Menampilkan postingan yang diurutkan menurut tanggal untuk kueri Nya. Urutkan menurut relevansi Tampilkan semua postingan
Menampilkan postingan yang diurutkan menurut tanggal untuk kueri Nya. Urutkan menurut relevansi Tampilkan semua postingan

Selasa, 11 Agustus 2020

JB KRISTANTO, melihat film dulu dan sekarang.

JB Kristanto, kritikus film senior dan penulis Katalog Film Indonesia 1926-2007 (1995)

Sekolah film yang resmi itu dulu, kan, cuma ada satu: IKJ (Jurusan Film dan Televisi, Institut Kesenian Jakarta). Sekarang ISI (Institut Seni Indonesia) Yogyakarta buka jurusan media rekam. ISI Solo, saya enggak yakin betul ada apa enggak. Ini yang formal-formal. Tapi juga, seingat saya, IKJ baru mulai tahun 1970-an dan baru menghasilkan alumni 5-6 setelahnya. Itu pun tidak banyak pengaruh. Artinya, ia menyumbang tenaga, teknisi. Tapi tidak banyak berpengaruh. Sistem yang lebih besar yang berlaku pada “industri” film sejak 1930 adalah magang.

Dan juga tidak berpengaruh pada industri itu sendiri. Tidak banyak yang memberi warna baru di penyutradaran. Kalau teknisinya lain. Mereka, kan, ikut aja. DOP [Director of Photography], editor, art director, tidak terlalu berpengaruh dalam memberi warna atau memberi pemikiran.

Sampai tahun 1990-an, orang belajar bikin film lewat magang, jadi asisten sutradaranya Wim [Umboh], jadi asisten sutradaranya Sjuman [Djaja], Teguh [Karya], Arifin [C. Noer]. Saya lupa ya asisten-asistennya Wim itu ada yang jadi apa enggak. Tapi dari Wim, ada beberapa: Bobby Sandy, misalnya. Dari Teguh jelas ada Slamet [Rahardjo]. Dari Sjuman ada beberapa: ada Jasso Winarto. Ada juga yang seperti Edo [Edward Pesta Sirait] yang jadi asisten beberapa sutradra: ya Sjuman, ya Wim, dan seterusnya.

Enggak seperti Jepang. Jepang itu kalau kamu sudah ikut satu sutradara, kamu akan ikut terus. Misalnya Kurosawa, sampai kamu jadi sutradara, ya kamu akan terus ikut Kurosawa. Di sini enggak seketat itu. Sjuman, kan, ganti-ganti asisten. Dia enggak punya grup. Tapi kalau Teguh Karya, dia punya sanggar: Nano [Riantiarno], Slamet Rahardjo, George Kamarullah. Jadi sistemnya seperti itu. Lalu pernah di KFT (Karyawan Film dan Televisi) dibikin semacam seleksi. Asisten yang mau jadi sutradara harus memenuhi syarat. Misalnya lima kali jadi asisten. Kalau mereka mau jadi sutradara, mereka harus bilang ke KFT: “Gue mau jadi sutradara, nih.” Lalu diuji oleh KFT. Salah satu ujiannya, tiga film yang pernah dia asisteni diputar, terus dia ditanya-tanya. Kalau boleh ya boleh. Kalau enggak ya enggak.

Ada periodenya. Tahun 1980-an kalau enggak salah. Nah, sampai tahun 1990-an, saya tidak melihat ada sumbangan dari IKJ. Lalu tiba-tiba muncul Garin (Nugroho). Garin ini kayak jadi pembatas, antara angkatan di bawahnya dan angkatan sesudahnya.

Garin enggak pernah magang. Sebelum dia bikin film cerita, dia bikin film dokumenter, bikin film pendek. Sejak awal sudah sutradara. Makanya dia jadi pembatas betul. Garin itu juga memberi warna. Bukan hanya karena sekolahnya, tapi karena orangnya, sih. Kan selalu ada yang kayak gitu. Bukan karena sistem. Setelah Garin, muncul generasi yang pernah saya tulis secara pendek: generasi yang enggak ada hubungannya lagi dengan angkatan sebelumnya. Generasi 2000, yang kira-kira mulai berkarya tahun 1995. Tradisi mereka sama sekali lepas dari angkatan sebelumnya.

Nah, kalau kembali ke soal pendidikan tadi, maka orang-orang setelah generasi Garin, seperti Mira dan Riri [Riza] juga jadi pembatas. Setelah Garin ada Riri dan Mira. Di luar mereka ini, ternyata banyak lagi yang sekolah di luar negeri. Mereka sekolah sekitar pertengahan 90-an dan generasi ini bener-bener putus dari generasi sebelumnya. Dari IKJ sekarang hampir kita enggak dengar, ya. Tapi teknisi tetap dari situ: DOP, editor, sound. Tapi sutradara enggak.

Tapi maksud saya begini: Pergaulan antara orang film dan orang sastra juga enggak ada. Padahal dari sejak zaman Usmar [Ismail, 1921-1971], sejak zaman Nyak Abbas Acup [1932-1991], sejak zaman Sjuman [1934-1985], dua komunitas itu akrab. Nyak Abbas itu nongkrongnya di TIM. Sjuman memang sastrawan juga sebelum jadi orang film. Dia termasuk seniman Senen. Misbach [Yusan Biran, 1933-2012]… Asrul [Sani, 1927-2004]… Ini kan orang-orang Perfini semua. Dikumpulin sama Usmar. Generasi yang paling baru ini kayaknya sudah lepas dari sastra dan teater. Bagaimanapun sastra dan teater itu, bukan hanya harus difilmkan, tapi kamu juga bisa menimba estetikanya. Kalau kamu akrab dengan itu, itu akan berpengaruh dalam diri kamu. Itu yang saya maksud. Saya enggak yakin generasi filmmaker sekarang juga baca. Karena kalau baca, kok, enggak ada baunya, ya? Tapi secara pergaulan juga enggak. Garin orang terakhir yang pergaulannya masih luas. Dia ambil tradisi tari ke film, dia bergaul dengan filsuf-filsuf Indonesia. Tapi di luar Garin, kan, enggak ada. Kita boleh enggak suka dengan film Garin. Saya juga belum tentu suka semua film Garin. Tapi, kan, kelihatan ada pemikiran dan apa yang ada di balik filmnya.

Betul. Jadi televisi itu bersisian dengan film. Tahun 1988 stasiun tivi swasta lahir. Waktu itu masih pakai dekoder. Terus tahun 1993, SCTV, TPI, dan seterusnya muncul bareng. Ini yang bikin orang-orang film pindah. Terus ada juga jaringan bioskop XXI, yang kalau enggak salah berdiri tahun 1986, tapi mulai mencengkeram kuat tahun 1990-an. Bersamaan dengan itu pada 1991, 1992, produksi film drop dan membuat orang-orang film pindah ke televisi. Pada waktu yang sama, XXI mulai mencengkeram. Ia mulai dengan monopoli distribusi film impor. Dengan monopoli itu ia bisa mendikte: “Lu mau ikut gue apa enggak?” Lama-lama bioskop-bioskop daerah mulai rontok. Apalagi di XXI, ada kualifikasi tertentu, kursinya harus kayak gini, layarnya harus kayak gini, dan seterusnya. Sehingga bioskop-bioskop di kota kabupaten (Dati II), yang tidak bisa memenuhi syarat-syarat itu, gulung tikar. Padahal di situlah wilayah pasarnya film Indonesia. Jadi itu semua saling pengaruh. Lucunya, sekarang ini semuanya jadi terbalik. Orang-orang yang lari ke tivi sekarang balik ke film. Sebabnya, orang-orang di televisi bikin in-house production sendiri. Multivision, MD, Starvision dulu raja sinetron. Sekarang malah mereka yang menguasai film. Karena mereka sudah enggak punya ladang lagi di televisi. RCTI dan SCTV, misalnya, bikin anak perusahaan yang mensuplai sinetronnya sendiri. Ini yang menurut saya menarik. Karena waktu mereka jadi supplier televisi, mereka dipaksa menjadi industri, frame of thingking-nya, sistem kerjanya. Penulis skenario dikontrak untuk sekian tahun, sekian judul. Supaya produksinya secure. Kalau enggak, nanti di tengah jalan sinetronnya bubar. Keterbiasaan mereka dengan industri sekarang diterapkan ke film. Tadinya film itu kayak industri rumahan. Setahun produksi 1, 2, atau 3 film. Sekarang, Starvision bisa (produksi) sepuluh film per tahun. Jadi meskipun pelopor kembalinya film indonesia itu Mira [Lesmana], tapi yang berjaya ya bukan Mira.

Karena dipaksa. Dan mereka enggak tahu pilihan lainnya. Tahunya cara begini yang bener. Kalau saya lihat data-data penonton, Parwez (Chand Parwez Servia, pemilik Stravision) yang paling produktif, setahun bisa delapan atau sepuluh, kadang-kadang 100 ribu, 200 ribu penonton, tapi tiba-tiba Cek Toko Sebelah dapat 2,5 juta penonton. Nah, itu berarti jackpot-nya dapet. Resepnya Parwez begini: Asal lu produksi kontinyu, lu enggak rugi secara keseluruhan. Jangan lihat judul per judul. Karena kalau dapat 200 ribu penonton, paling cuma dapat Rp3 milyar. Tapi kalau pun dia dapat tiga milyar dari tiket di bioskop, dengan 200 ribu penonton, dia masih punya hak jual untuk stasiun televisi. Itu sekitar satu milyar.

Kamis, 06 Agustus 2020

AGUS MULJONO (1951-1961)

AGUS MULJONO


Bintang Film yang dalam waktu singkat dapat menduduki peranan utama dalam film “Taufan” produksi Ksatrya Dharma Film Coy, tak lain dan tak bukan adalah Agus Muljono, seorang pemuda yang berasal dari Jogjakarta dan mempunyai semangat besar dan berminat dalam lapangan film Indonesia. Memang dalam mencapai cita-citanya seseorang tidak boleh putus asa dan berkecil hati, justru dapat mengatasi persoalan yang demikian. Inilah Agus Muljono dalam waktu pendek dapat menduduki tempat yang baik.

Tidak sedikit para pemain film Indonesia di Kota Jakarta ini yang hidupnya terkatung-katung, oleh karena beberapa faktor yang tak mungkin dihadapinya dengan tenaga dan pikiran zonder bantuan dan uluran tangan dari para penguasa film.  Untuk mendapatkan nama baik sebagai pelaku film, hanyalah dengan ikhtiar dan berusaha ke arah itu. Bermacam-macam jalan yang ditempuh oleh banyak para pelaku film tetapi buah dan hasilnya tetap tergantung kepada nasib…..

Dalam hal ini, sekolah tinggi tidaklah menjadi syarat mutlak. Tetapi tenaga yang kreatif dan kemauan yang diujudkan dengan kenyataan akan membawanya ke arah kenamaan. Agus Muljono seorang pelawak muda yang menjadi favorit masyarakat yang gemar akan comic, tidak pula menempuh pelajaran tinggi. Akan tetapi toch mempunyai nama baik di kalangan dagelan. Ia hanya menempuh pelajaran di Schakelscool, inipun katanya sudah merupakan keuntungan baginya, karena sejak sekolah biayanya dipikul sendiri. Kesulitan-kesulitan hidup selagi kecil merupakan cambuk jiwanya untuk berbuat sesuatu guna mencapai cita-cita yang membumbung setinggi langit.

Ayahnya telah mendahului selagi masih kanak-kanak, kakaknya yang diharapkan akan dapat membantu dalam memelihara hidupnya, dipecat dari pekerjaannya karena tersangka dalam politik yang benci oleh pemerintah Belanda. Dan tak lama kakaknya inipun meninggal dunia. Mulai saat itulah Agus Muljono yang masih kecil ini belajar hidup sendiri. Justru penderitaan inilah, Agus Muljono menjadi seorang pemuda yang pendiam. Bagaimana juga ia dicetoti oleh ibunya, iapun tak menangis. Sampai ibunyapun ingin mendengarkan bagaimana kalau anaknya, Agus Muljono itu menangis.

Wataknya yang pendiam, ini berlangsung sampai ia tamat belajar. Setelah mengenal masyarakat dan bergaul dengan teman-temannya yang lain yang banyak variasinya, maka Agus Muljono tidak lagi menjadi pemuda yang pendiam. Ia menjadi seorang yang banyak humornya, banyak ceritanya yang lucu,  hingga teman-temannya banyak yang mencintainya. Dan lagi iapun senang tertawa. Sejak kecil sampai dewasa kini, ia selalu hidup atas usahanya sendiri.

Sejak banyak humornya inilah ia rupanya bangkit kebakatannya sebagai badut, pelawak, dagelan, atau comic. Bangun dari kesadarannya, bahwa penderitaan tak perlu dipikirkan dengan mengenangkan kesusahan, berdirilah ia menghibur diri sendiri, diisinya kekosongan hatinya itu dengan kata-kata yang aneh dan mentertawakan, ialah dagelan. Mulailah ia melawak pada zaman pemerintahan Belanda yang dulu. Temannya banyak yang menentang, karena pekerjaan demikian rupanya dianggap kurang pada tempatnya untuk Agus Muljono. Pekerjaan rendah dan hina. Namun meskipun demikian, Agus Muljono tetap meneruskan keciptaannya, comic adalah perbuatannya yang dianggap dapat memberikan isi hati dan cita-citanya.

IA MULAI aktif membantu perayaan di kampung-kampung sekitar Jogja, apabila ada peringatan hari Besar dan sebagainya. Ia mendagel, penonton tertawa terbahak-bahak, perutnya keras. Tidak menerima bayaran ia main sandiwara atau dagelan, hanya melulu sumbangan saja. 17 Maret 1950, berdirilah Himpunan Lelucon KAWAN RAKYAT di mana ia menjadi anggotanya, bersama dengan almarhum D. Ariffin, Widjaj, Hardjomuljo. Di sinilah ia menjumpai partner-nya, yang ajaib dan menjadi sahabat karib. Mulailah ia dikenal oleh kampung-kampung sekitar Jogja, disamping Dagelan Mataram yang telah amat populer itu.

Dalam waktu agresi Belanda yang kedua, di mana kota Jogjakarta diduduki oleh militer Belanda, Agus Muljono keluar kota ikut menggabungkan diri dengan gerilja. Namun sayang tak lama ia tertangkap dan dipenjarakan. Aneh, tak lagi ramai ia. Pemuda yang banyak dagelannya ia menjadi pendiam kembali, tak bersuara,  jiwanya tertekan oleh 4 dinding yang tebal, doanya setiap hari, semoga lekas keluar dari belenggu penjara ini.

Barangkali takut dan tidak suka, kalau disuruhnya mendagel di muka tentara KNIL dan KL. Benar juga politiknya Agus ini.

Setelah penulis ini juga keluar dati tahanan Belanda, dan tiga hari kemudian Pemerintah Republik Indonesia kembali ke Jogjakarta, Agus Muljono tampak sebagai Mantri Klantung, mondar-mandir sepanjang Malioboro, mengukur jalan raya dengan kaki, mencari pekerjaan. Cari kerjaan, tak mungkin. Kalau saat itu bukan pegawai atau militer, tetap susah hidupnya. Tetap penganggur sebagaimana halnya penulis ini. Rumahnya di Tukangan, sekampung dengan Mbak Sur yang kulihat beberapa bulan yang lalu menjadi script-girl ffilm PULANG, produksi PFN.  Dulu masih pelajar Kino Drama Artilier asuhan Dr. Huyung.

Hasratnya besar untuk ikut menjadi pelajar KDA akan tetapi karena untuk menjadi pelajar KDA diperlukan basis sekolahan menengah, maka ia tak dapat diterima. Berulang-ulang usahanya ini di iktiarkan melalui jalan lain-lain, agar dapat ikut main sandiwara asuhan almarhum Dr Huyung. Hal ini pernah pula diajukan oleh Mbak Sur (Kumala Ratih) pada almarhum Dr. Huyung, tetapi sayang juga, tak dapat diterimanya. Meskipun kemahirannya dalam comic telah dipertunjukkan kebakatannya. Akhirnya ia aktif dengan hardjomuljo main sandiwara dengan Himpunan Lelucon “KAWAN RAKYAT”

Kemudian terkacbul juga cita-citanya, setelah berusaha lama untuk menunjukkan kemahirannya dalam mendagel. Selagi Stichting Hiburan Mataram mengadakan pertunjukan di Gedung Senisono, dengan REVUE FANTASIA-nya, maka Agus Muljono dengan kedua temannya, Hardjomuldjo dan almarhum Dalimin Ariffin, ikut meramaikan. Di dalam muncul di atas panggung besar ini ternyata trio ini tidak mengecewakan khalayak. Para penonton tertarik dengan gaya  dan humornya yang tidak menjemukan dan kolot itu. Memang ketiga pelawak muda ini sedang tampak kemahirannya dalam mengeraskan perut penonton.

KEMUDIAN sering terdengar suara mereka itu di Studio RRI Jogjakarta dengan cerita sandiwara yang bersifat comic, dengan menyitir suasana masyarakat. Kejurusan itulah cita-citanya, suatu cara yang tidak menjemukan pendengar radio. Pertama kali main dalam film bersama dengan hardjomuljo pemain comic partner-nya dalam film Perfini “ENAM DJAM DI JOGJA di bawah sutradara Usmar Ismail. Ia bermain sebagai figuran saja dan bukan figuran gagah, tetapi orang yang sedikit ber-comic.

Filmnya yang kedua, EMBUN produksi Perfini juga hanya sebagai figuran. Kasihan ia, perjuangannya di dalam film dimulai dari figuran, tidak seperti bintang film Subono, yang sekaligus memulai dari epranan utama dan mendapat hadiah  film…. Tjium.

Tetapi nyatanya, ALON-ALON KELAKON lambat laun tercapailah. Ia tak sombong. Kalau bertemu kawan lama, kemudian ramai, tetapi dengan wajah yang ingat-ingit….. tampak kasihan. Kini gagah dia. Selagi malam silaturahmi artis ia pakai setelan wol kuning muda, gagah, tetapi dasar orang tak senang gagah-gagahan, ya tetap diam, ternayta dengan nyanyiannya yang diucapkan dalam perayaan malam tersebut dalam nomor anak-anak Pak Kasur. Di Jakarta, KAWAN RAKYAT berganti baju dengan  nama KAWAN RIA, corak dan aliran sama dan Agus Muljono serta Hardjomuljo sebagai pelopornya, sering terdengar nomornya dalam panggung merdeka Studio RRI Jakarta.

Kini ia sudah berhasil dapat memegang peran utama dalam film “TAUFAN” produksi Ksatrya Dharma dengan sutradara Ali Yugo. Ceritanya cocok dengan dia, comic. Jadi giginya yang ompong ini malahan menambah kocaknya film. Pernah ia mengalami keadaan yang lucu. Selagi latihan meyopir becak, datang seorang ibu menawarkan untuk membawa ke pasar Senen. Dengan hati geli, dibawanya ibu itu meluncur ke Pasar Senen, tetapi setengah jalan nafasnya kembang kempis dua kali. Sang ibu diturunkan, ia minta maaf, dan menerangkan bahwa ia sedang latihan, karena dalam memegang peranan di TAUFAN ia sebagai sopir becak. Ibu ketawa geli, ia ketawa……

Demikianlah Agus Muljono, dagelan, comic ompong, yang semakin lama semakin meningkat baik. Kini ia sedang asyik opname dalam film PULANG sayang tidak pegang peranan pertama lagi. Kapan muncul sebagai leading-man lagi, Bung. Tinggalnya di Menteng, tegalan 109 Jakarta. (***)

MEMBURU MENANTU1961AGUS MULJONO
Director
SI KEMBAR 1961 AGUS MULJONO
Director
TAMAN HARAPAN 1957 TAN SING HWAT
Actor
TAUFAN 1952 ALI YUGO
Actor
MELARAT TAPI SEHAT 1954 T.D. TIO JR.
Actor
PANGERAN KUMIS 1961 AGUS MULJONO
Director
ENAM DJAM DI DJOGDJA 1951 USMAR ISMAIL
Actor
MELATI SENDJA1956BACHTIAR SIAGIAN
Actor

Kamis, 30 Juli 2020

SURABAYA DARI KOMEDIE STAMBOEL HINGGA BIOSCOOP

DARI KOMEDIE STAMBOEL HINGGA BIOSCOOP


Komedie Stamboel adalah teater hibrida di zaman kolonial yang dengan kompleks menggabungkan beragam teater, kesusastraan dan estetika Eropa dan Asia. Sebagai satu genre pertunjukan populer di Indonesia, asal muasalnya dapat ditelusuri dari pendirian satu kelompok teater dengan nama yang sama di tahun 1891 di Surabaya, dengan aktor Indo (Euroasia) yang didanai kongsi Tionghoa. Pada awalnya, Komedie Stamboel sering dideskripsikan sebagai versi Melayu teater musikal Eropa.  Teater ini memberi sumbangan besar pada perkembangan teater kontemporer, seperti kroncong, ketoprak (yang pernah disebut sebagai stambul Jawa), ludruk, lenong, tooneel, perfilman, sekaligus politik identitas dan representasi.

Julukan “stamboel” diperkirakan berasal dari Istanbul, dan memang, pada awal berdirinya, cerita-cerita dari Timur Tengah seperti Seribu Satu Malam menjadi andalan pertunjukan mereka. Hampir 90 persen dari cerita yang dipentaskan pada 10 bulan pertama mereka merupakan adaptasi dramatis dari kisah Seribu Satu Malam versi terjemahan Eropa.

Suasana dan perabotannya—pencahayaan, akting emosional, panggung berkorden, orkestra musik pengiring, pembagian pentas menjadi adegan dan babak, kostum, make-up, plot—mirip dengan dramaturgi dan teknologi teater Eropa akhir abad 19.  Pengaruh lain yang tidak kalah pentingnya adalah teater Parsi atau wayang Parsi, yang berasal dari Bombay dan banyak mengelilingi Indonesia semenjak 1883 (atau bahkan lebih awal).  Pada dasawarsa pertama abad ke-20, komedi stamboel sudah punya koleksi drama (repertoire) yang sangat beragam, dari roman India, Persia, Timur Tengah, Kisah Seribu Satu Malam, sastra dan folklor populer Eropa (Dr. Faust, Putri Salju).  Juga ada kisah seperti Nyai Dasima, hingga Perang Lombok 1899-1900 yang dilarang pentas, dan adaptasi drama Shakespeare.

Sejarah awal berdirinya stambul bertepatan dengan banyaknya perubahan pesat di Hindia Belanda.  Saluran transportasi dan komunikasi, seperti kereta api, sinema, phonograph, lithograph, percetakan, dsb. bermunculan dan menghubungkan orang-orang dari berbagai pelosok.  Dengan kritis, mendetil dan menarik, buku ini menghadirkan sejarah satu teater hibrida, dari mana kita mendapatkan gambaran hidup, perilaku dan norma sosial saat itu, berikut keresahan dan semangatnya.  Dari berbagai potongan arsip koran dan media cetak, Cohen merangkai sejarah suatu ruang publik beserta segala konflik dan gosipnya yang tidak hanya menghibur, tapi juga sangat informatif.

Di bab pertama Cohen menyorot kelahiran Komedie Stamboel di Surabaya, serta hubungannya dengan sifat masyarakatnya yang multikultural dan dinamis.  Cohen mencatat berbagai (peng)hiburan di kota ini, misalnya opera dan schouwburg,strijke ,bataljon muziek, wayang kulit, wayang wong, tandakan, ludruk, Tahun Baru Cina, Pudu, Tjap Gouw Meh dan potehi.  Asal muasal Komedie Stamboel sendiri tidak terlalu diketahui—yang pasti, didanai oleh kongsi Tionghoa, terkadang disebut “Tangul Angin clique” dan awalnya berfungsi seperti klab sosial pendananya.  Secara retrospektif, Yap Gwan Thay, sering diberi kredit sebagai pendirinya dengan keahlian tehnisnya dan komitmen keuangannya.  Bisnisnya beraneka ragam, terutama di bidang hiburan dan manufuktur.  Juga dikatakan, Yap Gwan Thay sangat piawai dalam mempelajari, mengungkap prinsip kerja dan mengadaptasi sesuatu—termasuk membuat uang palsu

Sementara aktor-aktornya terdiri dari orang-orang Indo yang bermukim di kawasan achterbuurt sekitar Krambangan.  Kebanyakan dari mereka tidak mengenyam pendidikan tinggi, tidak mampu berbahasa Belanda dan menggunakan Melayu dalam kesehariannya.  Begitu pun dalam pementasannya—Stamboel dipentaskan dalam bahasa Melayu, dan dalam perkembangannya, penonton Belanda kebanyakan harus membeli buku panduan untuk memahami pentas Stamboel.  Salah satu dari aktor ini, Auguste Mahieu, dengan pengaruh manajerial dan kepopuleran personanya, kerap disebut sebagai pendiri Komedie Stamboel.  Boleh dikatakan, buku ini menelusuri Komedie Stamboel melalui perjalanan hidup Mahieu.  Sebagai seorang aktor dan musisi yang handal, Mahieu dipercaya menciptakan melodi standard stambul (“Stambul I”, “Stambul II”, dst.).

Berbagai teknik digunakan untuk menarik pengunjung yang lebih beragam: mulai dari membagikan leaflet, menggunakan ensemble Italia, menggelar tombola(lotre), sampai menerbangkan balon udara yang sebelumnya gagal terbang di depan gedung teater.  Dari yang awalnya dipentaskan di tenda di Kampung Doro, Komedie Stamboel dibawa ke Kapasan, dan berbagai schouwburg.  Akting dibuat berlebihan, dengan “buang tingkah” dan kaus kaki putih untuk menonjolkan gerakan.  Atraksi tableaux vivant, yaitu satu atau beberapa komposisi beku dengan aktor-aktor yang diam tak bergerak (dan seringnya berpakaian minim kalau tidak berkostum luar biasa) dengan panorama realis fantastis dari sejarah atau legenda, tentunya disambut hangat oleh penontonnya.  Selain karena noni-noni Indo yang terkenal kecantikannya, fenomena gambar realis juga sedang marak-maraknya di Indonesia, satu hal teknis yang mendapat sumbangan banyak dari keahlian Yap.  Teks-teks luar diadaptasi dengan bahasa dan situasi mereka; sebagai contoh, cerita Faust dipentaskan sebagai Fathul Achmat, atau Faust dari Arabia, terdiri dari 80 pantun.
 
Dari satu teater di Surabaya, Komedie Stamboel melakukan pertunjukan keliling ke luar kota.  Ketika mereka melakukan tur panjang di bulan November 1891, Komedie Stamboel masih tampak seperti satu kelompok teater Surabaya.  Sekembalinya mereka dari perjalanannya, Stamboel menjadi teater keliling, dengan artis, teknik, bentuk dan ide yang lebih beragam dan inklusif.  Sebagai contoh, penyanyi dan musik Kroncong turut bergabung dalam Komedie Stamboel, melodi-melodi standard stambul menjadi kerangka dasar lagu-lagu keroncong, dan juga sering digunakan untuk pentas gambang kromong dan wayang cokek di berbagai soehian di Batavia.  Di luar lingkaran teater dan hiburan, irama Stambul I yang menjadi kerangka keroncong bahkan diadaptasi menjadi lagu kebangsaan Malaysia.  Dengan cepat mereka menyebar, diadaptasi oleh berbagai kelompok teater (profesional dan amatir).

Di tahun 1893 antusiasme masyarakat mengikuti komedie stamboel bukan lagi sebagai satu kelompok teater, tapi sebagai suatu genre kebudayaan populer, yang timbul melalui proses difusi, bukan melalui “gerakan” yang dibentuk secara sistematis.

Tentunya, bukannya tanpa jatuh bangun.  Komedie Stamboel sebagai perusahaan berulang kali bangkrut, dan di tahun 1896 Mahieu berpindah menjadi direktur Sri Stamboel, Komedie Stamboel Bunga Mawar di 1898, dan terus mengalami perpindahan hingga akhir hayatnya. 

Bahasa, dan perilaku para artis dan penontonnya, tak jarang dicap vulgar, identik dengan kekerasan dan roman.  Sering kali mereka mendapat kritik media dan masyarakat sekitar. 

Nama mereka pun pernah diplesetkan sebagai Komedie Janboel dengan segala konotosi seksual-liarnya.  Pentas mereka di Mangga Besar—Rode Lamp van Batavia dari mana kita mendapat istilah “sakit mangga” untuk menyebut sipilis—adalah salah satu tur mereka yang dikecam penduduk sekitar.  Tapi, selain karena alasan “moral”, ternyata dalam satu kasus ada alasan lain: Komedie Stamboel menolak menjualpastel perkutut dan pastel bajing—produk lokal yang terkenal di kalangan sekitar tapi diragukan kualitasnya—di buffet yang mereka gelar di depan arena pertunjukan!  Tidakkah tuwan-tuwan dan njonja-njonja penasaran, seperti apakahpastel perkutut dan pastel bajing ini?

Bagaimana satu teater sederhana di Krambangan dapat melintasi batas-batas sosial, berasosiasi dengan opera Eropa melalui mekanisme legal, promosional dan estetik, dan akhirnya melakukan pentas di Singapura dan Malaysia, sering diatribusikan pada “sihir Mahieu”.  Melalui buku ini, kita dapat melihat bahwa Komedie Stamboel dan kepopulerannya tidaklah dibentuk oleh satu orang jenius, melainkan dari berbagai khalayak dengan beragam latar belakang ekonomi, etnis dan orientasi, dan melewati jalan panjang menghadapi berbagai percobaan, kegagalan dan persaingan dengan hiburan lainnya.  Tapi tidak pula dapat disangkal, Mahieu berjasa besar dengan berbagai inovasinya, perhatiannya terhadap publikasi, serta dedikasinya meningkatkan repertoire, peralatan dan (reputasi) personnelnya.

Di akhir bukunya, Cohen memaparkan “warisan” pengaruh stamboel: bagaimana komedie stamboel mendorong eksperimentasi dan difusi.  Stamboel memberi model refleksi dan representasi.  Perbedaan, kontras dan konflik antar etnis dan ras dihadirkan—“didramatisasikan” bahkan—di ruang publik, dan menjadi model repertoire yang terasa hingga sekarang jejaknya dalam debat politik, sinetron, teater daerah.  Cohen juga menganalisa kajian-kajian dan studi sebelumnya, bagaimana stamboel dibedakan berdasar kategori rasial, atau seni tinggi vs rendah, dan bagaimana stamboel menolak pengotak-ngotakan tersebut. Stambul mengalami pasang surut, dihidupkan dan diimajinasikan ulang, digunakan sebagai salah satu cara mendefinisikan budaya, otonomi dan pengakuan terhadap masyarakat Indo (Eurasia).  Dipaparkan juga pengaruh dan peran masyarakat imigran Indo sebagai mediator, dan sisa-sisa kebudayaan tersebut, seperti usaha Jan Boon alias Tjalie Robinson, yang saking kagumnya memakai nama Mahieu sebagai nama penanya.  Dengan mengamati posisi satu teater populer dan dampaknya di ruang publik, buku ini menguraikan begitu banyak fakta sejarah, analisa kompleks dan detil dinamika sosial.  

Gedung Opera Pie Oen KieJl. Panggung

Bahwa antusiasme masyarakat Kota Surabaya untuk menonton film di bioskop sangat besar, Surabaya merupakan kota yang banyak memiliki gedung bioskop di Indonesia pada 1936. 

Peran filem di bioskop pada masa lalu, dapat dilihat dari “monopoli” pemasangan iklan di suratkabar. Suratkabar yang terbit di waktu itu, sempat pula menjadikan banyaknya iklan filem bioskop yang dipasang di korannya merupakan prestasi dan prestise. Banyaknya iklan dan besarnya kolom iklan filem bioskop di suatu suratkabar, dapat pula menjadi standar oplah atau tiras koran itu.Di Kota Surabaya, zaman keemasan iklan filem bioskop banyak dinikmati oleh Harian Surabaya Post, menyusul kemudian koran Jawa Pos dan koran-koran bertiras kecil, serta koran mingguan. Tidak jarang, Surabaya Post dan Jawa Pos yang waktu itu terbit rata-rata 12 halaman tiap hari, iklan filem bioskopnya mencapai dua sampai tiga halaman. Begitu hebatnya peran filem sekitar tahun 1970-1980-an di bioskop-bioskop, Departemen Penerangan (Deppen) waktu itu, membuat bidang tersendiri untuk mengawasi iklan di koran dan reklame gantung yang dipajang di dinding gedung bioskop. Deppen yang sekarang sudah tidak ada itu juga mengendalikan kegiatan BSF (Badan Sensor Filem). Di daerahpun ada Baperfilda (Badan Pertimbangan Filem Daerah) yang fungsinya sebagai  BSF di daerah. Jumlah bioskop di Surabaya pernah melampaui jumlah 50. Karena luas gedung dan fasilitas bioskop tidak sama, maka Pemkot Surabaya membagi gedung bioskop menjadi lima golongan. 

Golongannya adalah: AA, A, B, C dan D. 
Golongan AA, ada 16 bioskop, yaitu: Mitra, President, International, Surabaya, Star, Wijaya, King, Indra, Ria, Intan, Ultra, Aurora, Arjuna, Gita, Jaya dan Drive In. 
Golongan A, enam bioskop, yakni: Queen, Bima, Irama, Garuda, Istana dan Nusantara. Golongan B, delapan biskop, yaitu: Kusuma, Purnama, Dana, Bayu, Gedung Utama, Satriya, Chandra dan Surya Baru. 
Golongan C ada enam, yaitu: Darmo, Suzanna, Bahari Jaya, Kalisosok, Seno dan Megah Ria. 
Golongan D ada 15 bioskop, yaitu: Cantik, Moelyo, Andhika, Stadion Gelora, Kantin KKO, Rejo Slamet, Putra, Juwita, Sari Mulyo, Paulus, Baruna, Srikandi, Taman Remaja, Tandes dan Widodo. 

Sekarang bioskop-bioskop itu banyak yang hanya tinggal “kenangan”. Banyak muda-mudi zaman itu yang kini sudah beranak-cucu punya kesan indah di bioskop itu. Kadang-kadang ada kerinduan untuk bernostalgia. Tetapi, ah, tentu tidak mungkin. FFI di Surabaya Tahun 1970-an hingga menjelang 1990-an dunia filem di Indonesia juga bangkit. Tidak hanya bangkit dalam memutar filem impor, tetapi juga memproduksi filem-filem nasional. Bahkan, di era ini, aktor dan aktris filem benar-benar disanjung, dipuja dan dimanjakan. Puncaknya, ada FFI (Festival Filem Indonesia). Kota Surabaya juga pernah menjadi tuan rumah FFI tahun 1981.  Pemerintah yang mendirikan TVRI di tahun 1962, terus berkembang dan memancarluaskan tayangan programnya ke seluruh Nusantara. Peran bioskop “diambil sedikit”, karena TVRI mulai memutar filem yang dapat ditonton di rumah. Tetapi kehadiran TVRI tidak banyak pengaruhnya bagi bioskop. Sebab, filem yang diputar di bioskop, berbeda dengan di TV, Deppenpun menetapkan filem yang diputar di TV tidak boleh filem baru. Kemajuan teknologi perfileman terus meningkat, mulai dari ukuran layar, dimensi dan suara. Namun, pengunjung bioskop terus menurun. Pengelola bioskop dengan pola baru membagi ruangan bioskop yang luas itu dengan sekat-sekat yang lebih kecil. Era ini dikenal dengan era “Sineplex 21”. Rata-rata bioskop yang besar dibagi menjadi dua sampai empat ruangan yang lebih kecil tetapi nyaman. Di era ini ada tambahan gedung bioskop sineplex baru yang terletak di Plaza Surabaya bernama “Plaza” dan Plaza Tunjungan bernama “Studio”.      

Primadona pajak begitu hebatnya, di samping peran bioskop sebagai tempat hiburan, waktu itu, Pemkot Surabaya menarik hasil yang cukup besar dari pajak tontonan. Bioskop menjadi penghasil dana PAD (Pendapatan Asli Daerah) antara tahun 1970-an hingga 1980-an. Pemasukan dana yang dihimpun melalui pajak tontonan dan hiburan, selalu berada pada deretan teratas sumber dana APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) Kota Surabaya dalam kurun waktu yang cukup panjang. Selain bioskop menjadi :”primadona” tempat hiburan warga kota, pajak tontonan juga menjadi “primadona” PAD Kota Surabaya. Itu adalah masa lalu. Musim berganti dan zamanpun berubah. Kemajuan teknologi yang begitu cepat mampu pula mengubah segalanya. Kehadiran televisi diikuti oleh teknologi rekaman video. Filem-filem yang diputar dan bakal diputar di bioskop juga sudah ada rekaman videonya di pasaran. Walaupun ada kenetantuan, bahwa rekaman video hanya untuk filem lama, namun tidak jarang pelanggaran dilakukan. Dan, sepandai-pandainya aparat melakukan pengawasan, namun tidak mampu membendung banjirnya rekaman video di pasaran. Terdesak oleh filem-filem rekaman video, gedung bioskop mulai sepi penonton. Apalagi, kemudian teknologi antena parabola mulai masuk. Masyarakat berduit yang biasa nonton di bioskop kelas utama, mulai beralih ke TV luar negeri yang bisa ditonton langsung dari rumah. Di tanahair, stasiun televisi swasta terus bertambah. Teknologi video digeser oleh VCD (Video Compack Disc) dan DVD (Digital Video Disc). Dan, akhirnya penonton bioskop bisa dihitung dengan jari setiap kali pertonjukan. Kecuali, kalau betul-betul ada filem bagus yang belum ada VCDnya. Sejak 1990-an, satu-persatu gedung bioskop tutup dan gedungnya berubah fungsi.

Bioskop kini tidak lagi “primadona”. Tidak popular lagi, keadaan sudah berubah. Bioskop yang memutar filem nasional dan impor, makin hari makin sepi. Menonton di bioskop sekarang, juga makin tidak popular. Hal ini tidak hanya dirasakan di Surabaya, tetapi juga di kota-kota lain di Indonesia. Selain makin banyaknya jenis tempat hiburan dan santai, bioskop tersingkir akibat makin maraknya filem yang diputar di berbagai stasiun televisi. Di samping itu rekaman video, VCD dan DVD, serta aneka keunggulan teknologi informasi, seperti internet misalnya. Akibatnya bioskop makin sepi. Banyak bioskop yang terpaksa tutup dan gedungnya dialihfungsikan untuk kegiatan lain.

Memang masih ada bioskop di Surabaya yang bertahan. Justru di pusat perbelanjaan, plaza dan mal, bioskop masih digemari pencandu filem layar lebar. Kalau dulu bioskop favorit terpisah dari pusat perbelanjaan, sekarang bioskop kelas AA berada di plaza. Di Tunjungan Plaza, ada bioskop sineplex Studio 1,2,3,4,5 dan Tunjungan 1,2,3. Di Plaza Surabaya, ada bioskop Delta 1,2,3,4. Di Mal Galaxy ada bioskop Galaxy 1,2,3,4. Bioskop Mitra merupakan bioskop kelas AA yang paling strategis letaknya di kota Surabaya, di gedung Balai Pemuda Jalan Gubernur Suryo 15. Namun 25 Mei 2004 lalu, bioskop yang terakhir bernama “Mitra 21” yang terbagi menjadi Mitra 1,2,3,4 “terpaksa” tutup. Bagaimana tidak gulungtikar, belakangan ini pengunjung yang menonton filem di bioskop kebanggaan warga kota ini, boleh dihitung dengan jari. Kendati penontonnya hanya lima hingga sepuluh orang, filem tetap diputar sesuai jadwal.       

Merosotnya penonton itu sudah terasa sejak tahun 1989. Sejak terjadinya krisis moneter (krismon) secara nasional tahun 1997, pemasukan bioskop terus menurun. “Kami benar-benar kesulitan untuk biaya operasional. Biaya yang mutlak dianggarkan adalah untuk gaji 60 orang karyawan, bayar listrik, air, sewa filem dan pajak”, katanya. Seharusnya pemasukan minimal itu sekitar Rp 300 juta per-bulan, namun angka sekian tidak pernah terpenuhi. Sebenarnya ada pemasukan yang cukup besar, yaitu iklan rokok. Tetapi, sejak adanya peraturan pemerintah yang membatasi iklan rokok dan harus disiarkan setelah pukul 22.00, para produsen rokok ramai-ramai membatalkan kontrak. Dan, sekarang perusahaan rokok beralih ke televisi, internet dan koran tabloid. Realita yang dialami Mitra 21 ini sebuah cermin “kelabu” dari nasib dan masa depan bioskop. Sehingga tidak akan mungkin lagi ada dalam catatan BPS (Biro Pusat Statistik) yang mencatat secara rutin jumlah penonton bioskop seperti sebelum tahun 2000. Ternyata bioskop Mitra 21, tidak jadi tutup selamanya, sejak pertengahan 2005, bioskop itu kembali memutar filem seperti biasa. Tetapi, ajal bioskop Mitra, akhirnya benar-benar habis. Pertengahan tahun 2009, bioskop itu tutup dan dibongkar. Bekas bioskop Mitra di Jalan Pemuda 15 atau berubah jadi Jalan Gubernur Suryo 15 – kini dibangun itu menghadap Jalan Yos Sudarso – sebagai Gedung Kesenian Surabaya. Masa Lalu Sekedar mengenang masa lalu bioskop di Surabaya, tahun 1987 misalnya, di Surabaya ada 54 bioskop. Bioskop kelas AA sebanyak 20 buah dengan 15.353 tempat duduk (td). Bioskop kelas A ada 5 gedung dengan 4.011 td, kelas B sebanyak 18 gedung dengan 7.802 td, kelas C dengan 9.084 td dan kelas D 1.120 td. Tahun 1993, jumlah bioskop bertambah 20, sehingga jumlah bioskop di Surabaya waktu itu menjadi 74 buah. Bioskop kelas AA menjadi 26 buah dengan 61.572 td, kelas A naik menjadi 11 buah dengan 2.643 td, kelas B menjadi 18 gedung dengan 12.130 td, kelas C turun menjdi 10 gedung menjadi 7.246 td dan kleas D menjadi 9 tempat dengan 4.284 td. Berdasarkan jumlah penonton, tahun 1987, misalnya, penonton filem Amerika paling banyak di banding penonton filem lainnya, termasuk filem nasional. Tahun itu tercatat penonton bioskop yang membeli karcis untuk menyaksikan filem Amerika sebanyak 2,36 juta orang lebih. 

Penonton filem nasional (Indonesia) 1,94 juta orang lebih. Filem Hongkong (waktu itu istilah untuk filem Cina yang menggunakan bahasa Mandarin, karena banyak diproduksi di Hongkong, maka disebut filem Hongkong). Penontonnya mencapai 1,08 juta orang. Menyusul penonton filem India sebanyak 198 ribu orang dan filem Eropa dan lainnya sekitar 30 ribu orang. Tahun 1993 jumlah penonton tetap didominasi penonton filem Amerika yang naik menjadi 2,57 juta lebih, penonton filem Indonesia 2,03 juta orang dan filem Hongkong juga naik menjadi 1,33 juta orang. Penonton filem India turun menjadi 191 ribu orang dan lainnya tidak lebih dari 25 ribu orang. Sineplex 21 Berakhirnya kejayaan pemerintahan Orde Baru, perbioskopan di Indonesia, termasuk di Surabaya merosot tajam. Walau ada pembukaan bioskop baru di beberapa plaza, banyak bioskop lama yang tidak mampu lagi bertahan dan tutup. Tahun 1997, jumlah bioskop di Surabaya masih bertahan sebanyak 48 bioskop. Itupun setelah satu bioskop disekat-sekat menjadi empat sampai lima bagian yang disebut sineplex. Bioskop-bioskop yang disekat tahun 1997 ini menjadi sineplex, di antaranya: Mitra (1,2,3,4), Wijaya (1,2), Irama (1,2,3), Surabaya (1,2,3,4,5), Golden (1,2,3,4), Oscar (1,2,3,4), Arjuna (1,2,3), Studio (1,2,3,4,5), Delta (1,2,3), Odeon (1,2,3,4) dan Kedurus (1,2,3). 

Kembali untuk mengenang masa lalu bioskop di Surabaya, yang umumnya sudah tidak berbekas lagi, antara lain: bioskop President dan Arjuna di Jalan Embong Malang 39- 43 dan 45-47. Bioskop Wijaya di Jalan Bubutan 1-3, International di Pecindilan 50, Gita di Gentengkali 97-99, Bioskop Ultra di Urip Sumoharjo 58, Jaya dan Bima di Jalan Pahlawan, Ria di Jalan Kombes M.Duryat 2, Indra di Jalan Panglima Sudirman 2, Aurora di Jalan Tunjungan 12, King dan Queen di Jalan Alun-alun Contong 1, Istana di jalan Kapasari 1, Drive In di Jalan Mayjen Sungkono (Darmo Park), Kusuma di Jalan Tembaan, Dana di Jalan Pandegiling, Bayu di Jalan Basuki Rachmat, Chandra di Jalan Kapas Krampung. Dan masih banyak lagi, bioskop kelas B,C dan D. Ada beberapa bioskop kecil dan berada di pinggiran kota, ternyata masih mampu bertahan. Namun, keadaan bioskopnya sangat memprihatinkan, kumuh dan terkesan asal-asalan. Hanya status gedungnya yang masih “dianggap” sebagai bioskop. Pemutaran filemnya sudah tidak rutin, bahkan adakalanya tidak ada pemutaran filem sama sekali. Tidak hanya itu, gedung yang pengap itupun sering difungsikan untuk kegiatan lain. Sekedar catatan, jika dulu iklan bioskop menjadi perhatian pembaca suratkabar harian, sekarang sudah tidak lagi. Koran Jawa Pos saja misalnya, walau masih memasang iklan filem bioskop, ditempatkan di halaman dalam ukuran kecil. Pada hari Kamis, 8 Juli 2004 misalnya, iklan bioskop ditempatkan di halaman 24 dari 40 halaman yang terbit hari itu. Tempatnyapun kurang strategis, di bagian bawah dengan ukuran kecil. Untuk 24 bioskop sineplex yang memutar delapan filem, hanya diiklankan dengan menggunakan warna hitam-putih ukuran 7 cm x 7 kolom. Kapling dengan ukuran mini ini dibagi untuk Filem “The Prince & Me” yang dibintangi Julia Stiles diputar di bioskop Studio 5, Tunjungan 3, Delta 1, Galaxi 3 dan Surabaya 1, dengan ukuran 7 x 8cm. Filem “Spiderman-2” yang diputar di tujuh bioskop di Surabaya dan tiga bioskop di Malang, diiklankan dengan ukuran 5 x 8 cm. Filem “The Punisher” yang dibintangi Tom Jane dan John Travolta yang diputar di lima bioskop mendapat kapling iklan 7 x 8 cm. Filem “Harry Potter” yang diputar di enam bioskop di Surabaya dan tiga bioskop di Malang diiklankan dengan ukuran 3,5 x 8 cm. Tiga filem lain: “Kill Bill”, ”Troy” dan “Shrek-2” hanya diberi tempat masing-masing dengan ukuran iklan 2 x 4 cm. Satu lagi, filem “Eiffel I’m In Love” yang dibintangi Samuel Rizal dan Shandy Aulia yang diputar di tiga bioskop di Surabaya dan tiga bioskop di Malang, menempati iklan ukuran 4 x 9 cm. Ini sangat berbeda dengan iklan filem yang tahun 1980-an hingga 1990-an. Di Harian Sore Surabaya Post dan Harian Pagi Jawa Pos, rata-rata iklan filem mendominasi satu hingga tiga halaman. Bahkan di antaranya iklan berwarna. Memang, menonton di bioskop pada zaman sekarang, tidak se popular masa lalu. Apakah kelak, bioskop masih mampu bertahan. Sekedar mengingatkan dan bernostalgia bagi yang tua-tua dan sebagai informasi bagi yang muda-muda, di bawah ini saya coba menelusuri buku-buku lama tentang nama dan alamat bioskop di Surabaya. Ada 61 bioskop.

Dulu, ada protokol ketat saat masuk bioskop.Para penonton tidak diperbolehkan memakai baju compang-camping dan bersandal jepit. Mereka harus memakai sepatu. Masuk bioskop, masyarakat harus berpakaian rapi. Jika tidak, mereka akan diusir oleh penjaga di depan pintu. Selain itu, aturan terkait klasifikasi film dan umur penonton sangat jelas dan tidak seperti sekarang. Anak SD tak boleh menonton film dewasa. Ada petugas yang menghardik dan memarahinya jika aturan dilanggar. Meski, tetap ada saja yang nakal. Usianya masih dini, namun mengaku sudah 17 tahun berbekal wajah yang menua.


TIONG HIN - ALHAMBRA – UNIVERSAL – FIROZ CINEMA – ALHAMBRA – SATRYA


Alhambra adalah sebuah nama kota di Spanyol, tapi menjadi nama gedung bioskop di Surabaya era lama. Lokasi gedung ini ada di Jl. Pegirian No. 116 Surabaya. Sebelumnya bernama “Tiong Hin” (1920).

Tahun 1930-an Alhambra disewakan ke salah seorang Armenia yang tinggal di kota ini. Menyebabkan perubahan nama bioskop dari Alhambra menjadi “Universal”. Kemudian dalam kurun waktu berikutnya disewakan lagi ke orang lain, dan namanya diubah menjadi “Firoz Cinema”, kemudian balik lagi menjadi Alhambra. 

Sekitar tahun 1960, pemerintah (Bung Karno) melarang gedung bioskop yang menggunakan nama asing atau berbau imperialis. Maka nama Alhambra diganti dengan “Satrya”.

Film-film yang sering diputar di bioskop Alhambra adalah film drama dan aksi, bahkan untuk film yang penggemarnya banyak, sampai diputar selama satu bulan berturut-turut.

Jangan membayangkan dalamnya gedung bioskop Alhambra (Satrya) ber AC dan kursinya empuk dll. Tapi gedung Alhambra itu tanpa AC. Jadi udaranya panas. Untungnya gedung bioskop Alhambra itu dalamnya luas dan atapnya tinggi, serta ada empat kipas angin ukuran besar. Sehingga tidak terlalu panas.Terdapat loster-loster di atas dinding bagian kanan kiri berfungsi untuk sirkulasi udara agar ruangan gedung tidak pengap. Sangat indah sekali tata ruang gedung bioskop Alhambra yang berarsitektur Eropa itu.
  
Alhambra punya ciri khas khusus. Yang paling menonjol adalah adanya dua kubah di samping gedung. di bawah kubah-kubah itu ada pintu masuk khusus untuk penonton bertiket kelas VIP balkon. Di masing-masing pintu, ada dua lapis kain beludru gelap (biru tua). Selain sebagai tirai, kain tersebut juga berfungsi untuk menghalangi sinar menerobos langsung ke ruang pertunjukan. ”Cukup mewah pada masanya. Proyektornya sudah diimpor dari Eropa, penonton di Bioskop Alhambra berasal dari berbagai golongan. Kebanyakan para pedagang. ”Sudah ada klasifikasi kursi berdasar kelasnya. Paling depan kelas III atau embek. Julukan itu ternyata muncul karena sebagian penonton yang duduk di kelas III berasal dari kalangan bawah. Penontonnya paling gaduh. Saat film diputar, mereka harus rajin mengelap mata karena saking dekatnya layar dengan tempat duduk. tak sedikit penonton di kelas III yang pipis di celana karena malas ke toilet. Bioskop Alhambra memutar banyak film Barat (Eropa) yang memiliki banyak tema. Filmnya selalu update. Karena itu, Alhambra yang pernah berganti nama menjadi Satriya selalu disesaki penonton setiap minggu.


BIOSKOP PRINCES yang terletak di Passar Besar 19.


BIOSKOP APOLLO

Bioskop Apolo Surabaya tahun 1920-1930


BIOSKOP GARUDA di Jalan Kranggan. Tempat hiburan tersebut sudah tidak ada saat ini. Bioskop dirobohkan dan dibangun pusat perbelanjaan. Ada yang khas dari Bioskop Garuda. Para penonton di bioskop itu harus banyak bersabar. Sebab, pemutaran film tidak dilakukan dalam satu kali main. Ada jeda di tengah film. Dalam masa jeda tersebut, lanjut dia, penonton digiring untuk pergi ke warung di kompleks bioskop. Mereka disarankan untuk makan dan minum kopi. Tentunya dengan uang yang mereka miliki sendiri.

BIOSKOP CAPITOL / KRANGGAN 

 

Gedung bioskop Capital Concern yang dibangun tahun 1957 ini menjadi bukti pesatnya industri perfilman dan perkembangan bioskop di Surabaya. Lebih unik lagi. Para penonton bioskop di Jalan Bubutan itu bisa menikmati lebih dari satu film dengan hanya satu karcis. Karcisnya tidak hangus meski terlambat masuk bioskop. Sebab, penonton bisa menunggu film yang diputar selanjutnya. Meskipun, jaraknya setengah hari.

BIOSKOP BROADWAY / ARJUNA

Bioskop BROADWAY.Jl Embong Malang di tahun 1950an
Bagi pemirsa yang lahir th 1950-1960an pasti pernah menonton di Bioskop klas satu ini pada jamannya. 

Gedungnya khas, agak setengah melingkar, ruang parkirnya luas dan ruang lobynya cukup mewah. Berlokasi di Jl. Embong Malang, Surabaya. Film yang diputar umumnya film-film Barat, produksi Holywood atau Rank Organization, Inggris.

Film Ben Hur 1962 pernah diputar disini.
Karena peraturan pemerintah,Di Th 1969 nama Broadway akhirnya diganti ARJUNA. Sekarang jadi Hotel mewah.


BIOSKOP CITY

 Disinyalir setelah city berubah menjadi Mitra.


BIOSKOP MITRA


Bioskop Mitra terletak di kompleks Balai Pemuda Surabaya. Pertengahan tahun 2009, bioskop itu tutup dan dibongkar. Bekas bioskop Mitra kini dibangun menghadap Jalan Yos Sudarso sebagai Gedung Kesenian Surabaya. 

BIOSKOP MAXIM / INDRA



Bioskop yang juga dikenal sebagai bioskop Simpang ini terletak di Jalan Panglima Sudirman. Sebelumnya bioskop MAXIM. Ruang pertunjukan bioskop yang sebelumnya bernama MAXIM ini tidak begitu luas dan berada di atas pertokoan. Lokasinya di pojok Jalan Pemuda dan Jalan Panglima Sudirman atau di seberang gedung Balai Pemuda. Film yang diputar di bioskop ini umumnya film-film Barat. Bioskop ini juga mengalami pergantian nama menjadi bioskop Indra namun sekarang bioskop ini tidak beroperasi lagi.

BUNG KARNO NONTON FILM, Pada suatu sore di tahun 1960, Bung Karno dan rombongan yang berjumlah antara 60-80 orang sempat “diselundupkan” untuk menonton di bioskop Maxim. Bekas gedungnya –yang kemudian bernama gedung bioskop Indra- sekarang masih ada di perempatan sebelah timur jalan Pemuda, depan Toko Roti Granada. Salah satu pejabat yang menyertai adalah Roeslan Abdulgani.

Tanpa banyak aturan protokoler, Presiden RI pertama nonton film di situ tanpa diketahui warga kota. Hal yang agak musykil, mengingat jabatan Bung Karno sebagai kepala Negara sebetulnya tak memungkinkan untuk bergerak tanpa setahu publik dan diatur protokol kepresidenan.

Bahkan cara Bung Karno dan rombongan menuju gedung bioskop juga termasuk janggal untuk ukuran presiden. Dia berjalan kaki ramai-ramai bersama rombongan dari Gedung Grahadi. Hebatnya, tak satupun warga kota mengenali sosok pimpinannya yang berjalan di trotoar kota, dan sempat menyeberang jalan segala.

Pulang dari bioskop juga sama, berjalan dan menyeberangi jalan untuk kembali ke Grahadi. Malam itu Bung Karno menginap di Gedung Grahadi, sementara esoknya terbang meneruskan perjalanan yang tertunda ke Denpasar.

Uniknya, tak ada warga kota yang tahu serangkaian peristiwa itu. Jangankan tahu presiden nonton bioskop, tahu Bung Karno ada di Surabaya dan menginap semalam di Grahadi saja tidak tahu. Kalau tahu, hampir bisa dipastikan Grahadi akan diserbu rakyat yang ingin bertemu tokoh pujaannya, dan koran-koran akan meliput sebagaimana layaknya kunjungan seorang presiden.

Tapi mengapa hal itu tidak terjadi? “Itu memang kunjungan Bung Karno yang tak sengaja, dan karena itu harus dirahasiakan,”  kata Moch. Said.

Cerita itu berasal dari datangnya sebuah berita dari Denpasar kepada Said yang saat itu menjadi perwira sekuriti dari kodam. Berita inilah yang membuat Said pusing tujuh keliling dan super sibuk.

Bunyi beritanya: pesawat Bung Karno dan rombongan dari Jakarta tak bisa mendarat di Denpasar, dan terpaksa kembali dengan tujuan Surabaya. Said kontan kelabakan. Pasalnya, jam sudah menunjukkan pukul 16.30.

Lapangan terbang –waktu itu masih di Morokrembangan, belum di Juanda- sudah tutup. Said lalu melapor ke gubernur yang ketika itu dijabat Soekarwondo. Bersama polisi yang pernah jadi Bupati Sidoarjo, bersama Soewondo, mereka langsung ke Morokrembangan. Bandara sudah lengang, penjaga dan petugas sudah pada pulang. Yang tinggal cuma petugas keamanan.

Terpaksa, pintu ruang tunggu dibandrek. Karena waktu sudah mepet dan pesawat presiden segera mendarat, mereka bagi-bagi tugas. Gubernur Soewondo pulang duluan untuk mempersiapkan segala sesuatunya.

Begitu pesawat mendarat, Said dkk. kaget melihat besarnya jumlah rombongan Bung Karno. Akhirnya, Soetejo juga diperintahkan pergi mencari bala bantuan untuk mengatur rombongan.

“Apalagi, ini tidak boleh ketahuan masyarakat. Kalau  tidak, kita akan kerepotan dalam pengamanan”, kata Said.

Said lalu mempersilakan Bung Karno naik mobilnya, dan Said sendiri yang menjadi sopir. “Berangkatnya ya kluyar-kluyur begitu saja. Waktu di Tunjungan ya ndak ada orang lihat. Kalau mobil itu dinaiki Bung Karno, waduh pasti gemruduk,” kenang Said lagi.

Akhirnya mereka selamat sampai ke Grahadi. Sementara itu, Soetejo berhasil mengumpulkan sejumlah kendaraan yang dipinjam sana-sini untuk mengantar anggota rombongan ke Grahadi.
Masalah berikutnya, Said dkk. harus menyiapkan penginapan (hotel) untuk rombongan besar itu. Untuk itu butuh sedikitnya dua jam. Bagaimana membuat Bung Karno betah menunggu?

Said punya akal. Dia lalu menawari Bung Karno menonton film di bioskop Maxim. Bung Karno tak keberatan. “Ya, sudah diatur sana”, kata Bung karno seperti ditirukan Said.

Said mengatakan, segera setelah itu dirinya bergerak lagi. Film yang sudah setengah main dibubarkan. Alasannya tentu bukan karena presiden mau nonton, tapi alasan teknis. Bioskop pun dikosongkan. Tapi ada soal lain, pemilik bioskop grogi, karena kursinya masih penjalin dan (ini dia) banyak tinggi (kepinding)-nya. “Masak Presiden disuruh duduk di kursi penuh tinggi?” katanya.

Tak kurang akal, Said memborong koran yang dijual di sekitar bioskop. Untuk apa? Untuk lemek (alas) kursi, agar pantat tak diserbu tinggi (binatang tengau). Setelah semua siap, Bung Karno dan rombongan pun berangkat.

Karena jaraknya dekat, Bung Karno memilih jalan kaki menyusuri jalan Gubernur Suryo menuju Maxim. “Saya ndredheg juga, takut ketahuan masyarakat. Untungnya ndak ada yang tahu, padahal Bung Karno ndak pake penyamaran apapun. Ya, seperti rombongan keluarga biasa saja,” kata Said.

Sampai di Maxim, Said memberitahu Presiden soal kursi penjalin (rotan) dan binatang tinggi itu. Untungnya, Bung Karno tak keberatan. Begitu film main, Said langsung kabur lagi ke Grahadi.

“Lumayan, punya tambahan waktu dua jam. Saya sampai ndak tahu judul filmnya apa. Saya ndak sempat ngopeni filmnya, wong ribut cepak-cepak,” ujarnya.

Selama Bung Karno nonton, Said dkk mengatur hotel. Bung Karno sendiri menginap di Grahadi. Begitu rombongan pulang (juga dengan jalan kaki), semua beres. “Lega rasanya. Sampai sekarang, Roeslan tak akan lupa peristiwa ini. Kalau ketemu dia selalu bilang, Koen iki ono Presiden kok dijak ndelok bioskop seng akeh tinggine,” kata Said.

Bagi Said sendiri, inilah pekerjaan yang dianggap paling mengesankan sepanjang hidupnya. “Itu yang saya anggap pekerjaan paling besar yang pernah saya lakukan,” kata Said.

Mengapa? “Karena merahasiakan kehadiran kepala negara, waktunya mepet dan mendadak lagi. Itu seni. Bung Karno sendiri ndak ada keluhan. Besoknya waktu mau pulang beliau malah bilang terima kasih,” kata Said.


BIOSKOP LUXOR/ JAYA

 Luxor, theater de luxe (anno 1927) in Soerabaja.


Gedung bioskop yang terletak di Jalan Pahlawan ini tak begitu besar dan tak begitu mewah. Kadang orang menyebut bioskop ini bisko Pasar Besar. Film yang diputar umumnya film-film Barat. Nama gedung bioskop ini juga mengalami pergantian menjadi bioskop Jaya. Sekarang tidak beroperasi lagi, digusur untuk perluasan kawasan Tugu Pahlawan.

BIOSKOP METROPOLE / BIMA



Pemilik bioskop ini juga sama dengan Bioskop Sampoerna
Bioskop yang awalnya bernama Metropole 1940 ini terletak di Jalan Pahlawan Surabaya. Gedungnya tidak begitu luas dan film yang diputar umumnya film-film Barat, produksi Holywood atau Rank Organization, Inggris. Karena peraturan pemerintah, nama Metropole akhirnya diganti Bima. Namun saat ini bioskop sudah tidak beroperasi lagi dan menjadi Kantor Badan Perencanaan Pembangunan Provinsi (Bappeprov) Jatim.

BIOSKOP AURORA

 
Bioskop Aurora ini terletak di Jalan Tunjungan atau di pojok Jalan Tanjung Anom. Sekarang bangunan sudah dibongkar dan bakal diganti dengan bangunan bertingkat.

BIOSKOP WIJAYA


Bioskop ini adalah gedung Wijaya Shooping Center atau Pertokoan Wijaya di Jalan Bubutan 1 Surabaya. Di gedung ini dulu ada bioskop bernama Wijaya Theatre dan juga ada Bowling Center serta Bilyar di samping pusat perbelanjaan. Setelah terbakar awal tahun 1990-an, kemudian dibangun kembali menjadi BG Jonction. Gedungnya luas dan khas bergaya Amerika serta ada logo gambar kubah gedung Capitol. Film yang diputar hanya film-film Barat, produksi Holywood atau Rank Organization.

BIOSKOP NUSANTARA
Berbeda dengan gedung bioskop lainnya, bioskop Nusantara berada di dalam kampung di daerah Jalan Jagalan. Karena kawasan Jalan Jagalan kebanyakan warga keturunan Tionghoa, kebanyakan bioskop ini memutar film Mandarin. Tetapi belakangan (sebelum ditutup,red) sering memutar film-film India dan ternyata laris.
 
ORION / RATNA
Gedung bioskop yang terletak di Jalan Kertopaten Surabaya ini cukup besar tapi sederhana. Bioskop ini spesialis memutar film India, sesekali film Indonesia atau Malaysia. Bioskop ini kemudian berganti nama menjadi bioskop Ratna. Namun sekarang bioskop tidak beroperasi lagi dan sekarang menjadi gudang.

KING & QUEEN



Ruang pertunjukan bioskop ini berukuran mini, kira-kira sebesar ruang bioskop 21 sekarang. Sesuai nama dan letaknya di dekat Pasar Pabean, maka bioskop King adalah spesialis memutar film Mandarin. Tak sempat ganti nama, namun bioskop ini langsung ditutup.

REX / RIA


Bioskop ini sekelas bioskop Capitol atau Broadway. Gedungnya sempit dan tidak memiliki halaman. Terletak di pojokan Jalan Kaliasin (sekarang Jalan Basuki Rahmat, red) dan Jalan Kombes M Duryat. Film yang diputar umumnya film-film barat. Bioskop ini kemudian berganti nama menjadi bioskop RIA. Namun sekarang tidak beroperasi lagi dan menjadi kafe.

SAMPOERNA



Gedung megah bergaya kolonial Belanda ini dibangun pada tahun 1858.
Lokasi bioskop Sampoerna berada di Jalan Kebalen Surabaya. Bioskop ini konon terbesar se-Asia, gedungnya sangat besar dan sangat mewah. Selain itu, kursinya terbuat dari kayu berukir dan di bagian belakang kursi ada asbak rokok. Di plafon gedung ada ukiran-ukiran kayu yang menggambarkan sio-sio tahun China. Film yang diputar adalah film-film Barat, Indonesia, dan Malaysia. Sampai sekarang gedung ini masih tegar berdiri seperti bentuk aslinya. Setelah tidak dioperasikan lagi, gedung ini dijadikan museum tembakau dan kegiatan produksi rokok kretek Dji Sam Soe.

Pada masa lampau Dinasti Sampoerna juga memiliki usaha dan bisnis lainnya yaitu bioskop. Bioskop itu bernama Metropole dan Sampoerna Theatre yang juga berada pada lokasi yang sama dengan dengan pabrik rokoknya. Jejak masa kebesaran Sampoerna Theatre dan Metropole itu bisa dijumpai diHouse Of Sampoernayang berada di Jalan Taman Sampoerna no 6 - Surabaya.

Di bagian depan House Of Sampoerna terpajang ornament dengan gambar bintang film Marlyn Monroe dan Charlie Chaplin yang berdiri di dekat ornamen yang menyerupai loket karcis bioskop. 

House of Sampoerna itu dulunya dibeli oleh  pendiri Sampoerna yaitu  Liem Seeng Tee, pada 1932, dan dijadikan gedung theater atau pertunjukan pada 1933. Sampoerna Theatre, gedung bioskop terbesar pada 1930-1960 itu pernah dikunjungi komedian Charlie Chaplin pada 1935.


Saat itu, Chaplin datang ke Surabaya dan mengunjungi Hotel Modjopahit dan Sampoerna Theatre.Sayang sekali pihak House of Sampoerna tidak memiliki dokumentasinya, tapi ada cerita dari saksi mata pada saat itu. 

Di ruangan pertama yang berbaur dengan benda-benda pribadi milik pendiri Sampoerna yanitu Liem Seng Tee terdapat pajangan salinan berbagai dokumen tentang bioskop Sampoerna dan Metropole pada tahun 1933, 1957 dan 1963. Sebuah piringan hitam lengkap dengan sampulnya terpajang pada dinding di ruangan ini. 

Di ruangan pertama yang berbaur dengan benda-benda pribadi milik pendiri Sampoerna yanitu Liem Seng Tee terdapat pajangan salinan berbagai dokumen tentang bioskop Sampoerna dan Metropole pada tahun 1933, 1957 dan 1963. Sebuah piringan hitam lengkap dengan sampulnya terpajang pada dinding di ruangan ini.

Pada ruangan yang kedua terdapat koleksi berupa tiga piringan hitam yang merupakan sumbangan seorang warga di Kota Surabaya. Piringan hitam tersebut berisi kisah Roro Mendut Ka-1, Pandjie Remeng Ke 1 dan Ke-2 yang dipentaskan oleh Ketoprak Darmo Tjarito dengan iringan gamelan Sampoerna.

Sedangkan pada bagian tengah ruangan yang ketiga terdapat koleksi yang juga sangat menarik berkaitan dengan bioskop ala Sampoerna ini. Koleksi tersebut berupa poster film-film lama yang diputar di Bioskop Milik Sampoerna. 

Selain itu juga terpajang iklan-iklan film yang diputar di bioskop tersebut dan dimuat di berbagai media cetak yang beredar pada saat itu. 

Tampilan poster dan iklan film-filmkuno tersebut cukup unik dan menarik. Selain tampak sederhana karena beberapa diantaranya seperti diolah dengan menggunakan tangan secara manual, juga menggunakan bahasa Indonesia dalam ejaan versi lama. 

Diantara poster dan iklan film tersebut adalah Pandjie Semirang yang dibintangi oleh Sofia dan Rd. Endang,pada tahun 1953, Stowaway yang dibintangi Shirleys pada tahun 1937, Northern Pursuit yang dibintangi Errol Flynpada tahun 1943.  

Pajangan poster lainnyaberupa film Ramona pada tahun 1937, Night In Paradisepada tahun 1946, Ladies In Love pada tahun 1936dan Thrill of Brazile ,Selain itu juga ada poster film yang dibintangi oleh Bing Slamet , film dari India dan film dari Malaysia.

SURYA
Bioskop ini satu-satunya bioskop di kawasan Wonokromo, pinggiran kota Surabaya. Gedungnya sederhana, kira-kira sekelas bioskop Dana. Film yang diputar campuran namun lebih banyak film Indonesia dan India. Dan saat ini bioskop ini sudah tidak beroperasi lagi

BIOSKOP PURNAMA


Bioskop Purnama, bioskop yang udah gak beroperasi lagi ini bertempat di jl Dinoyo, Surabaya. 

BIOSKOP DARMO

Jalan Pandegiling: 1958

BIOSKOP RUNGKUT


Berlokasi di Kelurahan Rungkut Menanggal, tepatnya di jalan Abdul Karim. Gedung yang mempunyai lahan parkir luas ini dulunya adalah gedung bioskop. Bioskop yang terkenal dengan nama Rungkut Theater ini merupakan tempat hiburan pertama yang ada di kawasan Rungkut. Sejak berdiri di tahun 80’an tempat ini banyak menyimpan kenangan bagi warga Rungkut Menanggal dan sekitarnya. Selain sebagai gedung Bioskop pada jamannya gedung ini juga banyak di pakai sebagai tempat pertemuan ataupun untuk pesta seni sekolah-sekolah di daerah Kecamatan Rungkut. Sebagai gedung Film yang kelasnya menengah ke bawah para penontong yang setia dating kebanyakan adalah para pekerja pabrik yang berada di Rungkut dan sekitarnya. Pada waktu weekend Rungkut theater ini bisa di pastikan penuh sesak oleh pengunjung mulai siang hari bahkan sampai dinihari untuk pemutaran film midnight. Rungkut Theater ini merupakan saksi bersejarah era ke-emasan film Indonesia di tahun 80’anmulai fim komedi seperti Dono-Kasino-Indro, Doyok dan Kadir sampai era film bertema sejarah seperti Brama Kumbara maupun Tutur Tinular. Memasuki tahun 90’an bioskop ini banyak menampilkan film-film yang bertema erotic untuk 18 tahun ke atas sesuai dengan kondisi perfilm-an Indonesia saat itu. 

BIOSKOP KALISOSOK
Lokasi dekat dengan penjara Kalisosok. Jl Kalisosok (Kasuari) Tahun : 1971




 BIOSKOP PRESIDENT

 Jl Embong Malang 43 tahun 1969,

SIDUARJO

BIOSKOP DUTA
 


JUMLAH BIOSKOP DI SURABAYA SAAT ITU
1 Bioskop Arjuna, Jl. Embong Malang 39 Tahun : 1969, sekarang sudah beralih fungsi
2 Bioskop President, Jl Embong Malang 43 tahun 1969, sekarang sudah bealih fungsi
3 Bioskop Ria, Jl. Kombes M.Duryat 3 Tahun : 1961, sekarang menjadi restoran
4 Bioskop Kalisosok di Jl Kalisosok (Kasuari) Tahun : 1971
5 Bioskop Star di Taman Remaja Jl. Kusuma Bangsa Tahun : 1972
6 Bioskop Broadway Jl. Embong Malang No. 39-41-43 Tahun : 1951, sama atau berganti nama menjadi President dan Arjuna.
7 Bioskop Capital Concern Alamat Jalan Kranggan: Tahun : 1957
8 Bioskop Rex Jl. Panglima Sudirman Tahun : 1958
9 Bioskop Bima Jl. Pahlawan Tahun : 1961
10 Bioskop Djaja Jalan Tembaan – Tahun : 1961
11 Bioskop Widjaja Jl Bubutan 1-3 Tahun : 1961
12 Bioskop Kusuma Jl Tembaan Tahun : 1961
13 Bioskop Surya Jl. Wonokromo Tahun : 1961
14 Bioskop Purnama Jl. Dinoyo 4 Tahun : 1968
15 Bioskop Mitra di Balai Pemuda Jl. Pemuda (Gubernur Suryo) 15 Tahun : 1968
16 Bioskop Susteran Jl. Kepanjen No. 5 Tahun : 1968
17 Bioscoopprijzen (Bahasa Belanda) Alamat : – Tahun : 1940
18 Bioskop Amelto Jl. Kapasan 88 Tahun : 1954 s/d 1968
19 Bioskop Garuda Jl. Kranggan No 73 Tahun 1955
20 Bioskop India Jl. Jagalan Tahun : 1959
21 Bioskop Alhambra & Nusantara Alamat : – Tahun : 1959
22 Bioskop Rivoli Alamat : – Tahun : 1959
23 Bioskop Maxim (Indra) Jalan Pemuda 42 Tahun : 1959
24 Bioskop Citra Alamat : Jl. Pahlawan Tahun : 1960
25 Bioskop Nusantara Baru Alamat : Tahun : 1961
26 Bioskop Satrya Alamat : – Tahun : 1968
27 Bioskop King & Queen Jl. Alun-Alun Contong Tahun : 1968
28 Bioskop Titra Jaya (Bioskop Sambongan) Jl. Waspada 1 Tahun : 1969
29 Bioskop Ratna Jaya Alamat : – Tahun : 1970
30 Bioskop Ampera Alamat : – Tahun : 1971
31 Bioskop Apollo -Mengganti
32 Bioskop Amura Jl. Tanjung Anom Tahun : 1971
33 Bioskop Bedrijjfsreg Lementering Alamat : Tahun : 1951
34 Bioskop Venus Jl. Panggung III / 27 – 29 Tahun : 1957
35 Bioskop Metropole Jl. Pahlawan No.6 Tahun : 1957
36 Bioskop Gita Jl Gentengkali Tahun 1987
37 Bioskop Istana Jalan Kapasari 5 Tahun 1978
38 Bioskop Surabaya Jalan Pahlawan 118 Tahun 1957
39 Bioskop Ultra Jl Urip Sumahardjo No. 58 Tahun : 1970
40 Bioskop Lucky Alamat : – Tahun : 1951
41 Bioskop Alhambra Jl. Sumatera Tahun : 1951
42 Bioskop Apollo Angkasa Jl. Alun-Alun Contong Tahun : 1970
43 Bioskop Hora Jl Bubutan No. 127 Tahun : 1952
44 Bioskop Dana Pandegiling Tahun : 1971
45 Bioskop Surya Baru di Wonokromo Tahun : 1972
46 Bioskop Darmo Jalan Pandegiling: 1958
47 Bioskop Alhambra Jl. Pegirian No. 116 Tahun : 1959
48 Bioskop Kingdlon Alamat : – Tahun : 1970
49 Bioskop Sampoerna Jl. Taman Sampurna No. 6 Tahun : 1954
50 Bioskop Rama Alamat : Jl. Girilaya Tahun 1968
51 Bioskop Chandra Jl.Kapas Krampung Tahun 1970
52 Bioskop Irama Jalan Kedungdoro Tahun 1979
53 Bioskop Golden Jalan Kapasan Tahun 1985
54 Bioskop ”Drive In Theatre” di Darmo Park Jl.Mayjen Sungkono Tahun 1978, kemudian dipindah ke Pantai Ria Kenjeran 1984 (tetapi tidak pernah aktif).
55 Bioskop Oscar Jl.Mayjen Sungkono 1988
56 Bioskop Delta Jl Pemuda (Plaza Surabaya) Tahun 1996
57 Bioskop Studio Jl Tunjungan (Plaza Tunjungan) tahun 1995
58 Bioskop Kedurus di Kedurus Tahun 1985
59 Bioskop Bayu Jl Basuki Rachmat Tahun 1967
60 Bioskop International Jl Pecindilan Tahun 1968
61 Bioskop Aurora Jl Tunjungan 12 tahun 1972.