Tampilkan postingan dengan label IMAM TANTOWI 1982-1996. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label IMAM TANTOWI 1982-1996. Tampilkan semua postingan

Kamis, 03 Februari 2011

SAUR SEPUH "SATRIA MADANGKARA" / 1988

SATRIA MADANGKARA


Biaya produksi serial Saur Sepuh, rata-rata Rp 500-Rp 600 juta per film. "Biaya iklannya hampir sama dengan ongkos produksi," kata Herman Dial, produser pelaksana Saur Sepuh, kepada Sandra Hamid dari TEMPO. Namun, sukses Saur Sepuh, menurut dia, karena kepopulerannya sebagai sandiwara radio. Jakob Sumardjo, kritikus sastra, melihat bahwa genre film silat adalah kelanjutan tradisi tontonan rakyat. Adegan-adegan ajaib, kepala terpenggal, silat terbang, manusia menghilang, sudah hadir sejak tahun 1890 di zaman sandiwara Stamboel sampai Dardanella. Jadi, kalau Saur Sepuh digemari, itu karena "Penonton terbiasa dibesarkan lewat cerita-cerita babad di daerah masing-masing," kata Jakob. Yang tidak adil, bila produksi film nasional hanya melayani penonton berbudaya daerah semacam itu.

Film ini sangat Fenomenal disaat itu, semua terpana oleh pembuatan film ini. Penulis skenarionya sendiri dilakukan oleh si punya ide/penulis drama itu sendiri Niki Kosasih bersama Imam Tantowi. Pak Imam mungkin terjebak pada apakah menampilkan film sejarah atau film yang kolosal dengan pertempuran? Mungkin hal yang ke dua yang dipakai pak Imam, menampilkan pertempuran yang kolosal dengan settingan jaman kerajaan dan juga menebeng kesuksesan drama radio ini. Tentu yang paling sulit adalah memvisualisasikan adegan dalam radio itu ke dalam visual/gambar. Ini tentu tidak mudah bagi pak Imam, karena drama ini sudah terkenal sekali. Penonton akan datang ke bioskop untuk mencocokan apa yang mereka sering dengar dalam imajinasi mereka terhadap layar putih yang sudah nyata/utuh. Tentu ini adalah tantangannya. Skenario ditulis juga bagaimana cara memendekan durasi radio ini kedalam durasi film yang berkisar 90 menit. Oleh karena itu cerita harus iolah lagi sehingga semakin kompleks. Pak Imam tidak mau bermain dengan imajinasi penonton yang sudah mendengarkan drama ini, yang diambil adalah bagaimana alur cerita ini mengalis dari awal hingga akhir film serta membentuk tangga dramatik film. Tentu yang diperhatikan adalah adegan-adegan favorite pendengar harus ada dalam film, percintaan, pertempuran, dan kolosalnya, semua disusun agar bertutur dengan baik.


El Badrun Penata Artistik
Film ini menggunakan dana yang banyak sekali saat itu, menggunakan set yang besar yang dilakukan oleh penata artistik El Badrun yang terbiuasa menangani film-film mistik, horor, silat dan tempo dulu yang akrab dengan effek, set besar dan kolosal, juga settingan masa lalu. Yang paling menarik adalah membangun kerajaan di studio alam miolik TVRI di Cibubur, dengan kostum kerajaan dan juga membuat pertempurannya. Yang paling ditunggu penonton adalah bagaimana bentuk burung rajawali/garuda tunggangan Brama tersebut dalam film? Ternyata El Barum membuat burung mainan yang bisa di gerakan dengan tehnik blue scree/doble screen, dengan bantuan tehnik kamera maka mereka bisa membuat settingan film ini, pertempurannya dan juga effek yang baik pada masa saat itu yang bisa mereka lakukan.

Sebagian penonton kecewa karena apa yang mereka dengar di radio tidak persis dengan apa yang mereka tonton. Tentu saja beda, adaptasi dari novel, drama radio ketika di filmkan akan pasti beda. Karena pembaca/pendengar bermain imajinasi mereka tentang set, lokasi, sosok karakternya/fisik, dan adegannya juga,..imajinasi mereka yang satu dengan yang lain pasti beda. Jadi tidak bisa membuat adaptasi dengan menyamakan persepsi dan imajinasi pendengar yang beragam itu menjadi satu dalam sebuah film.

Tetapi untunglah film ini benar-benar terkesima pada saat itu. Penonton terpesona dengan efek, kolosalnya film itu sehingga mereka melupakan protes mereka atas ketidak miripan dengan drama radio. Bahkan banyak juga yang salut dengan perfilman Indonesia yang bisa membuat film yang seperti itu, sehingga mereka merasa bangga. Sehingga film pertama ini laris manis.

Saur sepuh satu Satria Madangkara melatarbelakangi oleh kerajaan Majapahit. Satria Madangkara (Brama Kumbara) yang menjadi buah bibir di masyarakat. Film ini dibintangi oleh Fendi Pradana sebagai Brama Kumbara, Elli Ermawati sebagai Mantili dan Murtisari Dewi sebagai Lasmini.

Tunangan Lasmini dibunuh oleh Brama Kumbara karena telah mengadu domba utusan dari Madangkara. Hutang nyawa harus dibalas nyawa. Akan tetapi lasmini tidak terima sehingga lasmini menuntut balas pada Brama Kumbara. Akan tetapi ketika menghadapi Brama Kumbara….auw……lasmini langsung terpikat dan jatuh hati pada Brama yang menyebabkan muak pada Mantili. Ini awal cerita dimana Lasmini jatuh cinta yang tidak terbalas pada Brama dan menjadi musuh bebuyutan Mantili.

Menilai Burung Garudanya Brama, wah lucu juga ya teknologinya masih sangat sederhana.


NEWS
10 September 1988
Satria pribumi dengan jurus kung fu

SAUR SEPUH SATRIA MADANGKARA Pemain: Fendy Pradhana, Elly Ermawatie, Murti Sari Dewi, Anneke Putri Skenario dan Sutradara: Imam Tantowi SEJARAH Indonesia tidak mengenal Kerajaan Madangkara. Namun, Brama Kumbara, raja negeri itu, sangat populer saat ini. Kisah dinasti Madangkara masih setiap hari dipancarkan puluhan radio di berbagai kota di Indonesia, itulah kerajaan khayal ciptaan Niki Kosasih dalam serial drama radio Saur Sepuh. Brama Kumbara, begitu pula adiknya, Mantili, tak ada lagi di radio. Kisahnya sudah menginjak generasi kedua. Yang rindu tokoh ini sekarang bisa melihatnya di gedung bioskop. Sejak pekan lalu, dengan 90 buah kopi, film Saur Sepuh Satria Madangkara diputar serentak di berbagai kota besar di Indonesia. Sedikit berbeda dengan kisah yang dituturkan di radio, Kerajaan Madangkara di dalam film lebih dipertautkan pada sejarah. Bahkan fokus kisah dalam film lebih pada kemelut Majapahit sepeninggal Hayam wuruk. Yang bertakhta di Majapahit adalah Wikramawardana.

Ia menantu Hayamwuruk. Karena itu, Wirabumi, yang merasa lebih berhak menjadi raja -- karena ia anak kandung Hayamwuruk walau lahir dari selir -- tak bisa menerima kenyataan ini. Wirabumi mendirikan Kerajaan Pamotan dan kemudian menantang Majapahit. Dua kerajaan yang siap berperang itu sama-sama mencari dukungan dari raja-raja lain. Di situlah dimunculkan Kerajaan Madangkara, negeri yang digambarkan damai dengan raja bijaksana yang tak suka perang. Sebagai raja "nonblok", Brama Kumbara tak bisa berpihak. Ia menerima kedua utusan yang bersengketa. Film Saur Sepuh menghadirkan legenda dan sejarah silih berganti. Utusan Madangkara yang mengantar surat balasan ke Pamotan diserang Tumenggung Bayan di wilayah Kedaton Timur. Tahu hal itu, Brama Kumbara marah. Ia mengutus adiknya, Mantili, yang disertai Patih Gotawa, membawa kembali surat itu ke Pamotan. Sementara itu, Brama dan istrinya, Harnum, berangkat pula ke Pamotan mengendarai burung rajawali untuk menantang Tumenggung Bayan. Inilah legenda. Lalu, kemelut Majapahit menjadi satu bagian. Petualangan Brama Kumbara adalah bagian lain.

Dalam perang tanding Brama melawan Bayan, sang tumenggung kalah. Tapi pacarnya, Lasmini, menuntut balas. Pendekar remaja yang menjadi guru silat ini meminta bantuan Mata Setan -- lebih bagus kalau tokoh ini diberi nama biasa saja. Brama dan istrinya, yang kemudian sudah bergabung dengan Mantili dan Gotawa, menghadapi Lasmini dan Mata Setan. Saat Brama berduel dengan Mata Setan, Lasmini mengeluarkan aji sirep. Harnum, Mantili, dan Gotawa tidur lemas. Tiga orang ini, entah dengan cara apa, dibawa Lasmini ke suatu tempat persembunyian. Brama mencari orang-orang itu. Pertempuran antara Majapahit dan Pamotan pecah. Seperti tokoh Temon dalam film Serangan Fajar (Arifin C. Noer), Brama pun menjadi saksi peperangan. Ia menyaksikan kemenangan Wikramawardana dan kematian Wirabumi. Sampai film berakhir, satria Madangkara ini tak berhasil menemukan di mana istri dan adiknya berada. Agaknya, film ini diniatkan berseri. Akankah Saur Sepuh, sebagai film, sukses seperti di radio? Di masyarakat kelas menengah ke bawah, barangkali. Kerinduan mereka pada Brama dan Mantili -- yang sudah lama hilang dari radio -- tentu membuat ringan kaki ke gedung bioskop. Apalagi yang kecanduan. Di kalangan kelas atas, yang tak punya waktu atau tak mau mendengar siaran Saur Sepuh, masih teka-teki.

Tapi film ini sebenarnya tak terlalu buruk. Walau action berlebihan, sehingga tergelincir menjadi film silat, toh kejayaan masa lalu mengenai kerajaan besar Majapahit sempat mengusik perhatian. Melibatkan sekitar dua ribu figuran, mengambil adegan perang kuda di Sumba dan gajah di Lampung, efek khusus yang dibuat dengan teknologi perfilman yang semakin canggih, dan ongkos produksi di atas Rp 1 milyar, menyebabkan film ini "sebuah proyek besar". Untuk proyek besar yang lain, Imam Tantowi masih layak diberi kesempatan, dengan catatan punya tim riset yang lebih baik. Dan jangan terburu-buru. Saur Sepuh sebagai "sejarah" banyak lemahnya. Apa begitu busana orang di masa Kerajaan Majapahit? Untuk Kerajaan Mataram -- setidak-tidaknya setelah masuknya Islam di Jawa -- mungkin. Juga silatnya itu. Kenapa tak melakukan riset perpustakaan atau menggali kembali persilatan pribumi asli, bukan menampilkan kung fu atau tae kwon do. Imam Tantowi menampilkan adegan bagus ketika mayat Bayan dibakar dalam sebuah upacara. Di situ istri Bayan menunjukkan kesetiaannya dengan menerjunkan diri dalam api dari atas menara. Inilah tradisi umat Hindu masa lalu yang disebut mesatya, yang dilarang ketika Belanda datang. Adegan ini menjadi lebih hidup dengan suasana pedesaan di mana perempuan bertelanjang dada -- dan memang tidak disensor. Yang kemudian tidak jelas, kenapa dalam istana, Raja selalu didampingi pendeta Budha, dan bukan Hindu.

Apa, sih, agama mereka itu? Adegan ketika Pangeran Bentar belajar menulis di daun lontar pun terasa seperti masa kini. Jika riset bagus, gambaran bagaimana anak-anak masa lalu belajar dan menulis di daun lontar bisa ditemukan di museum, misalnya di Museum Bali, Denpasar. Butuh waktu, memang. Sangat mahal, itu jelas. Tapi saya percaya, seorang Imam Tantowi bisa melakukan hal itu kalau didukung -- dan tercipta -- kondisi yang baik. Ia punya modal, dan ia tampak selalu belajar dari kelemahan film-filmnya terdahulu. Sesekali, kita boleh berharap ada film tentang leluhur kita, yang konon agung dan perkasa itu, tapi tak sekadar gedebak-gedebuk dan ciat-ciat. Putu Setia

SAUR SEPUH II /"PESANGGRAHAN KERAMAT" / 1988

PESANGGRAHAN KERAMAT


Sukses pertama, diikuti yang kedua. Dan penonton sudah tidak peduli lagi dengan kemiripan drama radio, karena mereka sudah lupa dengan hal itu. Yang mereka ingat adalah film yang pertama, dan kedasyatannya..sehingga mereka meminta lebih lagi di film yang ke dua.

Porsi film ke dua adalah penambahan sedikit dalam bentuk set-nya yang masih mengunakan yang ke 1, sanyang juga kalau di bongkar. Tetapi penambahan yang lain adalah dalam bentuk tehnik pertempuran dan perlawanan ajian sakti, tehnik sling shot/orang terbang semakin diperbanyak, hingga kesaktian ditampilkan dalam film ini yang masih menggunakan tenik effek dan kamera yang baik lagi.

Sukses di Saur sepuh satu, PT. Kanta Indah Film Kembali memproduksi sekuel dari Film Pertamanya. Pesanggrahan Keramat, makam dari guru Brama Kumbara yang dibakar oleh komplotan yang didalangi Ki Jara dan Lugina yang di dukung oleh Bu Karti seorang saudagar dari Kuntala. Brama Marah Besar dan berubah menjadi Buto Agni, dan menuntut balas pada orang-orang yang telah membakarnya.

Adegan dimana Brama dilempar pisau dan berubah menghilang dan dibelakang dari orang yang telah menusuknya adalah adegan yang bikin kagum kala itu. Karena dianggap sesuai dengan apa yang ada di radio.

Secara keseluruhan film ini tidak memunculkan sesuatu yang baru, karena buto agni yang penulis pikir sangat seram ternyata difilm biasa-biasa aja tuh….

Film ini masih menggunakan bintang yang sama dari Saur Sepuh 1
P.T. KANTA INDAH FILM

ELLY ERMAWATIE
FENDY PRADANA
MURTI SARI DEWI
ANNEKE PUTRI
GRACE MARIATA
HENGKY TORNANDO
YOSEPH HUNGAN
LAMTING
RITA ZAHARA
INTAN FULLY CHOHAN
PIET PAGAU
AFRIZAL ANODA

SAUR SEPUH III / "KEMBANG GUNUNG LAWU" / 1989

KEMBANG GUNUNG LAWU


Lasmini Istri dari seorang juragan di Kawali, diperkosa oleh anak buahnya kemudian dibuang ke jurang. Lasmini mendapat pertolongan yang kelak menjadi gurunya. Setelah cukup ilmunya, lasmini kembali ke kawali dan menuntut balas ke orang-orang yang telah memperkosanya.

Tindakan lasmini yang sewenang-wenang mengundang Mantili untuk ikut duel, walopun pada akhirnya kalah… akan tetapi dengan bantuan dari Brama Kumbara dengan ilmunya ajian srigunting.. pada akhir cerita Mantili dan Lasmini Kembali berduel. Ilustrasinya sangat bagus karena duelnya di pinggir pantai dengan terbang pakai pelepah daun kelapa. Ini masih sesuatu yang luar biasa kala itu dan dianggap sangat menarik untuk di tonton.

Film Saur Sepuh 3 dengan tokoh sentral Lasmini. Karena ia memang kembang dari Gunung Lawu.

SAUR SEPUH IV/"TITISAN DARAH BIRU" / 1991

SAUR SEPUH IV
TITISAN DARAH BIRU


Sebelumnya pak Imam bilang cukup hanya 3 seri saja, karena kawatir penonton sudah jenuh dan ide akan berkembang semakin ngacok lagi, bahkan dicurigai lari dari konteks awal yang berdasarkan drama radio. Jadi seperti film asal laga dan tempur saja. Film ini masih di sutradarai pak Imam, walaupun dia sudah mencurigainnya. Dan ternyata masih banyak juga yang menonton tetapi ada tampak-tampak kalau film ini akan menjadi datar/penurunan.

Memasuki Film ke 4, Titisan darah Biru. Titisan Darah Biru menceritakan tentang generasi kedua dari Saur Sepuh yang digawangi oleh Raden wanapati, Raden Bentar dan Garnis Nawingyun.

Secara keseluruhan Film ini bagus karena ilustrasi musiknya juga mengalami kemajuan disbanding-film-film terdahulunya. Akan tetapi Film ini tidak nyambung sama sekali dengan 3 film sebelumnya. Seolah disengaja Produser film ini untuk memotong mata rantai dari film terdahulunya. Atau bisa dibilang ini film lepas yang tidak ada kelanjutanya. Film ini menceritakan tentang kepemimpinan Wanapati yang emosional sehingga banyak tentangan dari kaum tua. Sementara Sang Brama Kumbara sedang bertapa.

Saur Sepuh 4 dibintangi oleh Adi Kuncoro sebagai Wanapati, Candi Satrio sebagai Bentar dan Devi permatasari sebagai Garnis.

SI BADUNG / 1989

SI BADUNG

Jarir (Purnomo), guru tua dan kepala sekolah di sebuah kota kecil, adalah profil pendidik yang sebenarnya. Ia harus berhadapan dengan Irfan (Nurhuda) yang penuh semangat dan memiliki konsep pendidikan modern. Dua konsep pendidikan ini, harus berhadapan dengan kelompok anak-anak yang badung.

Si Badung adalah film Indonesia tahun 1989 dengan disutradarai oleh Imam Tantowi dan dibintangi oleh Mang Udel dan Nurhuda.

Film ini meraih nominasi dalam Festival Film Indonesia 1989 untuk Film, Sutradara, Skenario, Pemeran Utama Pria (Mang Udel), Musik, dan Editing. Film ini meraih Piala Citra untuk cerita asli terbaik.

LEBAK MEMBARA / 1982



Berseting dengan perang Jepang. Imam mencoba membuat film dengan action yang baik dengan effek yang baik (mencoba). Tetapi lagi-lagi kritikus film selalu mengaitkan film action perang ini dengan kenyataan sejarah peristiwa itu. Kalau kritikus terlalu penting dalam keaslian sejarah, sedangkan Imam hanya suka dengan membuat film action perang dengan effek yang mencoba bagus/...makakita lupa akan arti sejarah.

Tetapi film-film action yang memerlukan effek khusus seperti yang dibuat Imam ini juga bisa membangkitkan kepahlawanan yang jago sekali. Walaupun munmgkin para perwira kita saat revolusi itu tidak sejago dan seberani tokoh dalam film pak Imam ini. Sehingga memacu adrenalin pejuang untuk lebih berani lagi untuk bertempur...(mungkin saja).

Herman terpaksa melakukan perlawanana terhadap Serdadu Nippon karena membela guru silatnya Baba Liem yang disiksa oleh Nippon. Baba Liem dituduh membantu membiayai pemberontakan-pemberontakan yang kian lama sering terjadi. Baba Liem ditembak mati dan Herman dijebloskan ke penjara. Tapi kemudian Herman dibebaskan dalam rangka politik pendekatan pihak Jepang terhadap rakyat untuk menghindarikan timbulnya pemberontakan-pemberontakan baru. Herman kembali kekampungnya.

Suatu hari Narmi akan diperkosa oleh beberapa serdadu Nippon. Kembali Herman menolong dan berhasil membunuh tiga serdadu Nippon. Sejak itu Herman buron dan bergabung dengan pamannya Kyai Fattah di sumber bening dan membentuk Pasukan Santri. Narmi sendiri akhirnya diperkosa oleh serdadu-serdadu Nippon secara beramai-ramai. Bahkan ayahnya juga terbunuh. Ini semua akibat penghianatan Kadir, teman Herman sesame anggota PETA dan juga sudah lama mendambakan Narmi. Dengan alasan ditolak cintanya oleh Narmi akhirnya Kadir memberitahukan keberadaan Narmi kepada serdadu Jepang.

Dengan menyandera ayah dan kakak Herman, Jepang memaksakan perundikan dengan Kyai Fattah. Namun Kyai Fattah menolak bahkan menantang Jepang. Pertempuran terjadi, Kyai Fattah dan Herman beserta pasukannya dapat mematahkan perlawanan Jepang hanya dengan menggunakan senjata-senjata tradisional.

P.T. RAPI FILM

PASUKAN BERANI MATI / 1982


 
Film ini sangat di kecam oleh kritikus film, termasul Salim Said. Yang menganggap film ini hanyalah tiru-tiruan film Hongkong, juga Lebak Membara tidak beda dengan Rambo yang memamerkan effek saja. Salim Said melihat hal ini dari sejumlah film tentang Revolusi. Tetapi saat film ini dibuat memang sangat lah terkenal dengan film-film yang pamer effek. Mungkin Imam ingin mencoba film ini dengan effek yang baik sebagai menguji kemampuan crew lokal dalam membuat film effek. Jadi karena terlalu asyik bermain effek sehingga melupakan arti dari film yang mengulas revolusi sebagai bagian dari sejarah.

Memang kalau mau dilihat arti sebuah film sangatlah luas dengan kepentingan masing-masing. Mungkin Imam hanya mencampurkan kenyataan peristiwa beberapa persaen saja, selebihnya effek. Dan memang terbukti dari sejumlah film Imam, yang memakai effek dalam film-filmnya.

Masa ini terjadi pada saat perang kemerdekaan, dimana sebuah kota kecil telah direbut oleh tentara Belanda setelah menjatuhkan bom-bom dan menyerang kota tersebut dengan gencar oleh pasukan-pasukan Belanda yang diperkuat kendaraan-kendaraan Panser.

Kapten Bondan sebagai Komandan pasukan di kota itu memerintahkan pasukannya untuk mengundurkan diri bersama penduduk guna menyusun kekuatan untuk mengadakan serangan gerilya. Sebenarnya rencana ini tidak disetujui oleh Letnan Haryono. Tapi sebagai bawahan ia harus mentaati perintah atasan.

Sementara itu, pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Otto Van Der Byck memasuki kota kecil tersebut dengan penuh kebanggaan karena telah dapat menguasainya.

Penduduk yang sedang mengungsi banyak yang menjadi korban karena gempuran-gempuran bom dan serangan pasukan Belanda. Rumah-rumah hancur lebur. Dan dari tempat pengungsiannya, Kapten Bondan mulai mengatur siasat untuk menyergap patroli-patroli Belanda dan menghancur pos-pos penjagaannya. Dalam gerilya ini, seluruh penduduk turut membantu tentara yang sedang menghadapi pasukan Belanda.

Dalam beberapa sergapan-sergapan pasukan gerilya, banyak pasukan melanda yang tertangkap dan menderita, sehingga membuat geram pemimpin pasukan Belanda. Mereka membuat rencana balasan untuk menyerbu besar-besaran para gerilya.

Selain itu, ada juga pengkhianat yang bersedia menjual dan mengorbankan bangsanya sendiri pada Belanda demi kepentingan dan keuntungan pribadi. Hal itu terjadi pada Kyai Abdul Karim, ayah dari Latifah, seorang laskar wanita yang tertangkap bersama Kopral Gani karena pengkhianatan. Ketiga tahanan itu menderita siksaan yang kejam dan akhirnya Kyai Abdul Karim mati ditembak Belanda.

Jupri, seorang pedagang kaya, menyatakan ingin kembali ke kota. Hal itu ditentang oleh Letnan Haryono dengan alas an akan membahayakan pasukan gerilya. William, seorang Indo, juga turut berjuang demi republik ini. Tapi Jupri tetap pada pendiriannya untuk kembali ke kota dan ia tertangkap oleh serdadu Belanda. Belum sempat Jupri akan membuka rahasia dimana kedudukan para pasukan gerilya, senjata Letnan Haryono dan William menamatkan riwayatnya dan para serdadu yang menangkapnya. Hal itu membuat dendam hati Suci, hingga akhirnya ia yang bersedia membocorkan rahasia kekuatan gerilya kepada Belanda.

Pasukan Belanda mengobrak-abrik dan menghancurkan markas gerilya. Banyak korban berjatuhan dari pihak gerilya, salah satunya Kapten Bondan. Pasukan gerilya yang selamat bertekad untuk membalan dendam atas kematian rekan-rekannya. Dan saatnya tiba, pasukan gerilya menyerbu dan menghancurkan markas Belanda tanpa henti sekuat tenaga sampai tetes darah penghabisan. Akhirnya markas Belanda tersebut berhasil dilumpuhkan. Dan para gerilya kembali ketempat pengungsian untuk menyusun kekuatan baru guna melanjutkan perjuangan menuju Indonesia merdeka.