Kamis, 13 Desember 2012

BIOSKOP TUA YANG DIBIARKAN MENUA.

BIOSKOP TUA DIBIARKAN JADI SARANG HANTU


PD Kertawisata (dahulu PD Jawi) merupakan BUMD milik Pemerintah Jawa Barat yang keberadaanya sudah cukup terkenal bahkan diera tahun 80-an merupakan salah satu BUMD terbaik dengan asset hingga miliaran rupiah.

Secara umum perusahaan ini bergerak dalam mengelola aset-aset milik pemerintah Propinsi Jawa Barat yang tersebar luas di berbagai daerah di Jawa Barat.

Karena pada masa itu, perkembangan gedung Bioskop di daerah sangat berkembang dengan pesat, sehingga pada akhirnya banyak bermuncul gedung-gedung bioskop di berbagai daerah yang secara pengelolaannya di serahkan kepada pihak ketiga sebagai pengelola harian.

Untuk menjadi pengelola dalam satu gedung bioskop milik PD Kertawisata ini, tidaklah mudah, bahkan diperlukan beberapa persyaratan yang harus di penuhi oleh pihak pengelola.

Sepertinya kesanggupan untuk memberikan tambahan penghasilan atau income ke kas Perusahaan dengan besaran yang telah ditentukan oleh pihak BUMD.

Namun demikian, pihak pengelolaan diberikan kebebasan untuk mengatur, menata termasuk didalamnya mempercantikan gedung bioskop tersebut dengan modal milik dari pengelola sendiri tanpa ada bantuan dari pihak pemilik.




Bila dalam rentan waktu tertentu ternyata pihak pengelola tidak bisa memenuhi target pencapaian yang di harapkan oleh pihak perusahaan, maka kredibilitas dari pengelola tersebut akan dipertaruhkan, dan dinilai kembali apakah layak untuk terus mengelola aset milik Pemda Jabar ini atau harus di ganti oleh orang lain yang bersedia memenuhi target dari perusahaan.

Khusus untuk di Kabupaten Ciamis sendiri, aset pemerintah Jabar dalam bentuk gedung bioskop yang berada dibawah naungan PD Kertawisata, adalah gedung bioskop Pusaka, dan Gedung Bioskop Kenangan di kota Banjar serta satu lagi di daerah Banjarsari.

Ketiga aset ini seiring perkembangan jaman, sudah ditutup sejak era perkembangan televisi dan cakram pemutar film atau vcd mulai marak berkembang.

Maka sekitar tahun 80-an, ketiga gedung bisokop ini harus dengan berat hati di tutup, dan pihak pengelola menanggung seluruh kerugian yang terjadi selama mengelola usaha bioskop tersebut.

Sementara pihak PD Kertawisata sendiri dengan tetap berpegang teguh terhadap prinsip perusahaan dan aturan yang dikelolanya, maka seluruh aset yang hingga saat ini hampir seluruhnya sudah tidak dikelola kembali oleh para pengelolanya.

Sehingga otomatis aset tersebut menjadi sebuah bangkai busuk yang terdiam di tempatnya, menunggu saat-saat hingga seluruh bangunan tersebut hancur atau ambruk.

Contohnya adalah Bioskop Pusaka yag terletak tepat di tengah pusat Kota Ciamis ini, sejak tahun 1990 dimana tahun terakhir pengelolaan bioskop ini, hingga saat ini tidak tidak tersentuh sedikitpun oleh pihak pemilik asset apalagi untuk diperbaiki atau diperjual belikan kembali.

Dahulu saat pihak pengelola mempunyai gagasan untuk menambah income bagi degung bioskop dengan mengajak pihak investor lainnya untuk bergabung, selalu di tolak oleh pihak PD Kertawisata.

Dengan alasan bahwa itu adalah milik pemerintah daerah, jadi harus ada persetujuan dulu dari pemerintah Jawa Barat.

Tapi nyatanya sampai hari ini juga, sejak dinyatakan bahwa gedung bisokop tersebut harus ditutup karena sudah tidak layak lagi untuk dipergunakan, pihak PD Kertawisata tidak melakukan upaya apapun untuk mempertahankan asset tersebut.

Seolah-olah gedung tersebut di biarkan begitu saja, tidak dirawat, yang pada akhirnya menjadi tempat yang kumuh serta menjadi sebuah pemandangan yang tidak mengenakan di tengah kota Ciamis ini.

Pemda Ciamis atas nama Seniman Ciamis ingin menjadikan gedung bekas bioskop Pusaka ini sebagai gedung kesenian, namun niat tersebut akhirnya hanya sebuah mimpi belaka, karena ternyata pihak PD Kertawisata menawarkan harga sekitar 3 miliar untuk gedung tersebut.

Kontak saja Pemda Ciamis menjerit menerima tawaran yang oleh Pemda di anggap terlalu mahal, tidak sesuai dengan harga pasaran dan terlebih lagi Pemda sendiri tidak cukup dana untuk membeli seharga yang ditawarkan oleh PD Kertawisata tersebut.

Dulu juga pernah diajukan kepada pihak swasta untuk dibangun sebuah supermarket dari jaringan bisnis supermarket terbesar di Indonesia.

Tapi akhirnya kembali gagal, karena mungkin salah satunya adalah harga yang diberikan oleh pihak pemilik terlalu tinggi dan tidak masuk akal oleh pihak pembelinya.

Saat ini gedung Bioskop Pusaka sudah hancur atapnya, akibat bangunan yang sudah lapuk serta kayu-kayu penopang tiang yang sudah lapuk juga.

Walaupun kondisi bangunan yang sudah hancur dan mungkin sebentar lagi akan rata dengan tanah, tapi pihak PD KertaWisata tetap tidak bergeming dan membiarkan semuanya ini terjadi.

Saya yakin dengan ambruknya gedung Bioskop Pusaka ini juga, sepertinya tidak akan membawa dampak pengaruh yang cukup besar bagi PD Kertawisata, karena rasanya mereka sudah melupakan asset yang satu ini.

Cuman kalo ada yang membeli dengan harga yang lebih tinggi dari penawaran yang diberikan, pasti akan langsung disetujui tanpa harus melalui proses rapat dengan PemProv Jabar terlebih dahulu.

Jadi…sekarang siapa pengusaha atau pebisnis yang mau membeli gedung bioskop pusaka seharga 3 miliar ini?

Belum lagi aset yang ada di kota Banjar berupa gedung bioskop Kenanga yang sampai hari ini juga terbengkalai dalam pengelolaanya, namun PBB setiap tahun harus terus di bayar oleh pihak pengelola.

Tentang Kendala PD Kertawisata;

MENCERMATI permasalahan nasib Gedung Kesenian Rumentang Siang (GKRS) dan sejumlah gedung kesenian milik pemerintah lainnya di Bandung, dari konteks kebijakan dan aturan-aturan hukumnya, itu tak ubahnya benang kusut yang sulit diurai.  Tentu saja semua aturan hukum itu dibuat agar penyelenggaraan kewenangan administrasi pemerintahan berlangsung tertib. Akan tetapi, faktanya, seperti yang terjadi dengan GKRS, malah jadi rumit dan membingungkan.

Paling tidak, ada dua produk aturan terkait permasalahan gedung kesenian milik pemerintah itu, yakni Perda No. 4/1999 tentang Pendirian Perusahaan Daerah Jasa dan Kepariwisataan daerah Tingkat I Jawa Barat dan Permendagri No. 13 /2006. Perda No. 4/1999 mengamanatkan bahwa sejumlah gedung milik Pemerintah Provinsi Jabar merupakan aset PD Jasa dan Kertawisata (PD Jawi), termasuk GKRS, Gedung AACC, dan YPK. Sedangkan Permendagri No. 13/2006 mengatur ihwal Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.

Meski Perda No. 4/1999 mengamanatkan gedung kesenian adalah aset PD Jawi, tidak ada permasalahan ketika gedung itu dikelola oleh komunitas seniman-budayawan, seperti yang terjadi dengan GKRS, AACC, dan YPK. Ole karena itulah, misalnya, dalam Surat Keputusan (SK) Gubernur No. 643.2/Kep.246-Sarek/2003 tentang Pengangkatan Badan Pengelola Gedung Kesenian Rumentang Siang, Disbudpar Jabar dan PD Jawi duduk bersama sebagai pembina badan pengelola.

Akan tetapi, peta permasalahan berubah dengan terbitnya Permendagri No. 13/2006. Dalam permendagri ini, misalnya, pada pasal 10 huruf j, mengemuka aturan pengelolaan barang/kekayaan milik daerah yang menjadi tanggung jawab pejabat pengelola keuangan daerah yang mendasar pada apa yang dipimpinnya.

Dengan kata lain, pasal ini mengingatkan bahwa pejabat pengelola keuangan daerah tidak bertanggung jawab pada barang/kekayaan daerah di luar otoritas unit kerjanya. Dalam konteks GKRS, atas alasan inilah Disbudpar merasa tidak lagi berkewajiban pada badan pengelola GKRS, termasuk ketika habisnya masa tugas badan pengelola tahun 2007. Artinya lagi, dalam logika Disbudpar, Permendagri No. 13/2006 telah menggugurkan SK Gubernur No. 643.2/Kep.246-Sarek/2003 yang mengamanatkan pengelolaan GKRS ditangani badan pengelola yang berada di bawah Disbudpar.

Kuat terkesan Disbudpar mencampurbaurkan antara GKRS yang secara fisik memang aset PD Jawi dan badan pengelola ke dalam satu paket. "Benar bahwa Permendagri melarang Disbudpar mengeluarkan anggaran di luar unit kerjanya. Akan tetapi, dalam permasalahan GKRS, tidak bisa disatupaketkan. Menjadi kewajiban Disbudpar untuk membiayai badan pengelola, mengingat SK No. 643.2/Kep.246-Sarek/2003 itu sebenarnya mengacu pada SK. 13/A.1/2/SK/Kesra/75. Dalam hal ini, badan pengelola bisa melakukan tuntutan karena bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan," ujar Yesmil Anwar.

SK.13/A.1/2/SK/Kesra/75 dikeluarkan Gubernur Jabar Solihin G.P., ihwal pembentukan badan pengelola GKRS. Di situ disebutkan, biaya bagi penyelenggaraan GKRS didapat dari subsidi Pemerintah Provinsi Jabar dan Pemerintah Kota Bandung.

Menurut Yesmil, karena SK No. 643.2/Kep.246-Sarek/2003 tidak menyebutkan kedudukannya sebagai SK pengganti dan mencabut SK.13/A.1/2/Kesra/75, maka SK 13/A.1/2/Kesra/75 itu berlaku, terutama menyangkut kewajiban Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kota Bandung untuk menyubsidi GKRS. "Menggunakan logika pembacaan ini dalam konteks interpretasi bahwa GKRS dan badan pengelola adalah dua hal yang terpisah, tidak bisa disatupaketkan," katanya.
**
DALAM pandangan Kadisbudpar Jabar I. Budhyana, tentu saja interpretasi semua orang bisa berbeda. Akan tetapi, yang jelas, ia berhadapan dengan kenyataan bahwa setelah turunnya Permendagri No. 13/2006, Badan Pengawas Daerah (Bawasda) melarang Disbudpar mengeluarkan anggaran bagi kepentingan di luar unit kerjanya.

"Saya sedih sekali, tapi saya tidak bisa berbuat apa-apa karena memang GKRS tidak berada dalam ruang lingkup aset Disbudpar," ujar I. Budhyana, seraya menegaskan bahwa permasalahan ini tak hanya terjadi di Jabar, tetapi juga di provinsi-provinsi lain.

Permendagri No. 13/ 2006 memang telah mengubah aturan main pengelolaan keuangan daerah yang mau tak mau berdampak pada pengelolaan gedung kesenian. Sebutlah misalnya kedudukan PD Jawi sebagai pemilik gedung kesenian. Seandainya kepala daerah memberi subsidi pada PD Jawi, derajat pemberian subsidi itu sama halnya dengan penyertaan modal pada perusahaan swasta. Maka, tentu logikanya penyertaan modal itu harus menghasilkan laba.

Sulit sekali membayangkan gedung kesenian dikelola dengan cara profit oriented semacam itu, mengingat gedung kesenian lebih merupakan investasi kultural ketimbang hitung-hitungan rugi-laba.

Logika profit oriented PD Jawi agaknya juga mesti dilihat dalam pemakluman bahwa sebagai BUMD yang diberi aset sejumlah gedung milik pemerintah daerah, ia mau tak mau "kejar setoran". Lalu persoalannya, bagaimanakah mekanisme subsidi dana operasional pemerintah bagi gedung kesenian tanpa dianggap sebagai penyertaan modal, padahal gedung kesenian adalah aset PD Jawi?

Tidak ada celah karena gedung kesenian, seperti GKRS, YPK, dan AACC, kadung diberikan pada PD Jawi sebagai aset mereka seperti termaktub dalam Perda No. 4/1999. Satu-satunya jalan adalah "mengamendemen" perda tersebut sehingga ada pemilihan jenis gedung apa saja yang layak dikelola dan menjadi aset PD Jawi. Dalam hal ini, pemerintah provinsi harus membaca ulang apakah perda tersebut sesuai dengan kebutuhan demi pengembangan pembangunan seni dan budaya atau justru malah menjadikan kendala?

Tindakan yang seolah-oleh tidak bertanggungjawab oleh PD Kertawisata sudah dimulai sejak jaman dahulu dan sepertinya ini sudah menjadi trend bagi perusahaan BUMD milik Pemprov Jabar ini.

Sekitar tahun 70-80an di kota Bandung terkenal dengan berbagai gedung bioskop yang mempunyai ciri serta arsitektur bangunan khas jaman kolonial.

Tidak hanya itu, gedung bioskop di kota Bandung juga merupakan sejarah bagi perkembangan film layar lebar di Indonesia yang sempat menjadi Tuan Di Negeri Sendiri.

Salah satunya adalah Bioskop Capitol. Dahulu bioskop ini terkenal karena selalu menayangkan film-film Mandarin langsung dari Hongkong, lewat jalus distribusi film internasional yang saat itu mungkin adalah yang pertama kalinya di Indonesia menjalin kerjasama dalam bidang distribusi film import.

Film-film produksi Warner Brothers yang terkenal itu, bisa langsung dilihat di bioskop ini tidak lama setelah penayangan perdana di Hongkong.

Bahkan beberapa bintang film ternama artis dari Hongkong dan China pernah juga hadir di bioskop ini untuk menyaksikan tayangan perdana film-filmnya.

Sehingga wajarlah kalo pada akhirnya ada beberapa pihak yang tidak tau dari mana dan mungkin karena kondisi jaman pada waktu itu, dimana adanya anti Komunisme dan anti orang China ini, maka berdampak pula terhadap perkembangan bioskop yang satu ini.

Namun sekitar tahun awal 80-an atas persetujuan dari pimpinan PD Kertawisata pada waktu itu, bioskop Capitol ini harus di tutup karena asset atau bangunan tersebut akan di jual kepada pihak ketiga untuk pengembangan bisnis pertokoan di kota Bandung saat ini.

Nyatanya sejak ditutup bioskop Capitol oleh pihak perusahaan, tidak langsung di bangun oleh pihak swasta, namun pembangunan yang sekarang menjadi pusat pertokoan di jalan Sudirman Bandung itu, baru di bangun pada sekitar tahun 95-an.

Artinya ada jeda sekitar 15 tahun sejak bioskop tersebut ditutup, sehingga kembali di bangun oleh pihak swasta.

Ini baru dari hanya satu bioskop saja yang ada di kota bandung yang pada akhirnya menjadi beralih fungsi sebagai bangunan baru.

Contohnya bioskop Nusantara, Bioskop Vanda yang sekarang menjadi gedung BI, serta masih banyak lagi bioskop-bioskop lainnya yang sekarang sudah tidak bisa lagi kita lihat wujudnya.

Semua ini bisa menjadi gambaran untuk kita, bahwa pengelolaan aset Pemprov Jabar yang berada di bawah naungan PD kertawisata (dahulu PD Jawi) sangat tidak terkoordinasi dengan baik bahkan tidak tertata dengan baik dan apik.

Masih banyak lagi asset Pemprof Jabar yang berada di bawah naungan PD Kertawisata khususnya gedung bioskop yang tersebar di daerah-daerah yang saat ini kondisinya tidak terawat dengan baik bahkan tidak ada yang mengurusnya sama sekali.

Hanya menjadi sebuah gedung tua saksi bisu perkembangan dunia hiburan di Indonesia yang tidak sebaik nasibnya seperti dunia hiburan saat ini.

Jadi apakah memang benar asset milik Pemprov Jabar yang berada di bawah naungan PD Kertawisata ini semuanya akan menjadi sebuah bangunan tua tanpa ada yang mengurus atau memeliharanya, dan dengan sengaja dibuat terbengkalai?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar