Sabtu, 20 Agustus 2011

DJAIR

DJAIR ( Si JAKA SEMBUNG)


Setelah Ulasan Komik Silat Cina, Silat Indonesia. Punya cerita yang khas. Dan juga goresan gambar yang bagus dengan hotam putih dan kontras yang tinggi. Membaca komik dengan gambar sangat membantu berimajinasi. Gambar yang di tampilkan sangat Cinematiq sekali, mirip kita membaca/melihat story board dalam film. ada Long Shot, bahkan Extreme close up, ada panning, dan pergerakan, ada juga efek dalam gambar. Shot atau angle frame juga sangat luar biasa imajinasinya., Fourground kaki, focus, change focus dan lainnya.Persis seperti story board dalam film. Bahkan ada rasa di dalamnya, seolah gambar-story ini bergerak, padahal gambar-gambar tunggal, tetapi otak kita yang membuat itu bergerak selayaknya film juga di mana satu detik ada 24 gambar yang berputar sehingga otak kita yang membuatnya terasa bergerak.


Dia adalah satu dari “The Big Seven”. Dan Djair Warni, komikus itu, menjadi salah satu dari tujuh besar karena karyanya Jaka Sembung, Djaka Gledek, Si Tolol, Kiamat Kandang Haur, Malaikat Bayangan, dan Toan Anak Jin. Seperti rekan-rekannya sesama “The Big Five”, Djair tergolong komikus otodidak.

Pria kelahiran Cirebon 13 Mei 1949 ini, Ia sudah membuat komik sejak masih remaja. Padahal, dulu ayahnya menaruh harapan supaya Djair bercita-cita sebagai insinyur. “Waktu itu saya sering dimarahi Ayah karena lebih senang membuat komik daripada belajar. Akhirnya saya mencuri-curi kesempatan,” tutur Djair. Ia menggemari karya-karya Ganes T.H. (Si Buta dari Goa Hantu), Jan Mintaraga (Rio Purbaya), dan Hans Jaladara (Panji Tengkorak) ini.

Mungkin karena itulah komik-komik Djair juga memiliki pengaruh dari komikus yang dikaguminya; ia cenderung mengisahkan pengembaraan seorang pendekar dalam menegakkan kebenaran. Kisah pengembaraan para pendekar yang dianggap pahlawan itu lengkap dibumbui cerita kehidupan sehari-harinya, sehingga terasa membumi. Lihat saja Jaka Sembung.

Berbeda dengan tokoh hero seperti Si Buta dari Goa Hantu atau Panji Tengkorak yang selalu berkawan dengan sunyi, Jaka Sembung justru digambarkan sebagai tokoh yang sudah berkeluarga. Atribut yang digunakan Jaka juga tidak seperti Si Buta, yang berpakaian kulit ular, melainkan baju biasa berlilit sarung. Begitu populernya hingga kisah Jaka Sembung itu sempat diangkat ke layar lebar dengan bintang Barry Prima.

Pada masa jayanya, penghasilan yang diperolehnya cukup untuk menghidupi istri dan ketiga anaknya. Maklum, untuk satu cerita terdiri dari 7 sampai 10 jilid ia memperoleh Rp 100 ribu, yang merupakan angka yang tinggi untuk ukuran tahun 1960-an.

Sayang, zaman keemasannya sulit terulang. Ia bahkan pesimistis, komik Indonesia bakal bangkit kembali. Soalnya, “Sekarang sudah ada televisi, bioskop, mal, dan videogame. Anak-anak sudah terbiasa dicekoki komik terjemahan dari luar negeri,” kata Djair. Ia kini banting setir menekuni profesi di dunia sinetron dan film sebagai penulis skenario. Salah satu karyanya adalah skenario film Fatahillah, yang dibiayai Pemerintah DKI (1997).

Jaka Sembung diceritakan sebagai pendekar saleh. Nama aslinya Parmin Sutawinata dan konon masih keturunan bangsawan Kesultanan Cirebon. Lalu, karena ia belajar kanuragan di sebuah perguruan di Gunung Sembung, maka ia mendapat julukan Jaka Sembung.

Jaka Sembung bukan pendekar petualang macam Si Buta atau Panji Tengkorak. Meskipun pernah dikisahkan dengan latar Maluku dan Papua, Jaka Sembung hidup menetap di desa Kandanghaur. Liku hidupnya pun tak sekelam keduanya. Ia punya istri dan sehari-hari bertani laiknya orang kebanyakan.

Barangkali, karena penggambaran yang membumi itulah Jaka Sembung sering kali disebut sebagai tokoh sejarah faktual. Selain itu, karena kesalehannya, ia juga dianggap punya kekuatan spiritual. Sampai-sampai ada orang yang menjadikannya objek ngalap berkah.

Hal-hal itu bikin gusar komikusnya, Djair Warni Ponakanda. Itu sempat di disinggung Djair di komik terakhir Jaka Sembung, Jaka Sembung vs Si Buta dari Gua Hantu (2010). Ia dapat cerita ada seorang mahasiswa pencinta alam yang ketemu arwah Jaka Sembung di sebuah hutan.

Djair dapat pula cerita bahwa seorang wartawan majalah klenik pernah bertapa di kompleks pemakaman Gunung Sembung, Cirebon. Dalam pertapaannya itu ia didatangi arwah Jaka Sembung dan dihadiahi sebuah keris pusaka.

Jaka Sembung juga dapat kiriman doa dan selawat. Itu terjadi di sebuah kampung yang sedianya akan jadi lokasi syuting sinetron Jaka Sembung. Ritual itu dipimpin oleh seorang imam masjid dan beberapa kru rumah produksi pembuat sinetron Jaka Sembung.

“Banyak orang mengira dia hidup dan nyata. [...] Jaka Sembung itu fiksi, tapi akhirnya menjadi legenda, lalu menjadi mitos," ujar Djair menegaskan, sebagaimana dikutip harian Kompas (12/7/2007).

Itu semua jelas saja bikin gusar Djair. Ia tak pernah mengira tokoh komik rekaannya akan bernasib seperti itu. Namun, fenomena itu adalah juga tengara sahih bahwa Djair, sama seperti tokoh ciptaannya, adalah komikus pilih tanding.




Djair Warni Ponakanda yang lahir di Cirebon, 13 Mei 1945, ini belajar komik secara otodidak. Ia tumbuh sebagai pembaca komik wayang yang dipopulerkan R.A. Kosasih dan Ardisoma. Dari Cirebon ia hijrah ke Jakarta untuk jadi komikus pada 1965.

Saat itu, komik berbau politik yang mekar di awal 1960 tiarap sejenak gara-gara G30S. Gantinya, genre roman remaja merebut pasar. Djair pun memulai debut komiknya di genre ini. Maka terbitlah Wajah Penuh Dosa pada 1965.

Sebagaimana komikus muda lain, mulanya Djair berproses secara “palu gada” ("Apa lu mau, gue ada"). Beberapa genre ia jelajahi. Selain roman remaja, Djair juga menggambar komik horor berjudul Ngepet dan thriller macam Psycho Diagnosa. Seturut catatan Anton Kurnia dalam Buah Terlarang dan Cinta Morina: Catatan dari Dunia Komik (2017, hlm. 101), Djair juga menganggit serial komik detektif M13 dan serial komik anak Trio AIN.

Peruntungannya berbalik saat genre silat merajalela usai meledaknya penjualan Si Buta dari Gua Hantu anggitan Ganes TH pada 1967. Maka Djair ikut pula menggarap komik silat dengan tokohnya Jaka Sembung pada 1968. Akan tetapi, Djair tak ingin mengekor begitu saja. Ia menciptakan latar belakang dan karakter pendekar yang berbeda.

"Nama aslinya sebetulnya Parmin. Karena ia dari keraton alias darah biru, jadi namanya Parmin Sutawinata. Ceritanya si Jaka lahir tahun 1602, sama dengan berdirinya VOC, jadi seolah-olah dia dilahirkan untuk menentang VOC," ujar Djair sebagaimana di kutip Kompas (12/7/2007).

Dari 1968 hingga 1977, Djair membuat 21 serial Jaka Sembung. Setelah sempat vakum sedekade lamanya, pada 1987 dan 1988 serial baru Jaka Sembung muncul lagi. Satu prekuel yang menjelaskan asal-usul si pendekar terbit pada 1994. Lalu, komik terakhir Jaka Sembung terbit pada 2010.

Tak bisa disangkal, nama Djair makin kesohor gara-gara Jaka Sembung. Kepopulerannya lalu menarik minat produsen film untuk mengangkat kisahnya ke layar perak. Empat kali Jaka Sembung masuk bioskop lewat film Jaka Sembung Sang Penakluk (1981), Si Buta Lawan Jaka Sembung (1983), Bajing Ireng dan Jaka Sembung (1983), dan Jaka Sembung dan Dewi Samudra (1990).

Usai Jaka Sembung Djair juga membikin serial Malaikat Bayangan yang karakter-karakternya adalah para murid Jaka Sembung. Lalu masih ada serial silat lain seperti Si Tolol dan Jaka Geledek. Seturut catatan Kompas (26/7/2014), Si Tolol yang terbit pertama pada 1969 adalah komik Djair yang dihargai paling tinggi. Untuk satu manuskrip komik setebal 64 halaman Djair dibayar Rp100.000 sampai Rp150.000.

”Padahal, harga emas saat itu Rp250. Jadi, dari satu naskah saja saya dapat membeli setengah kilogram emas,” kenang Djair.





Dari segi keindahan dan ketepatan, komik-komik Djair masih kalah unggul dibanding bikinan Ganes TH atau Teguh Santosa. Di antara komik-komik genre silat pun semesta yang dibangun Djair tak seberapa luas karena Jaka Sembung bukanlah petualang. Tapi, tentu Jaka Sembung tak akan jadi fenomenal kalau ia tak punya kelebihan.

Menurut Anton Kurnia, ada dua hal yang membedakan Jaka Sembung dengan Si Buta atau Panji Tengkorak. Pertama, musuh utama Jaka Sembung bukan sekadar pendekar-pendekar golongan hitam, tapi kompeni VOC.

“Baru melalui serial Jaka Sembung kesadaran tentang nasionalisme yang tercermin dalam perjuangan Jaka Sembung alias Parmin Sutawinata dan kawan-kawannya melawan kaum penjajah Belanda dengan tujuan meraih kemerdekaan muncul sebagai wacana yang signifikan dalam komik silat kita,” tulis Anton (hlm. 103-104).

Terlebih itu bukan hanya perjuangannya seorang, tapi juga perlawanan kawan-kawannya dari berbagai golongan. Ada pendekar-pendekar dari Maluku, Papua, etnis Cina, dan bahkan Aborigin yang ikut berjuang bersama Jaka Sembung. Lain itu masih ada pendekar tunagrahita di kubunya.

Anton membaca unsur-unsur ini sebagai “semangat nasionalisme yang berpijak pada penghargaan atas pluralitas”.

Pembeda kedua adalah kuatnya keislaman dalam alur kisah pendekar jago golok ini. Keislaman itu muncul dalam banyak aspek, mulai dari motivasi perjuangan para karakternya, dialog, hingga segala atribut yang dikenakan. Dalam serial berjudul Wali Kesepuluh (1977), misalnya, Jaka Sembung yang dalam keadaan koma digambarkan bertemu dengan arwah Walisongo.

Nafas keislaman juga muncul dari ajian pamungkas si pendekar. Djair menamakannya jurus Wahyu Takwa. Ini adalah cara Djair menggambarkan aspek spiritual dari silat Nusantara. Baginya, betapapun kuatnya seseorang, ia akan mentok hanya jadi tukang pukul jika tanpa spiritualitas. Kekuatan spiritual adalah senjata utama Jaka Sembung, bukan golok atau tongkat yang sering ia gunakan.

“Ini jurus yang hanya dimiliki orang yang mempunyai tingkat ketakwaan tinggi. Tetapi, senjata ampuhnya adalah iman dan takwa,” kata Djair.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar