Minggu, 02 Mei 2010

SENSOR segala Aspek

SENSOR
Segala Aspek


Mengilas balik penyensoran terhadap filmâ€"atau umumnyasinemaâ€"Indonesia, saya mencatat setidaknya ada empat macam sensor,yakni sensor administratif, sensor ideologis, sensor moral, dan sensorkomunal. Saat Eros Djarot hendak menyutradarai Tjoet Nja’ Dhien(1988), dia harus memenuhi sebarisan persyaratan administratif, antaralain: pernah beberapa kali menjadi asisten sutradara dalam produksifilm, dan Eros tak memenuhi itu, sehingga banyak rintanganmenghadangnya, termasuk ancaman tak mendapat izin memproduksi. Halsenada dialami Garin Nugroho saat membesut Cinta dalam Sepotong Roti(1991) dan kemudian Surat untuk Bidadari (1992)â€"yang ketika judulkedua ini memenangi penghargaan dalam festival film di luar negeri segera disambut media massa bahwa itu film plagiat.

Sensor ideologis diberlakukan bagi film yang dianggap bertentangan dengan ideologi negara, atau yang dirasa bakal menggoyah kekuasaan partai politik yang menyangga dan disangga pemerintah, atau yang mempertanyakan secara kritis kebijakan pembangunan dan/atau ”success story” pembangunan rezim Orde Baru. Contoh-contohnya, antara lain: Matahari-Matahari (Arifin C Noer, 1985), Di Bawah Lindungan Ka’bah (Asrul Sani, 1981), Bung Kecil (Sophan Sophiaan, 1983), Yang Muda yang Bercinta (Sjuman Djaya, 1977), Koruptor-Koruptor (Arifin C Noer, 1978), dan Kanan-Kiri OK (Yasman Yazid, 1989).

Dalam kisahnya, Matahari-Matahari, Yang Muda yang Bercinta, dan Koruptor-Koruptor antara lain digambarkan adanya petinggi negeri yang korup, tokoh tua yang feodal dan hipokrit, serta ada banyak masyarakat yang tetap tersia-sia karena dampak pembangunan(isme). Itu sebabnya,agar bisa lolos sensor, Matahari-Matahari perlu ”disimpan” dalam laci lembaga sensor kecuali jika sutradaranya mau mempermak beberapa adegan agak kontras sosial itu tak tegas-tegas amat. Sama dan sebangun dengan Koruptor- Koruptor, yang juga harus mengubah judulnya menjadi Petualang-Petualang.

Bahwa ada adegan Poppy Dharsono mandi bareng Rudy Salam dalam sebuah telagaâ€"dan itu mengasosiasi pada sensualitas, bahkan seksualitasâ€"toh yang jadi pertimbangan utama penyensoran adalah cerita rekaan Umar Kayam yang intinya adalah perbedaan generasi, selain isi sajak-sajak yang disuarakan penyajak Rendra (pemeran Sonny) yang kala itu memang terbilang menyengat penguasa. Itu sebabnya, tanda lolos sensor pada tengah April 1978 itu hanya berumur satu bulan, karena film ini dinilai punya anasir propaganda, agitasi, dan menghasut masyarakat, terutama generasi muda. Butuh belasan tahun untuk memendam film ini sebelum akhirnya boleh diedarkan.

Sementara Di Bawah Lindungan Ka’bahâ€"awalnya adalah novel karya Hamkaâ€"harus memimikrikan judulnya menjadi Para Perintis Kemerdekaan, lantaran kabah adalah simbol sebuah partai politik yang bisa menjadi ancaman partai pemerintah: Golongan Karya. Akan halnya film dagelan Kanan-Kiri OK, apa pula lambaran ideologisnya? Kata kiri mengacu pada ideologi kekiri-kirian yang bisa berarti marxisme-leninisme-komunisme. Itu musababnya, daripada film yang awalnya dijuduli Kiri-Kanan OK itu diganyang, atas rekomendasi lembaga sensor judulnya dibalik menjadi Kanan-Kiri OK.

Sensor komunal berlaku untuk Max Havelaar (Fons Rademakers & Mochtar Soemadimedjo, 1976), yang dikhawatirkan memancing reaksi keras masyarakat Banten, lantaran dalam film ini digambarkan Bupati Lebak yang memeras rakyatnya; atau Damarwulan (L Sudjio, 1983), yang berkisah perihal Damarwulan sebagai sosok hero, yang bagi masyarakat Banyuwangi justru merupakan musuh Minakjingga, sosok pahlawan masyarakat ujung timur Pulau Jawa.

Sensor jenis keempat, sensor moral, kaitannya dengan adegan yang dianggap sensual, yang dalam terminologi lembaga sensor dan umumnya masyarakat secara gampangan disebut pornografis. Contohnya, ya yang dicuplikkan Lembaga Sensor Film (LSF) saat mengundang para pemimpin keagamaan ke kantornya pada Selasa, 16 Januari 2007; yang juga diulang-kembali pada Rabu, 6 Februari 2008. Tampaknya atas nama sensor moral pula LSF benar-benar memenggal judul sinema-televisi Matinya Seorang Penari Telanjang menjadi Penariâ€"dan jabaran moral itu hanyalah: dilarang pakai kosakata telanjang.

Tentu, pelbagai ragam sensor itu tak jalan sendiri-sendiri. LSF bisa memberlakukan dua di antaranya atau malah ketiganyaâ€" minus sensor administratif yang setara litsus (penelitian khusus) alias screening itu, karena relatif sudah tak adaâ€"macam saat memenggal visualisasi
foto sepasang ayah-ibu berkopiah-berkerudung dalam Cerita Jogja (Upi, 2007) (bagian dari Perempuan Punya Cerita/Chants of Lotus) yang menggabungkan sensor ideologis dan sensor moral; selain juga terhadap film ”asing” Schindler’s List (Steven Spielberg, 1993) yang argumentasi penahanan peredaran dan penyensoran diatasnamakan untuk membuang adegan kekerasan dan pornografi, selain khawatir akan kemungkinan terbangkitnya ”kontroversi dalam masyarakat karena propaganda Yahudi”.

Atas nama kewenangan lembaga sensor yang diberi mandat menggunting adegan dengan pelbagai argumentasiâ€"yang bisa saja sangat tidak argumentatifâ€"jadinya tiada lagi peluang dan kemungkinan untuk memperdebatkan bahwa ”pornografi” yang dimaksudkan dalam Schindler’s List adalah gambaran orang-orang Yahudi yang menderita bahkan pakaian pun tak tersedia, atau foto ayah-ibu dalam kamar yang sedang dipakai having sex remaja Yogya merupakan keniscayaan bagi gambaran betapa orangtua cuma dijadikan pajangan; dan seterusnya.

Kendati ragam sensor itu dipakai dasar pemenggalan adegan, terkesan kuat bahwa yang disensor LSF adalah yang berkait dengan moral. Itu sebabnya, wacana yang muncul bagi adanya tuntutan pembubaran lembaga sensor sama artinya dengan membiarkan moral jadi terkacaukan dan kebebasan ekspresi sama artinya dengan menabrak-nabrak dan melabrak etika, moral, dan norma keagamaan. Padahal, karya sinema tidak berhenti sebagai semata ekspresi seni belaka; karya sinemaâ€"sebagaimana karya fiksi dan nonfiksi umumnyaâ€"merupakan sebuah tawaran ide, bahkan ideologi. Tentu, yang dimaksudkan dengan ideologi di sini tidak harus dalam jabaran yang serba besar macam ideologi marxisme, kapitalisme, Pancasila, dan sebangsanya. Dia bisa ”sekadar’’ ide sineas mengenai kehidupan remaja, ide mengenai kontroversi aborsi, atau tafsir atas tafsir perihal poligami, dan seterusnya.

Dalam pemahaman karya kreatifâ€"termasuk filmâ€"sebagai ujud tawaran suatu ide, memenggal adegan atau memangkas judul, atau apa pun sebagaimana yang selama ini LSF lakukan, sama maknanya dengan memenggal atau menghalang-halangi keutuhan sebuah ide atau ideologi. Jadinya, LSF menjadi kepanjangan tangan negara atau penguasa atau kelompok tertentu untuk menindas kemungkinan beragamnya ide, ideologi, pendapat, wacana, dan tata nilai.

Memenggal, memangkas, dan semacamnya atas karya kreatif sinema sama artinya dengan mencorat-coret sebuah lukisan, atau bahkan menambah dan mengganti warna lukisan; dan itu sama artinya dengan menerabas moral rights. Perusakan terhadap moral rights harusnya ada aturan hukumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar