Tampilkan postingan dengan label SLAMET RAHARDJO 1971-2004. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label SLAMET RAHARDJO 1971-2004. Tampilkan semua postingan

Selasa, 08 Februari 2011

KODRAT / PREDESTINATION / 1986

KODRAT

 
Film ini menceritakan tentang Kodrat (Slamet Rahardjo) merasa kehilangan sahabat setelah Solikhin (Piet Pagau) sahabatnya mati tertembak polisi. Mereka berasal dari kaum miskin dan besar bersama di asrama yatim piatu. Inilah yang menyebabkan mereka selalu menyumbangkan uang hasil jerih payah mereka pada asrama mereka. Karena hal ini Kodrat ingin membalas dendam, tetapi justru diperintah oleh bosnya untuk mengakhiri pacar Solikhin. Ia tak rela dan akhirnya menyerahkan pacar temannya Susy (Anna Tairas) pada polisi, kemudian setelah itu pergi ke asrama menyerahkan seluruh kekayaannya. Bapak pengurus asrama, Mustakim (Darussalam) lalu membuka kedok Kodrat. Selain itu ia juga memberitahu bahwa yang menembak Solihin adalah Sofyan (Bambang Sulistomo), alumnus asrama itu juga. Maka klimaks berdarah tak terhindarkan. Mustakim yang mencoba melerai mereka justru akhirnya menjadi korban.
 P.T. MULTI PERMAI FILM

DARUSSALAM
ANNA TAIRAS
SLAMET RAHARDJO
BAMBANG SULISTOMO
IDA IASHA
FRANS TUMBUAN
PIET PAGAU
DJOKO WIKARNO
AGUS SIRHAN

PONIRAH TERPIDANA / 1983



Ponirah dianggap sebagai anak pembawa sial, karena ibunya meninggal ketika melahirkannya. Kemudian kakaknya, Permadi, juga tewas tertabrak truk ketika memboncengkan Ponirah sewaktu kecil, dengan sepeda. Nyaris Ponirah ditikam dengan keris oleh ayahnya, Jabarudi (Bambang Hermanto) yang kalap. Trindil (Christine Hakim), pelayan yang setia membawa lari meninggalkan rumah. Sejak saat itu Trindil mengasuh Ponirah sebagai anak sendiri. Trindil sempat menjadi penari ronggeng, bahkan menjual tubuhnya dengan menghuni komplek pelacuran di daerah Yogyakarta, demi menghidupi Ponirah. Saat Ponirah dewasa (Nani Vidia) dan duduk di bangku SLA, guru baru Guritno (Slamet Rahardjo) sangat memperhatikannya. Ponirah merasa dimata-matai oleh Guritno yang sebenarnya adalah pamannya sendiri, yang mendapat tugas dari mendiang Jabarudi untuk mencari Ponirah. Merasa terus diamati oleh Guritno, Ponirah meninggalkan Trindil untuk mengikuti pemuda Jarkasi (Ray Sahetapy) ke Jakarta. Trindil putus asa lalu nekad gantung diri. Jarkasi sebenarnya bukan pemuda baik-baik, ia hanya calo pencari wanita muda ke daerah untuk dijadikan wanita penghibur di ibu kota. Tetapi Jarkasi ternyata jatuh cinta pada Ponirah. Sebaliknya, Ponirah menyatakan tekadnya untuk menjadi wanita penghibur termahal. Jarkasi tak berdaya menghadapi tekad Ponirah. Sang boss, Frangky Darling (Teguh Karya), tetap ingin menjemput Ponirah. Sementara itu Guritno terus mencari dan sempat bertemu Jarkasi. Saat Guritno mendahului menyerbu masuk ke dalam rumah, malah menjadi korban tikaman gunting Ponirah, yang sebenarnya berniat membunuh Franky. Jarkasi mengaku dialah yang membunuh Gurtino. Penyelidikan polisi akhirnya membongkar apa yang sebenarnya terjadi. Ponirah terpidana, dengan membawa bekal cinta murni Jarkasi.
 P.T. SUKMA PUTRA FILM

BAMBANG HERMANTO
CHRISTINE HAKIM
NANI VIDIA
RAY SAHETAPY
SLAMET RAHARDJO
MOORTRI PURNOMO
SITORESMI PRABUNINGRAT
HERU SUTOPO
AGUS T. SUDIBYO
TEGUH KARYA
N. RIANTIARNO
CLARA SINTA


 
03 Maret 1984
Sebuah laporan tentang ponirah
PONIRAH TERPIDANA 
Peran Utama: Nani Vidia, Christine Hakim, Ray Sahetapi, Slamet Rahardjo Produksi: Sukma Putra Film Skenario Sutradara: Slamet Rahardjo "SIAPA namamu ?" tanya polisi. "Trindil," jawab Christine Hakim. "Sudah berapa lama kamu keluyuran malam-malam ? " "Enam bulan." "Ini anakmu?" "Ya." "Namanya?" tanya polisi lebih lanjut. Baru dalam dialog antara polisi dan para pelacur jalanan yang dirazia itulah nama Ponirah lahir. Anak yang selalu dibawa Trindil ke mana pergi itu sejak lahir tidak diberi nama oleh ayahnya. Sebab, Jabarudi (Bambang Hermanto), sang ayah, menyimpan dendam. Kelahiran si jabang bayi meminta nyawa ibu kandungnya. Dan, hari demi hari ketika bayi itu tumbuh jadi anak kecil yang lucu, wajahnya membuat sang ayah selalu teringat Sukesi, istrinya, dan itu membuatnya gampang naik pitam. Ketika sang ayah mulai kesepian, dan membawa pelacur ke kamarnya, sering kali si anak tiba-tiba membuka pintu dan muncul menatap bapaknya.

Ini membuat Jabarudi kehilangan gairah, dan tanpa daya, meski di pelukannya pelacur cantik siap melayaninya. Klimaksnya, ketika si anak dibonceng sepeda oleh Permadi, kakaknya, anak sulung Jabarudi, "kebetulan" - begitu kata Slamet Rahardjo si penyusun cerita - sepeda itu ditabrak mobil. Anak itu terkapar tapi sehat-sehat saja, sementara kakaknya telungkup bermandi darah dan tak bernyawa lagi. Maka, dalam upacara penguburan, kemurkaan Jabarudi tak tertahan lagi. Keris pusaka dihunus, anak itu dikejarnya. Untung, Trindil, pembantu setia rumah tangga bangsawan Solo itu sigap.

Anak itu dilarikannya. Dan Jabarudi, yang dipegangi oleh para pelayat, mengutuk dan mengusir mereka berdua.

Sejak itu, Trindil bulat hatinya dan menyatakan "kamu sekarang jadi anakku, Den Ajeng." Tapi anak itu tetap belum punya nama. Baru di kantor polisi itulah, terpaksa Trindil, yang jadi pelacur jalanan, mengarang nama: Ponirah. Dan mulai dari adegan itu, setelah sekitar 20 menit film Slamet yang ketiga ini berputar, tokoh cerita mulai hadir. Dan langsung saja Ponirah remaja muncul sebagai siswa sebuah SMA Muhammadiyah. 

Ia tinggal bersama ibunya di kompleks pelacuran. Sebenarnya, baru dari sinilah film terasa dimulai. Terusir dari rumah, tiada bapak dan ibu tak bisa melupakan Permadi yang bermandi darah di hadapannya, dibesarkan oleh pembantu rumah tangga yang mencari nafkah sebagai pelacur adalah modal yang sangat bisa mendukung sebuah film drama. Atau, sebuah film psikologis, yang menampilkan liku-liku perkembangan jiwa Ponirah.

Tapi, bagi Slamet Rahardjo, 35, kedua-duanya tidak. Ia tak ingin mendramatisasikan ataupun menampilkan potret jiwa Ponirah. Ia seperti lebih suka menyuguhkan sebuah laporan riwayat hidup. "Saya hanya ingin berhanyut-hanyut," kata Slamet. Maka, boleh dikata film ini tak menyuguhkan ketegangan. Ketika kompleks pelacuran geger karena Trindil kedapatan mati gantung diri, adegan itu terasa bagai berita di surat kabar yang tak lengkap. Memang, kepergian Ponirah ke Jakarta dibawa Jarkasi (Ray Sahetapi), pemuda kaki tangan sindikat pelacuran, merupakan pukulan tuntas buat Trindil. Sebab, ia tahu siapa Jarkasi, dan jalan hidup yang bagaimana yang bakal dijalani Ponirah.

Tapi proses pertarungan batin Trindil tak terlukiskan dalam gambar-gambar di layar putih.

Yang ada hanya suara batin Trindil, tapi tak begitu meyakinkan, yang menyatakan semangat hidupnya telah padam. Ponirah adalah jiwaraganya. Juga, perubahan watak Ponirah sesampainya di Jakarta, seperti tanpa proses. Tiba-tiba saja, cewek yang besar di kompleks pelacuran ini, yang tampak polos dan bersahaja dan selalu menghindar dari lelaki di Jakarta menjadi sangat pintar. Ia bahkan bisa menguasai Jarkasi yang memang berubah: ia jadi jatuh cinta betul-betul kepada Ponirah. Maka, Jarkasi jadi bingung, ketika dengan harga setumpuk puluhan ribu, bos Jarkasi ingin memerawani Ponirah.

Slamet Rahardjo tak ingin bcrbelit-belit. Diketemukanlah Jarkasi dengan Guritno, paman Ponirah yang atas pesan Jabarudi selalu membuntuti ke mana Ponirah melangkah (ketika di SMA Muhammadiyah, Guritno jadi guru di situ). Tapi inilah rupanya akhir riwayat Guritno (yang diperankan oleh Slamet sendiri). Ia yang mendahului masuk kamar Ponirah, tapi langsung ditusuk gunting oleh keponakannya yang sudah lama bersiap membela diri. Tak ada air mata, tak ada jeritan histeris, tak ada dialog menggebu-gebu - film ini sepenuhnya berputar dengan datar. Nyaris seperti film dokumenter? Juga tidak. Kamera yang mengambil adegan hampir selalu berjarak medium, menampilkan gambar-gambar torso yang menyempitkan cakupan suasana ruang, melenyapkan identifikasi tempat tertentu. 

Dan celakanya, gambar-gambar semacam itu cepat melelahkan mata. Pun, bau mistik yang tersebar samar-samar di seluruh cerita, tak juga ditonjolkan ke luar.

Arloji Jabarudi yang jatuh di stasiun, misalnya, mengisyaratkan kematian istrinya. Gunting penolak bala yang digunakan Trindil mengusir pengaruh jahat pada Ponirah sewaktu bayi, kemudian menjadi alat pembunuh di tangan Ponirah dewasa. Lalu, Ponirah yang membawa bencana bagi orang-orang terdekatnya (ibu, lalu kakaknya, dan kemudian pamannya). Walhasil, film berputar selama sekitar 105 menit, sebenarnya terasa tanpa fokus. Ponirah, yang menjadi tokoh utama, tak lebih menonjol daripada yang lain-lain. Entah sutradara menghendaki demikian, entah Nani Vidia, pendatang baru itu, memang kurang mampu tampil. Boleh jadi pula ini satu eksperimen Slamet - setelah membuat Rembulan dan Matahari, dan Seputih Hatinya, Semerah Bibirnya. Tapi bagaimanapun karya Slamet ini sebuah napas yang lain dalam dunia perfilman kita. Bambang Bujono

LANGITKU RUMAHKU / MY SKY MY HOME / 1989

LANGITKU RUMAHKU

Judul cerita aslinya: "Dua Karcis Gratis". Film ini dihebohkan dalam peredaran, karena tidak mendapat perlakuan wajar. Masalahnya sampai ke pengadilan.

Kisah persahabatan Andri (Banyubiru), anak orang kaya, dengan Gempol (Soenaryo), anak gembel penjual kertas bekas. Disiplin, kungkungan, dan kesepian (ayah dan kakak sibuk, sedang ibu sudah meninggal) pada rumah keluarga kaya yang membuat Andri iri pada Gempol, yang seolah bebas dan tanpa aturan. Persahabatan tumbuh ketika Gempol yang ingin bersekolah mengintip-intip dan disangka pencuri. Ketika Gempol terpisah dari keluarganya karena tempat tinggalnya kena penggusuran, Andri dan Gempol nekat pergi ke Surabaya untuk mencari nenek Gempol. Keluarga Andri menjadi panik dan sibuk mencari.
News29 Desember 1990


Kasus film "langitku rumahku": membutuhkan iklim yang sehat

Selamat untuk film Langitku Rumahku, atas keberhasilannya di Nates. Adalah suatu kebanggaan nasional bila film kita berhasil menunjukkan gigi di festival yang berskala internasional. Hal itu tentu tidak lepas dari kerja sama yang baik antara insan perfilman Indonesia dan lembaga terkait. Ironisnya, kenyataan tidaklah demikian. Lembaga -- yang seharusnya ikut menunjang terbentuknya film-film bermutu, menciptakan iklim yang sehat terhadap perfilman nasional, dan membuat film Indonesia menjadi tuan rumah di negara sendiri justru berbuat sebaliknya, dengan membatasi peredaran film Langitku Rumahku atas dasar kurangnya penonton film tersebut. Kalau hal ini terus berlanjut, produser mana yang berani ambil risiko? Dapatlah dibayangkan, akan bertambah suburnya film-film murahan, mengeksploatasi seks dan kekerasan. 
 
Dan bukan tidak mungkin, untuk masa yang akan datang, tidak ada lagi film-film Indonesia yang bisa berlaga di pentas internasional, yang bisa mengharumkan nama Indonesia. Sebetulnya, yang diharapkan oleh insan perfilman kita -- lebih dari penghargaan itu -- adalah iklim yang sehat, serta dukungan dari berbagai pihak untuk dapat berkarya agar tercipta yang terbaik bagi bangsa ini. Ini perlu kita sodorkan pada masyarakat kita yang sedang dalam tahap belajar dalam segala hal. Semoga semangat orang-orang seperti Bung Eros Djarot dan Slamet Rahardjo tidak padam karena hambatan ini. Saya yakin, masih banyak orang-orang yang berada di belakang Anda. DIDI DARSONO Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Surabaya
P.T. EKAPRAYA FILM

SOENARYO
BANYUBIRU
PITRAJAYA BURNAMA
YATI SUNARJO
ANDRI SENTANU
M. RIENALDO THAMRIN
ZAINUDDIN IDRIS
MOCH LANDING
WIJONO SOEWARDJO
ZUBAIDAH
SOEPARMI
NY SOETJIPTO
 

01 Desember 1990
Langitku, di manakah rumahnya ?
INI tragedi, memang. Langitku Rumahku, film yang menggondol dua Piala Citra dan Piala Kartini pada FFI 1990, tak punya "rumah" di Jakarta. Sementara orang berkaok-kaok tentang kurangnya film nasional yang mendidik, film ini hanya diberi hak putar sehari di bioskop kelas utama di Jakarta. Eros Djarot, Direktur Produksi Ekapraya Film yang juga produser film ini, menerima pemberitahuan lewat telepon pukul 10 malam, Jumat dua pekan lalu. "Pak, ini filmnya mau ditaruh di mana? Mau diturunin, nih," kata si penelepon seperti ditirukan Eros. Ketika Eros bertanya siapa yang menyuruh film itu diturunkan, si penelepon menjawab, "Disuruh Perfin." Eros tak habis pikir, bagaimana Perfin sampai mengambil keputusan pada malam seperti itu, padahal kantor Perfin sudah tutup sore harinya. Jadi, "Buat saya, kok, seperti sudah direncanakan," ujar Eros kemudian. Langitku akhirnya cuma main Jumat itu saja di sebelas gedung bioskop kelompok 21. Sabtu esoknya sebagian cineplex itu memutar film Taksi -- film terbaik FFI 1990 -- sebagian lagi film asing. Esoknya lagi dan seterusnya, sepenuhnya film asing yang diputar menggantikan Langitku. Alasan Perfin (Peredaran Film Indonesia) menurunkan Langitku adalah jumlah penontonnya di bawah batas angka minimal (take over figure -- TOF). Menurut siaran pers Perfin, film ini hanya ditonton 881 orang di 11 bioskop dengan masing-masing empat kali pertunjukan. Jadi, rata-rata setiap gedung dihadiri 20 orang setiap pertunjukan. Menurut Direktur Utama PT Perfin Yusack Susanto, TOF disesuaikan dengan kapasitas bioskop itu. Sebelas gedung yang memutar Langitku masuk kategori 251 s/d 500 kursi, dan batas TOF-nya adalah 125 penonton untuk tiga kali pertunjukan pada hari pertama. Eros memang tak bisa berkutik dengan angka TOF, apalagi ia tak menaruh orang-orangnya di gedung yang memutar Langitku -- sebagaimana yang dulu ia lakukan ketika memasarkan Tjoet Nya' Dhien. "Pengambilan keputusan sepihak ini melulu didasari pertimbangan ekonomis semata, yang diberlakukan hanya terhadap film nasional di negerinya sendiri. Ini menghina film Indonesia dan menghina hak anak-anak untuk menonton film kultural edukatif," kata Eros berapi-api. Apalagi hari Jumat bukanlah "hari baik" untuk membawa anak-anak ke gedung bioskop. Sebagai bukti, banyak orangtua yang membawa anak-anaknya kecewa di Studio 21 dan Kartika Chandra, pada hari Sabtu dan Minggu. 


Langitku sudah tak ada, sementara iklan (Acara Bioskop) yang dimuat Kompas 17 November masih menyebutkan film itu main di sana. Dan yang penting, menurut Eros, penurunan filmnya itu bertentangan dengan surat keputusan bersama tiga menteri (Penerangan, P & K, dan Dalam Negeri) tentang "Wajib Edar dan Wajib Putar Film Nasional Serta Penertiban Reklame Film". Dalam SKB itu disebutkan, gedung bioskop berkewajiban memutar film nasional dengan hari pertunjukan minimal dua hari. "Mereka lupa kita hidup di negara hukum," ujar Eros. "Tidak mungkin kita tidak mempertanyakan pelanggaran ini, soalnya ini menyangkut kewibawaan peraturan itu sendiri," kata Slamet Rahardjo, sutradara film ini, lewat telepon internasional. Slamet tengah berada di Prancis membawa Langitku ke Festival Tiga Benua di Nantes. Slamet bersama Eros berniat memperkarakan masalah ini ke meja hijau. Apa kata pemilik bioskop? Jimmy Harianto, General Manager 21 Group -- yang punya 100 layar di 23 cineplex di Jakarta atau 310 layar di 70 gedung di Indonesia -- mengaku tahu isi SKB tiga menteri itu. "Tapi bagaimana lagi, kita harus bayar listrik, bayar pegawai," ujar Jimmy. "Jadi, kalau hari pertama katakanlah nol penonton, ya, bioskop teriak, dong," katanya. Johan Tjasmadi, Sekretaris Umum Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia, menambahkan, "Kalau ada film yang di hari pertamanya tidak ada kekuatan, ya tak ada gunanya dong diteruskan," kata Johan, yang juga Ketua Panitia Tetap FFI ini. Namun, baik Jimmy maupun Johan menyebutkan, hak menurunkan film nasional yang tengah diputar adalah wewenang Perfin. Dan Yusack tetap bertahan bahwa film itu layak diturunkan. "Kalau diteruskan akan memberikan publikasi jelek bagi pemutaran di daerah," katanya. Ia mengaku tak akan lari bila pihak Ekapraya Film memperkarakan kasus ini ke pengadilan. Masalahnya sekarang, bagaimana dengan niat pemerintah yang kabarnya membantu memasarkan film-film nasional yang bermutu. Niat seperti ini juga diucapkan Johan Tjasmadi selaku Ketua Umum Pantap FFI. "Memang kami tetap utamakan film pemenang Citra," kata Johan. Cuma saja, memberi prioritas itu artinya kalau dia pemenang FFI, lalu tanggal peredarannya sudah telanjur diisi film lain, ya, kita prioritaskan pemenang FFI itu. "Tapi tak berarti prioritas itu adalah tak ada penonton lalu kita teruskan," kata Johan lagi. Pada akhirnya memang kepentingan bisnis yang bicara. Film-film asing sama sekali tak diatur peredarannya -- tak ada jadwal maupun batas minimal penonton -- karena pemiliknya menguasai gedung. Maka, pendapat artis Christine Hakim, yang dilontarkan dalam sebuah diskusi di Surabaya, layak disimak. Ia merasa, turunnya Langitku membuktikan kepentingan bisnis di atas kepentingan apresiasi masyarakat pada film-film bagus. "Saya heran, film ini menurut saya paling Pancasilais dibanding film yang lain, kok hanya berusia sehari," ujarnya dengan semangat Tjoet Nya Dhien. Ini tragedi, pada saat film Indonesia jenis kacangan, entah itu komedi atau legenda, meracuni masyarakat, dan posternya bertebaran di berbagai cineplex. Bunga S., Leila S. Chudori, dan Sri Indrayati


24 November 1990
Kritik sosial lewat anak-anak


LANGITKU, RUMAHKU Pemain: Banyu Biru, Sunaryo, Pitradjaja Burnama Skenario dan Sutradara: Slamet Rahardjo Djarot Produksi: Ekapraya Film, 1990 DI bawah bayangan patung Diponegoro, kedua sahabat itu berbincang dengan asyik. Andri, anak kelas IV SD, mendongak melihat patung. Sedangkan Gempol, pemulung kecil yang dekil, mengecap nikmat hotdog pemberian Andri. "Kamu tahu di atas kita patung siapa?" "Pangeran Mataram yang marah karena tanah moyangnya diganggu Belanda," jawab Gempol, yang sempat mengecap bangku sekolah hingga kelas V SD. "Memangnya, tanah nenek moyang diapain?" "Ya, gitu, Belanda mentang-mentang kuasa, seenaknya saja dia gusur tanah orang." Adegan ini terasa sebagai sebuah sindiran. Dan kita tahu bahwa sindiran itu adalah khas Slamet Rahardjo, sang sutradara dan penulis skenario Langitku, Rumahku ini. Kali ini, tokoh Slamet adalah anak-anak yang pintar dan lugu, Andri (dimainkan Banyu Biru dan memperoleh Piala Kartini sebagai pemeran anak-anak terbaik FFI 1990) dan Gempol (diperankan dengan baik juga oleh Sunaryo). Kedua anak ini bertemu ketika, suatu hari, Gempol disangka akan mencuri di sekolah Andri. 


Nyatanya, Gempol hanyalah seorang pemulung. Andri membantu Gempol dengan cara meraup semua koran bekas di rumahnya, termasuk majalah mode kakaknya, untuk dihibahkan kepada Gempol. Persahabatan berkembang terutama karena Andri adalah anak yang kurang perhatian di rumahnya. Ibunya sudah lama meninggal, bapaknya sibuk dengan perusahaannya, dan kakaknya pusing dengan urusan sekolahnya. Justru pak sopir (dimainkan Pitradjaya Burnama) yang setia mengantar Andri ke mana-mana. Karena itu, kehadiran Gempol -- seorang kawan bermain yang jujur, polos tapi cerdas -- membuat kehidupan Andri lebih menyenangkan. Persahabatan mereka begitu erat, hingga ketika terjadi pembersihan rumah kumuh dan orangtua Gempol digusur, hati Andri ikut terganggu. Adegan-adegan selanjutnya seperti sengaja dibikin full-action, biar seru untuk anak-anak. Kedua anak ini kabur ke Jawa Timur untuk mencari nenek si Gempol. Mereka mengalami banyak hal: dari kegarongan uang, bekerja sebagai pencuci piring, hingga menjadi tukang parkir. Akhirnya mereka harus kembali ke Jakarta meski tak berhasil menemui nenek Gempol -- karena foto Andri "si anak hilang" terpampang di koran-koran. Diakhiri dengan adegan perpisahan kedua sahabat, Slamet berhasil membuat film ini sebagai karya yang menyentuh, tapi tak cengeng. Ingat, di tahun 1970-an, anak-anak Indonesia sempat dijejali film yang penuh dengan ratapan dan tangisan dengan mengeksploitasi kekejaman ibu tiri. Meski serial film ini sempat mencuatkan bintang cilik macam Dewi Rosaria Indah dan Faradilla Sandy, film-film itu tidak menyajikan apa pun selain duit dan kebodohan. Setelah itu, produser keranjingan film remaja dan disambung film banyolan. Dan film anak-anak menjadi "anak tiri". 

Dilihat dari sudut ini, bersama film Tragedi Bintaro, Si Badung, serta Nyoman dan Presiden, Langitku patut dipandang sebagai ikhtiar yang baik. Apalagi Slamet juga bertujuan agar anak-anak Indonesia memasuki alam pemahaman, bukannya sekadar hafal-menghafal. "Melalui persahabatan, seorang anak seperti Andri bisa memahami latar belakang sahabatnya, Gempol, dan sebaliknya. Sedangkan kisah ibu tiri yang jahat adalah sebuah tradisi yang tak jelas juntrungannya. Dan, malangnya, tradisi ini dipaksa untuk dihafalkan pada anak-anak," kata Slamet, ayah dua anak. Bahwa tokoh Andri dan Gempol kelihatan pinter banget -- dengan melontarkan pertanyaan-pertanyaan kritis -- hal itu bukanlah sesuatu yang mustahil. Mereka adalah anak-anak yang cerdas dan kritis. Jadi, wajar saja jika di suatu malam Andri menggeletak bersama Gempol seraya berkata, "Aku nggak ngira aku musti tidur pakai alas koran, rupanya koran bukan cuma buat dibaca, ya?" Dan masih wajar pula jika Gempol mempertanyakan kenapa setiap Jakarta didandani untuk perayaan, wong cilik selalu jadi korban. Yang kelihatan berlebihan adalah gembel Mbah Unyeng, yang selalu tangkas menjawab pertanyaan Gempol. "Kita ini masyarakat bekicot, nempel di mana-mana mengganggu pemandangan, pantas kalau digusur," katanya menghibur Gempol di bawah tetesan hujan. Dari mulut Mbah Unyeng pula, kita mendengar kalimat: "Selama masih ada langit ... kita masih punya rumah...." Karya-karya Slamet memang sudah telanjur identik dengan kritik sosial. Seperti dalam Ponirah Terpidana dan Kembang Kertas, karya terbaru Slamet ini menunjukkan kekuatan visualisasi. Ada adegan Andri dari balik jendela memandangi burung-burung yang terbang bebas. Kita kemudian melihat keinginan Andri yang tak terucap itu diwujudkan dengan petualangannya bersama Gempol ke Jawa Timur. Tentu saja kekuatan bahasa visual Slamet didukung dengan kecanggihan Satari S.K. (mendapat Piala Citra untuk penata artistik) dan kemampuan Soetomo Gandasubrata (yang juga mendapat Citra untuk fotografi). Kekuatan lain dari film ini tentu saja adalah akting Banyu Biru dan Sunaryo, yang tidak seperti anak SD yang sedang belajar membaca di kelas. Sangat alamiah. Produksi pertama PT Ekapraya Film ini, yang biayanya Rp 400 juta -- terutama karena direct-sound system -- berhasil untuk ikut kompetisi Festival des 3 Continents (Festival Tiga Benua) di Nantes, Prancis, akhir bulan ini dan Festival Film Anak-Anak Internasional di Toulouse, Prancis, tahun depan. Leila S. Chudori

SEPUTIH HATINYA SEMERAH BIBIRNYA / 1980

SEPUTIH HATINYA SEMERAH BIBIRNYA


Film diawali dengan gaya yang sangat realistis. Hal ini tampak mencolok dari tampilnya suara-suara lingkungan. Bapak dan Ibu Pahala Simbolon (Menzano, Marlia Hardi) sangat senang dengan makan bersama anak cucunya yang tidak tinggal di rumah lagi. Rumah itu memang hanya dihuni bapak-ibu dan Bungalan (Christine Hakim). Rasa waswas nampak pada ibu, karena anak bungsunya Binsar (Dyan Hasri) tak muncul. Ia sungkan bertemu dengan keluarga, karena harus kawin terburu-buru akibat pacarnya hamil duluan. Ibu dan bapak seperti sukar menyelesaikan masalah ini, sementara Groga (August Melasz), anak kedua paling dominan karena keberhasilannya sebagai pengusaha bersikap keras. Bungalan yang jadi penengah. Celakanya, terhadap Bungalan sendiri ibu juga waswas. Ibu takut ditinggal bila Bungalan kawin. Rumah jadi sepi tanpa anak.

Lalu masih ada beberapa masalah lagi. Separuh film dihabiskan untuk belat-belit masalah keluarga yang sebenarnya menarik ini, tapi karena banyaknya masalah maka dia tampil pendek-pendek dan sukar ditebak ke arah mana film beranjak. Pilihan sutradara: melanjutkan masalah ibu yang sakit-sakitan.

Bungalan, mahasiswa psikologi, menebak bahwa penyakit ibunya itu lebih bersifat psikis. Dalam hal ini ia dibantu pacarnya, Radityo (Frans Tumbuan). Maka berangkatlah mereka ke tanah Batak, tempat kehidupan mereka berawal. Ibu mulai membongkar masa lalunya, seakan hendak membongkar bawah sadarnya untuk menjadi sembuh.

P.T. GARUDA FILM
P.T. DHARMA PUTRA JAYA FILM
P.T. INTER PRATAMA STUDIO

CHRISTINE HAKIM
FRANS TUMBUAN
MENZANO
MARLIA HARDI
EL MANIK
AUGUST MELASZ
DYAN HASRI
NENENG ALINA
GISELA DARUSMAN
EDDY GUCI
RININTA KUSUMAWARDANI
ANISSA DIAH SITAWATI

 

KEMBANG KERTAS / PAPER FLOWERS / 1984

KEMBANG KERTAS


Karena dorongan istrinya, Prabowo (Zainal Abidin) memasuki bisnis bahaya dan dijebloskan ke penjara. Sementara menunggu pengadilan, Prabowo dibebaskan oleh Wahyuni (Lenny Marlina) kawan kongsinya. Ia seorang janda cerai yang mencintainya. Ani(Ria Irawan) dan Rini (Dewi Yull) anak-anak Prabowo mengalami guncangan karena harus pindah dari rumah mewah ke rumah susun sederhana.


Narkotik dan perek merupakan pelampiasan mereka, ibunya sakit-sakitan, dan Wahyuni mencoba mengangkangi Prabowo. Setelah terbongkar masalahnya,Wahyuni rela Prabowo kembali ke keluarga, Rini mencoba menjadi fotografer mengikuti pacarnya yang juga pemuda frustrasi. Mereka berkesempatan menjadi pemandu wisata di Bali. Wartawan (Bangun Sugito) mengaku mau jadi ”saksi kehidupan”.
 P.T. NUSANTARA FILM

DEWI YULL
HERMAN FELANI
LENNY MARLINA
ZAINAL ABIDIN
RIA IRAWAN
RIMA MELATI
GITO ROLLIES
BENNY BENHARDI
LINA BUDIARTI
HENKY SOLAIMAN