Menampilkan postingan yang diurutkan menurut relevansi untuk kueri BERNAFAS DALAM LUMPUR. Urutkan menurut tanggal Tampilkan semua postingan
Menampilkan postingan yang diurutkan menurut relevansi untuk kueri BERNAFAS DALAM LUMPUR. Urutkan menurut tanggal Tampilkan semua postingan

Rabu, 02 Februari 2011

Eksperimen Erotika Sexual DAlam Film Indonesia

06 Maret 1971
Film indonesia: eksperimen erotika

Yang Penting Laris Manis...
 Kenapa film mu banyak wilayah paha dan dada?
Kata Produser biar laku pak.
Katanya film Import banyak Paha dan dada-nya...
Kenapa kita tidak?


MAKA berachirlah masa tuna sex dalam film Indonesia. Djika seperempat abad jang lalu dokter Hujungurung menjuguhkan adegan tjium lewat film Antara Bumi Dan Langit diachir tahun 60-an kegagalan itu tak terdjadi lagi: Turino Djunaidy menampilkannja dalam Djakarta-Hongkong-Macao dan berhasillah sang pria mentjium sang wanita -- dengan agak kaku, tapi tanpa diprotes. 

Lalu proses selandjutnja menjusul dengan tjepat. Selang beberapa film sadja setelah tjiuman pertama itu, seorang Don Juan selintas memegang paha Palupi jang memakai mini. Lalu Suzanna-pun diperkosa dua tukang betja berganti-ganti, dan Paula Rumokoy membuka penutup dada, sementara Ratno Timur dipeluk Tuty Suprapto di atas randjang. Dalam Hidup, Tjinta Dan Airmata bahkan serombongan laki-laki menjibukkan diri dengan tubuh serombongan perempuan, dan sekaligus seorang wanita Indonesia mempertontonkan strip-tease. Dan produser-sutradara film Rakit Sandy Suwardi, malah lebih terbuka lagi: ia menjatakan bahwa adegan-adegan erotik dalam filmnja merupakan sesuatu jang "dengan sadar diadakan" dan "dengan tjara menjolok". Lalu dengan senjum ditambahkannja: "Saja ingin lihat bagaimana nanti sensor menilai film itu". Gelombang Baru. Sensor mungkin akan bertindak. Tapi bagaimanapun djuga, satu gelombang baru sudah terasa amuk dan panasnja kini: dihadapan penonton jang berdjedjal, bintang-bintang film Indonesia makin tak malu-malu menampakkan tubuh mereka dilajar lebar -- seolah-olah berlomba dengan seorang Brigitte Bardot baru jang ditunggu lahirnja distudio Penas. Kisah-kisah zinah makin terbuka, para tante girang jang selalu butuh laki-laki dibuku Ali Shahab kini berpindah keskenario-skenario, dan kebebasan sex jang sebelumnja hanja kegemaran koran sensasi kini diperbesar dalam cinemascope bertata warna oleh sedjumlah produser. Apa sebenarnja jang terdjadi? Kemaksiatan jang mendjalar? Dekadensi moral? Atau kebebasan baru jang indah? Atau kemerdekaan mentjipta? Kedjudjuran tanpa tedeng aling-aling? Apapun namanja, jang kini terdjadi memang njata benar bedanja dengan apa jang pernah terdjadi. Hanja motifnja jang sama: seperti dulu, seperti beberapa puluh tahun jang lalu, pembikin-pembikin film mentjari kelarisan. 

Resep kelarisan itu tak terlalu sulit: seorang produser haruslah hamba jang pintar serta patuh untuk selera publik. Masalahnja di Indonesia kini ialah bahwa selera publik itu sebaliknja djuga ditentukan oleh arus film jang terbanjak -- film impor. Dalam kata-kata Turino Djunaidy: "Selama film-film kita djauh lebih kurang djumlahnja dibanding dengan kebutuhan bioskop-bioskop jang ada, selama itu pula film-film impor masih akan menentukan selera publik melalui djumlahnja jang banyak itu". Tidak mengherankan apabila film Indonesia jang tak pernah mendjadi tuan rumah dirumahnja sendiri sedjak bertahun-tahun terpaksa terus-menerus mengikuti tamu-tamunja: bernjanji seperti film India, bermain anggar seperti film Amerika dan Filipina, bersilat seperti film Hongkong dan kini ber-sex seperti film Italia. Djika dulu Bintang Surabaja Film Goy, mentjoba membikin Western dengan Adios - jakni sedjumlah koboi keriting diatas kuda katjang -- mustahillah djika thriller Agora Film menampakkan Bambang Irawan menembak bagaikan Djanggo? "Kita harus mengikuti mode jang ada kalau kita mau berkompetisi", kata Turino pula suatu sembojan jang berterus-terang. 

Kompetisi memang sesuatu masalah awet buat film Indonesia - dan agaknja dari situlah sedjarah masuknja unsur erotik. Sebab, dengan unsur erotik, diharapkan penonton akan tertarik. Paling tidak bagi Wim Umboh, sutradara Bunga-Bunga Berguguran. "Masuknja sex hanjalah untuk menarik penonton agar suka datang melihat film-film kita", ia berkata. "Tjuma pantjingan," tambahnja. Dan pantjingannja mengena, djika orang melihat suksesnja Bernafas Dalam Lumpur dan Bunga-Bunga Berguguran adalah lantaran umpan erotik itu. Maka para produserpun kini berdujun-dujun ikut memantjing dengan djenis umpan jang sama dengan harapan memperoleh kakap jang sama -- kalau mungkin malah lebih besar. Tentu saja tidak semua dari mereka akan mengakui bahwa jang terdjadi kini pada hakikatnja ialah sematjam sexploitasi, pemanfaatan sex untuk melariskan produksi -- satu hal jang djuga dilakukan oleh produser-produser ketjil di Eropa dan Amerika sekarang dengan film-film erotiknja jang ikut membandjiri Indonesia. Bambang Irawan misalnja, berkata tentang adegan sex dalam Hidup, Tjinta Dan Airmata: "Lho, itu kan sesuai dengan tjerita? Bagaimana lagi? Tjeritanja tentang orang tjabul, bagaimana menggambarkannja kalau tidak dengan menampakkan ketjabulan orang itu?" Tjerita Kantjil. Memang untuk menggambarkan orang tjabul beberapa adegan tentang ketjabulan bisa dianggap perlu. "Untuk menggambarkan tante girang", kata Wim Umboh jang menamakan dirinja bukan moralis, "lebih dari tjuma pegangan tangan diperlukan agar film lebih mejakinkan". Agar film Iebih mejakinkan -- djika film itu tentang tante girang tentu sadja, dan bukan tentang tjerita kantjil. 

Masalahnja ialah bahwa kini produser-produser telah memilih tante girang daripada kantjil, suatu hal jang menunjukkan bahwa bagaimanapun djuga dibelakang kepala mereka tersembunji keinginan memaparkan sex. Dengan kata lain, keinginan memaparkan sex itu adalah lebih dulu, dan baru kemudian ditjarikanlah tjeritanja. Karena itu bisa dimengerti djika Agora Film tidak tjuma berhenti pada kisah tobatnja seorang bekas bandit dengan Hidup, Tjinta Dan Air mata. Adegan kamar dan tempat tidur plus sedjumlah perempuan latjurpun ditempelkanjalah di sana -- dalam kontinjuitas jang tak mejakinkan, ditengah-tengah sebuah film action jang tanpa ketegangan dan bergerak lemes. Dan tak mengherankan bila banjak penonton jang awam sekalipun mengeluh. Sebab embel-embel, walaupun berbentuk pameran sex, memang tak selamanja bisa membikin seluruh film djadi tiba-tiba menjenangkan. Adegan erotik bukan djuru selamat, bukan pula lampu Aladin. Anggapan bahwa film Indonesia bisa melawan film impor hanja atas dasar keberanian buka kutang tanpa setjara serius membikin tjeritanja asjik dan mejakinkan, adalah anggapan jang nampaknja segera terbukti salah. Agaknja beberapa orang sudah menjadari itu pagi-pagi. Dibawah lampu-lampu studio Penas jang panas, sutradara Lilik Sudjijo berkata: "Sekarang hampir setiap orang bisa bikin film, meskipun mungkin asal bikin. Hasilnja ialah blue-film jang tidak sempurna, jang djustru akan merusak pasaran film Indonesia jang sudah mulai baik". 

Barangkali itulah sebabnja Lilik, bersama Suzanna, membikin Tuan Tanah Kedawung jang kabarnja tanpa sex, tapi mengharapkan box-office dengan mengambil sebuah tjerita bergambar jang laris. Djuga mungkin itu pula sebabnja Nja' Abbas Acub membikin sebuah musikal, Dunia Belum Kiamat, dengan mengandalkan pasangan penjanji Titiek Sandhora dan Muchsin. Resep dan harapan mereka berbeda dengan resep dari-sex-ke-sukses jang dominan dewasa ini. Akan berhasilkah resep mereka adalah satu persoalan jang terlalu pagi buat diramalkan. Namun djika produksi mereka ternjata menghasilkan untung jang melimpah-limpah, ada kemungkinan bahwa sex dalam film-film Indonesia akan menjadi surut dan diganti dengan djenis tjerita-tjerita lain -- sebab para produser lazim untuk mengikuti arus jang paling menguntungkan. Apalagi zaman surutnja sex itu oleh sementara orang-orang film sudah terlihat. Turino Djunaidy misalnja, dengan agak pasti meramalkan: "Pertengahan tahun 1991 ini masa film-film sex akan berachir". Berachir atau surut, itu sudah barang tentu baru suatu kemungkinan mungkin orang akan djadi bosan, atau djadi marah dan membikin film-film erotik bujar ketakutan. Di Eropah sendiri para penonton telah mendjadi begitu muak, hingga dalam suatu festival di Berlin dua tahun jang lalu mereka berteriak-teriak mengedjek film-film jang bolak-balik dari randjang. Tapi kebosanan sekelompok penonton memang belum tentu berarti kemuakan semua penonton, dan atas dasar ini barangkali film-film erotik akan bisa bertahan. Atau, meskipun tidak bertahan dalam bentuknja jang sekarang, toch tidak seratus persen terhenti sama sekali hanja dengan tjara pemilihan tjerita dan penjadjiannja berubah. 

Dalam bentuknja jang sekarang, sifat erotik film Indonesia memang nampaknja tak bakal bertahan lama, karena belum mapan dengan dirinja antara takut-takut dan sok-berani, dimana -- seperti dalam koran-koran kuning -- orang berlagak memaki ketjabulan dengan kata-kata, sementara sekaligus menghidangkan ketjabulan dengan gambar dan suara. Dengan kata lain: suatu sikap kurang wajar sikap seorang jang tiba-tiba bersua dengan hal baru setelah bertahun-tahun hidup dalam suasana serba-dilarang. Seperti bekas romusha jang baru didjamu makan dan wanita jang diharapkan ialah bahwa nantinja sang bekas romusha akan bisa lebih normal. "Saja jakin kelak film Indonesia akan berkembang kearah mempersembahkan sex setjara wadjar," kata ahli perfilman Asrul Sani. "Sekarang ini mereka baru mulai, sehingga jang kita lihat pada dasarnja tidak lebih dari blue film. Kalau blue film sibuk mengclose-up organ-organ dan bukan keseluruhan manusia, film-film Indonesia kini mengclose-up sex dan bukan keseluruhan kehidupan. Tapi tambah Asrul, "paling tidak itu semua merupakan latihan. Pada giliranja mereka akan djadi dewasa". Satu Tangan Terikat. Dengan kata lain, Asrul lebih tjenderung untuk membiarkan proses berachirnja blue-film itu berlangsung dengan sendirinja tanpa dipaksakan. Ia termasuk seorang jang tak menghendaki ukuran sensor jang lebih keras terhadap adegan-adegan sex film Indonesia, djika ukuran jang lunak berlaku untuk film-film impor. 
Hal itu bukanlah tindakan jang adil: "Apabila film Indonesia harus bertanding setjara bebas dipasaran dengan film impor, pemakaian ukuran jang lebih keras sulit untuk diterima: ibarat mengadu seorang berkelahi dengan satu tangannja kita ikat", kata anggota Dewan Film dan Badan Sensor itu. Banjak jang satu fikiran dengan Asrul, tapi banjak djuga jang tidak. Diantara mereka ialah: Maria Ulfah Subadio. Ketua Dewan Film: "Saja kira tidak untuk menggunakan dua ukuran", katanja. "Kalau mau keras, keraslah terhadap kedua-duanja: film dalam negeri maupun film impor". Ibu jang amat tenang ini bukannja seluruhnja menjukai film-film Indonesia kini. "Telinga saja sakit mendengar dialog jang kasar dalam Bernafas Dalam Lumpur katanja. Dan tentang Bunga-Bunga Berguguran: "Ada hal-hal jang dilebih-lebihkan dan dibikin-bikin. Adakah gedjala jang dipaparkan dalam film itu memang sedang melanda muda-mudi sekarang?" Tapi ia mengerti: "Kita djangan terlalu mengharapkan film-fim jang bersifat pendidikan buat masa sekarang ini. Produser adalah pengusaha jang mentjari keuntungan. Untuk sekarang saja memahami mereka, neskipun sekali-sekali disampaikan kepada mereka jang terikat kredit pemerintah untuk membuat film-film bermutu". Moh. Said, anggota Akademi Djakarta dan Badan Sensor: "Sekiranja saja bertugas menentukan seluruhnja penjensoran film Indonesia pasti adegan-adegan sex itu akan saja gunting". Pendidik terkemuka dan tokoh Taman Siswa itu menambahkan: "Soalnja ialah soal rasa. Perasaan saja tidak bisa menerima melihat wanita Indonesia telandjang di lajarputih. Saja tahu produser nasional akan menganggap ini tidak adil, tapi negeri kita tidak sama dengan negeri Barat, dimana orang telandjang dan bertjium biasa dilihat didepan umum. 

Alasan persaingan tidak seluruhnja bisa diterima: film India tidak mengungkapkan sex, tapi toch tetap laris". Meskipun demikian Pak Said melihat, bahwa "bukan film jang mendjadi sebab utama kerusakan moral dan pendidikan anak-anak, tapi batjaan. Film hanja dilihat beberapa menit, batjaan bisa dibawa sampai tidur". Njonja S. Sulaiman, sardjana purbakala, anggota Badan Sensor: "Tidak perlu ada ukuran chusus untuk film, Indonesia. Sensor telah mempunjai kriterium sendiri jang berlaku untuk semua film, baik Indonesia maupun asing". Bekas atase kebudajaan untuk India dan Inggeris itu menambahkan: "Gedjala kebebasan sex seperti jang digambarkan film terdjadi diseluruh dunia - meskipun di Indonesia baru terbatas pada sebagian ketjil masjarakat jang punja waktu dan berkelebihan uang. Bagaimanapun djuga, masjarakat sekarang bukan sadja akan lebih terbuka dalam soal sex, tapi djuga sudah terbuka. Saja kira wadjar bila sex dipaparkan dalam film, asal djangan sampai mendjadi blue-film". Lalu ibu berusia 50 tahun dengan 1 anak ini menambahkan: Jang perlu adalah pendidikan anak-anak dirumah. Kepada anak-anak saja, saja tidak mengadakan tekanan untuk tidak menonton film jang mengandung unsur sex, dan ternjata mereka dapat menempatkan sex sebagai hal jang lumrah. Mereka lebih senang membatja atau melukis.....". Njonja Wahjudi, sardjana pendidikan, anggota Badan Sensor dan DPRGR: "Pada umumnja film jang menampilkan segi sex untuk sengadja merangsang penonton tak dapat saja setudjui. Saja sesalkan bahwa film-film Indonesla sudah berani memaparkan segi-segi jang intim dalam kehidupan pria dan wanita. Kadang-kadang memang terfikir oleh saja: djika film-film Indonesia jang matjam itu tidak saja loloskan, akibatnja perfilman nasional akan terantjam. 

Tapi kalau diloloskan, tidak sesuai dengan nilai-nilai jang berlaku. Meskipun demikian, saja lebih memperhitungkan pengaruh film itu buat masjarakat, daripada kehendak produser untuk menarik uang". Ibu jang mempunjai 4 tjutju dalam usianja jang 50 tahun dan kedudukannja sebagai pedjabat tinggi Departemen P & K, ini mengakui, bahwa "sex sedang melanda diseluruh dunia, tapi di Indonesia itu tjuma di kalangan ketjil. Mengapa produser film kita memilih tema-tema tjerita berunsurkan sex dan bukan jang lain?" Gadis Rasid, wartawan wanita angkatan lama, anggota Badan Sensor: "Film Indonesia memang sudah berani dalam penondjolan ketelandjangan, adegan tempat tidur, dan buka kutang. Tapi beranipun mempunjai tudjuan. Saja belum melihat keberanian film Indonesia sekarang untuk tudjuan jang baik - ketjuali untuk sekedar menarik penonton". Sambil tertawa ditambahkannja: "Selera produser film kita djauh dari matang, seperti anak-anak belasan tahun atau kakek-kakek tua jang tidak bisa berbuat apa-apa lagi". Adakah Ibu dengan anak tunggal ini menjetudjui penondjolan sex dalam film? Tidak dengan sendirinja. "Meskipun saja setudju film pendidikan sex, orang tak usah menondjolkan sex sebagai hal jang nomor satu. Sebab kalau sex jang utama dalam hidup, orang tak perlu lagi beladjar hal-hal lain untuk melatih djiwanja". Rok Kain. 

Kepala memang sama berbulu, pendapat tak sendirinja satu. Meskipun demikian pada satu hal pendapat-pendapat diatas bersua: bahwa film Indonesia dewasa ini adalah barang dagangan, tidak lebih tidak kurang -- walaupun ada jang mengharapkan agar sebaiknja lebih dari tjuma itu. Tapi jang sebaiknja nampaknja sekarang tertelan oleh kenjataan jang ada. Betapapun djuga produser masih harus hidup dari film jang mereka bikin ditengah-tengah kompetisi jang keras. Kredit jang diperoleh atas bantuan Pemerintah sebanjak 50% dari beaja pembikinan -- jang pada prakteknja konon selalu berarti Rp 7,5 djuta -- agaknja baru diarahkan kepada kwantitas dan belum lagi kwalitas produksi. Kredit itu belum berarti bahwa film akan akan lebih bebas dari apa yang disebut selera publik, meskipun masih sangat bebas dari bimbingan achlak Direktorat Film. Sampai kapan? H.Djohardin, Kepala Direktorat Film jang menilai hasil karja para produser kini sebagai "kurang selaras dengan pertanggung-djawaban jang diberikan" kelihatan tidak ingin terus diam. "Kami akan membatasi ketjenderungan jang ada sekarang," katanja, "kalau perlu dengan penundaan kredit bagi produser film jang tidak menjadjikan hal-hal jang selaras dengan pendidikan bangsa". Itu sudah tentu suatu rentjana jang baik dan sesuai dengan hak serta tugas. Sebab pemerintah berada dalam fihak jang memberikan kredit dan menentukan, serta sekaligus berada dalam posisi jang wadjib melindungi masjarakat dari barang-barang buruk. Tapi soal jang bakal meruwetkan ialah: jang manakah barang jang buruk itu? Jang bagaimanakah jang tidak selaras dengan pendidikan bangsa? Dalam suatu masjarakat dimana nilai-nilai sedang berubah setjara amat kentara, apa jang buruk kemarin belum tentu buruk pula hari-hari ini. 
Ada masanja, beberapa dasawarsa jang lalu, ketika sensor pernah melarang Fifi Young memakai rok untuk main tenis dalam Kris Mataram, tapi ada masanja beberapa tahun kernudian film Gadis Olah Raga tidak mengharuskan bintang puterinja memakai kain untuk atletik. Dan kini nampaknja sedjarah makin meninggalkan suatu zaman dimana kesopanan harus berarti rok 25 senti dibawah lutut dan tjinta harus berarti pandangan malu-malu setengah meter. O tempora o mores, kata orang jang berbahasa Latin: Zaman berubah dan demikian pula rasa-susila. Dan film-film erotik mengambil bagian dalam perubahan nilai-nilai itu dan sekaligus merupakan bukti daripadanja. Semua nampak djelas bila diketahui bahwa eksperimen erotik film Indonesia sekarang, hanjalah landjutan belaka dari pelbagai media lain: buku-buku saku dan madjalah hiburan, koran kuning dan poster film Itali, iklan night club dan kalender Playboy. Diantara semua itu, nampaknya peran buku-saku dan madjalah hiburan jang menentukan. Film Bernafas Dalam Lumpur diangkat dari tjerita bersambung Zainal Abdi di madjalah Varia, dan tjerita tante nakal serta oom bangor Bunga-Bunga Berguguran pada dasarnja hanjalah sambungan fantasi buku Motinggo Boesje. Bukan kebetulan karena itu djika kini pengarang seperti Zainal Abdi dan Motinggo Boesje memasuki dunia film, sebagaimana sutradara Pitradjaja Burnama pernah menulis buku jang panas berdjudul Oom Getol. 

Setelah buku-buku saku dengan gambar sampul Delsy Sjamsumar jang menggairahkan itu tersebar luas kemasjarakat, setelah madjalah-madjalah hiburan dengan potret-potret wanita terbuka bertaburan dimana-mana, bukan sesuatu jang mengedjutkan pada dasarnja apabila kini datang sepasukan film Indonesia jang berani sex. "Masjarakat kita kini siap menerima unsur erotik dalam film Indonesia", kata Hasmanan, pembikin Romanza dan Dasimah & Saimun, "karena antara lain sudah disiapkan oleh Boesje dan Asbari Nurpatria Krisna". Bagi Hasmanan, anasir sex dalam tilm dalam negeri adalah "sebagian dari batu udjian kearah sikap jang lebih permisif dimasjarakat -- jang mau tak mau sudah dimulai, ketika anak-anak generasi TV kni dirumah melihat adegan tjiuman dengan kalemnja". Tapi bagaimanapun djuga anak-anak generasi TV bukanlah satu-satunja generasi jang hidup sekarang. Lebih kuasa dari mereka ialah generasi sebelumnja, jang tak djarang menjaksikan arus erotik film Indonesia kini dengan ketjurigaan jang tjukup kuat dan tjukup alasan. Konflik-konflik perasaan dan pendirian oleh sebab itu bukan mustahil, bahkan sesuatu jang nistjaja. Zaman kita mungkin tidak dengan sendirinja suatu zaman jang maksiat, tapi jang djelas bukannja zaman jang tanpa ketegangan dan ketjemasan.

Selasa, 18 Desember 2012

SUZANNA BERNAFAS DALAM LUMPUR

SUZANNA

Saat itu Suzanna hampir di masukan dalam bintang film Panas, setelah membintangi, Bernafas dalam Lumpur, Nafsu Gila, Pulau Cinta, Permainan Di Bulan Desember, Dia Sang Penakluk, Usia Dalam Gejolak, Petualangan Cinta Nyi Blorong.

Dan ternyata Icon dari Nyi Blorong ini dia masuk ke dalam Mistis, hingga menjadi Ratu Film Horor Indonesia. 

Baca selanjutnya di

Selasa, 25 Desember 2012

NURNANINGSIH ( Boom Sex Pertama)

Lahir di Wonokromo, Surabaya. Pendidikan : SLA sampai Kelas I; kursus bahasa Inggris di Ellenschool (berijazah), di Lembaga Indonesia Amerika (berijazah), senam joga, les piano (satu tahun.Muncul pertama kali dan langsung sukses dalam film "Krisis" (1953) yang laris. Menyusul kemudian film-film "Harimau Tjampa" (1953), dan "Kelenting Kuning" (1954), Sekitar tahun-tahun itu Nurnaningsihpernah dihebohkan sebagai bintang sex Indonesia, yang berani berpose polos, diluar film. Setelah menyelesaikan "Kebun Binatang" (1955) namanya tidak pernah terdengar lagi di dunia film sampai tahun 1967.Pada 1968 muncul kembali sebagai figuran dalam "DjakartaHongkong Macao", kemudian meningkat menjadi Pemain Pembantu dalam film-film "Orang Orang Liar" (1969), "Bernafas Dalam Lumpur" (1970), "Derita Tiada Achir" (1971), "Samtidar" (1972). Sedangkan "Seribu Janji Kumenanti" (1972) merupakan film pertama yang diperan utamainya sejak pemunculan kembali ke dunia film. Juga muncul dalam "Kembang Kembang Plastik" (1977),"Donat Pahlawan Pandir" (1978) dan "Bayang-Bayang Kelabu" (79).

Selama menghilang dari dunia film (1955-1967) Nurnaningsih mengembara dari satu kota ke kota lainnya di Indonesia dengan bermain sandiwara dan menyanyi. Juga bermain sepakbola sebagai kiper selama 6 tahun. Disamping itu dia gemar melukis. Selain film, kegiatannya selama tahun-tahun terakhir ini adalah menjadi penjahit serta memberi macam-macam kursus, dari bahasa Inggris sampai memberi pelajaran berhitung kepada anak-anak.

 
1 September 1953
SEBENARNYA ruwet meng-apa – siapakan artis-artis film yang baru! Ruwetnya karena terlalu riskan bicara tentang “mukabaru”. Muka-muka baru yang sekelibat pula terlihat. Belum tentu mukamuka baru itu continue terlihat terus di putih-hitam. Karena kestabilannya masih akan ditentukan oleh si pembikin si pembikin film dan publik.
 
Biarpun begitu  siapa “muka baru” Nurnaningsih diproduksi PERFINI “Krisis” tentu dijawab. Jawabnya bukan penjumlahan tanggal – tahun tempat lahir – belajar di mana – bekerja di kantor apa, dan sebagainya yang konvensional. Tetapi dicoba meneropong Nurnaningsih dari segi yang lain.

Perkanalan saya dengan si “muka baru” Perfini ini membuat saya lebih banyak bingung dan menjadi kurang waras. Kawan-kawan – saya jangan lantas ditertawakan. Bukan bingung dan menjadi tidak waras karena Nurnaningsih qua fisik menarik dan qua face – memang mempunyai camera face yang tidak sering diketemukan dengan begitu saja.

Tetapi – dia artis segala macam (kata orang yang tahu!)   – melukis – menyair – menyanyi – dan ditambah pula dengan yang baru…… bermain di film. Sampai kemana Nurnaningsih kulatitatif tentang seni-seninya di atas dikenal oleh umum saya belum berani bicara. Menurut kawan yang lebih dekat kepadanya (Kawan itu rekan Nurnaningsih): Nur – mempunyai banyak ambisi – kalau mengenai hal-hal seni. Sayangnya – ya memang dia melukis dan bersuamikan pelukis yang cukup terkenal. Tetapi bisa melukis dan bersuamikan pelukis belumlah berarti sudah jadi pelukis. Kemudian bersepak terjang terlalu bebas sebagai artis buat memberikan aksen kenilai artisannya itu. Ini salah, kata kawan itu. Bukan artis itu sendiri yang mesti mengecap dirinya adalah artis! Biar artis apa saja!

Itu juga paham saya kepada kawan dekat Nurnaningsih itu. Dan Nur – sebagai manusia biasa dalam pergaulannya sehari-hari mempunyai “mata-angin” yang tidak konstan.


20 Oktober 1954
PERISTIWA foto-foto telanjang dari bintang film Nurnaningsih yang diedarkan di ibukota sekarang ini bukanlah suatu hal yang mengejutkan sebenarnya, jika kita mau memperhatikan cara hidup dan cara bergembira para pemain film kita pada waktu-waktu belakangan ini dan jiwa kita mau menerima bahwa cara hidup dan cara bergembira itu sebagai kongkretisasi dari pikiran dan pandangan hidup seseorang. Hal inipun dibuktikan oleh ucapan Nurnaningsih sendiri yang mengatakan, bahwa dia tidak bermaksud memerosotkan kesenian ataupun bahwa dia bukanlah tidak berakhlak ataupun rusak moral, tapi semata-mata hendak melenyapkan segala pandangan kolot yang masih terdapat dalam kesenian Indonesia.

Bukalah lembaran-lembaran majalah Film Indonesia, perhatikanlah gambar-gambar nya dan bacalah apa-apa mengenai bintang-bintang film tersebut. Kita akan melihat gaya yang dibuat-buat, tampan-tampan yang dibentuk menurut cap Holliwood tapi secara tidak tepat dan berlebih-lebihan, kita akan melihat bagian-bagian tubuh yang sengaja mau ditontonkan. Kita akan melihat dansa-dansa dan pelukan-pelukan menggairahkan oleh karena tidak biasanya, kita akan membaca hobi-hobi bintang-bintang film yang sengaja dipilihnya dalam majalah-majalah tersebut.. Intervieulah seorang bintang film, dia akan mengatasi apa-apa yang pernah diucapkan oleh rekan-rekannya. Titien Sumarni menyatakan di Medan, bahwa dia tidak keberatan dicium. Kalau nana Mayo nanti diintervieu oleh wartawan  medan, pasti dia akan melebihi lagi keberanian ucapan Titien.

Sebab dari keadaan ini ialah: kita hanya meniru dan dalam meniru itu kita memalingkan muka ke Holliwood Amerika. Di mana sebenarnya hanya ada sedikit sekali kesenian dan hanya sedikit sekali ada daya kreatif. Di sana hanya ada pengembangan naluri-naluri primitif secara intensif, pengembalian cara hidup dan cara berpikir ke masa manusia belum mengenal kebudayaan. Di sana dipaksakan adanya satu dunia mimpi dimana pikiran-pikiran seperti pikiran Nurnaningsih itu mengalami kelegaan bernafas untuk penghabisan kalinya sebelum musnah dilindas oleh arus pikiran-pikiran baru yang lahir dari alam pemikiran kreatif.

Kita lihat Italia, yang sesudah Perang Dunia II dengan cepat memuncak daya kreatifnya dan menciptakan film-film yang mengagumkan seluruh dunia. Dalam sukses itu mulailah mereka meniru, mula-mula mengambil oper pikiran-pikiran Holywood kemudian tidak boleh tidak menyusul cara hidup yang disempurnakan dengan munculnya Hollywood baru di tepi sungai Tiber. Berangsur lenyaplah neo-realisme Italia yang mengagumkan, bertukar dengan realita daging Gina Lollobrigida yang mengalahkan Mariln Monroe. Bahkan Vittoria de Sica yang besar itupun terseret ke dalam arus peniruan ini dan keluar dalam film “Bread, Love and Dream”  yang oleh publik Amerika sendiripun dianggap tidak berharga selain daripada mempertontonkan gumpalan-gumpalan daging Lollobrigida.

Bahwa di lapangan kesenian adanya pribadi dan watak pribadi erseorangan dan watak keseluruhan hasil-hasil ciptaan sebagai kesatuan yang mendukung pandangan hidup dan ideologi sesuatu bangsa, itu sudah diakui dan sudah diperbincangkan berkali-kali dan sudah mulai dibuktikan dalam semua lapangan kesenian, kecuali film.

Salah satu hal yang mempengaruhi lapangan film ialah eratnya hubungn dengan keuntungan keuangan. Sukses dalam film selalu diserupakan dengan sukses keuangan. Sehingga orang melupakan sifat edukatif dari film lalu mengutamakan sifat menghasilkan uang.

Lapangan film menjadi lapangan bussiness dengan segala ekses-eksesnya. Pemain-pemain film jadi penjual-penjual gaya dan kecantikan, sampai-sampai Nurnaningsih bersedia difoto telanjang bulat dengan bayaran Rp. 200.

Bahwa dunia film kita kalau mau maju harus mendapat koreksi, terutama di lapangan pemikiran, sudahlah pasti. Di lapangan kesenian selain film, badan-badan seperti BMKS dan MSDR diharagai pemikiran-pemikirannya dan usaha-usahanya. Hal ini sedikit banyaknya merupakan koreksi yang bermanfaat. Tapi lapangan film sampai hari ini dikuasai oleh pikiran-pikiran dan usaha-usaha money-makers yang tidak tahu ukuran seni tapi cukup ahli mencari untung dengan segala tipu muslihatnya. Hal inilah yang harus dirobah dan perobahan ini terutama harus digerakkan oleh tenaga-tenaga yang masih punya pribadi di kalangan film sendiri.

Film sebagai alat pendidikan dan lapangan kerja seni, tapi juga sebagai perusahaan adala penting bagi kemajuan suatu bangsa. Maka haruslah ada satu badan tertentu yang bisa mengontrol dan mengekang usaha mem-bussiness-kan lapangan ini, sehingga jangan sampai meniru-niru Hollywood dan merupakan Batawood sekarang dengan Nurnaningsih yang menjiplak pikiran-pikiran dan laga-gaya Mariln Monroe, Lollobrigida (PL) dalam harian Patriot.

Ia Tidak Dapat Dituntut, Katanya Untuk Modal Seorang Seniman (Pelukis)
BERKENAAN dengan kenyataan-kenyataan yang diperoleh pihak kepolisian bahwa ada foto-foto telanjang dari bintang layar putih Indonesia, Nurnaningsih pada “Golden Arrow”, polisi bagian kesusilaan untuk kedua kalinya telah mendengar keterangan-keterangan Nurnaningsih.

Menurut keterangan kepolisian bagian Kesusilaan itu, pemeriksaan kedua kalinya atas diri Nurnaningsih  berlangsung selama 2 ½ jam itu, untuk sementara sudah selesai. Nurnaningsih sendiri dalam persoalan ini tidak akan dituntut.

Yang akan diselidiki lebih lanjut ialah siapakah yang telah membuat foto-foto itu dan siapakah yang mengedarkannya, karena dalam perkara ini yang bersangkutan dipersalahkan melanggar pasal 282 dari KUHP.

Menurut Polisi bagian Kesusilaan, Nurnaningsih telah menerangkan bahwa untuk tiap-tiap pengambilan foto itu ia diberi uang Rp. 200.

Atas pertanyaan-pertanyaan pers, bintang film Nurnaningsih yang juga berbakat seni lukis, menerangkan bahwa perbuatannya itu yakin telah menyediakan diri diambil fotonya dalam keadaan telanjang, bukan karena akhlaknya telah merosot, atau tidak tahu akan kehormatan diri, melainkan guna kepentingan seorang senima.
 
 1 November 1954“Rakyat Indonesia tidak mengerti” katanya yang telah menggemparkan tentang gambar-gambar telanjangnya, “Tetapi di Eropa saya sedia gambar-gambar telanjang  saya disiarkan. Rakyat Eropa lebih mengerti menghargai keindahan seni yang terdapat dalam gambar-gambar seperti itu”

Ketika dia diperiksa polisi tentang gambar telanjangnya yang tersiar itu dia berkata:
“Kalau hal ini dianggap salah, sesungguhnya ada wanita-wanita dari golongan tinggi yang patut ditangkap karena perbuatannya yang salah. Bukan saya. Karena saya melakukannya semata-mata untuk kepentingan seni,”

“Saudara lihat pakaian saya ketika menghadiri upacara pemberian hadiah bintang film di hotel Des Indes malam itu” tanyanya. “Ketika itu saya berpakaian terbuka di sebelah punggung. Maksud saya supaya aksi kelihatannya, juga untuk seni,”

Ketika Nyonya Mangkunegoro dari Solo dengan sengaja mengunjunginya di rumahnya – sebuah garasi mobil yang tidak begitu teratur letak barang-barang di dalamnya – dan meminta gambar Nurnaningsih tetapi kebetulan pada waktu itu dia tidak mempunyai foto, dia berkata: “Baiklah nanti saya kirimkan saja ke Solo,”

“Gambar yang bagaimana yang U mau, yang berpakaian biasa, yang berpakaian Yankee seperti saya pakai ini, atau lainnya?”

Dan akhirnya puncak penantangannya jelas kelihatan pada perkataannya yang berikut: yang dikatakannya kepada regisseur dan pimpinan perusahaan film tempat dia bermain dahulu: “Kalau laki-laki boleh, kenapa saya tidak?”

Memang, barangsiapa bertemu dengan dia dan melihat gerak-geriknya,  kata-katanya, pandangannya. Wim Umboh, sutradara muda Golden Arrow tempat Nurnaningsih bermain film sekarang mengatakan bahwa mula-mula dia terkejut ketika bertemu dengan wanita itu untuk pertama kalinya. Tetapi setelah berbicara dengannya, dia kagum melihat keberaniannya. Dalam melihat Nurnaningsih, tepatlah kita pergunakan perkataan Usmar Ismail: Kita harus melihat dia sebagai manusia seni, sebagai artis, tidak sebagai manusia biasa. Dia adalah “de vrouwelijk Chairil Anwar”, tetapi bukan dalam prestasi seninya. Karena walaupun lukisan-lukisan Nurnaningsih sebagai amatir cukup baik, tetapi dia belum mencapai prestasi dan kebesaran Chairil”

Setelah banyak mendengar  cerita teman-teman tentang dia dan memperlihatkannya sendiri dalam beberapa kali percakapan dan pergaulan dengan dia, saya dapat menerima kesimpulan dari USmar Ismail tentang dia, yaitu “Sinting” atau tidak normal. Barangkali dalam istilah Freud dia dapat dimasukkan ke dalam golongan hysteris. Hal ini bukan berarti penghinaan bagi Nurnaningsih, karena juga Rita Hayworth misalnya mempunyai sifat yang hampir bersamaan dan banyak pujangga-pujangga besar .

Biasanya dia dipunyai oleh orang-orang yang mempunyai ambisi besar. Dan kalau kita ingat, bahwa juga Nurnaningsih mempunyai ambisi yang besar pula, yaitu cita-cita menjadi seorang virtuoos  ulung dalam lima macam cabang seni  antaranya sebagai pemain film, pelukis, penyanyi, pemain piano, maka mengertilah kita dorongan yang terdapat dalam dirinya. Hingga sekarang dia baru menjadi seorang bintang Film yang berbakat dan lebih daripada bintang-bintang film  wanita kita lainnya seperti kata Usmar Ismail. Seorang pemain film yang sudah dapat diakui sebagai bintang film kita, seperti kata Wim Umboh.

Biar bagaimanapun juga dia adalah suatu pribadi yang interressant dan unik dan merupakan suatu obyek yang menarik apabila kita dapat menempatkannya pada proporsinya sendiri.

 

Dari Keroncong ke Klasik
Pada hari saya menulis artikel ini, dia sedang melakukan opname film Golden Arrow “Tjemburu” di mana Nurnaningsih untuk pertama kalinya memegang peranan utama dalam kariernya sebagai bintang film selama lebih dari satu tahun. Rupa-rupanya sutradaranya yang baru yaitu Wim Umboh sangat puas dengan dia.

“Nurnaningsih sangat mudah” kata Wim Umboh “Dia selalu menurut kata-kata saya. Bintang-bintang film lainnya sering membantah. Tetapi Nurnaningsih juga ada menyangkal petunjuk saya apabila saya sendiri berada di luar rel, karena kelupaan atau lainnya. Biasanya teguran selalu benar dan dapat saya terima”.

Tentang prestasinya dalam film pada waktu ini, Wim Umboh mengatakan, bahwa Nurnaningsih mempunyai kemauan yang keras. Hanya sampai sekarang dia belum mempunyai inisiatif sendiri: dalam banyak hal dia selalu harus diberi petunjuk dan contoh terlebih dahulu untuk memainkan peranannya. Rupa-rupanya dia masih belum dapat membiasakan dirinya benar-benar dalam kehidupan yang panas dengan sorotan lampu-lampu  beribu-ribu watt itu. Hal ini dapat dimengerti karena dia masih belum lama hidup dalam sinar-sinar panas demikian.

Dalam lapangan seni menyanyi, dia kini telah pula meningkat. Pada saat saya menulis artikel ini, dia sedang melakukan latihan menyanyikan lagu-lagu klasik di studio RRI. Hal ini adalah langkahnya yang pertama terjun ke dalam dunia klasik. Ketika bercakap-cakap dengan Nyonya Mangkunegoro di rumahnya malam kemarin dan sampai kepada soal menyanyi, Nurnaningsih mengatakan: bahwa dia sekarang menyanyikan lagu-lagu klasik, karena dirasa lagu-lagu ini lebih cocok  dengan jiwanya. Karena lagu-lagu klasik berat dan dalam. Sebelumnya dia suka menyanyikan lagu langgam: tetapi sekarang lagu-lagu langgam dirasanya terlalu ringan.

Nurnaningsih tidak malu-malu pula  menceritakan bahwa karier seni suaranya dimulai dengan menyanyikan lagu-lagu keroncong. Ketika itu dia menjadi penyanyi kroncong dari band-band biasa, dan menyanyi di tempat-tempat pesta, dan perkawinan. Pendapatannya kadang-kadang baik juga, sampai seratus atau lebih semalam atau sehari. Tetapi kadang-kadang , setelah sehari-harian menyanyi, dia sebagai penyanyi hanya mendapat bagian lima rupiah saja. Tetapi pemberian selalu diterimanya dengan senang hati, katanya. Karena dia menyanyi dalam perkumpulan perkumpulan musik kroncong itu bukan untuk mencari uang, tetapi semata-mata untuk mengenal penghidupan dunia kroncong.

Dalam Gelombang Amor
Juga pada diri Ibu Nurnaningsih sudah terdapat darah keras dan sifat-sifat yang lain daripada manusia biasa. Walaupun hidup dalam dunia kolot, dia sudah mempunyai kemampuan yang bersifat modern, seperti hendak bersekolah yang lanjut, dan lain-lain.

Dan walaupun orang tua itu hanya lepasan sekolah rendah kelas 2, tetapi dia mempunyai kepercayaan yang kaut kepada dirinya. Dengan penuh kepercayaan dan tanpa gurudia melukiskan perasaan-perasaan hatinya tentang keadaan masyarakat yang dihadapinya di atas kanvas.  Juga setelah tua ini, dia terus melukis. Dengan bangga dia menunjukkan sebuah lukisannya yang unik itu kepada saya. “Begini perasaan saya tentang masyarakat sekarang,” katanya, “primitif” kata Nurnaningsih kepada saya dengan sedikit mencemooh. Memang primitif, tetapi lukisan-lukisan yang primitif ini telah pernah menarik hati pelukis terkenal kita Sudjono pada suatu pameran seni lukis di Magelang, di mana di masa revolusi dahulu, karena tepatnya lukisan dan keberanian yang tergambar dalam lukisan—lukisan sederhana itu: sampai Sudjono bertanyakan pula orang yang melukisnya.

Walaupun mempunyai sifat yang sama, tetapi antara ibu dan anak tidak terdapat persesuaian faham. Buat sang ibu, anaknya terlalu Barat. Baik tentang pakaiannya maupun tentang gerak-geriknya yang selalu gelisah gegabah, dan cara hidupnya. Orangtua itu tidak suka anaknya menjadi bintang film “Dia harus menjadi seorang wanita rumah tangga yang baik,”katanya.

Sesungguhnya Nurnaningsih juga pernah melakukan pengorbanan untuk orangtuanya. Sebagai anak gadis yang tertua dari suatu keluarga dan mencapai umur dewasa, tidak baik di mata orang, kalau dia tidak kawin. Oleh sebab itu dia harus kawin. Nurnaningsih menurut walaupun belum menemukanjodohnya: bukan saja untuk memuaskan hati kedua orangtuanya tetapi juga untuk sekedar meringankan beban sang Bapak. Tetapi ada kebingungan untuk kedua orangtua itu untuk memilih menantunya, karena walaupun banyak yang mau, 9 orang, tetapi tidak ada diantaranya yang langsung meminang kepada orangtuanya. Oleh karena itudiputuskan Nurnaningsih akan berpuasa tak makan ikan dan garam selama 100 hari. Siapa yang pertama kali meminang kepada orangtuanya, dialah yang mendapat.

Hal tersebut terjadi ketika Nurnaningsih baru berpuasa 90 hari. Perkawinannya yang pertama ini hanya 2 bulan umurnya. Nurnaningsih mengharapkan penyerahan penuh dari suaminya kepada dia semata-mata.

“Dengan cermin-pun ia enggan berbagi. Cita-citanya tak tercapai. Kemudian dia putuskan, akan kawin dengan pelukis. Dia tertarik kepada seorang pelukis Indonesia ternama, tetapi orang tersebut telah beristri. Akhirnya diantara beberapa orang pelukisyang mengharapkan kasihnya, dia pilih Kartono. Karena pemuda inilah yang paling tinggi pendidikannya diantara semua pelukis pemujanya itu. Dia tidak cinta Kartono, dia hanya ingin belajar melukis padanya. 7 tahun percampuran tidak dapat menimbulkan cinta. Nurnaningsih tidak mendapatkan cita-citanya: “Dengan cerminpun dia enggan berbagi” walaupun dari pihaknya sendiri, kepada cermin-pun tidak berbagi.

Dia kecewa dalam percintaan, dia tidak percaya lagi kepada laki-laki. Dia jatuh cinta kepada seorang penyanyi. Mereka kawin, tinggal di rumah bekas suaminya, Kartono. Aneh. Tetapi Kartono tetap menganggapnya sebagai saudara, dan kasihan padanya. Mereka tak bisa terlepas sama sekali, karena adanya saling mengerti, walaupun tak ada cinta, dan karena anak keduanya. Ketika saya menginterpiu Nurnaningsih, kebetulan ada Kartono di rumahnya. Nurnaningsih tidak mau menjawab pertanyaan-pertanyaan saya di depan Kartono.

“Bukan takut,” katanya. “tetapi takut timbul perdebatan antara mereka: takut kalau gelas-gelas beterbangan sebagai biasanya kalau mereka sudah berdebat”

Pada waktu ini Nurnaningsih sedang dalam kebimbangan karena gara-gara godaan cinta. Dia sedang jatuh cinta kepada seorang pemuda Douane, dan sebaliknya. Tetapi syarat-syarat yang dimajukan pemuda itu berat: Sang istri harus tinggal memasak di rumah, tidak boleh menyanyi, bermain film, berpakaian Yankee dan bahu atau punggung terbuka. Nurnaningsih menganggap ini kekangan terhadap perkembangan seninya. Sedangkan selama ini segala-galanya dia korbankan, pendapat umum dia tantang, untuk memberikan kebebasan bergerak kepada jiwa seninya. Dia tidak mengatakan bahwa dia akan puasa lagi untuk mengambil keputusan. Walaupun menurut pendengaran saya sampai sekarang dia masih mengerjakan yogi, meditasi atau pemusatan pikiran kepada Tuhan, walaupun dia belum kuat dalam hal ini. Dan dia juga bersembahyang rupa-rupanya. Pernah dia berkata kepada Usmar Ismail:

“Saya tidak sejelek yang disangkakan orang. Saya sembahyang, bertarikat”.
Kita menanti keputusannya. Apakah dia betul-betul seniwati, ataukah hanya seorang wanita juga.
 

1 Juni 1955
Setiap manusia mempunyai hak penuh untuk mencari uang dengan jalan apapun. Asal jalan mana sah dan tidak menyinggung nama perseorangan. Di dalam hal ini Nazar Dollar dengan sandiwara “reklame”nya, mencoba mencari uang dengan mempergunakan nama orang, sebagai nama khayalan atau nama fiktif.

Baru-baru ini , Nazar Dollar mempertunjukkan “Nurnaningsih Gila” di gedung Kesenian. Kita tahu bahwa pertunjukan ini bukan nilai seni yang dikejar, tetapi lebih dititikberatkan pada kebutuhan uang. Nurnaningsih yang sudah kita sinyalir bahwa dia sebenarnya “geestelijk ziek” dengan permainannya dalam cerita ini, sudah tidak dapat disangkal lagi akan kebenaran dari pada penyakit jiwa yang ada pada diri Nurnaningsih sendiri.

Ada kalanya kita bertanya apakah dengan cerita berkepala “Nurnaningsih Gila” nurnaningsih in persoon tidak menyadari bahwa Nurnaningsih sebenarnya belum meninggal dunia? Bahwa nama Nurnaningsih bukan nama dari cerita seribu satu malam. Bahwa nama Nurnaningsih sekarang punya suami dan calon ibu. Dan nama Nurnaningsih betul-betul kita kenal sebagai makhluk hidup yang punya pengertian dan intelegensia. Tetapi ada kalanya kita sendiri jadi kabur, mengapa Nurnaningsih in persoon tidak menghargai akan namanya sendiri. Dia dengan spontan dan dengan tidak menyadari lagi memproklamasikan diri di hadapan ribuan masyarakat bahwa dia kini sudah ‘gila”, ternyata dari cerita “Nurnaningsih Gila”.

Kita yang sedikit banyak mengenal Nurnaningsih dari dekat, dari caranya dia bercakap, dari caranya dia mengemukakan visi citanya dan dari caranya dia membela diri dalam soal ilmu yogi, jadi tidak habis tarik leher dan hidung, mengapa begitu buramnya memandang namanya sendiri. Lebih-lebih dalam menerima peranan yang terang-terangan memakai namanya sendiri, tidak begitu disadari.  Bahwa nama Nurnaningsih yang namanya begitu populer kini dibikinnya hitam di atas panggung sandiwara.

Nurnaningsih gila! Apakah Nurnaningsih sudah benar-benar gila? Apakah kegilaan Nurnaningsih itu sudah benar diakui oleh Nurnaningsih sendiri, bahwa dia itu sebenarnya sudah gila? Semuanya itu berkisar pada suatu titik pertanyaan yang tidak berujung pangkal.

Sekarang kita sendiri akan mengambil definisi. Kalau misalnya Nurnaningsih tidak gila, mengapa dia mau menerima peran yang telah menentukan (verzekeren) bahwa Nurnaningsih gila. Mengapa Nurnaningsih tidak mau menolak atau dengan alasan lain nama kepala karangan dirobah menjadi “Nuraningish bermain dalam …. Sebagai orang gila”. Dengan cara demikian kita akan dapat mengenal Nurnaningsih sebagai seorang yang waras otaknya. Tetapi dengan cara yang demikian, kita sendiri jadi sangsi apakah dalam menerima peran itu Nurnaningsih menganggap hal tersebut sebagai propaganda stunt untuk lebih mempopulerkan namanya? Atau Nurnaningsih ingin dikenal sebagai seniwati yang eksentrik dan histeris? Yang tidak punya pendirian dan tujuan hidup? Atau Nurnaningsih dilupakan karena gabungan uang yang disodorkan oleh Nazar Dollar yang terkenal sebagai “Tuan Seni”?

Kita tidak akan menyinggung Nazar Dollar dulu sebagai “Tokoh Tuan Seni”. Tetapi kita akan meneropong perjalanan hidup Nurnaningsih yang pada akhir-akhir ini menunjukkan gejala kegilaannya. Sejak kegagagaln pertunangan dengan Boogie Harieanto. Nurnaningsih sudah memproklamirkan akan bunuh diri. Dan sudah mencoba dengan menjatuhkan diri dari atas tangga. Tapi Tuhan Yoginya masih melindungi dirinya, dan mengatakan dalam hidup masih banyak hal yang belum diselesaikan. Dan Nurnaningsih menarik kembali niatannya akan bunuh diri.

Tetapi dari cara semacam itu, kita sudah dapat menyimpulkan bahwa Nurnaningsih sudah kena penyakit angstpsychoge. Dia sudah dikejar bayangannya sendiri. Psikis dan fisik Nurnaningsih sudah tidak normal lagi. Tambah-tambah perhubungannya dengan Boogi mempunyai bukti, ialah akan lahirnya sang anak. Nurnaningsih sebagai manusia sedikit banyaknya mempunyai tanggung jawabnya akan lahirnya sang anak. Meskipun dengan “onbewuat” dia hampir jadi pembunuh kanak-kanak. Kini bayangan lahirnya seorang anak dapat pembelaan, dengan pengorbanan Basir, mau mengawini Nurnaningsih yang sudah mengandung tiga bulan.

Nurnaningsih dalam kejaran bayangan menambahkan kegilaannya di Kediri dengan mengatakan sebagai “Bintang Telanjang”. Dan kita bisa mengharapkan bahwa sekali lagi Nurnaningsih akan emngatakan sebagai “Bintang Gila”. Ini bisa diharapkan karena menilik cara-cara Nurnaningsih mengucapkan segala pernyataannya dengan tidak disadari atau dipikirkan akibat-akibatnya lagi. Asal ceplos keluar. Bagaimana nantinya dia sendiri tidak mau tahu menahu.

Kini kita berpindah pada Nazar Dollar dengan cerita “Nurnaningsih Gila”. Sebagaimana Nurnaningsih yang biasa mengatakan “Nurnaningsih Sebagai Bintang Telanjang”   atau sebagai halnya ketika di Palembang dia mengatakan: “Saya Nurnaningsih. Rumah saya di jalan Lombok 45. Siapa yang butuh gambar saya, yang telanjang maupun dalam pakaian apa saja, boleh kirim surat. Asal disertai uang sebersar Rp. 250,” demikian pula dalam menerima teks cerita “Nurnaningsih Gila”, tidak diteliti ataupun dipelajari dalam-dalam akibatnya maupun ekses dari pada permainan cerita itu, Nurnaningsih menganggap cerita “Nurnaningsih Gila” sebagai suatu cerita khayalan atau cerita yang realistis, yang menunjukkan akan sifat-sifat sebenarnya dari Nurnaningsih sendiri.

Yang kita sesalkan dan kita sayangkanbukan Nurnaningsih. Karena kita sudah tahu bahwa dengan permainan ini Nurnaningsih sebenarnya sudah gila. Tetapi yang benar-benar turut gila ialah Nazar Dollar. Sebagai “Tuan Seni” yang sedikitnya banyak mengenal sopan-santun dan mengerti kode karang mengarang, tidak akan begitu saja memakai nama Nurnaningsih in person berhak menuntut akan pemakaian nama tersebut. Untungnya Nurnaningsih sudah gila, jadi dia sendiri menganggap tidak begitu penting namanya dibikin gila.

Dan Nazar Dollar yang turut gila, sebenarnya tidak usah menunjukkan corak aslinya. Nazar Dollar sebaiknya dapat mencari jalan lain, untuk menjatuhkan nama seseorang di mimbar panggung sandiwara. Nazar Dollar bisa menjatuhkan nama Nurnaningsih dengan cara yang lebih licin lagi, tapi hendaknya Nazar Dollar jangan begitu kotor dan ceroboh dalam menjatuhkan nama Nurnaningsih di hadapan publik. Kita sudah tahu, Nurnaningsih kini sedang mengalami krisis batin. Meskipun dia berulang-ulang menyatakan bahwa dia kini sudah mempunyai tugas untuk mengembangbiakkan agama Yogi (tetapi dalam tanya jawab dengan saya, antara  Babaya dan Tuhan, Nurnaningsih lumpuh tak dapat menjawab dengan tegas. –Pen). Tetapi semuanya itu hanya pelarian saja. Karena itu, kita yang masih waras otaknya jangan turut-turut gila. Bahkan sudah menjadi tugas kewajiban seorang pengarang untuk membimbing dan menuntunnya ke arah jalan yang benar. Tetapi, Nazar Dollar sebagai seorang pengarang sandiwara sebenarnya tidak mempunyai pertanggungan jawab sama sekali. Bahkan sebagai seorang pengarang  dia menjerumuskan orang yang sedang dalam keadaan gelap. Kalau misalnya ini sudah menjadi sifat dan watak dari setiap pengarang roman picisan, benar-benar kitas sesalkan sikap dan kelakuan para pengarang roman picisan, yang sangat immoril dan tidak mempunyai pertanggungan jawab sedikitpun pada sesama manusia.

SETIAP MANUSIA berhak mencari jalan hidup yang syah. Tetapi cara-cara Nazar Dollarmencari pertahanan hidup, sebenarnya tidak dapat kita setujui. Meskipun dalam pembelaan ini kita menghadapi seorang yang sinting. Tetapi untuk kebaikan  Nurnaningsih yang sedang harum dan populer ini, janganlah begitu saja dilempar ke dalam tumpukan telepong kerbau yang masih basah dan hangat. Kita tidak rela melihat nama Nurnaningsih begitu saja dibuang dengan tidak disrtai perasaan kemanusiaan   yang waras. Karena di dalam hal ini, kita harus bisa memisahkan Nurnaningsih sebagai seniwati dan Nurnaningsih sebagai manusia wajar yang sedang mengalami penyakit jiwa. Sebagai seniwati dia mengabdi pada masyarakat dengan tidak menghiraukan dirinya. Tetapi sebagai manusia, Nurnaningsih sebenarnya harus dikasihani dan disayangi. Karena keadaan di sekitarnya yang menyebabkan dia sakit. Dan pada orang sakit kita harus mengobati dan membimbingnya.

Dan untuk mengadakan imbangan dan tegenprestasi dari pada tekanan dan contrengan pada muka Nurnaningsih, kita juga ingin melihat sebuah spanduk reklame lagi di mana tertulis GERAKAN PELOPOR PEMUDA akan menyuguhkan sebuah drama klasik dengan mengambil cerita “NAZAR DOLLAR BENAR-BENAR JADI GILA” cerita/Regie/pelaku Nazar Dollar (Tuan Seni)

Bagi Nazar Dollar peringatan ini mungkin terlalu menusuk perasaan, tapi kita yakin, bahwa dengan kupasan ini, Nazar Dollar akan dapat membatasi diri, dalam cara-ara penyuguhan cerita Roman Picisan dan juga mencari tema cerita yang sedikit bernilai dan dapat dipertanggungjawabkan.

Bagaimanapun buruknya cerita tetapi kalau cara penyuguhannya tetap masuk akal, orang akan memperbincangkannya dan membicarakannya. Tetapi kalau nama Nurnaningsih dijual algi dengan alasan untuk amal dan korban bencana, semoga orang-orang yang menerima uang tersebut benar-benar mengalami bencana dan turut gila!

 

20 Desember 1955.
NURNANINGSIH,  bintang film sensasional yang untuk selama seminggu berada di Medan memenuhi undangan “ISDRAFIN” (Ikatan Seni Drama dan Film Indonesia) telah menimbulkan kesan bahwa dia sudah gagal tetapi juga telah berhasil. 

Gagal di dalam mempertunjukkan diri sebagai seorang pemain sandiwara yang dapat ditiru, tetapi berhasil mempertahankan nama sebagai seorang bintang sensasional.

Pada tanggal 25 dan 26 November 1955 Nurnaningsih berlakon dalam sandiwara 3 babak “Korban Revolusi” (Korban Korupsi – Red) karangan Rustam Effendi. Pada tanggal 27 November dia muncul, menari dan bernyanyi dalam suatu “Malam Gembira” ketiga kalinya di Gedung Kesenian Medan dan pada tanggal 27 November dia menari dan menyanyi lagi SEAC, suatu perkumpulan kaum elite di Medan.

Korban Korupsi ini adalah sebuah lakon yang karena ada persamaannya mengingatkan orang pada “Sayang Ada Orang Lain” karangan Utuy Tatang Sontani yang sudah pernah pula dipentaskan di Medan oleh Perhimpunan Sandiwara lain. Nurnaningsih di sini bermain sebagai Ratnasari, seorang istri yang sebagai sekretaris seorang kepala Jawatan mengadakan hubungan kasih nafsu dan akhirnya “tertangkap basah” di kamar tidur.

Nurnaningsih (yang karena baru beberapa bulan melahirkan bayi lelaki kelihatan sedikit gemuk dari biasa) mengecewakan sekali karena tidak kelihatan dia cukup menguasai teks. Malahan kadang-kadang dia kelihatan menanti-nanti souffleur membisikkan kata-kata yang mesti diucapkannya, dan di lain waktu kelihatan dia disengaja dibantu oleh tegenspelernya untuk mengingatkan apa yang mesti diucapkannya.

Keadaan ini tidak terlalu mengherankan kalau diketahui orang latar belakangnya, yaitu nurnaningsih sebanyak-banyaknya hanya 3 kali mengadakan latihan bersama-sama pemain dari Medan, walaupun teks lakon telah dikirim terlebih dahulu kepadanya di Jakarta.

Kekurangan Nurnaningsih ini bisa ditutup karena gerakannya yang bebas dan kata-kata yang kadang-kadang diucapkannya dengan spontan. Terutama dalam adegan kasih mesra, Nurnaningsih berhasil menghilangkan kesan dia tidak hafal teks, karena di sini dia bermain dengan begitu baik sehingga mengesankan seolah-olah waktu itu hanya dia dan Arifin Esnery saja ada di dalam ruangan Gedung Kesenian itu.

Cara Nurnaningsih mengajak Arifin Esnery masuk ke kamar tidur, rasa-rasanya sulit diperbaiki oleh Sutradara Rustam Effendy sendiri. Malahan, mungkin di sinilah letak sebab mengapa Nurnaningsih yang diundang ke Medan, karena belum tentu pemain-pemain sandiwara penggemar di kalangan wanita mau melakonkan peran yang “dahsyat” seperti itu.

Yang juga membikin Nurnaningsih sanggup mengatasi kekurangannya dalam penghafalan teks ialah keadaan penonton yang membayar Rp 50 dan Rp.  20 itu (tentunya sebagian besar kaum lelaki) seolah-olah seperti terpesona, karena orang diam, kalau Nurnaningsih berkata walaupun dia tidak sempat berpakaian “you can see” dan meniru “Mariln Monroe walk”.

Arifin Esnery yang bermain sebagai kepala jawatan yang korup itu mulanya disangsikan kalau-kalau dia “Tjuak” (Tjuak itu istilah Medan yang mengumpulkan perasaan-perasaan takut, gamang, rendah diri, dan mau-malu).  Karena di dalam film “Peristiwa di Danau Toba” kelihatan leading man Eddy Nast  sudah hilang ditelan oleh bintang film besar Dhalia.

Dugaan orang keliru karena Arifin bermain lebih baik dari yang diharapkan, malahan kekuatan lakonan itu bertumpu pada dia nampaknya, karena pembawaannya yang bebas. Terutama di dalam saat dia dalam waktu sekejap mata sudah marah-marah pada pegawainya seperti “harimau mau menerkam”, dia menjadi “kambing domba yang lunak” ketika memancing Nurnaningsih supaya mau jadi sekretarisnya.

Di dalam adegan roman dia tidak tanggung, enak saja dia menjamah dagu Nurnaningsih, merayu dengan penuh kasih sayang (dengan mempergunakan tangannya dengan tidak segan-segan memegang bahu Nurnaningsih), terutama ketika melekatkan kalung di leher Nurnaningsih, Arifin memperlihatkan diri sebagai pemain sandiwara yang mempunyai harapan besar.

Hazman yang bermain sebagai suami Nurnaniningsih memang digambarkan sebagai seorang yang “bodoh” seolah-olah menganggap bekerja sebagai pegawai negeri itu merupakan suatu pengabdian yang luhur dan murni sekali. Permainannya tidak jelek, walaupun kadang-kadang kelihatan over acting dan “Tjuak” pada waktu berkelahi dengan Nurnaningsih.

Dalam pertunjukan ini, yang agak kurang memuaskan ialah terlalu banyaknya lagu-lagu Melayu yang sebenarnya, walaupun tetap indah dan populer, tetapi telah selalu kali didengar penonton, seperti “Makan Sirih”, “Anak Tiung”, dan tari-tarian Melayu seperti “Serampang Dua Belas”, “Tandjung Katung”, dan lain-lain. Tetapi ini bisa dimengerti juga kalau diketahui latar belakangnya bahwa Rustam Effendi pemimpin Isdrafin adalah juga pemimpin dari Orkes Melayu “Rangkaian Deli” yang di Medan juga populer.

Diambil dalam keseluruhannya, pertunjukan ISDRAFIN dengan bantuan Nurnaningsih itu adalah “not so bad” tetapi juga tidak bisa dibikin 2 kali seperti itu juga lagi.

Hasil yang baik dicapai oleh Nurnaningsih ialah dari segi finansial karena “pekerjaannya” seminggu di Medan adalah lebih bagus daripada “pekerjaannya” selama 3-4 bulan membikin film di Jakarta.

Ini juga terbukti dari keterangan Nurnaningsih sendiri dalam suatu konferensi pers di Medan di mana dia mengatakan bahwa dilihat dari segi keuangan dia merasa lebih senang main untuk sandiwara daripada main di film.

Pada tanggal 24 November, Nurnaningsih bersama suaminya turun di lapangan terbang Polonia Medan, ribuan peminat-peminatnya menanti dan mengelu-elukannya. Belum pernah sebanyak itu perhatian orang (terutama pemuda-pemuda pelajar) yang tertumpah pada seorang bintang film, seperti juga belum pernah sebegitu besar keinginann orang melihat bintang film satu-satunya yang mau  difoto telanjang, untuk mencari jawaban: Bagaimanakah rupa keindahan bentuk tubuh Nurnaningsih itu?

Belum pernah orang begitu berdesak-desakan sehingga pintu kaca restoran Polonia pecah ditubruk orang, karena buru-buru mau mencari tempat untuk dapat melihat Nurnaningsih.


Belum pernah PAU (Polisi Angkatan udara) di Polonia sesibuk mengawasi keadaan seperti waktu itu.

Ada seorang yang nakal melemparkan batu yang tidak mengenai Nurnaningsih tetapi mengenai seorang wartawan yang “melindungi” dia dari serbuan dan desak-desakan (dan juga mungkin cubit-cubitan orang banyak). Hal ini tidak jelas apa sebabnya, apakah orang benci karena dia sudah mau digambar telanjang (bintang-bintang film dari Jakarta lain yang datang ke Medan semua menyesali tindakan Nurnaningsih itu!), apakah orang tidak suka mengapa Isdrafin yang mendatangkan dia, atau karena memang orang tidak suka pada “perlindungan” yang diberikan wartawan itu.

Baik di hotel de Broer di mana Nurnaningsih menginap maupun di depan central restaurant di mana Nurnaningsih mengadakan konferensi pers, beratus-ratus orang berkumpul untuk melihat dia lewat beberapa menit saja dari dan ke motor.

Suatu hal yang menarik adalah bahwa Rustam Effendy itu karena dulunya pernah bekerja sebagai wartawan, mengetahui, bahwa wartawan itu perlu untuk membantu dia. Kalau dahulu Bing Slamet dan Sam Saimun (yang kabarnya di dalam “show” dan di dalam bussines”nya mengalami kegagalan) dianggap sepi oleh pers, maka Nurnaningsih mendapat “a good press”.

Dia mulai konferensi pers dengan keterangan bahwa dia belum pernah mendapat sambutans eramai ini dari publik dan belum pernah menghadapi wartawan-wartawan sebanyak itu, sekaligus dan wartawan-wartawan yang muda-muda pula dan simpati. (Nurnaningsih juga melemparkan senyum kiri kanan dengan bibir dan matanya!).

Keterangan Nurnaningsih tidak banyak berbeda dari keterangan di lain-lain tempat. Ada beberapa bahagian yang belum pernah disiarkan di dalam majalah “ANEKA” ini.

Nurnaningsih pertama sekali menjawab pertanyaan pers, menerangkan, bahwa DIA BERSEDIA SEKALI LAGI DIPOTRET TELANJANG.

Tetapi dengan syarat ini musti dilakukan di luar negeri karena dia berjanji dengan pihak kepolisian, bahwa dia tidak akan bergambar telanjang lagi di Indonesia. (Seperti pernah disiarkan dia pernah dipanggil Kepolisian Jakarta Raya karena potret telanjang itu, tetapi tidak dituntut!).

Gambar itu tidak boleh diperedarkan tetapi mesti dicetak di dalam buku dan diterangkan khusus untuk dijadikan bahan studi-obyek mengenai seni lukis.

Mengulangi keterangannya yang sudah terkenal, Nurnaningsih menyatakan bahwa dia dijanjikan digambar telanjang untuk dijadikan studi-obyek bagi pelukis-pelukis suapaya dapat menggambar bentuk tubuh wanita menurut anatomi yang sebenarnya. Tetapi dia menyesal gambar itudiperedarkan orang dengan tidak setahu dia/ “Saya tidak digambar dengan maksud phornografis, untuk membangkitkan nafsu birahi orang, tetapi untuk seni dan keindahan,” katanya.

“Yang diperedarkan orang sekarang bukan gambar saya yang asli. Tetapi potret kepala saya ditempelkan kepada tubuh orang lain. Saya tahu ini dengan pasti, karena bentuk tubuh saya, achtergrond ketika saya dipotret bukan seperti gambar itu. Dan pose saya juga tidak seperti dalam potret palsu itu!”

Dijelaskannya lagi, bahwa “kunst-foto” seperti yang dimaksudkannya “u bukan soal baru diluar negeri, cobalah perhatikan buku-buku mengenai seni lukis.” Katanya dia sekarang masih sabar untuk tidak menuntut orang yang menjual-belikan potret telanjangnya itu, kalau dia menuntut bukan ratusan, tetapi jutaan rupiah. Tetapi katanya lagi, dia pernah menulis dalam sebuah majalah bahwa dia tidak akan menuntut orang yang merugikan dia, jadi kalau dia sekarang menuntut , tidak sesuai lagi dengan tulisannya.

Dalam konferensi pers itu, Nurnaningsih menjawab terus terang semua pertanyaan wartawan. Katanya dia pernah ditawarkan bekerja untuk “Peristiwa di Danau Toba” bikinan Radial Film Company, Medan, tetapi dia menolak, karena honorariumnya tidak cukup. Dia minta Rp. 15.000 tetapi Radial Cuma berani Rp. 10,000. Padahal kalau film sudah siap, mereka menarik keuntungan tidak terbatas, katanya.

Diantara 9 buah filmnya, dia merasa paling senang main dalam film “Krisis” (Perfini, filmnya yang pertama) dan dia senang berlakon dengan Aedy Moward (Anak Medan sekarang) tetapi di dalam pergaulan Aedy Moward bukan temannya yang rapat.

Nazar Dollar yang selalu mengajak Nurnaningsih itu bermain dalam sandiwara di jakarta,  sekarang tidak disenangi oleh Nurnaningsih, karena menurut Nurna, Nazar Dollar itu pelit dengan rupiah. Dia merasa bahwa dia dikecewakan Dollar mengenai uang.

“Saya tukang cemburu,” kata Nurnaningsih yang duduk disamping suaminya, Basir Ibrahim, “Dan suami saya juga tahu itu. Saya tidak senang dia bicara manis saja pada wanita lain. Perasaan saya lantas tidak senang,”

Baginya “Kehidupan tanpa cinta adalah bukan hidup” dan cintanya yang pertama ialah Suroto. Seorang teman kecilnya yang sudah meninggal dunia, sebelum mereka menikah.

Waktu dia bermain dalam sandiwara “NURNANINGSIH GILA” di Jakarta, dia bermain sungguh-sungguh dan minta supaya bisa terus jadi gila, katanya. Tetapi syukur, belum jadi gila.

“Kadang-kadang” kata Nurnaningsih, dia ingin lekas mati saja. Karena bikin apa saya ini sebenarnya hidup, katanya.

Sesudah bercerita tentang “yogi” dan lain-lain Nurnaningsih memproklamirkan “Pantja-Tjita” yang diidam-idamkan, yaitu:
  1. Mau jadi Rembrand (putri) Indonesia
  2. Mau jadi Bethoven (putri) Indonesia
  3. Mau jadi penyanyi yang ulung
  4. Mau menjadi bintang film yang ulung
  5. Mau jadi pianiste yang ulung
Basir Ibrahim yang ketika Nurnaningsih yang “praatziek” itu bicara terus menerus selama 1 jam tetap diam saja, akhirnya sedia menjawab pers. Basir menerangkan, bahwa dia menikah dengan Nurnaningsih secara Islam. Karena dia mau menyelematkan Nurnaningsih dari jalan yang keliru. Mereka menikah dengan tidak ada syarat apa-apa. Tiap waktu mereka bisa bercerai, kalau diinginkan satu pihak.

Menurut sang suami, sang istri itu kurang ingatannya, kalau ditanya olehnya tentang “yogi” dan tentang “cinta” Nurnaningsih juga tidak tahu apa-apa.

Selama 1 minggu Nurnaningsih di Medan, tidak kekurangan perhatian, di luar soal apa yang menyebabkan orang lebih merasa tertarik padanya. 


 
 
REWEL1955

Actor
NODA TAK BERAMPUN 1970 TURINO DJUNAIDY
Actor
BERNAFAS DALAM LUMPUR 1970 TURINO DJUNAIDY
Actor
HARIMAU TJAMPA 1953 D. DJAJAKUSUMA
Actor
KEMBANG-KEMBANG PLASTIK 1977 WIM UMBOH
Actor
AKHIR SEBUAH IMPIAN 1973 TURINO DJUNAIDY
Actor
SERIBU JANJI KUMENANTI 1972 ISKAN LAHARDI
Actor
DERITA TIADA AKHIR 1971 IKSAN LAHARDI
Actor
DJAKARTA - HONGKONG - MACAO 1968 TURINO DJUNAIDY
Actor
KEBON BINATANG 1955 NJOO CHEONG SENG
Actor
KRISIS 1953 USMAR ISMAIL
Actor
PENDEKAR BAMBU KUNING 1971 PITRAJAYA BURNAMA
Actor
PATGULIPAT 1973 M. SHARIEFFUDIN A
Actor
MENCARI AYAH 1974 INDRA WIJAYA
Actor
COWOK KOMERSIL 1977 ARIZAL
Actor
NAPSU GILA 1973 ALI SHAHAB
Actor
MALAM JAHANAM 1971 PITRAJAYA BURNAMA
Actor
KLENTING KUNING 1954

Actor
LANTAI BERDARAH 1971 MOH YUNUS
Actor
ORANG-ORANG LIAR 1969 TURINO DJUNAIDY
Actor
INTAN BERDURI 1972 TURINO DJUNAIDY
Actor
BOBBY 1974 FRITZ G. SCHADT
Actor
MALAM SATU SURO 1988 SISWORO GAUTAMA PUTRA
Actor
SUSANA 1974 B.Z. KADARYONO
Actor
BENYAMIN SPION 025 1974 TJUT DJALIL
Actor
DJEMBATAN EMAS 1971 IKSAN LAHARDI
Actor
REMANG-REMANG JAKARTA 1981 LUKMANTORO DS
Actor
DENDAM BERDARAH 1970 LIE SOEN BOK
Actor