Menampilkan postingan yang diurutkan menurut relevansi untuk kueri ALI TOPAN. Urutkan menurut tanggal Tampilkan semua postingan
Menampilkan postingan yang diurutkan menurut relevansi untuk kueri ALI TOPAN. Urutkan menurut tanggal Tampilkan semua postingan

Sabtu, 26 Februari 2011

AMINAH CENDRAKASIH

AMINAH CENDRAKASIH



Bunda Aminah Cendrakasih juga merupakan aktor lho. Dia adalah Wolly Sutinah atau yang kerap disapa Mak Wok. Mak Wok merupakan artis tiga zaman yang meninggal dunia pada 1986. 
 
Mak Wok sendiri mencapai era keemasan pada tahun 1970an. Dia sering banget muncul di film-film yang dibintangi Adi Bing Slamet kecil.

Sementara ayah Aminah adalah pelawak bernama Husin Nagib. Karier Aminah dimulai pada tahun 1950an, saat itu dia mulai aktif di panggung sandiwara. Selain berakting, dia juga bernyanyi. Jadi, bisa dibilang kariernya itu terinspirasi dari sang ibu, dan darah seniman emang udah mengalir di tubuh Mak Nyak dari kedua orangtuanya.

Walaupun memulai kariernya di panggung teater, Aminah Cendrakasih juga tampil di layar kaca di dekade yang sama. Beberapa film yang dia bintangi di tahun itu adalah Rindu (1951), Sebatang Kara (1954), Anakku Sajang (1957), Konsepsi Ajah (1957), Pak Prawiro (1958), Tjambuk Api (1958), dan Asrama Dara (1958). Di dekade 1960an, Aminah sempat vakum dari dunia akting. Tapi mulai dekade 1970an, dia mulai lagi berlaga dan akhirnya makin tenar. Dia mulai membintangi film-film top, sebut aja seperti Benyamin Raja Lenong, Sinyo Adi, Gitar Tua Oma Irama, dan Betty Bencong Slebor. Kalau diperhatikan nih, di awal kariernya Aminah emang terlihat sering membintangi film-film drama. Tapi di tahun 70an, dia malah sering muncul di film komedi.

Sebagai seorang seniman, Aminah Cendrakasih ternyata gak cuma sibuk main film. Dia juga aktif di berbagai organisasi, sebut aja seperti Lembaga Kebudayaan Betawi. Di organisasi tersebut, dia menjabat sebagai Ketua I Divisi Kesenian. Selain organisasi tersebut, Aminah juga pernah menjabat sebagai Komisaris PT Jayanti Adhikara Sinema.

Pada tahun 1984 hingga 1990an, Aminah terlihat makin gencar muncul di layar kaca. Kali ini, dia mulai meramaikan sinetron-sinetron Tanah Air. Sinetron pertama yang dibintanginya adalah Rumah Masa Depan. Di tahun 1990an, apalagi kalau bukan Si Doel Anak Sekolahan yang diproduseri dan dibintangi sekaligus oleh Rano Karno. Di sinetron itulah Aminah mencapai puncak popularitas. Selama kurang lebih lima tahun, Si Doel yang bercerita tentang keluarga Betawi tampil sebagai sinetron terfavorit. Namun namanya juga karier di dunia hiburan, pasti kepopuleran bakal sirna seiring dengan berjalannya waktu. Hal itu pun dialami oleh seorang Aminah.

Tepat pada tahun 2007, Aminah Cendrakasih dikabarkan terjatuh di kamar mandi. Dengkulnya geser, dan tulang iganya mengalami keretakan. Nahasnya, saat itu dia sama sekali gak bisa bangun sampai akhirnya memanggil tukang urut. Aminah pun sempat pulih, namun akhirnya dia terjatuh buat yang kedua kalinya. Peristiwa itu terjadi ketika Aminah nekat ke kamar mandi sendirian, tanpa bantuan putrinya, Lala. Mulai dari situlah Aminah kesulitan buat jalan sendiri. Alhasil, keluarganya membawa Aminah ke pengobatan alternatif secara rutin.

Gak lama setelah peristiwa itu berlangsung, Aminah pun mengalami sakit di bagian mata. Awalnya dirinya menyangka bahwa itu adalah katarak, tapi ternyata ada pendarahan yang disebabkan karena dia sering menggunakan obat tetes mata. Setelah menjalani operasi, Aminah Cendrakasih maah mengalami kebutaan. Dia pun mengalami syok hingga syaraf-syaraf tubuhnya melemah. Kondisi kesehatannya makin memburuk. Sejak itulah Aminah gak lagi bisa bangun dari tidur. Duduk pun rasanya mual. Selama ini, Lala lah yang mengurus ibunda tercintanya buat makan, mandi, dan sebagainya. Terkadang Aminah juga sering merasa sedih ketika ditinggal pergi anaknya.Seperti itulah lika-liku perjalanan karier Aminah Cendrakasih dari awal terjun ke dunia hiburan, jadi tenar, hingga terbaring gak berdaya. Kisah Aminah Cendrakasih mirip seperti cerita Laila Sari. Bedanya, Laila ternyata tinggal di rumah yang memprihatinkan hingga meninggal dunia pada 2017. 


15 Oktober 1980.
PENAMPILANNYA di layar perak sebagai orang yang judes menurut pengakuannya sudah dimulai sejak pertama kali terjun ke dunia film. Tahun 1956 fil  “Gadis Tiga Zaman”, dia kebagian peran yang judes. Aminah Cendrakasih, 42 tahun, atau panggilan singkatnya Mimin, sebelum terjun ke dunia film lebih dulu dikenal sebagai seorang pemain  sandiwara. Semasa mudanya, sering main sandiwara di Gedung Kesenian Pasar Baru Jakarta.  Atas ajakan Usmar Ismail almarhum dan D. Djajakusuma (ketua LPKJ), Mimin akhirnya mengikuti kursus akting yaitu course acting di Salemba bersama Teguh karya. Ia ingin masuk ATNI tapi tidak memenuhi persyaratan dari segi pendidikan.

Berbicara mengenai kehidupan artis jaman dulu dan sekarang dia mengatakan bahwa artis sekarang ini sudah termasuk enak jika dibanding dengan jaman mereka dulu. “Artis sekarang baru pertama kali muncul  saja sudah langsung menerima honor jutaan rupiah. Kalau dulu, untuk transport ke tempat shooting saja, suah lumayan,” katanya.

Aminah judes! Aminah tak punya perasaan! Aminah galak benar! …. Dan segudang omelan dan cacian penonton ketika mengomentari penampilannya dalam film “INtan Berduri”. Preview film itu dihadiri banyak orang dan ia sendiri ada di tengah penonton. Bukan hanya itu, dalam film yang lain ia kena omelan orang. “Mungkin saya selalu membawakan peran judes-judes,” katanya di rumahnya di bilangan Kramat Sentiong Jakarta. Mimin, anak Wolly Sutinah atau mak Wok ini, justru merasa bahagia. Omelan itu dianggap sebagai pujian yang paling berharga. Menurut dia, hal itu adalah sebagai bukti dari keberhasilan peran yang dibawakannya.

“Saya heran loh. Apakah muka saya ini tampang orang judes, kok terus ebagian peran yang begitu. Padahal saya termasuk orang yang baik, loh  Coba saja tanya anak-anak saya, mereka tak pernah saya marahi,” katanya.

Usianya 42 tahun, dilahirkan di Magelang. Tapi raut wajahnya masih tetap halus, postur tubuh tak banyak berubah. Pembawaan lincah dan selalu banyak senyum, jika ia diajak bicara. Perkawinannya dengan Idris, kini dikaruniai 7 anak.

Kepada artis-artis muda, ia mengharapkan “Pintar-pintarlah mempergunakan uang. Kalau boleh, jauhkan dari pola hidup konsumtif. Mari kita belajar hidup sederhana.” Katanya.

Sekitar tahun 1960-an Aminah Cendrakasih adalah aktris yang amat sangat rupawan. Itu berarti bahwa sekarang ini Aminah tidak berupa lagi. Bukan, bukan. Aminah dengan putra-putrinya yang sudah tujuh orang ini masih memiliki rupa yang cantik. Ia adalah pemuncul yang tetap dalam serie cerita Teve Keluarga Pak Ies bersama Ishaq Iskandar yang kini menyutradarai ”Surat Undangan”, dan Heny, putri dramawan Mochtar Sum.

Lebih daripada itu, Aminah kini hampir selalu ada dan muncul pada setiap film-film nasional mutakhir. Memang, setelah menikah dengan Idris Permana Sidik, Aminah menghilang dari layar putih. Ibu dari tujuh putra-putri yang awet muda ini kini tengah ikut shooting dalam film Aladdin.

GOYANG DANGDUT1980A. HARRIS
Actor
BEGADANG KARENA PENASARAN 1980 LILIK SUDJIO
Actor
SATU CINTA 1000 DUSTA 1985 WILLY WILIANTO
Actor
SETULUS HATIMU 1975 ARIZAL
Actor
SEPASANG MERPATI 1979 CHAERUL UMAM
Actor
JANG DJATUH DIKAKI LELAKI 1971 NICO PELAMONIA
Actor
DARI MATA TURUN KE HATI 1979 JOPI BURNAMA
Actor
BERTJINTA DALAM GELAP 1971 CHITRA DEWI
Actor
BING SLAMET SIBUK 1973 HASMANAN
Actor
TUMBAL IBLIS 1981 B.Z. KADARYONO
Actor
MILIKKU 1979 MAMAN FIRMANSJAH
Actor
ANAKKU SAJANG 1957 LILIK SUDJIO
Actor
GAMBANG SEMARANG 1955 TAN SING HWAT
Actor
HABIS GELAP TERBITLAH TERANG 1959 HO AH LOKE
Actor
IBU DAN PUTRI 1955 HA VAN WU
Actor
IBU SEJATI 1973 FRITZ G. SCHADT
Actor
NIKMATNYA CINTA 1980 ARIZAL
Actor
SELANGIT MESRA 1977 TURINO DJUNAIDY
Actor
KOSONG-KOSONG TIGA BELAS 1974 DES ALWI
Actor
PETUALANG CINTA 1978 TURINO DJUNAIDY
Actor
RAJA JIN PENJAGA PINTU KERETA 1974 WAHAB ABDI
Actor
SECERAH SENYUM 1977 ARIZAL
Actor
PELARIAN 1973 FRANS TOTOK ARS
Actor
MALAM PENGANTIN 1975 LUKMAN HAKIM NAIN
Actor
ANAK YATIM 1973 FRITZ G. SCHADT
Actor
CINTAKU TERGADAI 1977 OSTIAN MOGALANA
Actor
PERSAINGAN ASMARA 1985 WILLY WILIANTO
Actor
PERSAINGAN REMAJA 1984 WILLY WILIANTO
Actor
BENDI KERAMAT 1988 A. HARRIS
Actor
KADARWATI 1983 SOPHAN SOPHIAAN
Actor
PUKULAN BERANTAI 1977 SYAMSUL FUAD
Actor
TJISDANE 1971 ASKUR ZAIN
Actor
TJALON DUTA 1955 REMPO URIP
Actor
TJAMBUK API 1958 D. DJAJAKUSUMA
Actor
ILUSIA 1971 S.A. KARIM
Actor
SYAHDU 1975 JOHN TJASMADI
Actor
BETTY BENCONG SLEBOR 1978 BENYAMIN S
Actor
JUARA CILIK 1980 YUSUF KALMAN
Actor
RANJANG TAK BERTUAN 1988 TEGUH WALUYO
Actor
PEMBALASAN RAMBU 1985 JOPI BURNAMA
Actor
MUSAFIR KELANA 1953 S. WALDY
Actor
BIARKAN BULAN ITU 1986 ARIFIN C. NOER
Actor
BIARKAN KAMI BERCINTA 1984 WIM UMBOH
Actor
OH, IBUKU 1955 ALI YUGO
Actor
TAKDIR 1973 FRITZ G. SCHADT
Actor
SAYANGILAH DAKU 1974 MOTINGGO BOESJE
Actor
HALLO SAYANG 1980 ADISOERYA ABDY
Actor
PENCURI 1984 PITRAJAYA BURNAMA
Actor
PENUNGGANG KUDA DARI TJIMANDE 1971 CHITRA DEWI
Actor
ATAS BOLEH BAWAH BOLEH 1986 TJUT DJALIL
Actor
MERINDUKAN KASIH SAYANG 1984 C.M. NAS
Actor
HANYA UNTUKMU 1976 ARIZAL
Actor
GITAR TUA OMAR IRAMA 1977 MAMAN FIRMANSJAH
Actor
RINDU 1973 IKSAN LAHARDI
Actor
SEBATANG KARA 1973 INDRA WIJAYA
Actor
JERITAN SI BUYUNG 1977 PITRAJAYA BURNAMA
Actor
RATAPAN SI MISKIN 1974 SANDY SUWARDI HASSAN
Actor
KONSEPSI AJAH 1957 RD ARIFFIEN
Actor
SORGA 1977 TURINO DJUNAIDY
Actor
PENGORBANAN 1982 MAMAN FIRMANSJAH
Actor
AKIBAT KANKER PAYUDARA 1987 FRANK RORIMPANDEY
Actor
MENYIBAK KABUT CINTA 1986 WILLY WILIANTO
Actor
COWOK MASA KINI 1978 KUSNO SUDJARWADI
Actor
KELUARGA SINTING 1975 SYAMSUL FUAD
Actor
ABIZARS 1980 A. HARRIS
Actor
TAMAN HARAPAN 1957 TAN SING HWAT
Actor
ALI TOPAN ANAK JALANAN 1977 ISHAQ ISKANDAR
Actor
PACAR 1974 TURINO DJUNAIDY
Actor
PENGANTIN REMAJA II 1982 SANDY SUWARDI HASSAN
Actor
BUNGA-BUNGA PERKAWINAN 1981 ISHAQ ISKANDAR
Actor
BAJINGAN TENGIK 1974 NAWI ISMAIL
Actor
HOSTESS ANITA 1971 MATNOOR TINDAON
Actor
KISAH CINTA 1976 JOHN TJASMADI
Actor
CINTA KASIH MAMA 1976 SISWORO GAUTAMA
Actor
CINTA KEMBAR 1984 LILIK SUDJIO
Actor
KEN AROK - KEN DEDES 1983 DJUN SAPTOHADI
Actor
SELIMUT CINTA 1977 DARTO JONED
Actor
GADIS SESAT 1955 L. INATA
Actor
AKU TAK BERDOSA 1972 S.A. KARIM
Actor
YANG MASIH DI BAWAH UMUR 1985 YAZMAN YAZID
Actor
PAK PRAWIRO 1958 D. DJAJAKUSUMA
Actor
KISAH FANNY TAN 1971 ANDJAR SUBIJANTO
Actor
INTAN BERDURI 1972 TURINO DJUNAIDY
Actor
GADIS TELEPON 1983 WILLY WILIANTO
Actor
KAU TERCIPTA UNTUKKU 1980 SUSILO SWD
Actor
DARA-DARA 1971 CHITRA DEWI
Actor
PEREMPUAN BERGAIRAH 1982 JOPI BURNAMA
Actor
TARI KEJANG 1985 IKSAN LAHARDI
Actor
ITU BISA DIATUR 1984 ARIZAL
Actor
SUSANA 1974 B.Z. KADARYONO
Actor
OMA IRAMA PENASARAN 1976 A. HARRIS
Actor
CEMBURU NIH YEE... 1986 ALI SHAHAB
Actor
ALADIN 1975 MATNOOR TINDAON
Actor
BENYAMIN RAJA LENONG 1975 SYAMSUL FUAD
Actor
JANGAN SAKITI HATINYA 1980 RACHMAT KARTOLO
Actor
TOMBOY 1981 DJUN SAPTOHADI
Actor
JUWITA 1979 LILIK SUDJIO
Actor
BUTET 1974 S.A. KARIM
Actor
SENYUMMU SENYUMKU 1984 SUSILO SWD
Actor
POKOKNYA BERES 1983 ARIZAL
Actor
JANGAN KAU TANGISI 1972 RATNO TIMOER
Actor
SERAMPANG 12 1956 JACOB HARAHAP
Actor
AIDS PHOBIA 1986 MATNOOR TINDAON
Actor
MACAN TERBANG 1977 INDRA WIJAYA
Actor
BENINGNYA HATI SEORANG GADIS 1980 FRANK RORIMPANDEY
Actor
SINYO ADI 1977 LILIK SUDJIO
Actor
MUTIARA DALAM LUMPUR 1972 WAHYU SIHOMBING
Actor
PENASARAN 1977 A. HARRIS
Actor
MASIH ADAKAH CINTA 1980 RACHMAT KARTOLO
Actor
MUSTIKA IBU 1976 WISJNU MOURADHY
Actor
SENYUM DAN TANGIS 1974 ARIZAL
Actor
ASRAMA DARA 1958 USMAR ISMAIL
Actor
KOMEDI LAWAK 88 1986 SYAMSUL FUAD
Actor
JINAK-JINAK MERPATI 1975 SOPHAN SOPHIAAN
Actor
LEBIH ASYIK SAMA KAMU 1989 ARIZAL
Actor
PENGORABANAN1974SUSILO SWD
Actor

Senin, 31 Januari 2011

AMI PRIJONO / AMI PRIYONO / 1970-1994

AMI PRIJONO

Banyak orang yang mengenalnya sebagai pemain film, penata artistik film yang juga sekolah film di Moskow (tidak tamat), hingga sedikit yang tahu kalau dia Sutradara film juga.


Nama :Lembu Amiluhur Priyawardhana Priyono

Lahir :Jakarta, 23 Oktober 1939

Wafat :16 Juni 2001

Pendidikan:Akademi Sinematografi, Moskwa jurusan Penata Tari

Prestasi : Meraih piala Citra dalam FFI 1974 Surabaya, sebagai Penata Seni terbaik melalui film Ambisi,
Meraih piala Citra FFI 1978 Ujungpandang, sebagai Sutradara Terbaik, Skenario Terbaik, Penata Artistik Terbaik dan Aktor Pendukung Terbaik melalui film Jakarta, Jakarta,
Merebut hadiah penyajian teknik”dan tema masa kini pada Festival Film Asia tahun 1978 di Sydney, Australia.


Sinetron :Bung Besar (1994),Salah asuhan (1994),Jendela Hati (1994),Erte Erwe (1995),Si Doel Anak Sekolahan II (1995-1996),Singgasana Brama Kumbara (1995),Pedang Keadilan (1996),Agency (1996),Rembulan Teriknya Matahari (1996-1997) 

Anak tunggal almarhum Prof. Priyono ini terjun ke dunia film tahun 1968, sebagai penata seni dalam film Jampang Mencari Naga Hitam. Sebagai penata seni dia pernah memperoleh penghargaan melalui film Ambisi, dalam Festival Fim Indonesia tahun 1974 di Surabaya.Kemahirannya sebagai penata seni pernah pula dia ajarkan di Akademi Teater Nasional, Jakarta dan Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta.Ami yang jangkung itu dikenal sebagai pemain. Ia muncul sebagai pemain pembantu, antara lain dalam film Tuan Tanah Kedawung”tahun 1970, Beranak Dalam Kubur” pada tahun 1972, Anjing-Anjing Geladak” ditahun 1972, Laki-Laki Pilihan”dan Mama tahun 1973. Pada tahun 1979, ia mendapat peran utama dalam film Bayang-Bayang Kelabu.”Film yang pertama disutradarai olehnya adalah Dewi tahun 1974, kemudian Karmila”di tahun 1975, yang mendapat banyak sambutan publik, lalu Kampus Biru”yang ia buat tahun 1976.Kerjasama dan pengertian antara sutradara dan produser, menurut Ami, merupakan syarat penting untuk keberhasilan sesuatu film. Dalam Film”Kenangan Desember”tahun 1976, “kerjasama dan pengertian itu tercapai sehingga saya memperoleh kebebasan kreatif untuk melaksanakan ide-ide saya”, “begitu kata Ami.Di Ujungpandang, pada FFI tahun 1978, filmnya Jakarta, Jakarta”yang ia sutradarai tahun 1977 menghasilkan 5 buah piala Citra, masing-masing untuk film terbaik, penyutradaraan terbaik, skenario terbaik yang ditulis bersama N. Riantiarno, penata artistik terbaik, yang didapat Judy Subroto dan aktor pendukung terbaik yang diperankan oleh Masito Sitorus.


Kemudian ia juga merebut hadiah penyajian teknik”dan tema masa kini pada Festival Film Asia tahun 1978 di Sydney, Australia.
 


Berawal dari Penata Artistik Film
30 Oktober 1976 


Karmila dan hiburan dengan "b"...

Ia memang tidak sampai selesai mempelajari ilmu penataan artistik (art  directing). Tapi jelas bukan itu soal yang jadi sumber kekecewaannya  sehingga ia terpaksa hijrah dari bidangnya. "Di sini penata artistik  hampir tidak ada artinya, cuma embel-embel"? kata Ami, 37 tahun 7 pekan  silam. Sejumlah film ia kerjakan sebagai penata artistik tapi di sana ia  tidak merasa berbuat apa-apa. "Produser kita belum menyadari hal itu,  hingga banyak kali film dibikin tanpa seorang penata artistik". Meski  mendapat porsi yang teramat kecil dengan bayaran yang amat murah, Ami  toh bekerja keras. Dan Festival Film Indonesia di Surabaya sepakat untuk  memilih pemuda kelahiran Jakarta ini sebagai penata seni terbaik untuk  festival itu lewat film A.M.B.I.S.I. 
 
Di dunia film Indonesia seorang  yang telah mendapat hadiah festival biasanya mendapat banyak kesempatan  kerja, tapi Ami ternyata dihindari oleh nasib baik demikian. "Saya  pikir-pikir, kalau begini terus, tidak bakalan saya bisa kerja kreatif",  keluh Ami yang kemudian juga sering mengisi kosongnya sebagai pemain  film. Ia ingin jadi sutradara saja. Ini memang bukan keinginan  berlebihan, sebab di Indonesia, mereka yang tak ketentuan pendidikan dan  pengalamannya saja tiba-tiba bisa jadi sutradara. "Selama jadi penata  artistik, saya juga memperhatikan teman-teman bikin film. Saya belajar  dari Asrul Sani, Sjuman Djaja, Wim Umboh, Niko dan Abbas Akup", begitu  Ami menjelaskan. Dan Ami Priyono bekas mahasiswa Sekolah Film  Moskow memang jadi sutradara. Filmnya yang pertama, Dewi, tidak beredar  di Jakarta. Ini lantaran ribut antara produser dan pemilik modal. 
 
Film  Karmila yang kini sedang menyedot sejumlah besar penonton, juga nyaris  tidak bisa ditonton. Meliwati proses rumit, menghabiskan waktu yang  cukup panjang, film itu akhirnya beredar juga. Dan produser Yudi Astono Cahaya langsung membikin kontrak dengan Ami. Kini Ami sibuk menyiapkan  film Kenangan Desember untuk PT Baskara Film. Sementara itu beberapa  produser lainnya dikabarkan sedang menanti kesempatan berikutnya untuk  mencoba tenaga sutradara baru ini. 
 
T: Tawaran yang banyak itu apakah anda akan terima semua?
J:  Saya menghadapi tawaran itu dengan sebuah prinsip. Saya hanya akan bisa  bikin 3 film dalam 2 tahun. Dengan begitu saya akan cukup waktu mengisi  diri supaya tidak kering, tidak kehabisan kreatifitas.
T: Adakah prinsip lain yang anda pegang dalam menghadapi para produser?
J:  Bagi saya honorarium adalah soal ke dua. Untuk bekerja, saya perlu  kondisi obyektif. Saya perlu cerita yang baik, pembiayaan yang luwes,  karyawan yang baik dan laboratorium harus Tokyo. Film-film yang  menghasilkan uang banyak semua dibuat dengan prinsip ini, coba anda  perhatikan.
T: Setelah mendapat kesempatan jadi sutradara, apakah ambisi anda selanjutnya? 
J:  Sederhana. Ingin berkomunikasi dengan penonton. Sebagian besar film  kita kurang berkomunikasi dengan penontonnya. Ini saya kira disebabkan  lantaran kebanyakan sutradara kita kurang memperhatikan keinginan  penontonnya. Saya tidak akan bikin film macam-macaum. saya cuma ingin  film ini bukan dengan "h besar. Kalau nanti saya cukup punya uang lebih,  saya akan coba bikin film-film ekspresi diri dengan biaya dari saku  saya sendiri. Sembari bersiap-siap memulai pembuatan film Kenangan  Desember. Ami juga masih harus merampungkan pembicaraan dengan PT Madu  Segara, produser film Karmila yang berhasil menarik banyak penonton itu. 
T: Apakah lanjutan Karmila itu dibikin lantaran film Karmila sekarang ini membawa untung besar? 
J:  (jawaban dari pihak Madu Segara) Untung besar terang tidak, sebab uang  yang tertanam juga besar (93 juta) dan uang itu lama terkatung-katung  lantaran ribut yang sampai ke pengadilan dulu itu. Pembuatan seri  berikut dilakukan lantaran permintaan banyak orang dan kalangan  perbioskopan. Investasi kita nanti tidak akan sebesar dulu, sebab  biasanya film serial macam itu akan kurang menghasilkan uang. 
J:  (jawaban Ami): Bagi saya film Karmila yang sudah beredar itu barulah  buka layar. Konflik-konflik hidup berkeluarga justru akan ditemukan pada  seri lanjutannya nanti. Para peminat film nasional sebentar lagi akan  menyaksikan karya terbaru Ami Priyono, Kampus Biru, yang diangkat dari  novel Ashadi Siregar.
T: Kabarrya penggarapan Kampus Biru tidak serapi Karmila. 
J:  Hal itu mungkin disebabkan oleh waktu kerja yang sempit. Pemotretan  Karmila menghabiskan waktu 45 hari, sedang Kampus Biru cuma 28 hari.  Bahan baku yang dipakai oleh Karmila juga lebih baik, juga studio. Dan  Kampus Biru dibuat ketika Karmila masih dalam sengketa, dan suasana itu  ada membawa pengaruh kurang baik pada diri saya.

Dekade  tahun 1970-an bisa disebut sebagai periode terbaik dalam proses  adaptasi novel menjadi film. Pada periode ini pula publik pecinta film  (remaja) begitu gandrung kepada film "Gita Cinta dari SMA" arahan  sutradara Arizal. Film yang diadaptasi dari novel dengan judul yang sama  karya Eddy D. Iskandar ini tak hanya sukses dari sisi jumlah penonton,  tetapi juga mampu mengangkat sosok Rano Karno (pemeran Galih) dan Yessi  Gusman (pemeran Ratna) sebagai idola remaja kala itu.

Sebelumnya,  di tahun 1977 Teguh Karya sukses mengangkat kisah novel Badai Pasti  Berlalu karya novelis wanita Marga T. ke layar lebar dengan judul yang  sama. Karya Marga T. lainnya yang diangkat ke layar lebar adalah Karmila  (1974). Film yang diberi judul sama dengan novel dan disutradarai oleh  Ami Prijono ini terbilang sukses. "Karmila" merupakan film kelima yang  berhasil menembus dan bertahan lama di bioskop kelas atas. Menurut data  Perfin, "Karmila" merupakan film terlaris kedua di Jakarta pada 1976  dengan jumlah penonton mencapai 213.036 orang.

Setelah  sukses membesut "Karmila", Ami Prijono meneruskan projek film adaptasi  lainnya. Masih dengan genre remaja, kali ini ia menggarap "Cintaku di  Kampus Biru" (1976), hasil adaptasi dari novel karya Ashadi Siregar.  "Cintaku di Kampus Biru" mampu melambungkan nama Roy Marten dan tercatat  sebagai film terlaris ketiga di Jakarta pada 1976 dengan jumlah  penonton 168.456 orang.

Tentu saja, di era  ini penonton tak boleh melupakan kiprah "Si Doel Anak Betawi" (1973)  arahan sutradara Sjuman Djaya. Film ini diangkat dari kisah novel karya  sastrawan Aman Datoek Madjoindo. Film bergenre anak-anak yang dibintangi  Rano Karno ini dinilai sukses, bukan saja dari segi pencapaian  penonton, tetapi juga pembentukan sosok Si Doel yang kelak menjadi  sebuah brand yang populer.
 

RORO MENDUT 1982 AMI PRIJONO
Director
GUNDALA PUTRA PETIR 1981 LILIK SUDJIO
Actor
DEWI 1974 AMI PRIJONO
Director
ROMI DAN JULI 1974 HASMANAN
Actor
DR. SITI PERTIWI KEMBALI KE DESA 1979 AMI PRIJONO
Director
OMBAKNYA LAUT MABUKNYA CINTA 1978 ABRAR SIREGAR
Actor
BUYANG-BUYANG KELABU 1979 AMI PRIJONO
Director
ASMARA 1992 ADISOERYA ABDY
Actor
RAMADHAN DAN RAMONA 1992 CHAERUL UMAM
Actor
YANG 1983 AMI PRIJONO
Director
KASUS 1978 ISHAQ ISKANDAR
Actor
BINTANG KEJORA 1986 CHAERUL UMAM
Actor
KARMILA 1975 AMI PRIJONO
Director
PENGANTIN 1990 WIM UMBOH
Actor
PENGANTIN REMAJA 1991 WIM UMBOH
Actor
SI BONGKOK 1972 LILIK SUDJIO
Actor
KIDUNG CINTA 1985 MATNOOR TINDAON
Actor
SELEMBUT WAJAH ANGGUN 1992 AGUS ELLYAS
Actor
JAKARTA JAKARTA 1977 AMI PRIJONO
Director
TUAN TANAH KEDAWUNG 1970 LILIK SUDJIO
Actor
BADUT-BADUT KOTA 1993 UCIK SUPRA
Actor
BAYANG-BAYANG KELABU 1979 FRANK RORIMPANDEY
Actor
OOM PASIKOM 1990 CHAERUL UMAM
Actor
LAKI-LAKI PILIHAN 1973 NICO PELAMONIA
Actor
KELUARGA MARKUM 1986 CHAERUL UMAM
Actor
BERANAK DALAM KUBUR 1971 AWALUDIN
Actor
ALI TOPAN DETEKTIF PARTIKELIR TURUN KE JALAN 1979 ABRAR SIREGAR
Actor
MAMA 1972 WIM UMBOH
Actor
UNTUKMU INDONESIAKU 1980 AMI PRIJONO
Director
UNTUKMU KUSERAHKAN SEGALANYA 1984 YAZMAN YAZID
Actor
ANJING-ANJING GELADAK 1972 NICO PELAMONIA
Actor
YANG MASIH DI BAWAH UMUR 1985 YAZMAN YAZID
Actor
JODOH BOLEH DIATUR 1988 AMI PRIJONO
Director
PERTUNANGAN 1985 AMI PRIJONO
Director
BONEKA DARI INDIANA 1990 NYA ABBAS AKUP
Actor
ITA SI ANAK PUNGUT 1973 FRANK RORIMPANDEY
Actor
KIPAS-KIPAS CARI ANGIN 1989 NYA ABBAS AKUP
Actor
CAS CIS CUS 1989 PUTU WIJAYA
Actor
SEJAK CINTA DICIPTAKAN 1990 ADISOERYA ABDY
Actor
HATI SELEMBUT SALJU 1981 ISHAQ ISKANDAR
Actor
REMANG-REMANG JAKARTA 1981 LUKMANTORO DS
Actor
OLGA DAN SEPATU RODA 1991 ACHIEL NASRUN
Actor
KENANGAN DESEMBER 1976 AMI PRIJONO
Director
RODA-RODA GILA 1978 DASRI YACOB
Actor
CHRISTINA 1977 I.M. CHANDRA ADI
Actor
BUKAN IMPIAN SEMUSIM 1981 AMI PRIJONO
Director
SESAL 1994 SOPHAN SOPHIAAN
Actor
KAMPUS BIRU 1976 AMI PRIJONO
Director

Minggu, 27 Februari 2011

BAMBANG IRAWAN 1955-1979

BAMBANG IRAWAN


 Lahir Jumat, 05 Pebruari 1932 di Kendal dan wafat Senin, 08 Oktober 1979 di Jakarta. Pendidikan: SMA dan ATNI. Bambang mulai melibatkan diri dalam dunia film pada 1955, sebagai pembantu penata suara dalam pembuatan film Manusia Sutji yang berlokasi di Bali. Tetapi karena waktu itu kekurangan pemain, maka sutradara Alam Surawidjaja sebagai sutradara tiba-tiba saja meminta Bambang untuk ikut main dalam film tersebut. Selain itu, sutradara USmar ISmail mengajak Bambang ikut membintangi film Tiga Dara (1956) bersama si 'tiga dara' Ternyata film ini termasuk salah satu film laris Indonesia pada tahun 1950-an. Dan sejak itu Bambang Irawan mulai dikenal sebagai pemain film. Tahun-tahun berikutnya ia hampir selalu membintangi film-film produksi Perfini, seperti Asrama Dara (1958), Tjambuk Api (1958) dan Pedjuang (1960). Setelah delapan tahun menekuni dunia film, pada 1963 ia (bersama Hardjo Muljo) mendirikan perusahaan film yang mereka beri nama PT Agora (Arena Gotongrojong Artis) Film. Dalam periode 1963-1975, perusahaan ini berhasil memproduksi 21 film, dimana Bambang menjadi pemeran utama, sekaligus produsernya. Bahkan 8 film di antaranya ia merangkap sebagai sutradara. Antara lain dalam film Mahkota (1967), Insan Kesepian (1971), dan Sopir Taksi (1973).

Sejak 1976, Agora Film tidak lagi memproduksi film. Setelah menderita sakit yang cukup lama, Bambang Irawan wafat pada 8 Oktober 1979. Dua putrinya, Dewi Irawan (unggulan dalam film Titian Serambut Dibelah Tujuh, FFI 1983) dan Ria Irawan (Pemenang Citra, FFI 1988, sebagai aktris Pembantu dalam film Selamat Tinggal Jeanette) mengikuti jejaknya. Belakangan, hanya Ria Irawan dan Ade Irawan (istri Bambang Irawan) yang masih tetap menekuni dunia film dan sinetron.

Penjaga Gawang yang Bercita-cita Jadi Sutradara
Bambang Irawan lahir di Kendal, Jawa Tengah, pada 5 Februari 1932. Keluarganya tidak berlatarbelakang seni, sehingga Bambang sangat jauh dari perfilman yang kemudian justru membesarkan namanya.

Saat masih tinggal di Semarang, ia sangat suka bermain bola. Bambang dikenal sebagai penjaga gawang paling andal di daerahnya. Namanya sebagai kiper terkenal di seantero kota, hingga ia sering dipanggil ke mana-mana untuk turut dalam perbagai pertandingan dengan sejumlah upah.

Meski demikian, ia tidak melanjutkan kariernya sebagai kiper. Menurut Bambang dalam sebuah wawancara dengan Sinar Harapan (15/7/1972), penghasilan pemain sepak bola di zaman itu tidak bisa memenuhi kebutuhan keluarga.

“Mungkin kalau diteruskan saya bisa seperti Judo Hadianto (salah satu kiper legendaris Indonesia tahun 1960-an),” ucapnya.

Keinginan untuk mencukupi kebutuhan keluarga membuat ia mencoba peruntungan dengan melamar menjadi kru film. Sekitar tahun 1954, Bambang bertugas membantu bagian penata suara.

Di saat yang sama, kerabat kerja pembuatan film yang diikutinya akan mengadakan perjalanan ke Bali untuk syuting film Manusia Sutji, yang berkisah tentang kehidupan gerilyawan selama perang revolusi. Perawakan Bambang yang tegap mendapat sorotan dari sutradara Alam Surawidjaja. Ia kemudian diajak mengisi peran figuran sebagai gerilyawan.

Setelah itu, sutradara Usmar Ismail yang dikenal kerap mengorbitkan pemain-pemain baru tertarik pada sosok Bambang. Ia pun teken kontrak dengan Perfini (Persatuan Film Nasional Indonesia) untuk periode lima tahun (1955-1960). Ia tercatat pernah menjadi lawan main Chitra Dewi, Aminah Cendrakasih, dan Indriati Iskak dalam film Tiga Dara (1956).

Dalam wawancara dengan Tempo (10/6/1978), ia mengaku banyak belajar dari Usmar Ismail. Setelah kontrak dengan Perfini usai, ia memutuskan tidak ingin hanya berhenti sebagai pemain film, tetapi juga harus bisa berproduksi sebagai produser dan sutradara.

“Saya belajar tentang film di Perfini dan saya selalu berangan-angan: kapan ya saya bisa bikin film kayak Usmar Ismail?” ujarnya.

Untung dari Film Seks
Periode 1960-an merupakan tahun-tahun yang sulit bagi perfilman tanah air. Sikap permusuhan orang-orang Kiri terhadap produk perfilman asing justru membuat produksi film Indonesia ikut kembang kempis.

Namun, kondisi itu seolah tidak berpengaruh terhadap Bambang. Ia dengan percaya diri mendirikan perusahaan film dengan nama Arena Gotong Royong Artis Film atau disingkat Agora Film.

Perusahaan film ini ia rintis pada 1963 bersama aktor Hardjo Muljo dan Pitrajaya Burnama. Agora Film menjadi motor produksi film-film Bambang sampai tahun 1975. Menurut laporan Pikiran Rakyat (9/10/1979), dari 100 film lebih yang ia ikuti sebagai pemain, 20 di antaranya merupakan produksi Agora.

Setelah lepas dari masa sulit, pemerintah memberlakukan kebijakan kredit film bagi produser Indonesia melalui dana SK 71. Program yang berlaku sejak tahun 1967 ini berhasil meningkatkan kuantitas film Indonesia. Pemerintah membiayai bidang produksi film menggunakan uang yang dihimpun dari pajak film impor. 

Bambang menjadi satu dari sekian produser film yang kecipratan dana pinjaman.

Uang pinjaman itu ia gunakan untuk memproduksi film yang berhasil membuat namanya kembali meledak di pasaran. Pada tahun 1970, untuk pertama kalinya ia menjajal produksi sekaligus bermain dalam film dengan unsur seks berjudul Hidup, Tjinta dan Air Mata.

Menurut data yang dihimpun Salim Said dalam Profil Dunia Film Indonesia (1982: hlm. 84), selang beberapa bulan setelah diedarkan, film pertama buatan Bambang itu ditonton tidak kurang dari 83 ribu orang di Jakarta.

“Tiga puluh hari setelah film ini beredar, kredit SK 71 sudah bisa lunas. Apa ini tidak hebat. Modal 15 juta bisa kembali 60 juta,” kata Bambang girang.

Keberhasilan itu membuat nyalinya untuk membuat film serupa semakin besar. Pada tahun berikutnya, secara berturut-turut ia memproduksi dua film yang banyak adegan seks berjudul Di Balik Pintu Dosa dan Insan Kesepian.

Kendati sukses di pasaran, kedua film tersebut--begitu juga dengan film sebelumnya--mendapat sorotan pers karena dianggap memperparah gejala seks dalam film Indonesia. Akibatnya, pada pertengahan 1971 Bambang terkena teguran Departemen Penerangan dan harus menghadap Badan Sensor Film.

Seniman film sohor seperti Asrul Sani merasa jengkel terhadap permainan unsur seks dalam film-film Bambang. 

Menurut Asrul, dari sekian produser dan sutradara film, Bambang paling suka mencari-cari alasan agar bisa menjejalkan unsur seks dalam filmnya.

“Unsur-unsur erotic memang sudah ada dalam kehidupan masyarakat, tetapi yang penting adegan-adegan erotic jangan ditempelkan dalam film, atau jangan dicari-cari seperti yang sering ada dalam film produksinya Bambang Irawan,” kata Asrul seperti dilansir majalah Ekspres (13/12/1971).

Bambang akhirnya tunduk pada gunting sensor. Sejak 1972, warna film produksi Agora menjadi lebih jinak. Agora mulai menjauhi unsur-unsur seks dan lebih banyak menjual kisah aksi dan adegan perkelahian. Salah satunya adalah aksi para jagoan di tengah kehidupan keras Kota Jakarta seperti dalam film Hanya Satu Djalan.

Menurut penuturan Bambang dalam surat tertanggal 13 April 1971 kepada Direktur Direktorat Film Departemen Penerangan, langkah ini diambil agar Agora dapat memenuhi tri-fungsi perfilman, yakni sebagai hiburan, pendidikan, dan penerangan.

“Kami tetap akan mengolah film ini tidak semata-mata mengeksploitir segi-segi sex dan sadisme, dan kami akan berusaha mendidik masyarakat dengan jalan film tersebut,” tulisnya.

Memilih Jadi Pemain Pajangan
Keberanian Bambang dalam meramu adegan seks boleh jadi terobosan di zaman itu. Sebagaimana pesannya kepada ketiga anaknya: “Apa kata sutradara harus dituruti, sekalipun harus melakukan adegan cium.” Baginya, perkara membuka busana hanya sebagian proses yang harus dilalui demi kesuksesan komersial sebuah film.

Di antara aktor Indonesia periode 1960-an dan 1970-an, Bambang tergolong unik. Ia berulang kali menolak disejajarkan dengan aktor-aktor terbaik dalam penobatan aktor-aktris terbaik yang diselenggarakan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) sejak tahun 1970.

“Andaikata yang keluar sebagai The Best Actor adalah saya, maka mau tak mau saya harus menuduh wartawan-wartawan film yang menjadi juri adalah wartawan goblok atau wartawan yang kena sogok,” ujarnya seperti dilansir Purnama (9/5/1971).

Bambang merasa dirinya hanya aktor pajangan. Menurutnya, ia lebih baik mencari uang ketimbang berusaha menjadi aktor terbaik. Pernyataannya itu membuat ia sering dijuluki aktor yang suka berbisnis.

“Meski harapan [menjadi aktor terbaik] ada, tapi rasanya tak mungkin. Sebab saya lebih memikirkan bagaimana film produksi saya bisa menjadi duit […] Saya adalah pemain film yang cuma jadi pajangan saja,” ungkapnya sebagaimana dilansir Purnama (13/6/1971).

Kegigihannya memperjuangkan kesejahteraan keluarga tidak berakhir seperti yang ia idamkan. Bisnis film keluarga Irawan kian merosot begitu memasuki pertengahan periode 1970-an. Penyakit lever yang diidapnya selalu menjadi penghalang dalam setiap langkah bisnis Agora. Selain itu, persaingan perfilman Indonesia yang kian keras membuat Agora Film tidak kuat bersaing.

Sejak 1976, Agora secara resmi berhenti berproduksi. Film terakhirnya merupakan film anak-anak berjudul Seribu Kenangan dan Fadjar Menjingsing yang dimainkan oleh istri dan tiga anaknya: Dewi Irawan, Adi Irawan, dan Ria Irawan. Dan pada 1978, Agora Film dinyatakan gulung tikar.

“Barangkali saya kualat dengan Hidup, Tjinta dan Air Mata,” katanya berseloroh.

 JALAN BAMBANG DAN MISBACH
04 November 1972

MINUS adegan seks yang menyolok serta banyolan Ratmi Bomber, film Bambang Irawan yang baru ini tidak lebih dari pengulangan tema produksi-produksinya terdahulu. Bambang Irawan yang pada setiap produksi Agora menjadi pemain utan dan sutradara merangkap produser, senantiasa menempatkan dirinya sebagai pahlawan, kali inipun, dalam film yang berjudul Hanya Satu Jalan, kesempatan macam itu tidak ia liwatkan. Tentu saja tidak ada peraturan yang melarang seorang produser, sutradara dan pemain sekaligus untuk membuat film di mana ia bebas menokohkan dirinya sebagai seorang jagoan atau bandit yang alim. Pemerasan. Kurang jelas, apakah Bambang (sebagai sutradara) dan Misbach Yusa Biran (sebagai penulis cerita dan skenario) sudah memperhitungkan faktor publik ketika merencanakan dan membuat film ini. Namun yang pasti hasil kerja Misbach dan Bambang cuma sampai pada tingkat penggambaran jagoan macam yang biasa dikhayalkan oleh anak-anak tanggung. Lebih dari itu, jalan cerita Hanya Satu Jalan ini sangat mengingatkan penonton pada film Hidup Cinta dan Air Mata, yang dulu dibuat oleh Bambang Irawan sendiri. 

Di sana dikisahkan Bambang sebagai bekas tahanan yang ingin melanjutkan hidupnya dengan cara damai dan tenang. Tapi bekas teman sebanditnya memaksa dia untuk melanjutkan hidup lama yang penuh dengan kekerasan, pemerasan dan darah. Melalui berbagai kekasaran itu -- baik terhadap dirinya maupun terhadap korban dan teman-temannya - Bambang akhirnya keluar dari dunia yang dibencinya. Jalan cerita seperti ini juga dengan jelas tertemukan dalam film baru yang segera beredar itu. Bedanya barangkali cuma sedikit: kali ini yang disebut sebagai penulis cerita dan skenario adalah Misbach Yusa Biran, dan Bambang keluar dari penjara tidak melalui pintu, melainkan liwat kawat berduri yang ia terobos. Adapun soal teknik pembeberan cerita, kalau tidak malah makin kabur, total jenderal sama saja. Rahasia Benny. Memang ada yang istimewa dalam filml ini: dua buah mobil sport dikorbankan dalam adegan kejar-kejaran antara para bandit dan Bambang. Tapi karena dasar dari soal kejar-kejaran itu kurang jelas - peranan hostes Leila -- maka kejar-kejaran itu dapat dinilai sehagai suatu pertunjukan tersendiri dengan biaya yang tidak murah. Kalau saja lebih diperlihatkan peranan Leila (dimainkan oleh pendatang baru Tina Djuhara) sebagai perempuan yang banyak tahu rahasia Benny (Aedy Moward), maka usaha Burhan (Marsito Sitorus) untuk memanfaatkan Bambang menggoda Leila barangkali akan lebih terasa artinya. Jangankan peranan Leila, soal pertentangan Burhan dan Benny saja tidak diperlihatkan dengan sepantasnya, sehingga peperangan yang seru antara kedua belah fihak kurang mempunyai alasan dan tekanan Burhan kepada Bambang untuk menggoda Leila menjadi kehilangan arti sama sekali. Keadaan ini menjadi lebih parah lagi oleh permainan Tina Juhara yang sungguh bagaikan orang bingung yang sama sekali tidak memperlihatkan kesan sebagai perempuan malam yang dipercayai oleh penjahat besar macam Benny. Kalau ada pemain yang harus disebut tidak dalam barisan yang menambah kegagalan film ini, barangkali cuma Masito Sitorus. Aedy Moward terlalu sedikit kebagian celuloid, sedang Sandy Suwardy entah untuk apa ia ikut lari dan tertembak.

DIAMBANG FADJAR 1964 PITRAJAYA BURNAMA
Actor
DARAH NELAJAN 1965 HASMANAN
Actor
MANUSIA SUTJI 1955 ALAM SURAWIDJAJA
Actor
INSAN KESEPIAN 1986 BAMBANG IRAWAN
Actor Director
SANTARA MENUMPAS PERDAGANGAN SEX 1977 USMAN EFFENDY
Actor
KARMA 1965 PITRAJAYA BURNAMA
Actor
LARUIK SANDJO 1960 USMAR ISMAIL
Actor
PEDJUANG 1960 USMAR ISMAIL
Actor
AJAM DEN LAPEH 1960 GATOT ISKANDAR
Actor
SELANGIT MESRA 1977 TURINO DJUNAIDY
Actor
DOSA DI ATAS DOSA 1973 ASKUR ZAIN
Director
TELESAN AIR MATA IBU 1974 IKSAN LAHARDI
Actor
BUNG KECIL 1978 SOPHAN SOPHIAAN
Actor
LAGU DAN BUKU 1961 TAN SING HWAT
Actor
TINGGAL BERSAMA 1977 BAY ISBAHI
Actor
ANAK PERAWAN DI SARANG PENJAMUN 1962 USMAR ISMAIL
Actor
TJINTA DIUDJUNG TAHUN 1965 HASMANAN
Actor
TJITA-TJITA AJAH 1959 WAHYU SIHOMBING
Actor
DELAPAN PENDJURU ANGIN 1957 USMAR ISMAIL
Actor
SOPIR TAKSI 1973 BAMBANG IRAWAN
Actor Director
TJAMBUK API 1958 D. DJAJAKUSUMA
Actor
TJATUT 1956 NAWI ISMAIL
Actor
AKULAH VIVIAN 1977 M. ENDRAATMADJA
Actor
LEMBAH HIDJAU 1963 HASMANAN
Actor
TUDJUH PAHLAWAN 1963 WISJNU MOURADHY
Actor
SERIBU KENANGAN 1975 SLAMET RIYADI
Actor
PEMBALASAN GUNA-GUNA ISTRI MUDA 1978 B.Z. KADARYONO
Actor
SI JANDA KEMBANG 1973 BAMBANG IRAWAN
Actor Director
BERMALAM DI SOLO 1962 HASMANAN
Actor
PENCOPET 1973 MATNOOR TINDAON
Actor
DIBALIK PINTU DOSA 1970 M. SHARIEFFUDIN A
Actor
SERBA SALAH 1959 L. INATA
Actor
HANYA UNTUKMU 1976 ARIZAL
Actor
HANYA SATU JALAN 1972 BAMBANG IRAWAN
Actor Director
GANASNYA NAFSU 1976 TURINO DJUNAIDY
Actor
RATAPAN SI MISKIN 1974 SANDY SUWARDI HASSAN
Actor
RATAPAN ANAK TIRI 1974 SANDY SUWARDI HASSAN
Actor
SEMUSIM LALU 1964 HASMANAN
Actor
DIBALIK AWAN 1963 FRED YOUNG
Actor
TUGAS BARU INSPEKTUR RACHMAN 1960 LILIK SUDJIO
Actor
PERCINTAAN 1973 PITRAJAYA BURNAMA
Actor
AKCE KALIMANTAN 1961 VLADIMIR SIS Drama Actor
COWOK MASA KINI 1978 KUSNO SUDJARWADI
Actor
COWOK KOMERSIL 1977 ARIZAL
Actor
ALI TOPAN DETEKTIF PARTIKELIR TURUN KE JALAN 1979 ABRAR SIREGAR
Actor
BUNGA PUTIH 1966 HASMANAN
Actor
GARA-GARA 1973 WISJNU MOURADHY
Actor
AKU HANJA BAYANGAN 1963 PITRAJAYA BURNAMA
Actor
SENGKETA 1957 USMAR ISMAIL
Actor
PAK PRAWIRO 1958 D. DJAJAKUSUMA
Actor
TIGA BURONAN 1957 NYA ABBAS AKUP
Actor
TIGA DARA 1956 USMAR ISMAIL
Actor
SEDETIK LAGI 1957 DJOKO LELONO
Actor
HIDUP, TJINTA DAN AIR MATA 1970 M. SHARIEFFUDIN A
Actor
BELAS KASIH 1973 BAMBANG IRAWAN
Actor Director
PEREMPUAN 1973 PITRAJAYA BURNAMA
Actor
TOHA, PAHLAWAN BANDUNG SELATAN 1961 USMAR ISMAIL
Actor
DUA PENDEKAR PEMBELAH LANGIT 1977 SISWORO GAUTAMA
Actor
MAHKOTA 1967 BAMBANG IRAWAN
Actor Director
DJUDJUR MUDJUR 1963 MANG TOPO
Actor
MUTIARA HITAM 1967 HASMANAN
Actor
GENERASI BARU 1963 AHMADI HAMID
Actor
MUSTIKA IBU 1976 WISJNU MOURADHY
Actor
SENYUM DAN TANGIS 1974 ARIZAL
Actor
ASRAMA DARA 1958 USMAR ISMAIL
Actor
MATAHARI PAGI 1968 BAMBANG IRAWAN
Actor Director
NINA 1960 BASUKI EFFENDI
Actor
PENGORABANAN 1974 SUSILO SWD
Actor
MASA TOPAN DAN BADAI 1963 D. DJAJAKUSUMA
Actor