Kamis, 10 Februari 2011

USMAR ISMAIL 1949-1970


USMAR ISMAIL
Film Director
Nama :Haji Usmar Ismail Mangkuto Ameh
Lahir :Bukit Tinggi, Sumatera Barat 20 Maret 1921
Wafat :Jakarta, 2 Januari 1971

Pendidikan :
HIS, MULO-B, AMS-A II (Barat Klasik) 1941,
Jurusan Film Universitas California Los Angeles, Amerika Serikat (BA-1953)

Karya :
“Puntung Berasap”(puisi), Sedih Dan Gembira dan Tjitra”(1949),
“Liburan Seniman”(1965),
“Darah Dan Doa dan Enam Djam di Jogya”(1950),
“Dosa Tak Berampun”(1951), “Terimalah Laguku”(1952), “Kafedo”dan “Krisis”(1953),
“Lewat Jam Malam”(1954),
“Tiga Buronan”(1957), “
Jendral Kancil”(1958), “
Asmara Dara”dan “Pejuang”(1959),
“Anak Perawan Disarang Penyamun”(1962).


Karier :
Ketua PWI (1947)
Ketua PPFI (1954-1965),
Ketua Lesbumi (Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia), Usmar Ismail, dikenal sebagai seniman serba bisa yang punya nama besar pada zamannya. Usmar adalah penyair, dramawan, wartawan, sutradara, dan pembuat film terkemuka Indonesia. Bapak perfilman Indonesia ini mewariskan karya-karya dalam bidang seni dan budaya yang masih bisa dinikmati hingga saat ini. Ia adalah sosok pejuang multidimensional yang penuh warna.

Kepeloporannya dalam perfilman Indonesia ditulis oleh Tatiek Malyati, sebagai berikut : “Saya kira dia pelopor pada zaman itu. Sebelumnya belum ada film-film yang bisa memberikan cerminan dari masyarakat, masalah-masalah yang ada dimasyarakat”. Sementara Chalid Arifin, dosen film di IKJ, menambahkan : “Ciri film Usmar itu linier, tidak berdasarkan urutan waktu dan terpecah-pecah. Ada beberapa kejadian yang semula lepas-lepas tetapi kemudian kumpul menjadi satu. Itu luar biasa, sampai sekarang mungkin nggak ada film Indonesia seperti itu”.

Dia dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang taat beribadah. Usia tujuh tahun Usmar sudah pandai mengaji. Setamat HIS dan Tawalib di Batusangkar bungsu dari enam bersaudara ini melanjutkan sekolah ke MULO di Padang Panjang. Kemudian Usmar yang pandai menggambar bersama dengan sahabatnya Rosihan Anwar merantau ke Jawa. Di Yogyakarta Usmar melanjutkan ke AMS-A II jurusan Klasik Timur. Masa sekolah Usmar Ismail yang indah di Yogyakarta terganggu oleh masuknya balatentara Dai Nippon ke Indonesia. Dengan Mengantongi ijazah darurat Usmar pergi ke Jakarta dan tinggal dengan kakaknya, Dr. Abu Hanifah. Ia kemudian bekerja di kantor pusat kebudayaan dan aktif mengembangkan bakatnya menulis cerpen, syair, dan naskah drama. Menutur Asrul Sani, dalam pengantar buku Usmar Ismail Mengupas Film, sebagai penyair ia merupakan generasi penutup yang menulis puisi dengan gaya Pujangga Baru.



AWAL
Pada tahun 1943, Usmar bersama Rosihan Anwar dan Abu Hanifah mendirikan perkumpulan sandiwara amatir Maya. Diperkumpulan sandiwara itu Usmar yang menikahi Sonia Hermine Sanawi, gadis Betawi dan rekan kerjanya. Menurut Nano Riantiarno, sutradara Teater Koma, apa yang diproduksi Maya boleh dibilang sebagai cikal-bakal teater modern Indonesia. Pada awal revolusi Usmar Ismail memasuki dinas ketentaraan dan aktif di bidang kewartawanan. Bersama dengan Syamsuddin Sutan Makmur dan Rinto Alwi, Usmar dan kawannya mendirikan surat kabar Rakyat. Ketika para pemimpin Republik Indonesia pindah ke Yogyakarta Usmar ikut serta. Di Yogya ia mendirikan harian Patriot dan majalah kebudayaan Arena. Pada tahun 1947 Usmar yang tetap aktif berkesenian terpilih sebagai Ketua Persatuan Wartawan Indonesia.

Usmar pada saat pendudukan Jepang.
Tahun 1946, pemerintah RI pindah ke Yogjakarta, karena dinilai Jakarta tidak aman karena dikuasi Belanda. Mereka yang pro Republik akan mengungsi keluar Jakarta yaitu Yogjakarta mereka di sebut mengungsi ke pedalaman, yang disebut kaum Noon, Non Kooperatif. Mereka ikut pemerintah RI pindah ke Yogjakarta, juga pusat kebudayaan yang berisi Usmar Ismail, Suryo Sumanto, D.Djajakusuma, Gajus Siagian, dan Hamid T, Djamil. Di luar itu bergabung juga penyair muda Asrul Sani. Mereka di rekuit oleh Zulkiffli Lubis, bagian inteligen Propaganda. Usmar Ismail menjadi Mayor TNI, sedangkan yang lain berpangkat Kapten dan Letnan. Mereka mendirikan koran Patriot 1947. Usmar Ismail terpilih menjadi ketua umum PWI. Sedang Asrul Sani di kirim Kol, Lubis ke Jakarta dan bergabung dengan pasukan 0001, diwilayah yang dikuasi Belanda. Tugasnya untuk membantu dan menyiapkan untuk pasukan Indonesia yang menyegrap dan menyusup ke Belanda. Tugasnya mirip dengan mata-mata yang menganaisa pergerakan Belanda.

Sedangkan di tempat tinggal Usmar Ismail di Yogjakarta, ada kegiatan diskusi film, pesertanya adalah Usmar dan kawan-kawan, film yang diputar adalah Gone With the Wind, lalu mereka diskusikan film itu dari berbagai sudut. Sesekali mereka datangkan RM.Soetarto untuk mengajarkan proses pembuatan film. Usmar masih terkesan dengan makna, fungsi, dan arti film yang diberikan oleh Jepang. Mereka melihat film adalah benda seni, sedang jepang adalah benda propaganda, tetapi saat jaman Belanda film adalah sebuah hiburan belakan yang menitik beratkan pada penonton berbagai golongan, bawah, menengah, terpelajar, nigrat, Belanda totok dan lainnya, sehingga film mengikuti pasarnya.


Banyak yang mempertanyakan Usmar Ismail tiba-tiba muncul di stuio milik Belanda, sebagai asisten Andjar Asmara saat. Ini sangat aneh karena Usmar adalah seniman pemikir, Mayor TNI, Ketua PWI, bagaimana tiba-tiba ia muncul di Perusahaan film Belanda, studio Multi itu? Semua orang tahu, 1947 Usmarjuga direktur surat kabar Patriot, bertugas meliput perundingan Renville. Selanjutnya, ia di tangkap Belanda karena selain ia wartawan tapi juga Mayor TNI. Ia di jebloskan ke penjara Cipinang. Ia dibebaskan diduga karena Chairril Anwar melalui pertolongan sahabatnya berkebangsaan Belanda dan juga wartawan perang kantor Perancis. Saat muncul Komunis, beberapa seniman yang sehaluan menuding Usmar adalah pro Belanda pada masa Revolusi. Sitor Situmorang yang berhaluan kiri, menuding Usmar.

Tentu pertemuan rutin itu tidak bisa berkembang karena memang tidak ada yang paham sekali tentang proses pembuatan film. Ternyata pejabat pemerintah juga merasakan arti penting film dalam kemerdekaan Indonesia. Hal ini terbukti dari didirikannya sekolah film Kino Drama Atelier (KDA, adalah yayasan) dan Stichting Hiburan Mataram (STM) di Yogja oleh mentri penerangan. Adapun pendiri KDA adalah Dr.Huyung, Djajakusuma,D.Suraji. dan lainnya. Dr. HUyung adalah orang Jepang yang tidak mau pulang ke negerinya, ia pun ikut dalam kegiatan sandiwara. Muridnya antara lain Soemardjono. Sedangkan yang sekolah di Yogja adalah Alam Surawidjaja dan Deliana. Yang menarik dari sekolah itu adalah tidak adanya pengajar yang menguasai bidang film. Pernah datang seorang dengan membawa kamera ke dalam kelas. diletakan di depan kelas. Semua murid tentu antusias ingin mendengarkannya, sang pengajar menjelaskan alat yang ia bawa adalah kamera film, siswa jangan pegang, lalu ia cerita tentang pembuatan film pada umumnya., tidak menyinggung tentang kamera.

Sedang film Usmar memnyimpang dari model cerita film sebelum perang, karena ia berkembang dalam masa romance dan novel Balai Pustaka.


Usmar Ismail memenuhi panggilan hidupnya di dunia perfilman. Minatnya membuat film dengan kemampuan tenaga Indonesia semakin membara. Pada 1950 Usmar dan kawan-kawannya mendirikan Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini). Usmar memproduksi film pertamanya Darah dan Doa tahun 1950, Enam Djam di Yogya”tahun 1950 dan Dosa Tak Berampun”tahun 1951. Dengan keterbatasan modal, sumber daya, dan peralatan Usmar bisa membuat film-film yang setara dengan film-film dari luar negeri pada zaman itu. Film pertamanya Darah dan Doa, atau lebih dikenal dengan judul asing The Long March, yang mengisahkan Long March pasukan Siliwangi diberi kesempatan diputar perdana di depan Presiden Soekarno.

Pada tahun 1953 Usmar Ismail mendapat beasiswa dari Rockfeller Foundation untuk mendalami sinematografi di Universitas California Los Angeles, Amerika Serikat. Usmar Ismail juga mempunyai keinginan yang kuat untuk memajukan teater modern di Indonesia. Setelah mendirikan kelompok sandiwara Maya, pada tahun 1955 Usmar mendirikan Akademi Teater Nasioanl Indonesia (ATNI), sebuah cikal-bakal “Teater sekolahan” di Indonesia. Menurut Asrul Sani ini merupakan upaya lain Usmar untuk membuka jalan baru untuk pertumbuhan teater modern di Indonesia.

Dalam dunia perfilman Usmar Ismail telah menghasilkan 25 judul film. Beberapa karyanya mendapat penghargaaan dari pemerintah dan dalam berbagai festival film internasional. Hari pertama syuting film Darah Doa, 30 Maret, dinyatakan sebagai Hari Film Nasional. Bersama dengan tokoh-tokoh perfilman luar negeri Usmar mempelopori terbentuknya Federasi Produser Asia Pasifik. Dalam rangka mempromosikan film dan artis Indonesia. Usmar Ismail yang juga dikenal sebagai Ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) yang bernaung di bawah Nahdlatul Ulama, mendapat penghargaan tertinggi Piagam Widjayakusumah dari Presiden Soekarno. Pengurus PBNU ini lalu memasuki kiprahnya sebagai anggota DPR-Gotong Royong.

Usmar Ismail adalah cermin insan film yang bekerja dengan penuh idealisme sekaligus sejumlah kompromi. Di tengah maraknya kritik dan lesunya film nasional Usmar mengembuskan nafasnya yang terakhir pada 2 Januari 1971 dalam usia 49 tahun karena pendarahan otak. Haji Usmar Ismail Mangkuto Ameh adalah sosok pejuang yang pantas menjadi teladan. Dan nama Bapak Perfilman H. Usmar Ismail dibilangan Kuningan Jakarta Selatan.***


LAGI-LAGI KRISIS1955USMAR ISMAIL
Director
LARUIK SANDJO 1960 USMAR ISMAIL
Director
PEDJUANG 1960 USMAR ISMAIL
Director
DOSA TAK BERAMPUN 1951 USMAR ISMAIL
Director
ANAK-ANAK REVOLUSI 1964 USMAR ISMAIL
Director
ANAK PERAWAN DI SARANG PENJAMUN 1962 USMAR ISMAIL
Director
TJITRA 1949 USMAR ISMAIL
Director
TAMU AGUNG 1955 USMAR ISMAIL
Director
AMOR DAN HUMOR 1961 USMAR ISMAIL
Director
DELAPAN PENDJURU ANGIN 1957 USMAR ISMAIL
Director
KRISIS 1953 USMAR ISMAIL
Director
BAYANGAN DI WAKTU FAJAR 1963 USMAR ISMAIL
Director
HARTA KARUN 1949 USMAR ISMAIL
Director
KAFEDO 1953 USMAR ISMAIL
Director
SENGKETA 1957 USMAR ISMAIL
Director
ANANDA 1970 USMAR ISMAIL
Director
TIGA DARA 1956 USMAR ISMAIL
Director
BIG VILLAGE 1969 USMAR ISMAIL
Director
LIBURAN SENIMAN 1965 USMAR ISMAIL
Director
TOHA, PAHLAWAN BANDUNG SELATAN 1961 USMAR ISMAIL
Director
BAJANGAN DIWAKTU FADJAR 1962 USMAR ISMAIL
Director
ENAM DJAM DI DJOGDJA 1951 USMAR ISMAIL
Director
ASRAMA DARA 1958 USMAR ISMAIL
Director
LONG MARCH, THE 1950 USMAR ISMAIL
Director
LEWAT DJAM MALAM 1954 USMAR ISMAIL
Director
JA MUALIM 1968 USMAR ISMAIL
Director


NEWS
Di Saat Usmar Ismail Tak Lelah Menghadapi Kekaburan Birokratis 1991
Sikap tidak proposional pemerintah pada saat itu, sehingga perfilman nasional mengalami kesulitan dalam peredarannya. Konsep ideal yang diselipkan Usmar Ismail, film yang dibuat harus merupakan ekspresi kesenian dan intelektual agar film Indonesia memiliki kepribadian. Usmar Ismail tak lelah menghadapi kekaburan birokratis dan mengumumkan perang di dua front, disatu Front berhadapan dengan selera pasar pembuat film nasional disisi lain harus menghadapi tantangan film-film produksi Barat yang segalanya sudah lebih canggih

Filem-filem Usmar Ismail dengan sutradara "Tempo Doeloe", belum bisa disaingi oleh orang2 filem masa kini 1987
Meskipun tokohnya dusah lama tiada, dan lambang "Banteng Ketatonnya" sudah pudar, tetapi kebesaran PERFINI yang didirikan oleh Usmar Ismail pada tanggal 30 Maret 1950 bersama teman seperjuangannya, masih tidak bisa dilepaskan dengan kebesarn Usmar Ismail. Dua nama yang lebur menjadi satu dalam lingkungan filem nasional, dan pembaharu yang melatarbelakangi sejarah perjuangan filem tempo doeloe dan masa kini.Pekan Filem Produksi PERFINI memutar sembilan buah filem yang disutradarai oleh Usmar Ismail, D. Djajakusuma dan Nya Abbas Acup, merupakan retrospeksi bagi karya bermutu, yang pernah menghebohkan para pecandu filem nasiona, disaat situasi krisis menghadapi bombardir filem-filem Hollywood, yang saat itu merajalela di tanah air. Namun Usmar Ismail tidak memperdulikan hal itu, ia dan kawan tetap berjalan ever onward no retreat. Usmar Ismail terus mencari sesuatu yang bisa disumbangkan kepada bangsa dan negaranya. Usmar dan kawan-kawan menunjukkan kepada kita semua bagaimana sesungguhnya bekerja untuk filem, walau dengan peralatan sederhana namun mampu melahirkan filem berbobot.Dibandingkan dengan produksi masa kini, filem-filem Usmar dan sutradara lainnya di PERFINI masih tampak di atas.


Interview dengan Usmar Ismail : Tentang Festival Film Asia Ke-V di Manila 1958

Berdasarkan hasil kunjungannya ke Festival Film Asia Ke-V di Manila, Usmar Ismail sangatlah menyayangkan sikap Indonesia yang tidak mempergunakan kesempatan untuk mengirimkan film maupun utusan ke festival tersebut. Festival Film ini sebenarnya dimaksudkan untuk mempererat hubungan antara negara-negara pembuat film di Asia dan juga memberikan dorongan kepada negara-negara yang hadir agar dapat membuat film yang lebih baik mutunya dari yang biasa dibuat. Dengan berdirinya Federation of Motion Picture Producers in Asia diperoleh manfaat bertambahnya usaha kerjasama antara berbagai negara Asia dalam rangka joint-production. Dalam Festival Film Asia ke-V ini ada 8 negara yang ikut serta dengan 22 buah film dan Hong Kong sebagai pemenangnya melalui film "Our Sister Hedy".

Mengenang kerja keras Usmar Ismail : Usmar terkadang galak soal disiplin nomor satu 1991
Syamsul Fuad assisten sutradara terakhir alm. H. Usmar Ismail berbicara tentang kesan-kesannya selama mendampingi alm. Usmar Ismail disaat menangani film Ananda. Kesan-kesan tersebut antara lain akan merasa beruntung bisa diajak bekerjasama dengan Usmar, kepemimpinan Usmar sebagai sutradara dapat mewujudkan kerjasama yang kompak diantara para karyawan PERFINI sehingga segalanya berjalan lancar, Usmar juga tidak pernah mengekang pada para pemainnya untuk berinisiatif menentukan blocking, hasil terpaan tangan Usmar Ismail berhasil mengorbitkan sederetan nama-nama artis kondang seperti Bambang Hermanto, Sukarno M. Noor, Mieke Widjaja, Lenny Marlina, dan lain-lain, Usmar memberikan petunjuk kepada para pemainnya secara jelas, terperinci, dan penuh kesabaran, dan hanya satu hal yang tidak disenangi oleh Usmar Ismail yaitu bila menghadapi pemain yang tidak disiplin. Ada juga satu kebiasaan bila Usmar sedang marah, dia akan menghendus-henduskan hidungnya, kemudian berjalan kiri-kanan sambil kedua tangannya merogoh kantong celana. Film Ananda adalah karya terakhirnya setelah dia kemudian meninggal 2 Januari 1971.


Pakar Film Indonesia Segala Zaman : untuk kesekiankalinya : Usmar Ismail 1989
Ledakan film Si Kabayan didelapan bioskop yang diserbu penoton dan berdecak kagum, terpukau oleh kebolehan El Badrun menciptakan sulapan-sulapan ajaib dalam karyanya bersama sutradara Imam Tantowi, Pesangrahan Kramat dan serial Saur Sepuh, mengingatkan kembali film Tiga Dara sebuah komedi karya Usmar Ismail. Sukses komersilnya mungkin tidak sehebat Si Kabayan. Namun menurut ukuran jamannya film yang dimainkan oleh Rendra Karno, Citra Dewi, Mieke Wijaya dan Bambang Irawan itu sebuah komedi yang sukses baik mutu maupun komersil pada jamannya.
Usmar Ismail sutradara yang dikenal sebagai wartawan, dramawan dan penyair bukan saja dihormati dinegaranya, juga di mancanegara. Film-film yang mendapat penghargaan seperti "Pejuang" dengan Bambang Hermanto sebagai aktor terbaik dalam Festival film di Moskow, Rendra Karno dinobatkan sebagai aktor pembantu dalam festival film Asia di Taiwan dan penghargaan lainnya. Sineas kelahiran Bukittinggi ini boleh dikatan serba bisa, jenis film apapun pernah digarapnya. Film perjuangan seperti, Enam Jam di Yogya, Darah dan Doa, Toha Pahlawan Bandung Selatan dan Anak anak Revolusi, dan Usmar Ismail membuat juga film-film komedi dan drama.

Penjelasan Pitradjaja Burnama : Usmar Ismail Mewariskan Cita-cita dan Dedikasi 1977
Pitradjaja Burnama menjelaskan tentang maksud dari tulisan `Momok Usmar Ismail` yang termuat dalam VISTA adalah idealisme yang Usmar Ismail pegang teguh dalam perfilman nasional, untuk sebagian produser film nasional sekarang ini, seolah-olah hanya berpegang pada masalah komersiil saja. Usmar Ismail sebagai tokoh dan guru dalam dunia perfilman nasional, yang mewariskan idealisme dan cita-cita luhur, khususnya terhadap perkembangan perfilman nasional. Dan tugas kita untuk melanjutkan cita-cita tersebut.


Pidato Usmar Ismail Dalam Musyawarah Nasional Pembangunan
Usmar Ismail mengungkapkan pandangan umum tentang perfilman Indonesia, beliau dianggap mengetahui masalah seluk beluk perfilman Indonesia dan memperjuangkan film Indonesia secara keseluruhan dengan mengingat pentingnja dunia perfilman, dunia film dalam maupun luar negeri, bagi masyarakat dan negara kita. Dalam hal-hal tertentu tentu saja dia akan mendahulukan film nasional dari pada film asing yang manapun juga. Film dalam negeri tak mungkin akan maju tanpa adanya pemasukan film asing yang baik. Usmar Ismail mengusahakan supaya dalam menyusun rencana pembangunan 5 tahun, para pemimpin dan pembesar Indonesia tidak melupakan film sebagai alat komunikasi dan pembangunan kebudayaan


Saat-saat terakhir bersama Usmar Ismail 1991
Setiba dari Italia untuk mengurus copy Film Bali, hasil kerjasama Perfini dengan UGO Film dari Italia, Usmar Ismail merasa ditipu dan dia berpesan bila ingin membangun kerjasama dengan Italia harus jelas, terperinci dan zakelyk. Setelah itu dia terkena musibah lagi yang sangat memukul perasaannya, yaitu dilikwidirnya PT Ria Sari/ Miraca Sky Club yang dibangunnya sejak tahun 1967 dan harus mem-PHK karyawannya. Lewat Miraca Sky Club ini Usmar Ismail mendapat penghargaan sebagai warga teladan dari Pemda DKI, karena telah membantu Pemda dalam menarik arus wisatawan. Acara tutup tahun 31 Desember 1970 di Miraca Sky Club adalah terakhir kalinya Usmar Ismail berkumpul dengan segenap kerabat, handai tolan dan karyawan yang dikenal sangat akrab dan bersahaja, karena esok harinya dia diboyong ke rumah sakit karena pendarahan otak disusul kematiannya subuh jam 5.20 tanggal 2 Januari 1971. Usmar Ismail meninggalkan kita disaat tenaga dan pikirannya dibutuhkan oleh dunia perfilman Indonesia.


Tjeramah Usmar Ismail : Pembentukan dana film : beri harapan perusahaan-perusahaan film nasional

Usmar Ismail selaku Ketua Persatuan Importir Film Nasional menyatakan bahwa perusahaan film Indonesia sedang mengalami kendala-kendala antara lain masalah keuangan. Untuk itu dibentuk suatu Dana Film. Dana Film tersebut dikeluarkan oleh pemerintah berupa kredit sebesar 50 juta rupiah yang diberikan kepada para produsen film dan para penguasaha bioskop. Kredit tersebut dapat diharapkan dapat membantu perkembangan perindustrian film nasional

Tokoh Film Bulan Ini : Usmar Ismail 1955
Film Krisis produksi Perfini yang disutradarai oleh Usmar Ismail merupakan puncak atas daya kreasi dari dunia film Indonesia. Usmar Ismail adalah salah seorang sutradara Indonesia terbaik yang dicetak pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia. Pria kelahiran Bukit Tinggi, berotak pandai dan suka menulis ini tamat A.M.S bagian kesusasteraan pada usia 21 tahun. Di masa revolusi ia membentuk gerakan `seniman merdeka`, berpidato, menyanyi, main musik, agitasi, yang membangkitkan semangat patriotisme dan revolusi kemerdekaan rakyat Indonesia. Kemudian Dia juga menjadi redaktur surat kabar `Harian Rakjat`, lalu di Yogyakarta menerbitkan majalah bulanan, mingguan, dan harian yang merupakan isi jiwanya sebagai seorang putera Indonesia yang sedang berevolusi. Usmar seorang mayor Tentara Nasional Indonesia, sebagai sastrawan, dan sebagai wartawan. Setelah dia keluar dari kedinasan tentara, bersama dengan S. Sumanto dan yang lainnya mendirikan Perusahaan Film Nasional yang terkenal dengan nama Perfini. Gelar BA didapatnya dari University of California atas bea siswa dari Rockefeller Foundation untuk belajar drama dan cinematography. Selain sebagai sutradara, ia adalah presiden direktur perusahaan film nasional Indonesia. Usmar Ismail masih seorang putra Indonesia yang penuh rasa patriotisme diatas dasar nasionalisme yang besar, segenap jiwa dan pikirannya dicurahkan untuk nusa dan bangsanya.

Usmar Ismail angkatan 45 (1951)
Banyak orang yang menggolongkan bahwa Usmar Ismail merupakan sastrawan angkatan 45. Hal ini didasarkan atas karya-karya Usmar Ismail pada jaman penjajahan Jepang. Saat jaman pendudukan Jepang Usmar Ismail bersama teman-temannya mendirikan mingguan Tentara, Harian Patriot dan Majalah Kebudayaan Arena yang merupakan wadah tempat para seniman-seniman muda pada waktu itu. Setelah berlangsungnya aksi militer pertama Usmar Ismail menjadi wartawan Antara yang membawanya menghuni penjara dikarenakan tuduhan menjalankan gerakan bawah tanah oleh pihak Belanda. Setelah keluar dari penjara Usmar Ismail membuat film pertama dengan judul Harta Karun dan Tjitra. Berdasarkan pembuatan film inilah Usmar Ismail membuat perusahaan sendiri dengan nama Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini). Film pertama yang dibuat Perfini adalah Long March of Siliwangi (Darah dan Doa). Seiring dengan banyaknya film-film yang diproduksi oleh Perfini pada waktu itu dibandingkan dengan perusahaan film yang lain, membuat film-film produksi Perfini tersebut dapat dikatakan menjadi film yang sudah sempurna.

Usmar Ismail : tragedi sang seniman 1988
Artikel ini mengingatkan kita semua bahwa cita-cita menjadikan film Indonesia sebagai tuan rumah di negerinya sendiri tidak selayaknya dilakukan dengan mengemukakan pernyataan-pernyataan yang malah mematikan semangat. Pernyataan yang mengesankan semangat orang yang kalah, kalau boleh pinjam ungkapan seorang pengamat film. Seperti yang terdengar belakangan ini yang ironisnya datang dari mereka yang dianggap paling tahu masalah perfilman nasional. Untuk itulah perlunya mempelajari perjuangan dan konsep pemikiran Usmar Ismail yang barangkali bisa dijadikan pedoman wajah perfilman nasional yang sebenarnya.
Kita tidak boleh terjebak oleh pendapat yang belum pasti nilai kebenarannya. Sebab ada kalanya apa yang tertulis berbeda jauh dengan kenyataan yang ada di lapangan. Hingga hari ini masih jadi tanda Tanya apakah benar masyarakat Indonesia kurang menyenangi film buatan bangsanya sendiri. Belum ada satupun studi atau penelitian yang komprehensif mengenai hal ini. Begitu pula bagaimana sebenarnya pengaruh film Barat terhadap aspek cultural, pranata-pranata sosial dan psikologis masyarakat Indonesia. Pada umumnya pendapat orang yang memojokkan film nasional hanya berdasarkan prasangka dan kesan selintas yang kurang bisa dipertanggungjawabkan.
Mengkaji ulang perjalan hidup dan pikiran-pikiran Usmar Ismail kita merasakan getar daya hidup yang tak pernah berhenti dari sang seniman yang bernasib tragis ini. Sebaiknya tulisan ini kita akhiri dengan mengutip Asrul Sani, teman dekatnya: “Usmar adalah seorang tokoh yang tragis. Ia berdiri sendiri di tengah-tengah masyarakat yang mempunyai selera yang lain tentang film, selera yang dibentuk oleh berpuluh-puluh tahun pengalaman menonton film impor yang disajikan tidak lebih dari sekedar hiburan, yang sama sekali tidak menyadari kaitan antara kenyataan dan film.

Usmar Ismail dan Soerjosumanto Tokoh Perfilman Indonesia 1998
Presiden Soeharto memberikan anugerah Bintang Mahaputra Utama kepada Usmar Ismail dan Soerjosumanto atas jasa-jasa beliau memajukan perfilman di Indonesia. Usmar Ismail mendirikan suatu perisahaan film pertama yang memproduksi film-film Indonesia. Perfini (Perusahaan Film Nasional) berdiri pada tanggal 30 Maret 1950 lahir pada saat syuting pertama film yang diproduksi Perfini yaitu Darah dan Doa. Selanjutnya hari tersebut dijadikan sebagai Hari Film Nasional. Soerjosumanto lebih dikenal sebagai pemimpin Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI) yang berdiri pada tahun 1956. Soerjosumanto dikenal sebagai Bapak artis karena berkat jasanya PARFI terhindar dari PKI

Usmar Ismail Gigih Perjuangkan Legitimasi Film Nasional 1991
Sejarah perfilman di negeri ini tak perpisahkan dari sejarah kehidupan dan perjuangan Usmar Ismail. Almarhum bukan hanya sebagai peletak dasar perfilman Indonesia, tetapi juga seorang kreator berjiwa nasionalisme yang kental. Simbol-simbol kebangsaan selalu mewarnai gerak kehidupannya, baik dalam bidang sosial maupun kebudayaan. Sikap ini dipertahankannya hingga ia menekuni film. Itu sebabnya, Usmar Ismail adalah sineas pertama yang memperjuangkan dengan gigih diakuinya film nasional, kendati ia harus berhadapan dengan pemilik-pemilik bioskop yang diantaranya warga asing. Ia telah memancangkan tonggak terpenting dalam sejarah perfilman nasional, dengan menunjukkan tekadnya bahwa orang pribumipun mampu menjadi “tuan rumah di negerinya sendiri.
Dari karya-karya film yang dibuatnya, sangat jelas betapa besar andilnya Usmar Ismail dalam merintis perfilman nasional, terutama dengan memanfaatkan semua potensi yang dimiliki sineas pribumi. Usmar, tentu saja ingin menunjukkan kepada dunia bahwa putra-putri Indonesia juga mampu membuat film yang berkualitas. Idealisme dan dedikasi Usmar yang dilandasi semangat nasionalisme, kiranya penting diaktualisasikan dalam proses kreatif sineas kita pada masa kini. Film bagi Usmar adalah bagian kebudayaan, yang harus dibuat dengan landasan moral dan tanggung jawab. Usmar juga seorang sineas yang meletakkan film inhern dengan bidang kebudayaan, bahkan dengan revolusi Indonesia. Pemikiran dan gagasan Usmar Ismail pada beberapa tulisan betapa ia dengan sangat gigihnya memperjuangkan legitimasi film nasional yang mampu menjadi alternatif bagi kemajuan manusia Indonesia. Dan menghendaki karya film Indonesia dapat menyumbangkan nilai-nilai positif bagi pembangunan bangsa dan menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Usmar Ismail ke Amerika Serikat Hollywood 1955
Tanggal 15 September 1955 Usmar Ismail Ketua PPFI sekaligus juga Presiden Direktur Perfini telah berangkat ke Amerika Serikat untuk mempelajari ilmu organisasi theater dan perusahaan film selama 3 bulan di Hollywood

Usmar Ismail pun pernah menggugat peredaran film 1991
Usmar Ismail pun pernah menggugat peredaran film asing pada dasawarsa 60 an. Film-film impor Amerika mendominasi masa putar sebagian besar gedung-gedung bioskop di seluruh Indonesia. Pada masa itu nasib perfilman Indonesia masih jauh dari upaya menjadi tuan rumah di negeri sendiri, tidak ada kebijakan pemerintah untuk melindungi karya anak negeri, film Indonesia pun harus bersaing keras dengan film-film impor asal India, Malaysia, dan Philipina. Pengembangan kreativitas Usmar Ismail terhalang oleh sensor yang asal gunting, iklim politik pada masa itu merupakan kendala terberat baginya dan kecaman-kecaman dari Lembaga Kebudayaan Rakyat menjadi daftar keluhan Usmar Ismail sampai akhir hayatnya

Usmar Ismail tentang kesenian nasional : kegairahan untuk mentjipta harus di-kobar2kan lagi 1966

Kesenian yang diselenggarakan oleh Front Kebudayaan Revolusioner dimana pendirinya adalah Usmar Ismail bertujuan untuk menciptakan suatu gerakan yang bersifat nasional untuk mengembangkan kesenian daerah yang ada di Indonesia. Untuk itu diperlukan adanya organisasi kebudayaan yang bersifat nasional agar kesenian daerah dapat berkembang. Organisasi tersebut harus bersifat luwes, tidak ada paksaan di antara berbagai golongan agar kesenian dapat berkembang serta dapat membangkitkan semangat para seniman untuk menciptakan karya-karya seninya

Usmar Ismail, jatuh dan bangunnya 1982
Dalam usia yang relatif muda Usmar Ismail berhasil menjadi penggerak dalam berbagai organisasi di dunia teater antara lain Ketua Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI), Sandiwara Ganesha, Sandiwara Penggemar Maya. Selain di bidang teater Usmar Ismail juga aktif dalam dunia wartawan dan militer hingga dunia politik. Karirnya jatuh pada saat Usmar Ismail mengembangkan usaha hiburan yang mendapat protes dari kalangan pemerintah.


Usmar Ismail (berdiri, ke-3 dari kiri), foto bersama dengan Hamidy T. Djamil (ke-5), dan juru kamera Max Tera serta aktor Sukarno M. Noor (jongkok ke-2) dan Wahid Chan (ke-3)


SEMANGAT kebangsaan telah ditunjukkan oleh salah seorang tokoh perfilman Indonesia H. Usmar Ismail ketika mendirikan NV Perfini pada tanggal 30 Maret 1950. Pada tanggal dan tahun itulah Usmar memulai shooting film produksi pertama NV Perfini "Darah dan Doa" (Long March). Dalam sejarah film Indonesia, film tersebut tercatat sebagai film Indonesia pertama yang penggarapan dan modalnya oleh orang-orang pribumi. Sebelumnya memang ada film "Lutung Kasarung" (1926) yang dianggap sebagai film cerita pertama di Indonesia, tetapi digarap oleh orang Belanda.

Semula film tersebut akan menggunakan judul "Long March", dan direncanakan akan dikirim ke Festival Film Intemasional di Cannes. Sayang hanya sampai sebatas rencana, sebab penggarapannya hampir terhambat akibat menyusutnya nilai uang setelah pemerintah waktu itu melakukan pemotongan nilai uang. Modal Rp 30.000 untuk shooting film tersebut tentu saja tidak mencukupi karena nilainya turun drastis jadi separuhnya. Agar tidak rugi total, Perfini mengadakan kerja sama dengan Spektra Exchange, sehingga film "Darah dan Doa" bisa diselesaikan seluruhnya. Sutradara Usmar Ismail juga sempat menghadapi kenyataan pahit ketika film "Darah dan Doa" dilarang beredar di beberapa daerah, termasuk di Jakarta.

Melalui film "Darah dan Doa" yang menceritakan hijrahnya pasukan Siliwangi dari Yogyakarta ke Jawa Barat, Usmar telah menunjukkan bahwa orang-orang pribumi pun mampu berprestasi, menjadi pengusaha film, mengurus manajemen produksi, menjadi penata kamera, menjadi editor, pokoknya seluruh film tersebut dikerjakan oleh pribumi. Usmar sendiri berasal dari Sumatra Barat, penulis skenarionya sastrawan Sitor Situmorang dari Sumatra Utara, para pemainnya antara lain Del Yuzar dan Aedy Moward, dari berbagai daerah, sedangkan ceritanya lebih bernuansa Jawa Barat. Bahkan dalam film perjuangan berikutnya, Usmar banyak sekali mengungkapkan romantika perjuangan di Jawa Barat, misalnya melalui film "Pejuang", Toha Pahlawan Bandung Selatan" dan "Anak-Anak Revolusi". Berkat jasanya terhadap kebangkitan film nasional, pemerintah memberikan penghargaan sebagai "Perintis Perfilman Nasional" kepada Usmar Ismail.

Hari Film Nasional

Tangga) 11 Oktober 1962, berlangsung konferensi kerja Dewan Film dengan berbagai organisasi perfilman, antara lain memutuskan bahwa hari shooting pertama produksi perdana NV Perfini "Darah dan Doa" dijadikan Hari Hlm Nasional. Itulah sebabnya FFI pertama berlangsung 30 Maret, sebab dianggap sebagai hari bersejarah bagi kehadiran film yang sepenuhnya merupakan karya orang pribumi. Akan tetapi dalam penyelenggaraan berikutnya, tidak lagi diselenggarakan tangga) 30 Maret.

Sebelumnya telah terjadi perbedaan pendapat sebab peristiwa bersejarah tanggal 30 Maret hanya diakui oleh kalangan orang film swasta, sedangkan kalangan pemerintah masih memilih tanggal 6 Oktober sebagai mana usulan tokoh perfilman lainnya R.M. Soetarto. Alasannya, pada tanggal 6 Oktober 1945 ada peristiwa yang dianggap lebih penting, yakni bertepatan dengan Jepang yang menyerahkan studio Nippon Eiga Sha kepada Pemerintah RI. Dari pemerintah RI sendiri diwakili oleh R.M. Soetarto. Studio itu kemudian berganti nama menjadi PPFN (Pusat Produksi Film Negara).

Upaya untuk mengajukan tanggal 30 Maret sebagai Hari Film Nasional terus dilakukan. Akhirnya terwujud pada masa pemerintahan Presiden BJ. Habibie. Melalui Keputusan Presiden No. 25, tanggal 29 Maret !999. yang ditandatangani langsung oleh BJ. Habibie, maka ditetapkan bahwa tanggal 30 Maret sebagai Hari Film Nasional.Jika kita menyimak film-film penting dalam perjalanan sejarah film Indonesia, maka akan nampak bahwa pesona Jawa Barat menjadi bagian yang tak terpisahkan. Film cerita pertama yang dibuat di Indonesia adalah film berdasarkan cerita legenda dari Jawa Barat. Film karya Albert Balink dan Mannus Franken "Pareh" (1934), yang mendapat pujian dari para pengamat film, menampilkan keindahan panorama alam tatar Sunda dengan adaptasi dan tradisinya. Dan film "Darah dan Doa" yang shooting pertamanya dijadikan sebagai tangga] Hari Film Nasional, mengungkapkan kisah hijrahnya pasukan Siliwangi ke Jawa Barat.

Maka rasa nasionalisme yang bersumber dari keragaman potensi daerah, sesungguhnya telah digaungkan oleh para sineas tempo dulu, termasuk keterlibatan pemerintah daerah dalam pembuatan film, seperti dukungan bupati Bandung RAA Wiranatakusumah V. terhadap film "Lutung Kasarung" dan "Pareh". Film adalah seni mutakhir yang memiliki pengaruh luar biasa, juga bisa menjadi dokumentasi berharga dari generasi ke generasi. Kini Iata bisa menyaksikan film "Pareh" dalam rentang waktu 76 tahun, atau "Darah dan Doa" setelah 60 tahun, dalam kondisi film yang masih terawat, lalu kita bisa melihat sendiri realita alam dan manusianya pada saat itu.Melalui Hari FOm Nasional sesungguhnya kita bisa memperluas wawasan melalui film tempo dulu yang tersimpan di Sinematek Indonesia untuk mengenal masa lampau Indonesia. ( Eddy D. Iskandar, Ketua UmumFFB/Pimred "Galura").

Tidak ada komentar:

Posting Komentar