Rabu, 26 Januari 2011

IBUNDA / 1986

IBUNDA
  MOTHER
 

Film ini menceritakan sebuah kisah di kota Jakarta, ketika Ibu Rakhim (Tuti Indra Malaon) seorang janda priyayi, menghadapi dua masalah terpisah dalam keluarganya. Fitri anak perempuan bungsunya, mempunyai pacar Luke (Alex Komang) yang dibenci oleh Farida (Niniek L. Karim), kakak Fitri, dan suaminya yang kaya dari kalangan bangsawan Jawa, Gatot, karena Luke adalah seorang Papua bukan Orang Jawa. Pada saat yang bersamaan anak laki-lakinya, Fikar, meninggalkan istri dan anak-anaknya untuk tinggal dengan seorang artis. Film ini berusaha menunjukkan sisi psikologi dari seorang ibu dan hubungan moral diantaranya dalam menyelesaikan masalah keluarganya. Masalah muncul dari tingkah laku Zulfikar anak ketiga yang jadi bintang film. Zulfikar berkeluarga dengan satu anak, menimbulkan soal karena menjadi piaraan seorang perempuan setengah baya yang tampaknya berada di belakang suksesnya bintang layar ini. Masalah lain terjalinnya cinta Fitri (Ria Irawan) anak bungsu dengan pemuda simpatik dan terpelajar asal Irian Jaya. Diakhir cerita kedua persoalan terselesaikan dengan baik -ketika seluruh keluarga berkumpul dan makan pagi bersama di rumah sang Ibu. Hal yang paling terpenting dari film ini adalah Gambarannya manis tentang keluarga ini. Pada sebelumnya film Teguh, keluarga tampil dengan kondidi buruk. Keluarga adalah bencana.

Tapi film ini menarik bukan hanya gambaran tentang keluarga yang lain dari pada yang lain, seperti yang digambarkan Teguh dalam film sebelumnya, tapi penyajian ceritanya. Sebuah film Indonesia bagus, karena ia beda dengan film cerita yang ada/kebanyakan. Itu kriteria termudah, dan film ini juga begitu. Tampil dengan cerita yang sederhana kehidupan sehari-hari yang kita kenal, dialog yang wajar, pas, yang tanpa meminta perhatian. Ibu Rahim dan anak-anaknya menghadapi persoalan Zulfikar yang menjadi piaraan dan soal Fitri yang menghilang karena hubungannya dengan pemuda Irian dibendung keluarga. Tapi keluarga menangani persoalan itu dengan wajar sebagaimana mestinya keluarga yang berlatar belakang priyai.

Istri Zulfikar (Ayu Azhari) malah menyembunyikan pada mertuanya kenyataan bahwa suaminya sudah lama tidak pulang. Tidak ada tangisan yang meratap dalam film ini seperti film Indonesia kebanyakan saat itu.Bahkan istri merasa malu karena ulah suaminya. Dan istri ini malah sempat sekongkol dengan ipar-iparnya untuk menyembunyikan Fitri, ketika yang terakhir ini menyatakan protesnya atas sikap sebahagian keluarga mengenai hubungannya dengan si pemuda Irian itu. Soal itu sendiri akhirnya teratasi bukan karena kotbah tentang perlunya interigitasi nasional atau tentang harga manusia yang sama di mata Allah. Sang ibu hanya menjelaskan keluarganya juga blasteran dan karena itu tidak ada alasan untuk tidak menerima orang lain. Bagi sebahagian anggota keluarga, soalnya juga tidak begitu serius, sebab seperti layaknya anggapan anak muda sekarang, baik Irian, Jawa maupun Timor itu adalah urusan masing-masing lah. Mungkin kesalahan dalam cerita ini adalah lepasnya Zulfikar terhadap tante. Tapi lembaga tante girang ini dari semula memang sebuah tanda tanya. Memang ada???Atau sekedar lanjjutan cerita-cerita tahun empat puluhan. Cerita yang baik, skenario yang bagus, penyutradaraan yang teliti telah menemukan bentuk lewat para pemainnya yang hampir sempurna. Memang Teguh orang teater harus menampilkan persiapan dan pemain yang sempurna. Penanganan Teguh atas cerita dan dialog yang baik membuka kemungkinan permainan yang mengesankan. Film cerita keluarga yang bagai musik dengan nada rendah selalu bisa terjatuh dalam suatu monotoni. Kemampuan sinematograpfis Teguh berhasil mengatasi hal demikian. Ada irama yang terjaga rapi. Dan berbeda dengan pada film terdahulu. Kecenderungan artistik dalam film Teguh (ia mulai dari art director), kini menemukan bentuknya dalam sebuah konfigurasi berbagai aspek kebolehan yang diperolehnya sejak mulai membuat film Wajah Seorang Lelaki. Film ini karya terbaik Teguh.
P.T. SATRIA PERKASA ESTHETIKA FILM
P.T. SUFIN
TUTI INDRA MALAON
NINIEK L. KARIM
ALEX KOMANG
AYU AZHARI
WAWAN SARWANI
GALEB HUSEIN
ROSSY S. DRADJAT
RIA IRAWAN
ONNY MAYOR


NOTE: Melanjutkan semangat perjuangan yang mengimbas dari film Doea Tanda Mata, Teguh memilih cerita tentang seorang ibu yang memiliki banyak anak yang berbeda watak dan keinginannya, tetapi mampu diatasi berdasarkan cinta kasih yang timbul dari rasa memiliki. Tokoh Ibunda diibaratkan sebagai ibu pertiwi yang memiliki banyak masalah karena berbagai perbedaan suku bangsa dan adat istiadat, tapi segalanya tetap bersatu dan mengatasi masalahnya dengan cinta kasih karena menyadari bahwa pada dasarnya kita sebangsa dan setanah air.

News
19 Juli 1986 
Ibu yang wajar, keluarga yang wajar


IBUNDA Cerita, skenario, sutradara: Teguh Karya Pemain: Tuti Indra Malaon, Alex Komang, Ria Irawan, Galeb Husin, Niniek L. Karim Produser: PT Satrya Perkasa Esthetika Film. PT Suptan Film INI kisah sebuah keluarga sederhana. Ibu Rahim (Tuti Indra Malaon) adalah janda dengan beberapa anak. Tiga sudah kawin, dua masih ikut ibu. Dan ibu serta dua anak ini, yang tinggal di rumah bersahaja di sebuah gang di Jakarta hidup dari bantuan sang menantu, Mas Gatot (Galeb Husin), suami Farida (Niniek L. Karim), anak tertua. Para penonton berkenalan dengan keluarga Ibu Rahim lewat dua masalah yang menjalin cerita. Masalah pertama muncul dari tingkah laku Zulfikar (Alex Komang), anak ketiga yang jadi bintang film. Zulfikar, berkeluarga dengan satu anak, menimbulkan soal karena menjadi piaraan seorang perempuan setengah baya yang tampaknya berada di belakang sukses bintang layar putih ini. Masalah lain ialah terjalinnya cinta Fitri (Ria Irawan) anak bungsu, dengan pemuda simpatik dan terpelajar asal Irian Jaya. Di akhir cerita, kedua persoalan terselesaikan dengan baik ketika seluruh keluarga berkumpul dan makan pagi bersama di rumah sang ibu. Bagi mereka yang mengamati film-film Teguh Karya, satu hal yang dengan segera mengesankan dari Ibunda ialah gambaran manis tentang keluarga. Pada sebagian besar karya Teguh, keluarga selalu tampil dengan konotasi buruk. Keluarga adalah bencana.

Tapi jika film ini menarik, tentulah bukan karena sikap Teguh yang baru itu. Melainkan, karena cara menyampaikan kisahnya. Sebuah film Indonesia bagus karena ia berbeda dari kebanyakan film Indonesia lain. Paling tidak, itu kriteria termudah dan itu pula yang terasa pada Ibunda. Berlainan dari kebanyakan film kita yang ceritanya bombastis dan dialognya melambung-lambung, Ibunda tampil dengan cerita sederhana, bahkan datar -- seperti hidup sehari-hari yang kita kenal -- dengan dialog yang wajar, pas, tanpa tanda seru yang meminta perhatian. Juga, berbeda dengan kebanyakan film Indonesia yang menjejalkan pesannya lewat cerita -- yang sesungguhnya masih dalam tingkat gagasan -- serta dialog yang hanya mungkin ditemukan dalam sandiwara propaganda, Ibunda mencapai bentuk bercerita yang subtil. Ibu Rahim dan anak-anaknya menghadapi soal Zulfikar yang jadi piaraan dan soal Fitri yang menghilang lantaran hubungannya dengan si pemuda Irian dibendung keluarga. Tapi keluarga itu menangani soal dengan cara wajar, sebagaimana mestinya reaksi suatu kalangan menengah bawah dengan latar belakang priayi. Istri Zulfikar (Ayu Azhari) malah menyembunyikan kepada mertuanya kenyataan bahwa suaminya sudah lama tidak pulang ke rumah. Tidak ada tangis, apalagi dialog meratap yang kita kenal menjadi ciri khas film nasional itu. Bahkan sang istri merasa malu oleh ulah suaminya. Dan istri yang malang ini masih pula sempat "bersekongkol" dengan ipar-iparnya untuk menyembunyikan Fitri, ketika yang terakhir itu menyatakan protesnya terhadap sikap sebagian anggota keluarga mengenai hubungannya dengan si pemuda Irian. Penolakan terhadap pemuda Irian itu sendiri akhirnya teratasi bukan karena khotbah tentang perlunya integrasi nasional atau tentang harga manusia yang sama di mata Allah. Sang ibu hanya menjelaskan, keluarganya juga blasteran, dan karena itu tidak ada alasan untuk tidak menerima orang lain. Bagi sebagian anggota yang lain dari keluarga itu, soalnya sebenarnya juga tidak begitu serius -- sebab, seperti layaknya anggapan anak muda sekarang, baik Irian, Jawa, maupun Timor, itu urusan masing-masinglah.

Yang barangkali masih mungkin diperbaiki ialah proses lepasnya Zulfikar dari sang tante. Tapi lembaga "tante girang" ini dari semula memang sebuah tanda tanya. Memang ada? Atau sekadar lanjutan cerita-cerita tahun enam puluhan, yang tumbuh banyak novel murahan? Ada kesan, dalam Ibunda "tante girang" diciptakan Teguh hanya sebagai cantolan bagi masalah yang timbul dari Zulfikar -- termasuk, dengan menjadikan pemuda ini piaraan seorang tante yang dekat dengan para produser film, langkah kakinya untuk menjadi bintang film. Dan terbukalah kesempatan bagi Teguh Karya untuk menampilkan adegan film dalam film, yang mengingatkan kita pada The French Lieutenant Woman. Sayang, Teguh tidak setrampil Harold Pinter, penulis skenario film asing itu: adegan film pada Ibunda hanya terasa dilekatkan untuk mendapatkan efek. Penonton tampaknya dibujuk untuk menerima bahwa, pada gilirannya lewat peranannya dalam film pulalah, antara lain Zulfikar akhirnya sadar untuk kembali kepada istri dan anaknya. Tapi lantaran jatuhnya Zulfikar ke sang tante tidak digambarkan dengan meyakinkan, tobatnya pun tidak berhasil membujuk penonton untuk yakin. Semua itu sambil tak mengingkari bahwa adegan film dalam film adalah tontonan tersendiri yang memikat -- kalau kita suka menyaksikan dua tontonan lewat sebuah film. Cerita yang baik, skenario yang bagus, dan penyutradaraan yang teliti telah menemukan bentuknya lewat para pemain yang tampil hampir sempurna. Dan Teguh Karya -- orang teater -- memang tertuntut menampilkan pemain dengan persiapan rapi. Tidak semua pemeran Ibunda punya latar belakang teater, yang berarti akting. Tapi penanganan Teguh atas cerita dan dialog yang baik membuka kemungkinan permainan yang mengesankan. Tuti Indra Malaon, seperti biasanya bermain bagus: sosok dan watak Ibu Rahim serta riwayat panjang keluarga itu muncul anggun lewat aktris ini. Kecuali Alex Komang, rata-rata pemain memang membawakan peranan dengan baik. Tapi yang rasanya menonjol adalah Niniek L. Karim. Kemampuannya dalam memerankan tokoh anak tertua dan tersukses, yang memegang fungsi penghubung dalam keluarga, itulah terutama, saya kira, yang membuat cerita mengalir, utuh, dan hidup.

Film dengan cerita keluarga yang bagai musik dengan nada rendah selalu bisa terjatuh dalam suatu monotoni. Kemampuan sinematografis Teguh berhasil mengatasi hal demikian. Ada irama yang terjaga rapi. Dan, berbeda dengan pada film-filmnya terdahulu media untuk menyatakan irama itu kini telah merupakan bagian integral, bukan lagi tempelan. Kecenderungan artistri Teguh (ia mulanya seorang art director) kini telah menemukan bentuknya yang tepat dalam sebuah konfigurasi berbagai aspek kebolehan yang diperolehnya sejak mulai membikin Wajah Seorang Laki-Laki -- yang secara bersama menjadikan film ini tontonan memikat. Barangkali tidak berlebihan untuk menyebut Ibunda karya terbaik Teguh hingga saat ini. Salim Said

Tidak ada komentar:

Posting Komentar