Selasa, 01 November 2011

ALI SHAHAB 1971-1997



SEBAGAI sutradara yang memulai karirnya sebagai pelukis, juru rias dan penata seni, sebenarnya tidak terlalu mengherankan jika film-film Ali Shahab selalu menyenangkan di mata. Ini sedikit keistimewaan, sebab kini sulit menemukan sutradara Indonesia yang memiliki tangan seterampil Ali Shahab. Gambar yang tersorot bukan cuma indah karena lokasi yang terpilih, paduan warna yang serasi, komposisi gambar yang terjaga. Pilihan sudut pemotretan yang kreatif serta dinamis dalam film Ali senantiasa mengasyikkan dan mengikat mata penonton.

ALI SHAHAB adalah seorang wartawan dan sutradara senior Indonesia. Karyanya yang terkenal adalah sinetron Rumah Masa Depan yang ditayangkan di TVRI pada era 1980-an. Selain itu, ia juga menulis beberapa novel remaja bernuansa Islami.

PRIA berkulit putih dan brewok ini sepintas terlihat agak seram, apalagi ditambah sorotan matanya yang tajam, makin lengkaplah kesan itu. Namun jika diajak berbicara, dapat dipastikan, lawan bicaranya akan betah berlama-lama berdialog dengannya. Wawasan dan pengetahuannya sangat luas, baik menyangkut hiburan maupun tentang keagamaan.

Dialah Ali Shahab, sutradara terkenal yang lahir di Jakarta, 22 September 1941. Dia pernah mendirikan Teater September, sebuah nama yang diambil dari bulan kelahirannya. Dari teater itu, sejumlah nama besar muncul, seperti almarhum Hamid Arief dan almarhumah Wolly Sutinah alias Mak Uwok, ibu kandung artis Aminah Cendrakasih alias Mak Nyak.

Pria yang mengaku telat kawin lantaran terlalu enjoi dengan dunia film ini menamatkan pendidikan di ASRI (1958-1963). Meski sejak pertengahan 80-an lebih dikenal dalam dunia sinetron, seperti kebanyakan orang sinetron, Ali Shahab juga tadinya dari film.

 
ALI SHAHAB : WARTAWAN YANG TERJUN MENJADI SUTRADARA
Sebelum ke layar putih, dia wartawan/karikaturis dan tidur bangun dalam dunia teater sejak 1964, baik sebagai pemain, penata rias, dan terkadang merangkap sutradara. Namun masyarakat lebih mengenal dia sebagai penulis novel pop. Salah satu karya hebatnya Tante Girang (tahun 60-an) yang mampu menembus layar lebar itu. Bidang penyutradaraan diawalinya dari Beranak Dalam Kubur (1971). Setiap pembuatan film, cerita dan skenarionya dia tulis sendiri.

Setelah aktif di layar kaca dengan serial Rumah Masa Depan (1984-1985), kegiatan menggarap film untuk bioskop menurun. Terakhir menyutradarai Kisah Anak Anak Adam (1988) dan menulis skenario Si Gondrong (episode Lawan Bek Marjuk) pada 1990. Setelah lepas dari PT. Sepro Karya Pratama (1981-1987) milik artis Rahayu Effendi, Ali mendirikan rumah produksi sendiri, PT Sentra Focus Audio Visual yang dibangun tahun 1988. Kiprah awal rumah produksinya adalah melanjutkan serial Rumah Masa Depan (15 episode, 1990) yang mampu mengangkat nama aktor beken, Dede Yusuf dan Desy Ratnasari. Tahun 1991 terpilih menjadi Ketua Umum Asosiasi Rumah Produksi Indonesia (ARPI).

Menjadi anggota Dewan Film Nasional (periode 1989-1994) dan Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N) periode 1995-1998. Pada Festival Sinetron Indonesia (mulai 1994) ia menjabat sebagai Ketua I/Bidang Penjurian Panitia Tetap (Pantap) FSI masa bakti 1994-1998. Produktivitas dan kreativitasnya tidak terhambat dengan berbagai jabatan. Itu dibuktikan pada FSI 1996, ia terpilih sebagai sutradara (jenis) komedi terbaik dalam Angkot Haji Imron. Sebelum itu karyanya Nyai Dasima menghasilkan piala bagi aktris utama Cut Keke dan aktor pembantu Charlie Sahetapy pada FSI 1995. Tahun 1997 ia menyambung serial Angkot Haji Imron. Sebuah studio di tengah alam Sutradara Ali Shahab membangun studio alam di desa Palasari, Ccimacan, Ja-Bbar. Bernaung di bawah PT Sentra Fokus. 15 serial sinetron rumah masa depan akan dibuat di tempat itu dengan kamera high band.


NEWS ALI SHAHAB
Sebuah studio di tengah alam
Sutradara Ali Shahab membangun studio alam di desa Palasari, Ccimacan, Ja-Bbar. Bernaung di bawah PT Sentra Fokus. 15 serial sinetron rumah masa depan akan dibuat di tempat itu dengan kamera high band.

PENONTON yang kecanduan film cowboy Amerika lama-lama akan tahu juga, bahwa salon, bank, kantor syerif, dan kandang kuda yang mereka lihat itusemuanya cuma sekadar sulapan di studio. Tapi kalau crew TVRI harus menghadirkan suasana pasar, misalnya, apakah untuk itu mereka punya studio juga? Ternyata, penonton tidak usah kecewa, karena pasar yang mereka lihat di sinetron TVRI adalah pasar sebenarnya. Namun, dengan cara begitu, shooting di tempat umum jelas banyak risikonya. Pemotretan bisa tak lancar dan banyak suara mengganggu. Deru mobil atau jerit penjual ikan, misalnya. Ali Shabab, 48 tahun, mengambil jalan pintas. Ia membangun studio alam, di atas tanah 2 ha di Desa Palasari, Cimacan, Jawa Barat. Namanya "Studio Alam Fokus" yang bernaung di bawah bendera swasta, PT Sentra Fokus. Modalnya? "Di atas Rp 500 juta," kata Ali tanpa menyebut jumlah persisnya. Di sana, sutradara 20 film itu bisa lebih leluasa menata lokasi film. Mau di pinggir danau, oke, di kamar makan boleh. Semuanya bebas dari gangguan umum. "Saya tidak mau capek mencari-cari lokasi dan mengemis macam-macam," kata Ali, yang sejak 1979 sudah merintis pembuatan video dokumenter. Ide untuk memiliki studio alam pribadi ini muncul sekitar delapan tahun lalu," kata Ali Shahab. Tepatnya, ketika ia -- masih bersama Rahayu Effendi memimpin PT September Promotions (Sepro) -- mulai menggarap sinetron TVRI Rumah Masa Depan (RMD). Ketika itu ia mengusulkan ke pihak TVRI agar menggarap RMD di luar studio TVRI, yakni dibekas tempat pembuangan sampah, di Desa Sukmajaya, Cimanggis. Usul ini terlaksana, akhirnya. Di sanalah dilakukan pemotretan sebagian besar dari 29 episode RMD paket pertama.

Sementara itu, diam-diam Ali Shahab berupaya terus. Ia mulai mencicil tanah. "Bisa 2.000 meter. Lain waktu 3.000 meter. Pokoknya tergantung kondisi keuangan. Kami semua kan sektor ekonomi lemah," katanya tersenyum lebar. Belakangan usahanya ini terpacu oleh tawaran BKKBN, yang bersama TVRI ingin melanjutkan serial RMD. Tawaran itu diterima Ali Shahab, seluruhnya 15 episode, dengan biaya Rp 25 juta sampai 40 juta untuk satu episode. Studio alam milik Fokus kini baru "bermain" dengan satu rumah yang menjadi kediaman keluarga Sukri -- tokoh sentral RMD. Rumah itu berupa rumah jadi dari beton. Jika kamera memotret suasana belakang rumah, tampaklah jajaran Gunung Gede dan Gunung Salak. Jika mengambil sudut muka, terlihat hamparan air danau dan sebuah air terjun buatan. "Saya lebih bebas mengambil sudut pemotretan," kata Ali.Katanya, pembangunan studio alam ini memang sangat terencana. Pasalnya, sebelum dibangun, ia sudah menentukan sudut-sudut mata kamera. Sedangkan kalau menyewa rumah orang lain, seperti yang selama ini lazim dilakukan, ia serasa dihadapkan pada banyak hambatan. "Mau meletakkan kamera di tempat yang bagus, ketabrak dinding rumah itu. Belum lagi keributan di sekeliling rumah." Dengan setting baru itu, sudah lima episode RMD diselesaikan hanya dalam tempo 21 hari shooting. "Artinya, satu episode hanya memakan waktu empat seperlima hari," ujar Ali. Setelah itu, film akan diolah di studio itu juga. Dalam mekanisme kerja yang ditunjang oleh studio dan peralatan baru itu, kini Ali Shahab sudah bisa memperkirakan "hasil akhirnya". Ini dimungkinkan karena adanya ruang kontrol dengan consult box. Di situ diletakkan perangkat video, tempat sang sutradara mengontrol shooting di bawah, sambil memberikan aba-aba jika ada yang kurang. Singkatnya, dengan video itu, Ali sudah bisa menilai apakah pengambilan gambar di bawah sesuai dengan yang diinginkannya atau tidak. Kecanggihan itu juga yang diperhitungkan oleh TVRI dan BKKBN ketika menawarkan 15 serial baru RMD kepada Ali Shahab.
 
Dalam kontrak antara lain disebutkan, serial harus dishoot dengan kamera high band. "Supaya bisa dijual ke luar," kata Husein Aziz, Kepala Stasiun TVRI Jakarta. Potensi artistik ini dipujikan oleh Husein, sementara TVRI tetap akan membuat sinetronnya di studio Cimanggis. Studio yang diresmikan pada 1987 itu, menurut Husein, akan disempurnakan secara bertahap. Hambatannya, ya, karena dana terbatas. Di pihak lain, Ali Shahab, yang pernah disanjung oleh para kritikus karena keberhasilan sinetronnya yang berjudul Juragan Sulaeman itu, kini memusatkan kegiatannya pada pembangunan fisik studio alam di Cimacan itu. Di situ akan dibangun lima rumah lagi -- masing-masing mewakili arsitektur daerah. Tapi buat apa? "Kalau memerlukan lokasi di luar kota, di Gunungkidul, misalnya, eksteriornya kita ambil di sana, tapi shoot interiornya bisa di studio ini," Ali menjelaskan. Seiring dengan itu, Fokus juga siap dengan peralatan yang lebih canggih. Kamera, misalnya, menggunakan perangkat multiple system. Menurut Ali Shahab, dengan kamera  high band seperti itu, akan dihasilkan shot yang warnanya jauh lebih bagus dan berdaya tahan lebih tinggi. Rupanya, ia jera dengan penggunaan low band. "Karena tidak memenuhi persyaratan penyiaran di negara-negara lain," katanya. Kini dengan high band, Sentra Fokus siap menjual RMD ke Singapura, Malaysia, dan Brunei. Ali Shahab mengakui bahwa perjalanan idealisme seorang seniman, pada akhirnya akan bermuara ke bisnis. "Idealisme melahirkan kreativitas. Tapi kreativitas ditambah manajemen menjadi bisnis," ujarnya. Ali memulai kariernya sebagai wartawan, novelis, dan sutradara teater, meskipun ketika lulus dari ASRI ia bercita-cita menjadi pelukis. Namun, lukisan memang tak selalu harus di atas kanvas. Di atas pita video pun, orang bisa melihat gambar yang bagus.

KARIR DALAM FILMNYA

Mula-mula Ali Shahab terlibat dalam film Di Balik Tjahaja Gemerlapan (1966) arahan sutradara Misbach Yusa Biran sebagai penata artistik. Setelah itu ia seolah menghilang, dan baru kembali ke dunia film di awal 1970-an saat berkenalan dengan Suzana dan Dicky Suprapto pemilik Tidar Jaya Film.

“Mereka inilah yang kemudian memberikan kepercayaan pada Shahab untuk jadi sutradara film-film mereka,” tulis Kompas edisi 24 Februari 1976.

Film Beranak dalam Kubur (1972) yang dibintangi Suzana banyak disebut sebagai karya pertamanya sebagai sutradara. Namun, sebagian sumber lain menyebutkan film yang diangkat dari komik “Tangisan di Malam Kabut” karya Ganes TH itu disutradarai Awaludin. Kemungkinan lain adalah film ini disutradarai mereka berdua, atau Ali Shahab bertugas sebagai asisten sutradara.

Salah satu sumber yang secara tidak langsung menyebutkan bahwa Beranak dalam Kubur bukan karya pertamanya adalah Kompas edisi Jumat, 14 September 1973, yang membahas film Bumi Makin Panas.

“Terlalu berlebihan untuk menuntut terlampau banyak dari seorang Ali Shahab yang pertama kali bekerja sebagai sutradara film. Namun, jika yang diharapkan adalah tontonan yang tidak bermokal-mokal, tidak diruwetkan oleh pretensi yang macam-macam dan lumayan menghibur, inilah dia Bumi Makin Panas (Tidar Jaya Film) hasil kerja pertamanya tersebut,” tulis Kompas.

Sebagai karya pertamanya—jika mengacu pada KompasBumi Makin Panas (1973) dianggap tidak terlalu berhasil sebagai sebuah film yang baik dan menimbulkan kebingungan penonton.

Dalam catatan Kompas, meski kisahnya cukup jelas, film ini disajikan lewat pendekatan periodisasi dan dieksekusi Ali Shahab secara kering dan skematis. Ini bisa ditafsirkan sebagai gambaran seorang sutradara yang tengah berproses pada fase awal kariernya.

Tahun 1960-an, saat ia masih menjadi wartawan, Ali Shahab menulis novel Tante Girang yang membuatnya menjadi populer.

“Dengan novel yang dicetak tiga kali itu saya berhasil liburan di Singapura selama dua bulan. Dan di sana (Singapura) timbullah novel berikutnya. Kejadian ini memang nampaknya fantastis. Hanya karena satu novel itu saya disebut orang sebagai penulis, sebagai novelis. Maka karena sebutan itu pula saya meneruskan karir jadi penulis,” katanya seperti dikutip Kompas edisi 24 Februari 1976.

Bagi sebagian kalangan, terutama yang bergelut di bidang sastra, sejumlah novel yang ditulisnya dianggap sebagai karya pop dan bertujuan murni komersial. Ini tidak ia sanggah. Ali Shahab bahkan menegaskan bahwa baginya komersial itu adalah sesuatu yang adil dalam dunia hiburan.

Lagi pula, imbuhnya, ia tak terlalu hirau dengan nilai kesenian atau nilai sastra dalam novel-novelnya yang banyak diadaptasi menjadi film. Ia hanya berusaha menulis baik dan karyanya ingin dibaca banyak orang.

“Di samping menulis yang baik, saya ingin tulisan saya dibaca sebanyak mungkin orang. Buat apa film saya dihadiahi piala banyak, sementara cuma ditonton segelintir orang. Saya tidak mau jadi sineas yang kesepian,” ujarnya.

Ia juga menekankan bahwa meski karya-karyanya ditujukan agar dibaca sebanyak mungkin orang, tapi tidak serta-merta membuatnya lalai dengan mengabaikan nilai-nilai yang terkandung dalam novel tersebut.

“Saya sekarang jadi ‘sesuatu’ kan karena banyak orang yang membaca novel atau melihat film saya. Saya kan tidak mau kehilangan mereka. Komunikasi itu harus dibina terus. Tapi di pihak lain, saya harus berikan dagangan saya yang baik dan tidak meracuni mereka,” ucapnya.

Ia tidak berusaha menyajikan persoalan-persoalan rumit dalam karyanya. Ia ingin menghibur masyarakat tanpa abai terhadap kualitas karyanya. Agar filmnya laku di pasaran, Ali Shahab kerap menonton banyak film saat ia bepergian ke luar negeri. Selain itu, ia juga rajin berkomunikasi dengan para importir dan produser film untuk membicarakan kecenderungan film yang tengah digandrungi masyarakat.

Ali Shahab mengumpamakan kondisi masyarakat saat itu, yang menjadi sasaran karya-karyanya, dengan ambisi kemajuan teknologi yang tidak berjejak pada persoalan keseharian.

“Kalau rakyat masih ngurusin banjir janganlah kita bikin roket untuk ke bulan. Kita tidak jadi pahlawan dengan sikap demikian itu. Tanggulangilah banjir itu, maka rakyat tentu akan berterimakasih,” ungkapnya dalam Kompas edisi 24 Februari 1976.

 Ketika hiburan di televisi mulai digemari masyarakat, Ali Shahab pun merintis kariernya di dunia baru itu. Pada 1980-an, ia melahirkan serial Rumah Masa Depan yang selalu ditunggu pemirsa TVRI. Ia juga membidani lahirnya sinetron Nyai Dasima dan Angkot Haji Imron.

“Ali Shahab tidak tanggung-tanggung terjun ke dunia sinetron. Dialah orang pertama yang memiliki studio lengkap di atas tanah seluas 15 hektar di Pacet, Cianjur. Maka, gelar sebagai pelopor [sinetron] sebenarnya lebih pantas buat dia ketimbang tokoh yang lain,” tulis Ilham Bintang dalam Mengamati Daun-daun Kecil kehidupan (2007).

Namun, bertahun-tahun kemudian, saat stasiun televisi telah begitu banyak, namanya perlahan mulai dilupakan. Ini karena ia tidak mau berkompromi dengan sejumlah stasiun televisi yang menurutnya terlalu mengejar rating dengan menggadaikan mutu program-program yang mereka tayangkan.

Dalam sebuah acara selamatan produksi sinetron yang menekankan unsur pendidikan, ia berkata kepada Ilham Bintang, “Aku bertapa di sini. Aku tak sanggup mengikuti jalan pikiran para programmer televisi. Mereka menjungkir balikkan nilai-nilai.”

Ungkapannya itu seolah-olah menegaskan bahwa meski dari dulu ia menggarap karya-karya yang dianggap terlampau komersial, ia selalu sadar bahwa masyarakat yang menggandrungi karya-karyanya tidak boleh dianggap hanya sebagai pasar. Baginya, harus ada semacam tanggung jawab sosial di balik karya tiap penulis atau sutradara.

Dalam lagu pembuka Pepesan Kosong yang santai, cair, dan menghibur, terdapat sepenggal lirik yang berbunyi:

“Pepesan kosong lagu Betawi/lagu Betawi ada bukan Semarang/paling kasian anak Betawi/paling kasian anak Betawi/negerinye ilang diambil orang/Senayan digusur/Kebayoran digusur/Kuningan digusur/engkong digusur/encang digusur/buyut digusur/encing digusur”

Lirik tersebut barangkali menunjukkan sikapnya terhadap kesenian yang bertahun-tahun ia geluti. Kesenian yang “menanggulangi banjir” dan “tidak meracuni”.


MANUSIA ENAM JUTA DOLLAR 1981 ALI SHAHAB
Director
MISTRI SUMUR TUA 1987 ALI SHAHAB
Director
PULAU CINTA 1978 ALI SHAHAB
Director
RANJANG SIANG RANJANG MALAM 1976 ALI SHAHAB
Director
NAPSU GILA 1973 ALI SHAHAB
Director
BERANAK DALAM KUBUR 1971 AWALUDIN
Director
KISAH ANAK-ANAK ADAM 1988 ALI SHAHAB
Director
RAHASIA PERAWAN 1975 ALI SHAHAB
Director
GADIS BIONIK 1982 ALI SHAHAB
Director
BUMI MAKIN PANAS 1973 ALI SHAHAB
Director
DETIK-DETIK CINTA MENYENTUH 1981 ALI SHAHAB
Director
CEMBURU NIH YEE... 1986 ALI SHAHAB
Director
GAUN HITAM 1977 ALI SHAHAB
Director
NAPAS PEREMPUAN 1978 ALI SHAHAB
Director

Tidak ada komentar:

Posting Komentar