Tampilkan postingan dengan label HANYA MENGIKUTI PASAR ATAU PRODUSER MENCEKOKI PENONTON?. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label HANYA MENGIKUTI PASAR ATAU PRODUSER MENCEKOKI PENONTON?. Tampilkan semua postingan

Selasa, 29 November 2011

FILM SEX, HANYA MENGIKUTI PASAR ATAU PRODUSER MENCEKOKI PENONTON?

 FILM SEX, HANYA MENGIKUTI PASAR ATAU PRODUSER MENCEKOKI PENONTON?
 

Sudah saya bilang, pornografi adalah ratting tertinggi penontonnya, artinya yang akan ditonton oleh semua orang, baik yang malu-malu ataupun yang terang terangan. Yang pasti pornografi dari jaman dulu memang sudah di sukai semua orang. Jadi jelas disini, kalau mau laku ya, bikin pornografi. Baik yang terang-terangan atau yang malu-malu dengan sejumlah alasan. Tetapi kalau mau tidak terlalu untung besar, kan bisa tanpa pornografi?

Sekarang pertanyaan saya adalah, apakah produser mau untung besar banget dengan modal kecil. Atau mau untung biasa saja? Dari pertanyaaan ini bisa diartikan serakah keuntungan atau tidak?

Jadi siapa yang sebenarnya? Kata Produser mengikuti pasar penonton? Atau kata penonton mengikuti pasar film? Ini sama saja mencari jawaban, telur dulu atau ayam?????

25 Juni 1994


Film indonesia, silakan back to basic 
SEORANG
gadis cantik melepaskan sepatunya, stokingnya, blusnya, lalu roknya yang berwarna merah. Seorang lelaki mendekatinya, menggendongnya, membawanya ke ranjang. Dan kemudian ranjang bergoyang-goyang. Pada saat lain seorang gadis desa yang belum lama di kota, hampir menjadi bulan-bulanan pemerkosaan pamannya. Ia sempat kabur. Di tengah jalan, terjadi lagi adegan "hampir" itu, oleh lima pemabuk. Untunglah, seorang lelaki mengaku fotografer free-lance menolongnya. Dan seterusnya, dan apa pun yang ingin diceritakan, adegan buka- bukaan (secara sukarela atau dipaksa), gendong-menggendong, atau tindih-menindih itulah yang disajikan. Inilah film berjudul Gaun Merah, yang pekan lalu beredar di Jakarta, juga Bali. Seperti itulah dalam satu setengah tahun belakangan ini prototip sebagian besar film Indonesia. Apa pun judulnya, adegan semacam itu yang berulang disajikan. Adapun cerita boleh dianggap tak ada. Begitulah laporan wartawan dan koresponden TEMPO di berbagai kota, yang menonton berbagai film Indonesia. Dari Gaun Merah sampai Cinta dalam Nafsu, dari Gadis Malam sampai Akibat Hamil Muda. Dan film Indonesia jenis itulah, tampaknya, yang mendapatkan penonton. Jenis yang lain, film laga (action) misalnya, asal dibumbui seks secukupnya, ditanggung mengundang penonton juga. Pun film komedi gaya Warkop, yang belakangan aroma seksnya makin semarak, laris. Tanpa bumbu seperti itu, lazimnya film itu seret. 

Menurut data PT Perfin, distributor tunggal film Indonesia, di Jakarta tahun 1993 film komedi karya Putu Wijaya, Plong, yang tak mencoba bermain-main dengan seks, hanya mendapatkan sekitar 8.400 penonton. Sedangkan film yang berbau seks, Gadis Metropolis, umpamanya, ditonton lebih dari 200.000 orang. Pada triwulan pertama tahun ini, perbandingan seperti itu masih terjadi: film komidi Si Kabayan hanya memperoleh pembeli karcis hampir 35.000. Sedangkan Gairah Malam mendapatkan penonton hampir 265.000. Tentu, ada perkecualiannya, Ramadhan dan Ramona, pemenang Citra tahun 1992, yang beredar tahun 1993, ternyata laris (lihat tabel). Tetapi lain dulu lain sekarang, film seks masa kini hadir dengan mulus, tanpa komentar ramai, tanpa protes dari masyarakat - protes secara grenengan sih masih ada. Tahun 1989, muncul protes masyarakat, bahkan juga DPR. Waktu itu film Pembalasan Ratu Laut Selatan karya Tjut Djalil dianggap vulgar karena menjadikan seks dan kekerasan sebagai menu utama. Akhirnya, Pembalasan ditarik dari peredaran. Kalau toh ada ramai-ramai soal film seks sekarang ini, bukan filmnya yang diprotes, melainkan posternya. Di Pamekasan, Madura, akhir Mei lalu, para ulama menyatakan keberatan dipasangnya poster-poster film nasional yang menurut mereka tak senonoh. Itu antara lain poster film Gadis Malam, Perempuan, dan Gaun Merah. "Kami keberatan jika poster semacam itu dipasang di muka umum," kata Hamid Manan, Ketua NU Cabang Pamekasan. Keresahan itu langsung mendapat tanggapan dari Mul- yadi, Penjabat Bupati Pamekasan. 
 
 
 
Dua hari kemudian, poster- poster pun diturunkan. Tak jelas mengapa filmnya itu sendiri tak diprotes. Mungkin filmnya masih bisa diterima oleh para kiai itu, atau kemungkinan besar para kiai memang tak menontonnya. Tapi memang, tim Laporan Utama TEMPO kali ini menyimpulkan, poster-poster film Indonesia kini lebih merangsang daripada filmnya itu sendiri. 

Lihat saja poster Cinta dalam Nafsu, yang menggambarkan seorang perempuan telentang penuh gairah. Atau iklan film ini di majalah: lelaki bermotor, memboncengkan seorang wanita asing yang mengibarkan beha putih. Harap maklum, adegan berboncengan dalam keadaan topless itu tak ada dalam filmnya -- mungkin kena gunting sensor. Tapi, tak lalu film-filmnya itu sendiri bertutur dengan gambar-gambar yang alim. Seperti sudah disinggung, film jenis ini mementingkan gambar, mengabaikan cerita. Cinta dalam Nafsu adalah cerita seorang suami, pengusaha kaya dan tampan, yang cerai dengan istrinya. Lalu, sepanjang film itu ia jatuh ke pelukan wanita yang satu pindah ke yang lain. Maka, sepanjang film pun, sekitar 70 menit, adalah adegan percumbuan ke adegan ranjang. Tapi apa salahnya menyajikan adegan seks? "Seks itu indah, dan itulah yang diungkapkan dalam film-film bermutu," kata Sutradara Slamet Rahardjo, yang film kanak-kanaknya, Langitku Rumahku, banyak dibicarakan para pengamat film meski hanya beredar singkat di Indonesia. Slamet tak menjelaskan bagaimana itu "film bermutu". Mungkin ia mengacu pada film Barat, misalnya Last Tango in Paris, yang berkisah tentang dua manusia yang mencari diri, dan caranya dengan melakukan hubungan seks. Atau The Piano, yang melukiskan hubungan seks sebagai alat berkomunikasi dan berekspresi tokoh wanitanya yang terbelenggu oleh suaminya yang tak mau memahaminya. Masalahnya, dalam hal film Indonesia belakangan ini, kata Slamet pula, "apakah adegan-adegan itu ada konteks ceritanya atau tidak, dan bagaimana cara mengungkapkannya." Sayang sekali, adegan seks dalam film kita itu, katanya, lepas dari cerita, dan dari sudut sinematografi cara pengungkapannya sangat vulgar. Sebagai wakil ketua Karyawan Film dan Televisi, yang harus menandatangani rekomendasi untuk produksi sebuah film, Slamet mengaku merasa malu melihat keadaan ini. "Seakan-akan para sutradara sudah kepepet dan kehilangan akal untuk membuat film, hingga mereka mencari jalan pintas untuk bisa menjual filmnya," katanya. Tapi Budiati Abiyoga, produser yang tampak optimistis tentang nasib film Indonesia, tak melihat soal kepepet itu. 
 
Di setiap zaman, katanya, masalah ini akan selalu muncul, karena seks adalah salah satu naluri manusia. Bentuk penampilannya dalam film tentunya disesuaikan dengan zamannya pula. Dan biasanya pula, katanya, akan selalu ada pihak yang menentangnya. Ia memberi contoh. Pada tahun 1960-an, sebuah film berjudul Bumi dan Langit karya Dokter Huyung diprotes oleh Pelajar Islam Indonesia Medan, sebelum sempat beredar. Gara-garanya, poster film itu menggambarkan adegan berciuman antara pria dan wanita. Lalu, tahun 1967, ketika film Indonesia lesu karena keran impor dibuka, muncul Bernapas dalam Lumpur yang mencoba mengatasi kelesuan dengan adegan ranjang. Film ini tercatat sebagai film terlaris masa itu. Suzanna, aktris yang membintanginya, langsung populer sebagai aktris termahal yang berani melakukan adegan ranjang dengan pakaian yang agak terbuka. Bernapas disusul film lain seperti Tante dan Seks. Garin Nugroho, sutradara Cinta dalam Sepotong Roti -- film pemenang Citra tahun 1992 -- kurang optimistis ketimbang Budiati. Menurut Garin, dulu di antara film-film seks lahir sejumlah sutradara baik dengan film yang baik. Karena itu, terjadi keseimbangan, kurang-lebih. Kini, suasana berbeda, karena terasa dunia film makin macet. Setidaknya, dari segi jumlah, dominasi film seks sangat terasa. Lalu, kenapa bisa terjadi dominasi itu? Pada ulang tahun Persatuan Produser Film Indonesia setahun silam, Ketua Komisi Sosial Budaya Dewan Film Nasional, Rosihan Anwar, mengemukakan sebuah konsep, yakni back to basic. Maksudnya, anjuran agar "para produser membuat film dengan formula menghibur, misalnya dengan tema ringan, komedi dibumbui ramuan seks," tutur Rosihan. 

Rosihan mengemukakan "konsep" itu menjawab keluhan para produser tentang lesunya perfilman nasional dua atau tiga tahun terakhir ini. "Saya juga mengimbau Badan Sensor Film untuk sedikit melonggarkan sensor mereka terhadap film nasional," kata Rosihan pula. Tak jelas, apakah Badan Sensor Film menuruti imbauan itu. Kenyataannya, dari 32 film Indonesia yang beredar di Jakarta tahun 1993, hanya tiga di antaranya yang bisa dikatakan bebas bumbu seks yang norak. Yakni, Plong karya Putu Wijaya, Ramadhan dan Ramona karya Chaerul Umam, dan Yang Muda yang Bercinta karya Syuman Jaya (ini film lama yang diputar kembali). Sedangkan sisanya adalah film silat, horor, komedi, dan drama yang menempatkan bumbu seks sebagai menu, kadang malah menu utama. Tahun ini, dari 15 film yang sudah beredar di bioskop Indonesia, tak satu pun yang bisa dianggap film "serius". Memang, ada Surat dari Bidadari dan Badut-Badut Kota, tapi sampai pekan lalu berlum beredar. Jadi, benarkah Badan Sensor Film kini banyak mengistirahatkan guntingnya? "Kami selalu kena getahnya," kata Ketua Harian BSF, Soekanto. "Banyak film Indonesia yang kami potong hingga beratus-ratus meter panjangnya," katanya. Tapi, kata Soekanto pula, memang ada kebijakan untuk melonggarkan penyensoran film Indonesia. Dan itu bukan karena imbauan Rosihan, melainkan "kebijakan lisan yang mengimbau agar kita semua mendukung film Indonesia, di awal tahun 1970-an." Maksudnya, sensor untuk film Indonesia janganlah seketat untuk film asing. Lain dari itu, Soekanto mengingatkan, BSF hanyalah filter kedua. "Filter pertama adalah Direktorat Pembinaan Film dan Rekaman Video, di bawah Departemen Penerangan. Mereka yang berwenang memberikan izin produksi," tuturnya. Maka, kalau BSF memotong adegan seks dengan giat, padahal adegan itu sudah disetujui Direktorat Pembinaan tersebut, "produsernya segera memprotes pemotongan itu." Hal itu dibenarkan oleh Narto Erawan, Direktur Pembinaan Film dan Rekaman Video Departemen Penerangan. Yang menjadi masalah, "Ketika para produser menyerahkan skenario, mereka cenderung mengembangkannya di lapangan. Apa yang tertulis di skenario lantas menjadi lain dengan filmnya," tutur Narto. Repot, memang. Mungkin hanya beberapa film, bahkan mungkin tak ada, yang persis 100% dengan skenarionya. Jadi, masih efektifkah pemeriksaan itu? Bisa jadi memang ada produser dan sutradara yang sengaja membikin skenario yang bisa disetujui, lalu dikembangkan di lapangan. Jawaban seorang produser ketika ditanya mengapa ia memproduksi film-film seks, secara tak langsung bisa ditafsirkan membenarkan pernyataan di atas. "Mau gimana lagi. 

Itu yang disenangi penonton Indonesia sekarang. Ringan, nggak usah mikir dan gambarnya enak dilihat," kata Ferry Angriawan, produser Cinta di Balik Noda. Tommy Burnama, sutradara Cinta dalam Nafsu, mengakui bahwa ia menggarap film berbau seks lantaran mengikuti kecenderungan pasar. "Itu upaya memancing selera penonton," katanya. Tapi salahkah para produser dan sutradara itu? Kata Produser Budiati Abiyoga, membuat film macam apa pun adalah hak produser. Bila iklim perfilman kita kini oleh beberapa pihak dianggap tak sehat, bukan karena film seks itu, melainkan absennya film bermutu. Dan seperti juga lagu pop, film seks pun akan sepi dari penonton, karena mereka sudah jenuh. Ketika itu, bila tak ada film Indonesia yang cukup serius, kata Salim Said, pengamat film, musim film seks yang kemudian surut itu bisa berdampak negatif: masyarakat makin kehilangan kepercayaan pada film Indonesia. Jadi, adakah nasib film Indonesia bagaikan judul sebuah film Warkop: maju kena, mundur kena? Tampaknya, perlu sedikit berkelit, lalu melihat bukan "depan" atau "belakang". Yakni melihat ke samping, adanya sineas-sineas muda serius, adanya Kine Klub, tempat selera sehat masih dipelihara. Dan jangan lupa, tetap saja ada film-film tanpa seks, misalnya Ramadhan dan Ramona, yang beredar di Jakarta Maret tahun lalu, dan mendapat lebih dari 180.000 penonton. Adapun kesimpulannya, penonton tidaklah perlu dilindungi dengan berbagai aturan. Yang dibutuhkan, beragam alternatif, bukan selera yang seragam. Leila S. Chudori dan Biro-Biro