Minggu, 13 Maret 2011

TENANG MENANTI / 1952

TENANG MENANTI

 

Salmah (Roostiaty) ingin menikahkan anak tirinya Hartini (Marlia Hardi) dengan Rusman (Wahid Chan), tapi Hartini memilih Luthfi (Tovani) yang disetujui ayah kandungnya, Dahlan (Chaidir Sakti). Karena dendam, Rusman berusaha menyingkirkan suami Hartini. Atas ulah Rusman itu Luthfi dipecat, dan pindah ke Bandung. Lalu Rusman coba membujuk Hartini, namun selalu tak mendapat tanggapan. Timbul pertengkaran dengan buntut Rusman terbunuh dan Luthfi masuk penjara. Setelah lepas dari penjara, dan menjadi pengusaha sukses di Solo, Luthfi coba mendekati Lastuti (RA Sumarni). Untunglah Lastuti adalah teman Hartini. Maka didoronglah Luthfi agar kembali kepada Hartini yang "tenang menanti".
 


1952, Aneka.
Mengenal WAHID CHAN,oleh Wim Umboh
BANYAK bintang film yang ternama dan bakal ternama telah saya temui akan belajar kenal dengan mereka. Akan tetapi belum pernah saya jumpai Wahid Chan seorang bintang film baru (new comer) yang menurut ANEKA baru saja selesai dengan filmnya “TENANG MENANTI”  produksi pertama dari SURYA FILM COY.

WAHID CHAN, demikianlah namanya, membikin aku teringat kepada seorang bintang film Hollywood Charley Chan, yang bermain dalam film “SHANGHAY COBRA”. Entah dia seorang Tiongkok Totok, atau peranakan Tionghoa yang beragama Islam, tak tahu aku (mengingat namanya).

Akhirnya pada suatu hari aku bertemu juga padanya. Pertemuan itu, sungguh tidak kuduga semula. Suatu hari, yakni hari Minggu, entah karena apa, aku tertarik ke luar rumah (biasanya hari Minggu aku tidur sepanjang hari) bersama dengan seorang teman. Setelah letih berjalan-jalan, kami singgah di salah satu bar yaitu di Balai Prajurit Nusantara (di sebelah kantor Surja Film Coy) kami masuk, dan membestel dua gelas vat bier dan makanan.  Tiba-tiba mataku tertuju pada seorang pemuda yang sedang berlatih pique kopstoot di meja bilyard. Sungguh tak kusangka, dia adalah orang yang telah lama kucari-cari, yang hendak kutemui. Saudara Wahid Chan (raut mukanya aku kenal dari majalah ANEKA bergambar bersama S. Sumarni), ia terus asyik mengapur tongkat bilyardnya. Dan pikirannya tertumpah pada bilyard terbukti kedatangan kami, tak dihiraukannya. Di dada kemejanya jelas tertulis “CHAN”. Tiba-tiba ia mengangkat mukanya, sambil mengangguk mempersilahkan kami main. Terus terang kami menolak karena diantara kami berdua tak seorangpun jua yang pandai bermain bilyar. Kami berjabat tangan, otomatis keluar perkataanku: “Sungguh serius Bung, menikam bola…”

“Ah.. tidak. Iseng-iseng saja,” katanya.

Perkenallan  kami terganggu sebentar. Karena seorang pelayan memberi isyarat dengan ibu jarinya bahwa makanan telah tersedia. Kami persilahkan saudara Wahid Chan turut serta. Ia tak menampik. Di tengah-tengah makan, ia bercerita serba-serbi, melulu berisi humor, hingga terpaksa bier-pun di “doubleer”. Sedang kami asyik menggempur bihun, sebentar-sebentar ia mengangguk pada tetamu yang keluar-masuk di bar tersebut.. disertai kata-kata lucu yang lazim dipakai pemuda Jakarta sehari-hari, jelas bagiku bahwa Saudara Wahid Chan seorang yang banyak bergaul dan pandai menaklukkan hati kawan. Malah, ada beberapa orang asing berseru “Morning teacher”. Aku bertanya apa maksudnya orang-orang asing tersebut, “Ah…. Tidak bermaksud apa-apa. Mereka saya pergauli di meja Bilyar” sembari menunjukkan beberapa stoot bilyar yang belum mereka ketahui.

Waktu yang dua jam kami bercakap dengan Saudara Wahid Chan itu, serasa hanya dua menit, karena tutur katanya yang lancar berirama, tak pernah membosankan. Apalagi melihat gerak-geriknya tak ubah dengan cara ia berlaku di depan kamera. Waktu kutanya, “Apakah sebabnya biografi Saudara tidak pernah dimuat di majalah-majalah, misalnya majalah Aneka?”

Jawabnya dengan seyum berarti: “karena banyak artis film yang telah diumumkan biografienya beranggapan dirinya telah “super” dan karena itu merasa segan bergaul dengan umum. Sedangkan dalam pergaulan itulah kita dapat mempelajari berbagai masalah penambah isi dan bakat dalam kesenian.

Kurang lebih seminggu aku mencari keterangan pada teman-teman akrabnya, barulah dapat aku sajikan sedikit ringkasan riwayat hidupnya.

Nama penuhhnya A. Wahid Chaniago (jadi ia bukan orang Tionghoa atau [eranakan Tionghoa). Chaniago adalah gelar atau nama sukunya. Ia lahir pada tanggal 14 Juli 1921. Brasal dari Matur (BT). Lahir dan dibesarkan di Kutaradja (Atjeh). Pernah kubaca dari karangannH. Bunge tentang Astrologia bahwa prang yang dilahirkan pada tanggal 14 Juli berbakat seni)Mungkin inilah yang memberanikan dirinya meninggalkan Sumatra menuju Jakarta mengadu untung dalam seni film.

Bersaudara tiga, dan ia yang penutup (bungsu), pendidikan HIS Taman Dewasa, Taman Siswa, tapi kakinya yang senantiasa gatal menyepak bola tak mau mengijinkan meneruskan pelajarannya dan ia bercita-cita ingin menjadi bintang lapangan hijau. Tetapi karena kecelakaan pada lututnya, cita-citanya untuk menjadi bintang lapangan hijau itu gagal. Olah raga lainnya yang digemarinya ialah tenis, pingpong, berenang dan tinju.

SEMENJAK tahun 1937 ia bekerja di berbagai tempat, melompat-lompat tiada tetap, lebih tepat kalau dikatakan mengembara. Disamping itu, sandiwara adalah sebagai sorga baginya, dan ia berhasrat akan menceburkan diri ke dunia film. Kuranglebih 10 tahun belajar dan bermain di berbagai sandiwara di Sumatra, baru sesudah KMB ia melampaui selat sunda, meninggalkan Sumatra menempuh Jakarta. Ia ke Jakarta dalam keadaan yang amat menyedihkan. Pakaian yang dibawanya hanya sepasang bekas gerilya, dan uang tak lebih dari Rp. 10. Berbulan-bulan, lapar-haus, tak dihiraukannya, dan diberbagai studio ia ditolak.”Ach, ini semua percobaan” katanya……

“Selagi matahari masih bersinar, harapanku tak akan pudar, karena dibalik awan yang tebal, matahari tetap bercahaya,”

Barulah di studio Golden Arrow ia diterima oleh Tuan Chang San dan R. Ariffien (sutradara). “Ternyata bahwa tuduhan orang bahwa perusahaan-perusahaan film bangsa asing hanya mementingkan orang yang cantik saja, tidak beralasan terbukti dengan diterimanya saya menjadi pemain film dari perusahaan Golden Arrow”

Peran pertama ialah dalam cerita: BUDI UTAMA sebagai seorang seniman tua. Lima cerita berturut dari Golden Arrow yaitu: BUDI UTAMA, PEMBALASAN, SIMPANG DJALAN, SERUNI LAJU, dan MEREBUT KASIH. Kemudian dalam MUSIM MELATI, dari Semeru Film Co. DI TEPI BENGAWAN SOLO dan NJIUR MELAMBAI produksi Asiatic Film Coy. Dan baru saja selesai ialah TENANG MENANTI dari Surja Film Co. Menurut katanya, dalam “TENANG MENANTI”lah ia baru merasa sedikit puas, karena leluasa bergerak dan berlaku. Selain itu ia merasa mendapat sutradara dan teman-teman yang betul-betul “nuchter” dalam segala hal. Pada produksi kedua Surja Film Co, ia diserahkan membuat cerita dengan pimpinan dan bantuan Tuan R.S. Madhy yang berkalimat MATI SEBELUM SENDJA. Beberapa reel cerita sudah diopname, tetapi sekarang terpaksa ditunda untuk beberapa bulan karena satu dan hal lain.

Waktu belakangan ini, sering ia kami lihat di Studio Bintang Surabaja, Golden Arrow, Persari, di mana ia akan berlaku, Wallahu alam. Karena ia pemain yang tidak terikat (free-lancer). Pula hampir setiap gambar bertukar ia hadir, terkadang sampai tiga kali berturut-turut menonton satu cerita, apabila gambar itu menarik hatinya. Bintang pujaannya ialah Glenn Ford, Joseph Cotton, Humphrey Bogart, Gregory Peck, dan seluruh pemain watak dari Amerika. Menurut salah seorang temannya yang dekat, sekali ia hampir putus asa, dan akan mengundurkan diri dari “Dunia Film” disebabkan sempitnya ekonomi, dan kurangnya perhatian produser film terhadap artis film baru (new comer). Untung beberapa sahabat studentnya dapat menentramkan kembali pikirannya dan mengurungkan niatnya dengan perkataan: “Jangan mundur karena kapasitasmu besar, hanya perusahaan film Indonesia yang kecil. Anggaplah pembayaran yang tak seimbang dengan jerih payahmu itu sebagai uang saku kepada seorang pelajar film. Dan jangan lupa, tinjaulahkembali keadaan beberapa puluh tahun yang lampau, sewaktu kita menonton film-film bisu dari Amerika. Gambar-gambar itu dipertunjukkan di gedung-gedung, di bawah skycrapers (pencakar langit), dengan mendapat perhatian penuh dari bangsa Amerika, khususnya, dan dunia umumnya. Pesatnya kemajuan mereka melulu bantuan moril bangsanya, pula berpuluh negara lain termasuk negeri jajahan lainnya, memuji dan membangga, malah memperdebatkan jago dari film tersebut. Bukanlah ini contoh yang tepat. Dan segala ocehan bangsa kita sendiri yang merendahkan mutu film Indonesia, anggaplah mereka belum masak pengertian.”

Ia amat suka berjalan kaki berjam-jam lamanya, sambil mempelajari penghidupan masyarakat yang 1001 corak itu. Hormat dan santunnya tiada berbeda kepada siapapun walau ningrat ataupun gembel.

Demikianlah sedikit ringkasan riwayat hidup A. Wahid Chaniago, seorang new comer yang sedang naik bintangnya. Baiklah kita tunggu….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar