Tampilkan postingan dengan label ALI SHAHAB 1971-1997. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ALI SHAHAB 1971-1997. Tampilkan semua postingan

Senin, 31 Januari 2011

MANUSIA ENAM JUTA DOLLAR / 1981

MANUSIA ENAM JUTA DOLLAR


Film ini dibuat saat ngetopnya film Bionic, manusia robot yang diciptakan seorang profesor. Film Amerika ini sangat di sukai sekali. Bionic Women, dan soundtrack musiknya juga sangat di sukai juga. Lalu Ali ambulate film ini dalam film Indonesia dengan menampilkan Warkop sebagai daya tarik film ini dan juga untuk unsur rekayasa jiplakan. Karena kalau cerita dibalut dengan komedi, maka tidak ada kesan penjiplakan karena dari sini juga muncul nama komedi parodi, sama yang dilakukan Nyaa Abbas dengan koboinya. Pemilihan judul dengan jumlah uang dolar sangat brilian sekali.

 
Film ini berkisah tentang Dono, Kasino, Indro, dan Dorman Borisman yang berperan sebagai anggota kepolisian. Dono yang seorang anggota kepolisian mengalami kecelakaan yang diubah menjadi manusia robot dengan biaya $6.000.000. Sebagai anggota kepolisian mereka bertugas untuk mengusut kejahatan yang terjadi di masyarakat, seperti ponografi dan penculikan anak. Cerita kemudian berkutat pada sindikat penculikan profesional yang menculik anak dan artis yang diperankan Eva Arnaz.

BERANAK DALAM KUBUR / 1971

BERANAK DALAM KUBUR


Disutradarai bersama AWALUDIN, ALI SHAHAB Bertindak sebagai Co Director

Dari komik berjudul "Tangis dalam Kabut".

Dhora (Mieke Wijaya), mengesankan penderita psikopat. Ia membunuh ibunya untuk menguasai perkebunan Ciganyar. Ayah tirinya (Ami Prijono) karenanya hilang ingatan. Adiknya, Lila (Suzanna), pengantin baru, disiram air racun, tapi tak mati. Ketika hendak dikubur, terdengar tangis bayi. Ia melahirkan dan ditolong pembantu setianya, anaknya diselamatkan dokter dan di akhir film sempat kembali pada suaminya, Robby (Robby Hart) yang pulang dari luar negeri dan memecahkan misteri hantu pengganggu. Hantu tadi adalah Lila yang menakut-nakuti penduduk Ciganyar, padahal sebenarnya ia hanya berurusan dengan Dhora. Tapi, horor itulah yang memang hendak jadi jualannya.

METROPOLITAN RECREATION CENTER
P.T. TIDAR JAYA FILM

SUZANNA
MIEKE WIJAYA
DICKY SUPRAPTO
AMI PRIJONO
SOFIA AMANG
AZWAR NOOR
DEDDY MUDJITO
DJOHAN SUBANDRIO
SUHAIMI SAID
ROBBY HART
F.X. SUTONO
KIKI S


12 Oktober 1974
Bukan buat juri
MERASA berbakat melukis, Ali Shahab, 33 tahun, yang tamat SMP di tahun 1958 melanjutkan pendidikan di ASRI Yogya hingga tingkat B 2. Ketika berada kembali di Jakarta pada tahun 1963, ia ternyata tidak bisa hidup dengan modal bakat itu saja. Waktunya yang senggang dimanfaatkan untuk giat dalam grup kesenian remaja Kuncup Harapan. Di sana ia merias para pemain sandiwara -- kepandaian yang ia pelajari secara pribadi ketika masih di Yogya, mengatur dekor, melukis karikatur di koran Berita Minggu serta sesekali ikut naik pentas. Koran Berita Minggu ikut terkubur setelah Gestapu, menyebabkan Ali Shahab terpaksa mencari usaha lain. Ia mendirikan koran mingguan Indonesia Jawa. Dari sanalah melancarkan novel-novelnya macam Turrte Girang, yang kemudian ternyata mendapat sambutan luar biasa dari para pembaca yang mendesak agar cerita bersambung itu dibukukan. Perkenalan Ali Shahab dengan dunia film terjadi di tahun 1967 ketika ia diminta oleh sutradara Misbach Yusa Biran untuk menjadi juru rias bagi para artis. Di Balik Cahaya Gemerlapan. Pekerjaan yang sama ia lakukan kembali di tahun 1970 untuk film Air Mata Kekasih. 

Untuk film Si Goudrong (1971) ia sudah menjadi CO-director. dan ketika menjadi co-director dalam film Beranak Dalam Kubur, saat yang belum ia harapkan tiba secara mendadak: sutradara Awaluddin sakit, dan Ali Shahab terpaksa menggantikannya. Hasilnya kemudian dianggap memuaskan oleh sang produser, dan Ali Shahab dipercayai oleh Dicky Suprapto untuk menangani film Bumi Makin Panas. Selepas merampungkan Nafsu Gila, kini Ali mulai lagi bersibuk dengan Tante Girang, film berdasar novelnya sendiri. Berikut ini adalah bagian penting percakapan sutradara muda itu.

Salim Said. 
Tanya: Apa sebenarrnya yang anda ingin kisahkan dalam film Nafsu Gila ini? 
Jawab: Saya ingin dalam cerita ini mengumpulkan orang dengan macam-macam karakter serta latar belakang. Di sana ada bekas bintang film (Nurnaningsih), ada bekas kapten kapal (Tan Tjeng Bok), ada bekas anggota gerombolan (Husin Lubis), ada ahli purbakala (Bissu) dan sebagainya. Juga ada sedikit pesan bagaimana balas budi seorang anak terhadap orang tuanya. Cerita ini munigkin belum populer di sini, tapi di Eropa, orang-orang tua teklah dimasukkan ke dalam asrama sehingga anak-anak itu tidak lagi terganggu oleh kejompoan orang tua mereka. 
T: Pengetahuan anda mengenai rumah, jompo itu, adakah berdasarkan pengamatan ataukah sekedar hasil bacaan saja? 
J: Pengetahuan bacaan. Saya tidak pernah lihat rumah jompo. 
T: Melihat fisik dan tinglah laku tokoh-tokoh anda itu, saya kok tidak menangkap kesan rumah jompo. Saya sangat cenderung mengatakan bahwa yang anda gambarkan itu adalah rumah gila. 
J: Kalau penghuni rumah jompo itu orang jompo benar-benar itu terlalu biasa. Dan kalau rumah sakit jiwa, maka di sana harus ada dokternya. 
T: Saya melihat kehadiran mereka di rumah terisolir itu lantaran alasan psikologis, bukan fisik (ketuaan) yang biasanya menjadi alasan untuk jadi penghuni rumah jompo. Kehadiran Suganda tanpa pembantu, kematian berturut-turut tanpa kontrol dari yayasan pemilik rumah tersebut, serta itu membawa saga pada kesimpulan bahwa anda mengorbankan logika: 
J: Saya tidak merasa mengorbarkan logika, tapi sekedar mengarahkannya. Cerita itu kan diarahkan. Lakipula kalau saya gambarkan semua -- lengkap dengan, yavasan dan pengawasannya -- terus terang cerita ini tidak akan jadi suspense. 
T: Waktu anda berniat untuk membuat film Nafsu Gila, apakah anda terutama tertarik pada kejadian-kejadian yang silih berganti di wisma itu? 
J: YA.

GAUN HITAM / 1977

GAUN HITAM


Ini adalah sebuah novel awalnya Gaum HItam seorang Hostes, pengarangnya Ali Sahab. Mungkin tertarik pada novelnya sendiri, Ali pun menulis skenario yang atas perkenan sang produser lalu disutradarainya pula. Lalu lahirlah film ini yang dimainkan juga oleh pemain yang semula main dalam film Ali, Robby Sugara dan tanti Yosepha. Cerita dimulai di pemakaman dengan payung hitam dan gaum hitam para pelayat. Adegan ini ditambah oleh hujan yang deras, dengan angel tinggi menyempatkan penonton menyaksikan seluruh pelayat dasri atas. Ini adalah pemakaman Marto (S.Bono), suami Dewi (Tanti Yosepha), yang meninggal karena serangan jantung ketika sedang lagi senggama. Kematian ini ternyata menjadi kunci cerita, tatkala dokter mengungkapkan kematiannya yang bersumber pada obat perangsang yang diberikan oleh tante Sarce (Rae Sita). Tetapi kenapa sang tante baik-baik saja pada awal pemunculan kok ternyata Jahat?Justru disitu keasyikan ceritanya, meskipun soalnya sebenarnya amat sederhana, sang Tante ini ada main dengan pembantu dekat Marto yang dimainkan Muni Cader, jadi jalan ceritanya adalah Harta, harta tuan Marto.
P.T. GARUDA FILM

TANTY JOSEPHA
ROBBY SUGARA
RAE SITA
PARTO TEGAL
S. BONO
BUDI MOEALAM
MUNI CADER
TUTY S
DEBBY CYNTHIA DEWI
TAN TJENG BOK
MARLIA HARDI
ABDI WIYONO

Cukup panjang jalan diciptakan Ali bagi ambisi Tante untuk makin kaya. Mula-mula tante yang pemilik butik ini memungut Dewi dari klub malam, meninggalkan kehidupan hostes, lalu menjadi pegawai. Perempuan asal Yogyakarta itu (bekas mahasiswa fakultas sastra Gajah Mada) selalu sukses dalam bidang yang dikerjakannya. Ketika jadi hostes, semua tamu penting menjadi langganannya, saat jadi pragawati semu tabloit dan koran sibuk memujinya. Kerjasama tante dengan sekongkolannya ternyata berhasil menjadikan Dewi umpan bagi Marto. Supaya usaha lebih cepat berhasil, Robby seorang pengangguran di sewa 2,5 juta untuk menghamili Dewi. Dan perempuan malang itu harus mengaku pada Marto bahwa dia Hamil. Lelaki kaya itu tidak banyak pikir, lantas saja mengawini Dewi. Dan saat anak itu lahir, dan pada saat anaknya ulang tahun itu pula lah Marto tewas di ranjang. Tante dan Muni Cader berhasil? Mestinya begitu, tapi film ini harus tragis. Dan yang jahat mesti kalah. Maka menjelang akhir film, pada dinding kamar tidur Marto dan Dewi diperlihatkan sejumlah pistol menempel. Di akhir cerita pada adegan pemakaman yang sudah diperlihatkan di awal film, Dewi yang sedang dirundung malang itu tiba-tiba mengambil pistol dan membunuh tante dan Muni Cader.

Dengan slowmotion menembaki mereka. Dalam menggunakan kamera untuk suatu maksud, Ali seperti biasanya memang tetap trampil.Adegan pembunuhan di kuburan itu contohnya. Tapi kalau seorang sudah mencari-cari hubungan antara Karya Ali yang bergaum Hitam dan pistol ini dengan kenyataan sekitar, pembicaraan memang terpaksa berakhir pada kalimat pertama. Lihatlah film ini ketika pertama kalinya perempuan Yogya ini dikisahkan sebagai masih mempunya ibu yang dikasihnya, ia bahkan menjadi hostes untuk membiayai operasi kangker ibunya. Tetapi setelah berumah tangga hingga punya anak sampai jadi janda kini, tidak ada lagi cerita tentang ibunya itu. Tuan Marto juga, begitu saja muncul di penonton, mengapa ia tidak punya istri? Duda atau bujang lapuk? Dari mana ia bisa kaya? Berapa besar kekayaannya sehingga tante dan Muni Cader bertahun-tahun kerja untuk tujuan liciknya? Karena banyaknya pertamnyaan itu, maka sebaliknya kisah yang difilmkan Ali ini dianggap sebagai bibit bagi sebuah cerita yang menarik. Bibit itu mungkin masih dikepala si pengarang, belum lagi dikawinkan dengan kenyataan hidup. Tapi sekali lagi, Ali Sahab rupanya membuktikan kegemarannya membuat film tentang hal-hal yang hidup dalam imajinasinya, bukan yang hidup di dunia sekitarnya.