Rabu, 09 Februari 2011

TURINO DJUNAIDY 1951-1991



Nama :Teuku Djuned
Lahir :Padang Tiji, Nangro Aceh Darussalam, 6 Juni 1927
Wafat :Jakarta, 8 Maret 2008
Pendidikan :
Kursus Radio Telegrafis di Medan (1943),
Sinematografi dan Produksi Film di Tokyo

Selama ini dikenal sebagai pendiri PT Sarinande Film pada saat dunia film dilanda kelesuan pada 1960-an. Turino aktif memproduksi film, dan sampai awal 1978 sudah memproduksi lebih dari 30 film. Turino juga aktif dalam organisasi seperti Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI) dan Yayasan Naional Festifal Film Indonesia (YFI).

Buku Katalog Film Indonesia 1926--2007 yang disusun JB Kristanto mencatat, film garapan Turino Djunaidy ini Bernafas dalam Lumpur sebagai film Indonesia pertama yang menonjolkan seks, perkosaan, dan dialog-dialog kasar

Minat kepada film dimulai ketika ia mengedarkan film-film Mesir di Sumatera. Ketika untuk pertama kalinya ia melihat film Indonesia Menanti Kasih tahun 1949, ia langsung tertarik kepada film yang di bintangi A. Hamid Arief itu. Lalu Turino mencoba mendapatkan film-film Indonesia di Jakarta. Sampai di Jakarta malah ditawari bermain film oleh perusahaan Golden Arrow. Tawaran itu diterimanya dengan rasa bingung. Dan bermainlah ia dalam film-film Meratap Hati tahun 1950, Seruni Layu tahun 1951 dan Si Mientje tahun 1952.

Perusahaan dagang G.A.F. Sang Saka yang di dirikannya di awal 1950-an diubahnya menjadi perusahaan pembuat film. Produksi pertamanya film Pulang tahun 1952. film Rentjong dan Surat tahun 1953, film Sri Asih tahun 1954 dan film Kopral Djono tahun 1954. Dalam semua film tadi ia bermain sebagai pemain utama. Dalam film Sri Asih, Turino merangkap sebagai sutradara. Bermain bersama Mimi Mariani yang kemudian menjadi istrinya. Kemudian ia bermain dalam perusahaan film lain antara lain, Oh Ibuku tahun 1955 dan Taman Harapan tahun 1957. Turino kemudian mendirikan perusahaan P.T Sarinande Film pada tanggal 13 Desember 1959.

Produksi pertama Sarinande adalah Iseng tahun 1959 yang mengorbitkan nama pelawak Alwi dan Oslan Hussein. Sarinande telah memproduksi lebih dari 40 judul film sampai tahun 1980. Turino juga membimbing Pembantu Sutradara seperti Has Manan, Bay Isbahi dan Arizal. Filmnya Bernafas dalam Lumpur ditahun 1970 telah menghasilkan uang yang besar saat itu namun film-filmnya yang kemudian tidak dapat lagi mengulang sukses, sekalipun keuntungan tetap diperolehnya.

Dikenal sebagai direktur, produser, sutradara, penulis PPFI (Perhimpunan Produser Film Indonesia). Kemudian dalam Yayasan Nasional Festival Film Indonesia. Yayasan ini sejak tahun 1973 mengadakan FFI setiap tahun. 

Pada hari Sabtu, 8 Maret 2008, Turino Djunaedi manghembuskan nafas terakhirnya akibat stroke, jenazah dimakamkan keesokan harinya di pemakaman keluarga di Gadog, Ciawi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Turino Djunaedi akan selalu dikenang sebagai perintis industri perfilman nasional.

Tokoh paripurna perfilman Indonesia, Turino Djunaedi, meninggal dunia Sabtu 8 Maret 2008 pukul 20.55 pada usia 80 tahun di RS Setia Mitra, Jakarta. Aktor film, sutradara, produser, penulis cerita dan skenario film, kelahiran Padang Tiji, Nanggroe Aceh Darussalam, 6 Juni 1927, itusudah lama menderita sakit karena stroke.

Jenazah tokoh pembangkit perfilman nasional itu disemayamkan di rumah duka Jalan Gaharu I No 26 Cipete, Jakarta Selatan, dan dimakamkan Minggu 9 Maret 2008 pukul 13.00, di pemakaman keluarga di Gadog, Ciawi, Kabupaten Bogor.

Kolega seangkatannya, sutradara H Misbach Yusa Biran (74), mengatakan, Turino, bersama tokoh lain seperti Usmar Ismail, adalah perintis industri film nasional setelah era kemerdekaan.

Peraih penghargaan Lifetime Achievement Award dalam Festival Film Asia Fasifik di Jakarta, 2001dan Satya Lencana Wirakarya dari Presiden RI Megawati Soekarnoputri, 2004, itu menguasai hampir semua profesi di bidang perfilman, mulai dari aktor, penulis skenario, sutradara, hingga produser.

Turino telah terjun ke dunia film sejak tahun 1950 dengan bermain dalam film Meratap Hati produksi perusahaan film Golden Arrow. Minatnya kepada film bermula saat dia mengedarkan film-film Mesir di Sumatera. Lalu dia tertarik pada film Indonesia ketika untuk pertama kalinya menionton film Indonesia Menanti Kasih, yang di bintangi A. Hamid Arief, tahun 1949.

Setelah itu Turino berangkat ke Jakarta dalam upaya mendapatkan film-film Indonesia. Tetapi sedampai di Jakarta, dia malah ditawari bermain film oleh perusahaan Golden Arrow. Sejenak dia ragu dan bingung sebelum akhirnya menerima tawaran itu. Itulah awalnya dia bermain film, ikut membintangi film Meratap Hati tahun 1950. Kemudian berlanjut pada film Seruni Layu tahun 1951 dan Si Mientje tahun 1952.

Dalam rangka menunjang karir, perusahaan dagang GAF yang didirikannya pada awal 1950-an diubah menjadi perusahaan pembuat film. Selain sebagai produser, dia juga berperan sebagai pemain utama dalam produksi pertamanya, film Pulang tahun 1952. Begitu juga dalam produksi film berikutnya yakni film Rentjong dan Surat tahun 1953, film Sri Asih tahun 1954 dan film Kopral Djono tahun 1954.

Tokoh paripurna dalam profesi perfilman itu, telah pula merangkap sutradara sejak (dalam) film Sri Asih. Dalam film ini, Turino bermain bersama Mimi Mariani yang kemudian menjadi istrinya. Beberapa film dia bintangi dan sutradarai. Kemudian dia mendirikan perusahaan PT Sarinande Film pada tanggal 13 Desember 1959. Produksi pertama Sarinande Film ini adalah Iseng (1959). Film Iseng ini mengorbitkan nama pelawak Alwi dan Oslan Hussein.

Sarinande telah memproduksi lebih dari 40 judul film sampai tahun 1980. Turino juga membimbing Pembantu Sutradara seperti Has Manan, Bay Isbahi dan Arizal. Salah satu filmnya yang paling terkenal dan tentu telah menghasilkan uang yang besar adalah Film Bernafas dalam Lumpur (1970 dan 1991) 

Turino Djunaedi yang bernama ssli Teuku Djuned, itu juga dikenal sebagai salah satu pendiri Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI). Dia juga berperan dalam Yayasan Nasional Festival Film Indonesia yang sejak tahun 1973 mengadakan FFI hampir setiap tahun.


KEBANGKITAN ORDE BARU, KANGKITAN FILM KEKERASAN, MISTIK DAN SEX
“Pembuat film pada periode [Orde Baru] tidak memiliki kebebasan untuk mengekspresikan kreativitas mereka, jadi mereka duduk dengan tenang dan berjuang melawan sistem represif melalui film. Kejahatan dan sifat penghancur yang ditunjukan dalam film dapat dilihat sebagai simbolisme dari pemerintah Orde Baru sendiri.”

Demikian kutipan yang disarikan Ekky Imanjaya berdasarkan wawancara dengan Imam Tantowi, sineas yang kerap terlibat dalam pembuatan film eksploitasi sepanjang tahun 1980-an. Tantowi mengawali debut sutradaranya melalui film Pasukan Berani Mati (1982). Sebelumnya, pernah juga terlibat dalam pembuatan Primitif (1980) dan Jaka Sembung Sang Penakluk (1981) sebagai penulis naskah.

Ekky Imanjaya melalui makalah “The Other Side of Indonesia: New Order’s Indonesian Exploitation Cinema as Cult Films” yang dipublikasikan dalam jurnal Colloquy (2009, hlm.146) menyebut film-film garapan Tantowi cukup populer di Australia, Eropa, dan Amerika Serikat. Distribusinya ditempuh melalui kanal khusus film-film kelas B. Kali pertama dilepas ke pasar internasional, film-film tersebut belum diketahui klasifikasi atau genrenya.

Lama-kelamaan, distributor film asing dan penonton di negara-negara Barat menemukan kesamaan antara film eksploitasi dengan film-film buatan orang Indonesia. Menurut pemaparan Imanjaya, film eksploitasi yang dimaksud meliputi film dengan anggaran rendah, menonjolkan sisi sensasional dengan mengumbar seks, ketelanjangan, kejahatan, dan kekerasan. Tidak jarang, film jenis ini juga mempertontonkan penggunaan narkoba, orang-orang aneh, darah, monster, perusakan, pemberontakan, dan kekacauan.

Indonesia pernah menyaksikan zaman keemasan film-film semacam itu. Dimulai sejak Orde Baru mulai berkuasa, film eksploitasi mencapai puncak kejayaan pada dekade 1980-an. Pesonanya mulai menghilang tatkala persaingan dengan televisi semakin sengit dan industri film mengalami mati suri sampai tamatnya Orde Baru.

Ditolak di Negeri Sendiri

Jenis film yang dipaparkan Imanjaya sebenarnya memiliki sejarah yang cukup panjang di Indonesia. Kecenderungan ini sudah muncul sejak tahun 1968. Kala itu, sutradara Turino Djunaidy pernah bereksperimen dengan sedikit unsur seks dan kekerasan melalui film Djakarta, Hong Kong, Macao. Jika film tersebut bisa disebut film eksploitasi, artinya film genre ini menjamur seiring dengan kemunculan pemerintahan Orde Baru.

Pada praktiknya Orde Baru memiliki kebijakan sensor yang cukup membingungkan bagi sebagian sineas. Di satu sisi, otoritas sensor mengizinkan pemanfaatan unsur-unsur seks dan kekerasan ringan, namun di sisi lain sangat keras mengatur kritik dan pertunjukan yang mempertentangkan kelas sosial. Ditambah lagi, kebijakan yang sering berubah-ubah tidak jarang membuat produser film sering merugi.

Tidak heran jika pada akhirnya dunia perfilman pada periode 1970-an mulai kedatangan tema-tema baru yang terkesan menentang nilai-nilai normatif. Agar bisa terus menjual karya-karyanya, sebagian sineas merasa perlu mengeksploitasi rasa takut, birahi, hingga perasaan jijik. Semuanya dibawakan dengan dalih menjunjung film sebagai alat pendidikan.

Pada 1970, istilah seksploitasi dalam film mulai diperdebatkan di muka publik. Musababnya adalah penggambaran seks dan kata-kata cabul dalam film buatan Turino Djunaidy yang berjudul Bernafas dalam Lumpur. Selang tiga tahun kemudian, film arahan penulis dan sutradara Ali Shahab yang berjudul Bumi Makin Panas kembali mengangkat tema serupa.

 Puncaknya pada 1978, Sisworo Gautama Putra yang kelak tenar berkat mengarahkan film-film horor Suzanna, berhasil menghebohkan publik melalui film garapannya yang berjudul Primitif. Kontroversi timbul akibat tema kanibalisme dan kemunduran peradaban yang menjadi tema sentral film tersebut. Orang-orang film pun saling berdebat hingga membawanya sampai ke acara Festival Film Indonesia 1978.

“Adegan-adegan sex tahun ini relatif berkurang dalam hal penyajian yang menyolok [...] film yang mengemukakan cerita tentang kekerasan dan sadisme dan semacamnya tahun ini meningkat,” kata Rosihan Anwar dalam laporannya pada FFI 1978 yang dikutip Tempo (20/5/1978).

Sebelumnya, kecaman serupa sudah pernah diutarakan oleh kelompok seniman film idealis dalam FFI 1977. Mereka menganggap film dalam negeri sudah tidak ada lagi yang berwajah Indonesia karena semuanya penuh dengan ciri eksploitasi naluri rendah manusia. Catatan Taufiq Ismail yang dikumpulkan Tempo (12/3/1977) menyebut keberatan itu beralasan karena sebanyak 40 persen film Indonesia saat itu memang bertutur tentang prostitusi dan kriminalitas.

Bagi sebagian kritikus dan otoritas sensor Orde Baru, film eksploitasi sering kali tidak dianggap bagian Film Indonesia. Ekky Imanjaya kembali menyoroti masalah ini melalui makalah berjudul “Mondo Macabro as Trashy/Cult Film Archive: The Case of Classic Indonesian Exploitation Cinema yang terbit di jurnal Plaridel (2018, hlm.116).

Ia menuliskan: “Pemerintah Orde Baru dan elit budaya Indonesia selalu berusaha untuk mengecualikan film eksploitasi lokal dari wacana konsep sinema nasional dan budaya film nasional, karena mereka percaya film harus mewakili budaya sejati Indonesia, menggambarkan wajah asli Indonesia, dan menyinggung masalah pendidikan dan budaya”.

Menentang Gelombang Pasang

Perasaan ganjil saat menonton film eksploitasi pernah diutarakan oleh Eros Djarot dalam Kompas (16/1/1983). Ia mengaku sangat kesal saat menyaksikan film Nyi Blorong (1982) arahan Sisworo Gautama Putra. Menurutnya, film tersebut “tidak lebih dari usaha menggalakan kembali kepercayaan pada takhyul yang bersifat membodohkan masyarakat.”

Eros Djarot lantas melanjutkan uraiannya dengan menyinggung anjuran pembuatan Film Kultural Edukatif yang pertama kali disinggung oleh kelompok budayawan sekitar tahun 1979. Usulan ini didukung oleh pemerintah yang kemudian merilis Pedoman Sensor Film dan Kode Etik Produksi Film Nasional tahun 1981. Menurut penjelasan yang dipaparkan Novi Kurnia, dkk., dalam Menguak Peta Perfilman Indonesia (2004, hlm.57), langkah ini dinilai dapat meningkatkan kualitas produksi film dalam negeri.

Kode etik produksi 1981 berisi instruksi kepada setiap pembuat film agar mengedepankan tema sentral yang berlatar budaya dan kondisi sosial Indonesia. Peraturan yang dirancang melalui Seminar Kode Etik Produksi Film Nasional tanggal 4-8 Mei 1981 ini secara tidak langsung juga mengatur representasi visual dan dialog film yang bermuatan nilai-nilai religius dan disiplin nasional.

Bukan kebetulan jika semenjak kode etik produksi 1981 diberlakukan, film-film bertema sejarah, legenda, dan horor bermunculan bak jamur di musim hujan. Alih-alih membuat film yang sarat akan nilai-nilai yang disarankan pemerintah, sineas yang berkecimpung dalam pembuatan film komersial memilih mengeksploitasi tema-tema lokal menggunakan cara mereka sendiri. Tidak jarang, mereka memberlakukan cara-cara brutal dengan cara menjiplak film-film asing yang disesuaikan dengan selera lokal.

Dalam Indonesian Cinema: National Culture on Screen (1991, hlm. 40-41), Karl G. Heider mencoba mengklasifikasikan genre atau jenis film komersial yang populer pada periode 1980-an. Selain legenda dan horor, ada pula genre kompeni, genre periode Jepang, dan genre perjuangan. Kelimanya sering menjadi tema dasar pembuatan film eksploitasi Indonesia.

Perusahaan Rapi Film menjadi salah satu rumah produksi yang paling sering memproduksi film-film yang diklasifikasikan Heider. Pada titik ini gambaran tentang keganjilan praktek perdukunan yang berdarah-darah acap kali dipertontonkan untuk mendukung premis kebaikan agama mengalahkan ilmu hitam. Sebut saja seperti tokoh kyai dalam Pengabdi Setan (1980) atau tokoh pendeta yang muncul dalam Ranjang Setan (1986).

Selain itu, ada pula genre periode Jepang yang kemudian berkembang menjadi medium untuk membawakan tema penyekapan dan penyiksaan terhadap perempuan. Seperti yang tampak pada Tujuh Wanita dalam Tugas Rahasia (1983), Kamp Tawanan Perempuan (1983), dan Perawan di Sarang Sindikat (1986). Pada jenis film ini bentuk kejahatan itu ada pada kubu penjajah dan organisasi kriminal yang digambarkan gemar menyiksa, melecehkan, dan menyekap perempuan.

Apabila argumen yang dikemukakan Imam Tantowi sebelumnya memang berlaku umum, maka film eksploitasi barangkali memang sangat ampuh mengakomodasi kekesalan sineas yang mengaku kesulitan menyalurkan ekspresi kesenian di bawah tekanan politis Orde Baru. Sebagai bentuk pemberontakan, tokoh dan bentuk-bentuk kekuatan penghancur dalam film dibuat sebagai bentuk simbolis kekuatan politik Soeharto.


Tokoh perfilman nasional yang dikenal membangkitkan perfilman Indonesia pada era 1970-an, H Turino Junaidy, wafat pada usia 80, di RS Setia Mitra Jakarta, Sabtu (8/3) malam, pukul 21.00 WIB.

Lahir di Padangtiji, Nangro Aceh Darussalam, 6 Juni 1927, sebelum terjun ke dunia film, namanya adalah Teuku Djuned. Tetapi, seperti banyak orang yang mengganti nama setelah terjun sebagai pemain film, ia pun menggganti namanya dan menjadi lebih dikenal dengan nama Turino Junaedi. Sebagai orang Aceh, Turino pernah menjadi ketua umum Taman Iskandar Muda, organisasi masyarakat Aceh se-Jabotabek.
Minat kepada film dimulai ketika Turino mengedarkan film-film Mesir di Sumatera. Ketika untuk pertama kalinya ia melihat film Indonesia Menanti Kasih (1949), ia langsung tertarik kepada film yang di bintangi A Hamid Arief itu. Lalu Turino mencoba mendapatkan film-film Indonesia di Jakarta. Sampai di Jakarta malah ditawari bermain film oleh perusahaan Golden Arrow. Tawaran itu diterimanya dengan rasa bingung. Dan bermainlah ia dalam film-film Meratap Hati (1950), Seruni Layu (1951), dan SiMientje (1952). Ketertarikannya pada industri film membuat pria itu mengalihkan usaha yang ia miliki. Perusahaan dagang GAF Sang Saka yang ia dirikan di awal 1950-an menjadi perusahaan pembuat film.

Selain sebagai produser, dalam semua produksi filmnya ia bermain sebagai pemain utama. Filmnya Bernafas dalam Lumpur yang dibintangi oleh Suzanna dan (alm) Farouk Affero di tahun 1970 telah menghasilkan uang yang besar saat itu. "Kesuksesan film itu dianggap menjadi titik kebangkitan film Indonesia saat itu yang sebelumnya didominasi film impor," ungkap pengamat film Yan Wijaya. Namun film-filmnya yang ia produksi kemudian tidak dapat lagi mengulang sukses, sekalipun keuntungan tetap diperolehnya. Diapun dikenal menjadi pengusaha film yang sukses dengan bendera Sarinande Film.

Produksi pertama Sarinande adalah Iseng (1959) yang mengorbitkan nama pelawak Alwi dan Oslan Hussein. Sarinande telah memproduksi lebih dari 40 judul film sampai 1980. Turino juga membimbing Pembantu Sutradara seperti Has Manan, Bay Isbahi dan Arizal. Turino dikenal sebagai pelopor kebangkitan film nasional pada 1970-an dengan menyutradarai dan memproduseri film Bernafas Dalam Lumpur, Petualang Cinta, dan Selangit Mesra. Pada 1995, Turino masih memproduseri film And The Moon Dances yang disutradari Garin Nugroho. "Dia adalah orang yang sangat komitmen pada dunia film. Di usia tuanya ia tetap ingin menjalankan dan menggeluti bisnis perfilman," ungkap Garin.

Turino juga dikenal sebagai direktur, produser, sutradara, penulis PPFI (Perhimpunan Produser Film Indonesia). Kemudian dalam Yayasan Nasional Festival Film Indonesia. Yayasan ini sejak 1973 mengadakan FFI setiap tahun. Pada 2001, almarhum mendapat penghargaan Lifetime Achievement Award dalam ajang Festival Film Asia Pasific yang diadakan di Jakarta. Saat menerima penghargaan pria yang pernah mengecap pendidikan film di Kursus Radio Telegrafis di Medan (1943), dan Sinematografi dan Produksi Film di Tokyo, sudah sakit. Sehingga, ketika maju ke atas panggung harus dipapah oleh dua orang.
 
Berdasarkan Keppres No 016/TK/2004 tertanggal 13 April 2004, oleh Presiden Megawati Soekarnoputri Turino meraih penghargaan Satya Lencana Wirakarya, bersama dengan tokoh film lainnya seperti Soetarto RM dan Njoo Han Siang.


MEREBUT KASIH 1951 A. CANON
Actor
NODA TAK BERAMPUN 1970 TURINO DJUNAIDY
Director
SI MANIS JEMBATAN ANCOL 1973 TURINO DJUNAIDY
Director
BERNAFAS DALAM LUMPUR 1991 TURINO DJUNAIDY
Actor Director
BERNAFAS DALAM LUMPUR 1970 TURINO DJUNAIDY
Director
SELANGIT MESRA 1977 TURINO DJUNAIDY
Director
PETUALANG CINTA 1978 TURINO DJUNAIDY
Director
BELAIAN KASIH 1966 TURINO DJUNAIDY
Director
ANTARA TIMUR DAN BARAT 1963 TURINO DJUNAIDY
Director
MERATAP HATI 1950 RD ARIFFIEN
Actor
PULANG 1952 BASUKI EFFENDI
Actor
KABUT ASMARA 1994 TORRO MARGENS
Actor
KABUT BULAN MADU 1972 TURINO DJUNAIDY
Director
PAHIT-PAHIT MANIS 1952 L. INATA
Actor
KOPRAL DJONO 1954 BASUKI EFFENDI
Actor
AKHIR SEBUAH IMPIAN 1973 TURINO DJUNAIDY
Director
HANTJURNYA PETUALANG 1966 TURINO DJUNAIDY
Director
PEMBALASAN 1951 A. CANON
Actor
TAKDIR MARINA 1986 WAHAB ABDI
Actor
KEKASIHKU IBUKU 1971 TURINO DJUNAIDY
Director
OH, IBUKU 1955 ALI YUGO
Actor
ISENG 1959 TURINO DJUNAIDY
Director
DJAKARTA - HONGKONG - MACAO 1968 TURINO DJUNAIDY
Director
MAUT MENDJELANG MAGRIB 1963 TURINO DJUNAIDY
Director
KRISIS X 1975 TURINO DJUNAIDY
Director
GANASNYA NAFSU 1976 TURINO DJUNAIDY
Director
SORGA 1977 TURINO DJUNAIDY
Director
SI MIENTJE 1952 BASUKI EFFENDI
Actor
SRI ASIH 1954 TURINO DJUNAIDY
Actor Director
PUTERI REVOLUSI 1955 ALI YUGO
Actor
1000 LANGKAH 1961 TURINO DJUNAIDY
Director
LIKU-LIKU PANASNYA CINTA 1976 TURINO DJUNAIDY
Director
OPERASI HANSIP 13 1965 TURINO DJUNAIDY
Director
PACAR 1974 TURINO DJUNAIDY
Director
AKU DAN MASJARAKAT 1951 MHD A. CANON
Actor
RENTJONG DAN SURAT 1953 BASUKI EFFENDI
Actor
LORONG HITAM 1971 TURINO DJUNAIDY
Director
KASIH TAK SAMPAI 1961 TURINO DJUNAIDY
Director
KASIH DIAMBANG MAUT 1967 TURINO DJUNAIDY
Director
SERUNI LAJU 1951

Actor
PENGAKUAN SEORANG PEREMPUAN 1926 TURINO DJUNAIDY
Director
ORANG-ORANG LIAR 1969 TURINO DJUNAIDY
Director
INTAN BERDURI 1972 TURINO DJUNAIDY
Director
GADIS DISEBERANG DJALAN 1960 TURINO DJUNAIDY
Actor Director
DETIK-DETIK BERBAHAJA 1961 TURINO DJUNAIDY
Director
HADIAH 2.OOO.OOO 1962 TURINO DJUNAIDY
Director
KARTIKA AJU 1963 TURINO DJUNAIDY
Actor Director
BUDI UTAMA 1951 RD ARIFFIEN
Actor
BUNGALOW DI LERENG BUKIT 1976 TURINO DJUNAIDY
Director
DARMAWISATA 1961 TURINO DJUNAIDY
Actor Director
MATAHARI-MATAHARI 1985 ARIFIN C. NOER
Actor
RELA 1954 DJA'FAR WIRJO
Actor
MADJU TAK GENTAR 1965 TURINO DJUNAIDY
Actor Director
KUTUKAN IBU 1973 TURINO DJUNAIDY
Director

Tidak ada komentar:

Posting Komentar