati. Yah. Di mana ya?


Ia "menodai" musik simfoni ?
28 Agustus 1976

PENONTON bertepuk riuh.
Di tengah bisik dan gumam para pengagumnya, tampaknya ia belum menyadari, malam itu adalah tangga pertama karirnya. Itulah penampilannya yang pertama depan publik, 1949, dalam sebuah konser yang pertama kali diselenggarakan oleh Akademi Musik Indonesia (AMI) yang belum setahun berdiri di Yogyakarta. Ketika ia tampil kembali di Gedung Negara, untuk kesekian kali penonton antri menyalami violis 10 tahun bercelana pendek itu yang dikenal dengan si Idris Kecil. "Suatu kali saya tampil lagi di Gedung Negara. Tiba-tiba muncul ayah di tengah orang-orang yang menyalami saya.

Tentu saja saya kaget",kata Idris Sardi, kini 37 tahun. Ia lahir di Jakarta, 6 luni 1939. "Rupanya setiap kali saya ikut konser, ayah diam-diam hadir. Bahkan tak seorang pun di antara saudara-saudara ayah yang tahu. Ayah menginap di hotel" tambahnya. Dua tahun sebelumnya, ia sudah belajar menggesek biola pada Nicolai Vorfolomeyeff, musikus Rusia yang sejak Revolusi Oktober 1917 lari ke Jakarta dan menjadi salah seorang gembong Radio Orkes Jakarta. Ketika itu RRI masih disebut Neerland Indiesche Radio Omroep (NIROM). Ketika Nicolai membuka AMI di Yogya, 1949, Idris pun diterima kuliah di sana meski baru kelas 3 SD. Anak sulung dari 8 bersaudara ini memang lahir dari keluarga seniman. Kakek buyut dari garis ayahnya, dulu konon pemain musik di Kraton Yogyakarta. Ayahnya sendiri, M. Sardi, yang meninggal 23 tahun lalu, pada zamannya dulu juga dikenal sebagai violis kawakan. Kecuali menjadi anggota Orkes Studio Jakarta, almarhum adalah orang Indonesia pertama yang membuat ilustrasi musik untuk film-film sekitar tahun 30-an. Antara lain Rencong Aceh yang dibintangi oleh Tan Tjeng Bok dan Hadidjah -- isteri almarhum alias ibu kandung Idris Hadidjah, merupakan satu di antara 25 seniman tua yang belum lama ini mendapat penghargaan dari DKI. Mondar-mandir Sementara Hadidjah, sejak suaminya masih hidup sudah mengundurkan diri dari dunia film, ibu dari orang tua tersebut yang kini sudah 80 tahun justru masih kerap muncul di layar putih. Itulah Mak Bibah.

Meski di tengah keluarga seperti itu, pada mulanya karir Idris tidak dengan sendirinya gampang naik. Padahal di rumahnya jalan Ketapang Utara, dulu juga ada piano dan biola. Tapi manakala ia mengek minta belajar salah satu instrumen itu, sikap sang ayah dingin saja. Baru setelah Idris suka bawel dan ngambek, ayahnya jadi lunak. Umur 6 tahun ia mulai belajar menggesek biola. Disiplinnya keras. Dan Idris sendiri tekun. Selama setahun melulu teori: menulis dan membaca not balok. Belakangan Idris menyadari bahwa ayahnya ingin menanamkan pengertian: ia tak boleh kepalang tanggung. Namun sebelum sempat menyaksikan perkembangan puteranya lebih lanjut, tahun 1953 Sardi meninggal. Seminggu setelah musibah itu, Idris pun menghilang dari Yogya dan muncul di RRI Jakarta -- menggantikan kedudukan ayahnya sebagai pemain biola pertama. Meski ketika itu baru 14 tahun, ia juga merangkap sebagai pimpinan konser. Maka dapat difaham, kalau almarhum pernah mendapat honor Rp 1.250, Idris menerima Rp 150 lebih besar dari pendapatan ayahnya. Bukan hanya mengoper tugas dibidang musik, Idris juga mengambil-alih kewajiban ayahnya sebagai kepala keluarga. Menjadi 'ayah' sebelum cukup dewasa, tentu saja cukup berat baginya. Seusai latihan, tak jarang ia melupakan kegelisahannya dengan menghabiskan waktu -- mondar-mandir naik oplet Jatinegara- Jakarta Kota, sampai larut malam. "Dan baru pulang kalau ibu dan ke-7 adik-adik saya sudah tidur" katanya. Barangkali juga karena beban inilah, semangat Idris terus membara. Sementara untuk pengetahuan umum ia mengambil les privat (seperti halnya ketika masih di Yogya), dalam hal musik ia berguru pula kepada Hendrik Tordasi, guru biola pada Yayasan Musik pimpinan Frans Szabo di Pegangsaan.

Tahun 1955 datang kesempatan baik. Pemerintah bersedia mengirimnya belajar ke Eropa, meskipun tanpa jaminan mengurus keluarga yang ditinggalkan. Untunglah ada satu kebijaksanaan: perkara keluarga, diurus oleh satu keluarga yang kebetulan menyanggupinya. Dengan hati lega, Idris pun berangkat. Di luar negeri, ia sengaja mempelajari hal-hal yang praktis. Maksudnya agar lebih banyak bisa berhubungan dengan guru. Dan lebih cepat rampung, sebab ternyata ingatan Idris pada ibu dan adik-adiknya di tanah air sering mengganggu. Satu setengah tahun di luar negeri, ia sempat mengunjungi berbagai negara di Eropa serta beberapa tempat di Timur Tengah. Sampai di tanah air, keluarganya sangat prihatin. Rumah peninggalan ayahnya di Ketapang Utara sudah terjual. Tahun 1964 dan 1974 ketika bersama rombongan misi kesenian ia melawat ke AS, keluarganya sudah lumayan. Ketika itu antara lain ia main di hotel Hilton, New York. Sekarang, selain adik bungsunya yang masih gadis, semua adik-adiknya sudah berumah-tangga.

Dan Idris sendiri pun tahun 1968 menikah dengan Ita Zerlyta, kemenakan Bing Slamet. Ibu Ita adalah kkak nyonya Bing: Ita sendiri suka musik, favoritnya antara lain lagu-lagu klasik ringan yang manis-manis seperti punya Manthovani dan Paul Mauriat. Kisahnya dimulai sejak Ita masih SD, 1962. Ketika itu Idris sering main ke rumah almarhum Bing. Bersama almarhum dan 5 pemusik lain (Benny Mustafa, Ireng, BJ Supardi, Kibot dan Mus Mualim), dibentuklah Band Eka Sapta.Inilah satu-satunya band di mana Idris bergabung, selain di RRI (1953-1961) dan sejak Juni kemarin pada Orkes Simfoni Jakarta. Idris yang belum 25 tahun ketika itu, karirnya memang sudah menanjak. Popularitasnya sebagai violis nyaris tiada duanya. Dan ketika baru beberapa bulan Ita kuliah di FSUI jurusan Arkeologi, tahun 1968, mereka pun menikah. Kini anaknya 3 orang. Santy, yang sulung, gadis 7 tahun yang suaranya sudah mulai pula populer. Anak kelas I SD Budi Waluyo Kebayoran Baru ini, kaset pertamanya berjudul Ke Sekolah. Adiknya, Lukman, 5 tahun, kelas nol besar Taman Kanak-kanak. Yang terkecil 2 tahun, karena lahir 21 April, namanya pun Ajeng Tria -- mengenang nama Raden Ajeng Kartini. Meski kaset Santy yang kedua segera pula beredar, namun Idris tak berharap betul menggali 'dana' dari suara anaknya. "Nyanyi sekedar hobi boleh. Lebih dari itu jangan", ujar ayahnya. Katanya, Idris sendiri tak pernah mengajari Santy nyanyi. Ibunya pun tidak.

Menurut pengakuan Santy, gurunya adalah Titik Puspa. Ihwal Santy main film pun, kata Idris juga bukan lantaran dorongan orang tuanya, meski dalam film Senyum Di Pagi Bulan Desember Santy berhasil meraih gelar pemain cilik terbaik dalam FFI 1975 di Medan. Bersama orang tuanya, Santy memang kerap nonton. Di rumah, ia sering menirukan tingkahlaku pemain yang ia lihat. Itulah sebabnya, ketika Wim Umboh sering mengurus ilustrasi musik ke rumah Idris, langsung tertarik pada gadis cilik ini. Piala Khusus Juga lantaran film itulah Idris mendapat Piala Citra. Sebelumnya, berturut-turut sejak tradisi FFI, 1971, Idris selalu unggul dari tahun ke tahun: Pengantin Remaja (1971), Perkawinan (1973), Cinta Pertama ( 1974). Idris juga pernah mendapat hadiah nasional sebelum tradisi FFI berkat film Petir Sepanjang Malam (1968). Dan dalam Festival Film Asia 2 kali ia menang: Bernafas Dalam Lumpur (1970) dan Di Mana Kau Ibu (1974). Tapi tak berarti Idris puas. Menurutnya, illustrasi musik yang pantas menang seharusnya bukan Senyum melainkan Dikejar Dosa. Mengapa? "Dikejar Dosa, tanpa musik tak ada apa-apanya. Sedang Senyum, tanpa musik pun masih bisa ditonton. Ceritanya bagus", katanya. Ilustrasi musiknya, kebanyakan untuk film jenis drama. "Saya juga ingin berkesempatan membuat corak yang lain", ujarnya, meski yang sejenis komedi pun sudah ada. "Tapi cuma ada beberapa biji, misalnya Bing Slamet Koboi Cengeng" Selain FFI 1975, hasil FFI 1974 juga tak dimengerti oleh Idris. Ia menjagoi austrasi musik film Tokoh. Tahu-tahu yang keluar Cinta Pertama. FFI bulan Mei lalu di Bandung pun lebih tak dimengertinya lagi. Ia mendapat Piala Khusus dan bukannya tak berterima kasih. "Tapi apa arti piala itu, saya tidak mengerti", katanya. "Kalau saya tak perlu menang, ya tak perlu dikasih piala. Jangan repot-repot mengeluarkan Piala Khusus. Toh argumentasinya tidak ada". Tapi apa pun piala itu, bahkan Piala Citra sekali pun, baginya "bukan merupakan ukuran buat keberhasilan". Memang tak apa. Sebagai penata musik untuk film ia tetap laris. Dihitung-hitung, sejak Jakarta By Pass (1961), ia sudah mengisi musik lebih dari 100 film.

Meski Jakarta By Pass adalah film pertamanya, tak berarti baru dengan film itu ia berkenalan dengan dunianya yang satu ini. Sejak awal tahun 50-an ia sudah ambil bagian dalam tata musik film bersama Orkes Studio Jakarta pimpinan Saiful Bachri. Sekarang, untuk sebuah film ia mendapat Rp 2 juta, jumlah yang lebih besar ketimbang yang biasa diterima oleh pemusik lain. Barangkali itulah sebabnya ia boleh dibilang makmur. Sebab selain dari film, ia juga sering menerima dari klab malam, panitia pertunjukan atau perusahaan kaset. Juga masih bersedia dipajang sebagai penghias kalender.... Menurut pengakuan Idris, honor ilustrasi musik yang diterimanya tak begitu besar, meski ia menyebut jumlah Rp 2 juta. "Sekian itu tidak semuanya buat saya", katanya. Tapi juga untuk beli perlengkapan, sewa studio, transpor dan honor pemain". Sewa studio paling tidak seminggu, Rp 100 ribu per hari. Empat hari rekaman dan 4 hari editing. Selanjutnya membeli pita rekaman 4 dan 8 track Rp 800 ribu, belum lagi transpor dan honor pemain-pemain musik lainnya. Ada kesan, Idris tidak menyesal. Meskipun "karena perkembangan film kita sekarang ini sudah lumayan", katanya. "Tapi dibanding dengan honor pemusik di Jepang, mereka jauh lebih tinggi. Dan India lebih tinggi lagi" Itu tak berarti ia tak butuh duit. Dalam sejarah hidupnya, ia lebih sering 'ngamen' sana-sini. Meski ia jarang tampil depan publik, kalau ada yang minta tak akan ditampiknya. "Tapi pertunjukan itu tak boleh kepalang tanggung", katanya. Harus betul-betul pertunjukan musik. Soal honor, saya tak bisa mengajukan tarif. Pokoknya tarik saja ukuran standar dengan penyanyi yang memang sudah punya ukuran tertentu, seperti misalnya Titik Puspa", katanya. Awal Juli kemarin, untuk pertama kalinya ia muncul di Teater Terbuka TIM bersama kelompok jazz-rock Jopie Item. Ia menyandang biola listrik warna biru metalik. Maka mendesinglah Es Lilin dari dawai-dawai biolanya. Penonton tepuk. Juga ketika ia membawakan Jali-Jali, Feeling dan Black is Black. Teakhir tampil dengan konser lagu-lagu perjuangan di TVRI 18 Agustus kemarin dan sebelumnya bulan Juni lalu.

Di jalan Ganefo II Tebet Jakarta, rumah Idris mentereng. Perabotannya serba mahal. Ada satu set peralatan sistem suara klas satu di kamar kerjanya di sayap kanan rumah. Kamar kerjanya memang istimewa: lantai berlapis permadani hijau tahi kuda. Meja & kursi kerja mewah di pojok kanan dalam, berhadapan dengan 2 kursi empuk. Di sebelahnya ada sofa. Di dinding terpampang foto-foto dokumentasi, antara lain foto ibunya dan foto Idris menggesek biola ketika masih 9 tahun. Ada pula sebuah biola mini, 30 sentimeter. Sejumlah piala dan piagam penghargaan dan sederet buku musik yang tebal-tebal. Itu bukan satu-satunya milik keluarga Idris. Selain rumah di jalan Ganefo yang dijadikannya tempat tinggal tetap keluarga, masih di Jakarta ada pula 2 rumahnya yang lain. Satu di Pancoran untuk kantor pribadi dan satu di Duren Tiga yang ditinggali ibunya. Mobilnya Honda Civic cat putih nomor B 1100 LA. Di Tebet pun masih ada pula satu mobil Mercedes Benz 350 SEL, yang sejak beberapa lama nongkrong tertutup terpal. Ia enggan menggunakannya. Kabarnya hadiah Robby Cahyadi tatkala Idris mengisi ilustrasi musik untuk film Tiada Jalan Lain yang a.l. dicukongi penyelundup tersebut. Menarik, bahwa isteri maupun anak-anaknya, jarang mengendarai mobil pribadi yang mana pun. Sang isteri, kalau bepergian naik taksi. Santy yang sekolahnya jauh, sehari-hari diantar pembantu naik bus kota. "Terus terang hidup saya tidak susah. Tapi toh badan saya tetap saja begini. Kerempeng'?, katanya. Rambut yang mengombak tak jarang kelihatan kusut. Wajahnya kadang-kadang tampak pucat. Berat badannya yang tak sampai setahun lalu sempat 53, sejak Juni merosot menjadi 49 kilogram. Bukan itu saja. Sejenis penyakit sering pula mengganggunya. Kenapa? Kejiwaan? Idris sejak 1968 sering melakukan apa yang disebut 'latihan kejiwaan' di Wisma Subud (Susila Budhi Dharma) di Cilandak. "Saya ini suka kesel", kata isterinya pekan lalu. "Misalnya seminggu lalu. Dalam seminggu ia cuma tidur 3 jam. Rupanya ia sibuk menyiapkan 12 aransemen untuk Ansamble Jakarta untuk acara 17 Agustusan. Saya khawatir ia sakit".

Dan Idris memang selalu sibuk. Juga di rumah. Justru kalau lagi bekerja di rumah, ia menjadi 'angker'. Tak seorang boleh mengganggu. Yang bisa mendekat cuma segelas besar air teh kental dan sesisir pisang sereh. Kalau Idris lagi latihan atau membuat rekaman di salah satu studio, ini lebih gawat lagi. Sampai beberapa hari terkadang tak pulang. Maka tinggallah sang isteri yang menjenguk membawa pakaian ganti. Idris memang sering kerja tanpa kenal waktu. "Saya pernah lihat Idris di Jepang, 2 hari 2 malam tidak tidur. Bahkan tidak keluar sama sekali dari kamar studio", kata Gani, produsir Surya Indonesia Medan Film. Menurut isterinya, tak sekali sebulan Idris dan keluarganya rekreasi. "Kalau pun ada waktu, paling-paling nonton di Kartika Chandra atau berenang di Ancol", ujar Ita Zerlyta. "Soalnya saya tak mau memanjakan keluarga", kata Idris menimpali. Oleh drs. Soemadi, Dirjen Radio, Televis, dan Film, sejak Juni lalu diangkat sebagai konduktor tamu Orkes Simfoni Jakarta bersama Prabowo, Suka Hardjana dan Frans Haryadi -- di samping pimpinan tetapnya Adidharma. Idris punya acara setiap Senin akhir bulan memimpin pergelaran lewat TVRI studio Jakarta. "Yang saya hadapi sekarang cukup berat", katanya. "Kemampuan tehnis para pemain payah sekali sementara perkembangan musik sudah begitu maju". Loyo Meski baru 2 bulan memimpin orkes tersebut, hampir semua pemainnya sudah ia kenal sejak tahun 50-an. Menurut dia, dulu mereka itu kuat-kuat, tapi sekarang ternyata loyo. Tak lain menurut Idris lantaran "pengaruh lingkungan yang sangat komp]eks". Maksudnya: sementara umur mereka sudah semakin tua --berkisar antara 50-an-honor sebagai Tenaga Kesenian Honorair RRI memang sedikit sekali. Berapa persisnya, Idris kurang jelas. "Karena sosial-ekonominya lemah, mereka lebih berbuat seperti tukang yang senantiasa terikat waktu ketimbang sebagai seniman yang jika perlu harus lebih mempertimbangkan segala-galanya buat karir", kata Idris. Lebih celaka lagi, "gangguan tehnis yang sering muncul di studio.

Kadang-kadang studio dipakai acara lain, atau lampu mati sendiri". Idris lantas meremajakan tenaga pemain, di samping mencoba menjajagi kemungkinan peningkatan honorarium. Lalu berkompromi dalam hal pemilihan repertoar yang akan dimainkan. Sikap Idris sudah jelas: ia memandang orkes simfoni tak melulu buat jenis musik klasik -- sebagaimana, katanya, pendirian banyak orang. Meski begitu, kalau ia sudah siap dengan satu aransemen belum tentu lantas bisa berhasil minta anak buahnya memainkannya dengan baik. Untuk itu ia berkompromi lagi. Kalau perlu pada waktu latihan itu juga ia mempermak aransemen, disesuaikan dengan kesanggupan pemain-pemainnya. Itu tak berarti, menurut pengakuannya, ia mengorbankan nilai untuk sesuatu yang asal jadi. Juga tidak, lebih-lebih, untuk uang. "Memang benar bahwa dengan musik saya bisa makan. Tapi juga dengan musik saya menyampaikan perasaan-perasaan saya". Barangkali itulah sebabnya akhir-akhir ini ia agak sedih karena orkes simfoni tidak laku di negeri ini. "Minat anak-anak muda terhadap musik sebenarnya menggembirakan. Improvisasi mereka pun kuat", ujar Idris. "Toh mereka lebih senang dengan grup kecil yang cuma 3-4 orang. Kemauan belajar membaca not balok dan minat pada simfoni sangat kurang". Tapi memang ia agak dongkol juga sedikit pada "musikus-musikus" yang mengaku pernah bersekolah musik". Mereka ini, agaknya kelewat suka ngomel terhadap apa yang selama ini diperbuat oleh Idris.

Terhadap mereka, Idris cuma bilang: "Saya tahu musik yang baik. Saya tahu pula bahwa apa yang saya kerjakan selama ini belumlah bernilai apa-apa". Ke alamat mereka pula, Idris ada menyarankan untuk lebih banyak riset dan mencipta musik Indonesia. "Musik Cina atau India, bisa dikenali dengan mudah. Tapi apa sih musik Indonesia? Yang ada cuma musik daerah: Jawa, Sunda, Minang, Bali dan sebagainya. Yahg Indonesia belum ada", katanya. "Inilah sebenarnya yang harus menjadi perhatian akademikus-akademikus tadi". Akan halnya ia sendiri, kepenginnya mengangkat musik Bali hingga mengesankan sebagai musik Indonesia. Atau barangkali karena musik Bali sudah lebih dikenal orang dan karenanya ada kemungkinan komersiil? "Bukan begitu. Tapi musik Bali itu lebih dinamis. Dan kelak saya bisa bilang: inilah musik saya", katanya. Sejak kecil ia terdidik mencintai musik klasik. Juga sampai sekarang. Mengaku bahwa pendidikan musik klasiknya merupakan dasar yang kuat, bulan Oktober mendatang ia bermaksud tampil dengan konser musik klasik. Dengan maksud menarik minat anak-anak muda itulah, ia lantas mencoba menampilkan lagu-lagu pop atau daerah dalam setiap pergelaran simfoninya. Maksudnya agar anak-anak muda terpancing, sementara generasi tua (yang menganggap orkes simfoni melulu untuk jenis musik klasik) tidak merasa 'tertelanjangi'. Ia memang berusaha berdiri di tengah. Alih-alih ada reaksi atau ada sambutan gembira dari golongan tua. Ternyata ada juga yang menuduhnya seolah 'menodai' musik simfoni. Kata Idris "Orang-orang yang memberikan reaksi negatif itu sebenarnya tak punya pertimbangan musikal". Dan Idris sendiri -- yang gesekannya mirip gaya Helmut Zacharias, violis pop mancanegara yang terkenal itu -- dasarnya memang agak 'keras kepala....


MELAWAN BADAI1974ARIFIN C. NOER
Composer
MEREKA KEMBALI 1972 NAWI ISMAIL
Composer
BANDUNG LAUTAN API 1974 ALAM SURAWIDJAJA
Composer
LAKI-LAKI DALAM PELUKAN 1977 BOBBY SANDY
Composer
LAKI-LAKI BINAL 1978 ARIZAL
Composer
DENDAM SI ANAK HARAM 1972 SISWORO GAUTAMA
Composer
DEWI 1974 AMI PRIJONO
Composer
SEMOGA KAU KEMBALI 1976 MOTINGGO BOESJE
Composer
ROMI DAN JULI 1974 HASMANAN
Composer
DOEA TANDA MATA 1984 TEGUH KARYA
Composer
PERAWAN BUTA 1971 LILEK SUDJIO
Composer
PETIR SEPANDJANG MALAM 1967 S. WALDY
Composer
OMBAKNYA LAUT MABUKNYA CINTA 1978 ABRAR SIREGAR
Composer
INSAN KESEPIAN 1986 BAMBANG IRAWAN
Composer
BANTENG BETAWAI 1971 NAWI ISMAIL
Composer
JEMBATAN MERAH 1973 ASRUL SANI
Composer
TAKSI JUGA 1991 ISMAIL SOEBARDJO
Composer
SELALU DI HATIKU 1975 HASMANAN
Composer
SEKUNTUM MAWAR PUTIH 1981 MOCHTAR SOEMODIMEDJO
Composer
NAGA MERAH 1976 FRITZ G. SCHADT
Composer
NODA TAK BERAMPUN 1970 TURINO DJUNAIDY
Composer
PENDEKAR SUMUR TUDJUH 1971 REMPO URIP
Composer
IBUKU MALANG IBU TERSAYANG 1990 ABDI WIYONO
Composer
SI MANIS JEMBATAN ANCOL 1973 TURINO DJUNAIDY
Composer
JANGAN MENANGIS MAMA 1977 SOFIA WD
Composer
DJAMPANG MENCARI NAGA HITAM 1968 LILIK SUDJIO
Composer
BERNAFAS DALAM LUMPUR 1970 TURINO DJUNAIDY
Composer
BING SLAMET KOBOI CENGENG 1974 NYA ABBAS AKUP
Composer
FLAMBOYANT 1972 SJUMAN DJAYA
Composer
ANAK-ANAK TAK BERIBU 1980 MAMAN FIRMANSJAH
Composer
PETUALANG-PETUALANG 1978 ARIFIN C. NOER
Composer
TELESAN AIR MATA IBU 1974 IKSAN LAHARDI
Composer
IBUNDA 1986 TEGUH KARYA
Composer
SI MAMAD 1974 SJUMAN DJAJA
Composer
TUTUR TINULAR 1989 NURHADIE IRAWAN
Composer
LISA 1971 M. SHARIEFFUDIN A
Composer
MAWAR RIMBA 1972 F. SUTRISNO
Composer
SECERAH SENYUM 1977 ARIZAL
Composer
LAGU UNTUKMU 1973 ISHAK SUHAYA
Actor Composer
KK 17 1964 M.D. ALIFF
Composer
PERKAWINAN 1972 WIM UMBOH
Composer
CINTAKU DI WAY KAMBAS 1990 IWAN WAHAB
Composer
ANNA MARIA 1979 HASMANAN
Composer
KARMILA 1975 AMI PRIJONO
Composer
TERMINAL CINTA 1977 ABRAR SIREGAR
Composer
PERMATA BUNDA 1974 WISJNU MOURADHY
Composer
MELINTAS BADAI 1985 SOPHAN SOPHIAAN
Composer
PARA PERINTIS KEMERDEKAAN 1977 ASRUL SANI
Composer
KUBERIKAN SAGALANYA 1992 GALEB HUSEIN
Composer
PENGANTIN REMAJA 1971 WIM UMBOH
Composer
PENGANTIN REMAJA 1991 WIM UMBOH
Composer
KEMBANG-KEMBANG PLASTIK 1977 WIM UMBOH
Composer
MEI LAN, AKU CINTA PADAMU 1974 PITRAJAYA BURNAMA
Composer
WIDURI KEKASIHKU 1976 SOPHAN SOPHIAAN
Composer
SI BUTA DARI GUA HANTU 1970 LILIK SUDJIO
Composer
PAHITNYA CINTA MANISNYA DOSA 1978 WAHAB ABDI
Composer
MISTRI DI BOROBUDUR 1971 PITRAJAYA BURNAMA
Composer
GERSANG TAPI DAMAI 1977 WAHYU SIHOMBING
Composer
API DIBUKIT MENORAH 1971 D. DJAJAKUSUMA
Composer
SI PITUNG 1970 NAWI ISMAIL
Composer
LAKI-LAKI TAK BERNAMA 1969 WIM UMBOH
Composer
KEMASUKAN SETAN 1974 LUKMAN HAKIM NAIN
Composer
PEMBALASAN SI PITUNG 1977 NAWI ISMAIL
Composer
YANG MUDA YANG BERCINTA 1977 SJUMAN DJAYA
Composer
RANJANG PENGANTIN 1975 TEGUH KARYA
Composer
SERIBU JANJI KUMENANTI 1972 ISKAN LAHARDI
Composer
YULI BUAH HATI KEKASIH MAMA 1977 M. SHARIEFFUDIN A
Composer
MIMPI SEDIH 1974 WILLY WILIANTO
Composer
RINA 1971 ABUBAKAR DJUNAEDI
Composer
GEMA HATI BERNYANYI 1987 ADISOERYA ABDY
Composer
ISTRIKU SAYANG ISTRIKU MALANG 1977 WAHAB ABDI
Composer
DERITA TIADA AKHIR 1971 IKSAN LAHARDI
Composer
BIARLAH AKU PERGI 1971 WIM UMBOH
Composer
KEKASIH 1977 BOBBY SANDY
Composer
KEKASIHKU IBUKU 1971 TURINO DJUNAIDY
Composer
AIR MATA KEKASIH 1971 LILIK SUDJIO
Composer
BADAI LAUT SELATAN 1991 NURHADIE IRAWAN
Composer
TJOET NJA DHIEN 1986 EROS DJAROT
Composer
DJAKARTA BY PASS 1962 LILIK SUDJIO
Composer
DJAKARTA - HONGKONG - MACAO 1968 TURINO DJUNAIDY
Composer
ATHEIS 1974 SJUMAN DJAYA
Composer
PENUNGGANG KUDA DARI TJIMANDE 1971 CHITRA DEWI
Composer
DIBALIK PINTU DOSA 1970 M. SHARIEFFUDIN A
Composer
YATIM 1973 BAY ISBAHI
Composer
PONDOK CINTA 1985 WIM UMBOH
Composer
RATNA 1971 HASMANAN
Composer
DORCE KETEMU JODOH 1990 MARDALI SYARIEF
Composer
DON AUFAR 1986 PITRAJAYA BURNAMA
Composer
PENDEKAR BAMBU KUNING 1971 PITRAJAYA BURNAMA
Composer
TUAN TANAH KEDAWUNG 1970 LILIK SUDJIO
Composer
SATU MALAM DUA CINTA 1978 USMAN EFFENDY
Composer
PENYESAIAN SUMUR HIDUP 1986 FRANK RORIMPANDEY
Composer
RATAPAN SI MISKIN 1974 SANDY SUWARDI HASSAN
Composer
RATAPAN DAN RINTIHAN 1974 SANDY SUWARDI HASSAN
Composer
DR. FIRDAUS 1976 ARIZAL
Composer
AKIBAT KANKER PAYUDARA 1987 FRANK RORIMPANDEY
Composer
ANGKARA MURKA 1972 CHAIDIR RACHMAN
Composer
SEGENGGAM HARAPAN 1973 WAHAB ABDI
Composer
BAYI TABUNG 1988 NURHADIE IRAWAN
Composer
DIKEJAR DOSA 1974 LUKMAN HAKIM NAIN
Composer
NOESA PENIDA 1988 GALEB HUSEIN
Composer
WANITA SEGALA ZAMAN 1979 HASMANAN
Composer
MATJAN KEMAJORAN 1965 WIM UMBOH
Composer
APA JANG KAUTANGISI 1965 WIM UMBOH
Composer
SENDJA DI DJAKARTA 1967 NICO PELAMONIA
Composer
PENGEMIS DAN TUKANG BECAK 1978 WIM UMBOH
Composer
PESTA MUSIK LA BANA 1960 MISBACH JUSA BIRAN
Composer
BULAN MADU 1979 AWALUDIN
Composer
GARA-GARA ISTRI MUDA 1977 WAHYU SIHOMBING
Composer
OPERASI TINOMBALA 1977 M. SHARIEFFUDIN A
Composer
BUDAK NAFSU 1983 SJUMAN DJAYA
Composer
CINTA PUNYA MAU 1989 CHRIST HELWELDERY
Composer
CINTA PERTAMA 1974 TEGUH KARYA
Composer
TIADA JALAN LAIN 1972 HASMANAN
Composer
TIADA WAKTU BICARA 1974 SANDY SUWARDI HASSAN
Actor Composer
TIADA MAAF BAGIMU 1971 M. SHARIEFFUDIN A
Composer
PACAR KETINGGALAN KERETA 1988 TEGUH KARYA
Composer
DIANTARA ANGGREK BERBUNGA 1972 REMPO URIP
Composer
PESONA NATALIA 1986 NASRI CHEPPY
Composer
PUTIHNYA DUKA KELABUNYA BAHAGIA 1989 FRANK RORIMPANDEY
Composer
SAMIUN DAN DASIMA 1970 HASMANAN
Composer
RATU DISCO 1978 A. MALIK ZAKARIA
Composer
AKU CINTA PADAMU 1974 HASMANAN
Composer
TOKOH 1973 WIM UMBOH
Composer
MALAM JAHANAM 1971 PITRAJAYA BURNAMA
Composer
MATINJA SEORANG BIDADARI 1971 WAHYU SIHOMBING
Composer
MAMA 1972 WIM UMBOH
Composer
RIO ANAKKU 1973 ARIFIN C. NOER
Composer
HONOUR 1974 BOBBY SANDY
Composer
ANANDA 1970 USMAR ISMAIL
Composer
ANJING-ANJING GELADAK 1972 NICO PELAMONIA
Composer
SEMBILAN 1967 WIM UMBOH
Composer
ORANG-ORANG LIAR 1969 TURINO DJUNAIDY
Composer
TAK SEINDAH KASIH MAMA 1986 HASMANAN
Composer
CINTA 1975 WIM UMBOH
Composer
SI KABAYAN 1975 BAY ISBAHI
Composer
SOERABAIA 45 1990 IMAM TANTOWI
Composer
DAN BUNGA-BUNGA BERGUGURAN 1970 WIM UMBOH
Composer
FAJAR MENYINGSING 1975 MARHADI JF
Composer
INTAN MENDULANG CINTA 1981 DJAMAL HARPUTRA
Composer
INTAN PERAWAN KUBU 1972 A.N. ALCAFF
Composer
BALAS DENDAM 1975 BOBBY SANDY
Composer
ARIE HANGGARA 1985 FRANK RORIMPANDEY
Composer
RAKIT 1971 SANDY SUWARDI HASSAN
Composer
KUGAPAI CINTAMU 1977 WIM UMBOH
Composer
DARA-DARA 1971 CHITRA DEWI
Composer
PEREMPUAN 1973 PITRAJAYA BURNAMA
Composer
SISA-SISA LASKAR PAJANG 1974 C.M. NAS
Composer
DUNIA BELUM KIAMAT 1971 NYA ABBAS AKUP
Composer
SESUATU YANG INDAH 1976 WIM UMBOH
Composer
TANGISAN IBU TIRI 1974 YUNG INDRAJAYA
Composer
PACAR PERTAMA 1986 SAM SARUMPAET
Composer
SORTA 1982 ABRAR SIREGAR
Composer
SUNAN KALIJAGA DAN SYECH SITI JENAR 1985 SOFYAN SHARNA
Composer
HATIKU DALAM HATIMU 1973 SUSILO SWD
Composer
NYI AGENG RATU PEMIKAT 1983 SISWORO GAUTAMA
Composer
GAUN PENGANTIN 1974 BOBBY SANDY
Composer
CHICHA 1976 EDUART P. SIRAIT
Composer
DJEMBATAN EMAS 1971 IKSAN LAHARDI
Composer
DIMANA KAU IBU 1973 HASMANAN
Composer
SEANDAINYA AKU BOLEH MEMILIH 1984 WAHAB ABDI
Composer
IMPAS 1971 SANDY SUWARDI HASSAN
Composer
SENTUHAN CINTA 1976 BOBBY SANDY
Composer
JANJI SARINAH 1976 ARIZAL
Composer
CHRISTINA 1977 I.M. CHANDRA ADI
Composer
SENYUM DIPAGI BULAN DESEMBER 1974 WIM UMBOH
Composer
SENYUM DAN TANGIS 1974 ARIZAL
Composer
ROMANSA 1970 HASMANAN
Composer
DEMI ANAKKU 1979 PITRAJAYA BURNAMA
Composer
DEMI CINTA 1974 MATNOOR TINDAON
Composer
POTRET 1991 BUCE MALAWAU
Composer
SI RANO 1973 MOTINGGO BOESJE
Composer
JAUH DI MATA 1973 WILLY WILIANTO
Composer
SENYUM UNTUK MAMA 1980 M. SHARIEFFUDIN A
Composer
WADJAH SEORANG LAKILAKI 1971 TEGUH KARYA
Composer
HALIMUN 1982 SOFIA WD
Composer
DIUDJUNG BADIK 1971 AWALUDIN
Composer
KETIKA DIA PERGI 1990 BUCE MALAWAU
Composer
MARIA, MARIA, MARIA 1974 HASMANAN
Composer