Jumat, 04 Februari 2011

WULAN DI SARANG PENCULIK / 1975

WULAN DI SARANG PENCULIK

Dalam surat izin produksi berjudul "Barung Kuning".


Karena sibuk mempersiapkan peragaan pakaian ciptaannya, Ny. Surya (Nani Widjaja) mengirimkan anaknya Wulan (Yiyik Trisulo) ke villanya di pegunungan ditemani oleh pengasuhnya Nunung (Titik Qadarsih) Tidak jauh dari tempat itu sedang berlangsung perkemahan pramuka. Tono (Yoyok Trisulo) dan Budi (Bono Sudibyo) ikut dalam perkemahan itu.

Suatu hari saat Wulan sedang jalan-jalan di kebunnya yang luas ia diculik. Penculik minta tebusan sebesar Rp. 25 juta, bersamaan dengan itu Tono dan Budi ter[pisah dari regunya saat melakukan tugas mencari jejak. Tono dan Budi sampai ke gubuk tempat Wulan disekap, Wulan lalu diajak melarikan diri, polisi berhasil menggrebek penculik tapi Tono, Budi dan Wulan tak dijumpai.

Begitu sampai jalan raya mereka menumpang mobil sayur sampai ke Jakarta dan lalu "ditangkap" polisi saat bermain-main di air mancur. Polisi menelpon keluarga Surya, Wulan di jemput ayahnya







NEWS
05 Februari 1977

Pokoknya mewah

WULAN DI SARANG PENCULIK Sutradara : Ishaq Iskandar Skenario: Arifin C Noor Produser: PT Madu Segara Film INI betul-betul film klas atas. Baik cerita, pakaian para pemain, rumah dan isinya maupun jalan ceritanya, semuanya khas orang atas sana. Untuk mereka yang hidupnya Senen-Kemis - atau bahkan sedikit lebih haik dari itu -- menonton film ini pasti akan merupakan semacam piknik ke "alam mimpi" yang tidak semuanya mimpi, sebab konon hidup mewah demikian bukan tidak dinikmati oleh sejumlah kecil penduduk Jakarta: Ayah yang lebih sibuk di luar negeri, ibu yang asyik dengan kreasi pakaian serta para pragawatinya, anak tunggal yang masih kanak-kanak lantas dibikin terlantar dalam kemewahan. Supaya nyonya ini (Nani Widjaja) boleh lebih kelihatan sibuk, puterinya, Wulan (Yiyik Trisulo) dikirim saja ke pegunungan.

Di sana ada rumah mewah macam milik para bangsawan di Eropa, lengkap dengan kuda-kuda piaraan, kebun bunga serta berbagai kebun yang luas. "Ini semua milik papa Wulan", kata pak tua penjaga rumah peristirahatan mewah dan kebun-kebun itu. Mewah dan menggiurkan, begitu semua tiba di mata penonton. Barangkali karena tidak suka mengganggu kenikmatan penonton yang lagi asyik bermewah-mewah itulah maka adegan penculikan dalam film ini dikerjakan dengan cara yang sama sekali tidak memerlukan ketegangan sehelai syaraf sekalipun. Sudah tentu untuk maksud itu para penculik harus dibikin bodoh dan polisi serta hansip boleh berputar-putar entah sampai kapan.

Dan bahwa pada akhirnya Wulan selamat bahkan sebelum tahu bahwa ia diculik, itu pun hal yang nampaknya sejalan dengan hasrat bermewah dan bersenang-senang. Ibu Wulan di akhir cerita diperlihatkan menyesali sikapnya yang menyepelekan anaknya. Bisa diperkirakan bahwa film ini mempunyai niat yang amat mulia, yakni mendakwah para ibu agar dalam keadaan sibuk macam apa pun, itu anak jangan sampai lupa.

Masih untung cuma jatuh di tangan para penculik yang tolol-tolol. Bagaimana misalnya kalau tergoda oleh tukang edar morfin. Pasti berabe, kan? Ada pun mengenai sutradara muda Ishaq Iskandar, lewat film ini tidak banyak yang bisa diperkatakan tentangnya. Ia anak didik Teguh Karya. Tidak sulit bila melihat bekas-bekas tangan gurunya di sana. Tapi permainan yang tidak jelek dari para bintang baru yang ditangani Ishaq dalam karyanya yang baru rampung itu, nampaknya patut dinilai sebagai hasil ketekunan sang sutradara yang memang baru menghasilkan dua film. Salim Said

Tidak ada komentar:

Posting Komentar