Rabu, 02 Februari 2011

TJISDANE / 1971

 

Menuruti pesan ibu saat meninggal dan gurunya, Sugala (Toto Hadiprawiro)  mencari kakaknya, Sugali (Fara Noor), yang pergi dari rumah karena tak  tahan akan kekejaman pemerasan tuan tanah dan Belanda yang menyebabkan  ayahnya meninggal. Sugala bergabung dengan gerombolan Mat Gerong  (Menzano), perampok besar. Sugali pun akhirnya ikut dalam gerombolan  itu. Pacar Sugala, Nilam (Farida Arriany) adalah putri Mat Gerong, yang  suka ganti-ganti pacar, termasuk mencoba merayu Sugali, hingga  kakak-adik sempat bentrok. Padahal Sugali sudah punya pacar, Rani (Ully  Artha), yang entah bagaimana tahu-tahu dikawinkan ayah tirinya, bupati  yang sama sekali tak diketahui Sugali, dengan seorang pemuda Belanda.  Melihat Nilam yang selalu serong, akhirnya Sugali mengobrak-abrik markas  gerombolannya sendiri dan bersama Sugala bertempur melawan Mat Gerong.  Sugali dan Nilam mati, sementara Sugala yang terluka kembali ke desa  bersama Rani. Banyak sekali ketidakjelasan dalam jalan ceritanya.

Oh,  kotornya dunia
ARKIAN, maka adalah seorang ibu pada suatu hari berpesan kepada anaknja jang berlumuran lumpur: "Dunia memang kotor tapi djangan engkau jang  djadi penjebabnja tjutjilah lenganmu bila engkau menjentuhnja".  Malangnja, djustru pembuat film tentang kekotoran dunia itu sendiri  jang lalai terhadap pesan tokohnja. Akibatnja tjukup lumajan.  Menurut sinopsisnja, seharusnja sutradara Askur Zain membuat tjerita  tentang penindasan seorang lurah jang menjebabkan kematian seorang  ajah dari dua orang anak jang     kemudian sama sama djadi djagoan  setelah berpisah lama. 
 
Sang adik kemudian mentjari kakaknja jang ternjata sudah mendjadi anggota suatu gerombolan djahat. Melalui berbagai pertarungan, persatuan kembali dua saudara itu terdjadi  djuga, meskipun sang kakak harus menutup mata diachir tjerita. Collage. Tapi buat sutradara baru ini, tjerita jang harus dipindahkannja kedalam selluloid nampaknja sulit dirapikannja. Kelihatannja ia dipermainkan para penulis skenario jang konon terdiri dari beberapa orang. 
 
Keadaan matjani itulah jang mendjadikan  film Tjisadane itu tjdak lebih dari sebuah  tempel-tempelan.  Artistik? Barangkali terlalu mewah membawa-bawa soal artistik  disini. Terpaksa harus diseret kemari penanggalan tahun 1972. Orang  boleh menganggap rendah film-film dongeng matjam Bawang Merab Bawang  Putib buatan Golden Arrow diawal     tahun 50-an. Tapi bahkan film tua  hitam putih itupun masih mempunjai logika tjerita, jang sulit  tertemukan dalam film berwarna produksi pertama Fa. 

Tati & Sons  Film ini.
Skenarionja berdjalan sesuai dengan obsesi masa ketjil para  penulisnja. Tjara memfilmkannjapun tjukup tinggi deradjat amatirismenja. Disana bisa ditemukan apa sadja jang lagi laris sekarang: kekerasan, sex, silat, tari setengah telandjang maupun seperempat, djoget maupun sihir, pakaian Djakarta maupun Djawa, kalung mutiara maupun kalung Bangkok, tirai kain ataupun plastik. Artha. Walhasil, bagi mereka jang ingin melihat tjontoh jang baik  dari sebuah film jang tjuma memenuhi persjaratan administratif,  inilah dia barang jang paling tepat. Meskipun menggunakan lajar  lebar lengkap dengan warna-wami, tapi dalam satu bidikan kamera  sadja stabilitas tjahaja hampir tidak pernah dipertahankan.  Pemotretan jang dilakukan djuru kamera Kosnen tidak djarang malah menambah bingung penontonnja: adakah sebuah adegan itu berlangsung  siang atau nialam, ataukah dari siang hingga malam? Disini djuga ada  G.RW. Sinsu, tapi musiknja tidak seperti ketika masih di Perfini.  Ada djuga sjair tjiptaan sutradara, tapi dinjanjikan dengan sumbang  dan memang terlalu ditjari-tjari hubungannja dengan kali Tjisadane  jang djuga ditjari-tjari hubungannja dengan kisah film ini. Kehadiran Farida Arriani maupun Menzano apalagi Fara Noor, sama sekali tidak berhasil mendjadi djuru selamat. Film ini djuga menampilkan seorang Miss Teen-Agers jang bernama Ully Artha, tapi  begitulah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar