Senin, 07 Februari 2011

SI MAMAD / 1974



Best Film FFI 1974
Judul film ini berubah berkali-kali. Dari "Matinya Seorang Pegawai Negeri", "Ilalang" sampai akhirnya "Renungkanlah si Mamad". Film ini kemudian populer dengan judul "Si Mamad" saja.

Ini adalah film Sjuman yang beda sekali dengan karater dirinya dalam filmnya yang lain-lain. Kalau dalam film yang lainnya Sjuman yang lulusan sekolah film Rusia, Moskow itu, dengan idologi politik Rusia saat itu, Jiwa Sjuman memberontak melihat sosial masyarakat Indonesia saat itu. Kemarahan Sjuman yang nyata adalah korupsi yang dilakukan oleh pejuang itu sendiri yang memakai fasilitas negara (ini terjadi sampai saat ini), pemukau Agama yang tidak bisa melakukan apa-apa malah tunduk pada Jaman kebobokan (ini masih terjadi juga), anak Betawi yang malas sekolah dan pak Haji betawi sibuk menjual tanah dari pada beribadah dan bekerja (ini terjadi juga). Maka difilm ini lain.

Di film ini tidak muncul jiwa pemberontak Sjuman seperti film dia lainnya. Disini yang muncul adalah, bagimana seorang yang sabar dan tabah akan penindasan dan menerimo apa saja yang sudah digariskan padanya. Dia lebih baik mundur dari pada menegakkan kebenaran atas penindasan terhadap dirinya yang dilakukan koruptor, dan ketidak adilan pada dirinya. Hingga akhirnya mati.

Kecurigaan saya pada Sjuman atas karya ini adalah jangan-jangan Sjuman ingin menggambarkan fakta dan realitanya bila kita diperlakukan seperti tokoh si Mamad ini. Sjuman menampilkan bukan dengan pemberontakan, tetapi menampilkan contoh realita ke hadapan kita. Si Mamad adalah tokoh yang sangat banyak terjadi di Indonesia ini, dan perlawanan si Mamad (dengan jalan mudur saja) itu jugalah yang diambil sejumlah orang yang mengalami hal yang sama juga. Ini menjadi karakter sosial kita yang menerimo apa saja. Dan Sjuman dengan menampilkan contoh ini, serasa memberontak juga, serasa ingin mengucapkan...seperti inilah kita selama ini...., dan kita salah satu orang yang mensukseskan para ketidak adilan ini dan koruptor itu juga dengan jalan mudur baik-baik seperti si Mamad dan akhirnya mati juga.

Bagi orang yang tidak suka pemberontakan jiwa, suka dengan film ini yang meneteskan airmata dan mengharukan sekali nasib si Mamad, dengan harapan, kita tidak memperlakukan si Mamad lainnya dengan seperti itu bagi orang yang tersindir oleh Sjuman. Tapi bagi jiwa memberontak, mereka akan sebel sama si Mamad yang tidak melakukan apa-apa terhadap dirinya, berbuat untuk menolong dirinya saja dia tidak mau, dia hanya berfikiran lurus dan jujur saja.

Sjuman memberikan fakta yang ada pada sosial kita.

 
Synopsis
Mamad (Mang Udel) terpaksa melanggar kejujuran dirinya dengan berkorupsi kecil-kecilan, seperti mencuri kertas kantor untuk menghadapi kelahiran bayinya yang ketujuh. Perbuatan ini ternyata malah menyiksa dirinya apalagi ketika ia hendak menjelaskan duduk perkaranya kepada atasannya (Aedy Moward), yang bersikap realistis namun sebenarnya mengerti keadaannya. Mamad yang selalu diganggu perasaan bersalah belum bisa lega hatinya sebelum bisa menjelaskan masalahnya, sementara kesempatan untuk itu selalu lepas, bahkan puncaknya dirasakan sangat mengganggu oleh atasannya. Puncaknya ia dipecat dan kesedihannya yang mendalam membawanya ke liang kubur.

Film ini didasarkan pada cerita pendek karangan penulis Rusia, Anton Chekhov, yang berjudul Matinya Seorang Pegawai Negeri, sebuah kisah tentang Ivan Dmitritch Tchervyakov.[1]

Kalau saja Sjuman mendapatkan Drs.Purnomo alias Mang Udel sebagai tokoh utamanya, bisa dibayangkan macam apa tontonan berjudul si mamad ini. Kesederhanaan dan kejujuran hati amat sempurna direncanakan oleh Sjuman diwujudkan oleh Udel. Kepatuhan pada aturan kerja diperlihatkan dengan cermat dan kreatif oleh film ini melalui kehadiran Mamad sebelum jam kantor dan mulai menjamah pekerjaan ketika jam dinding mengeluarkan suara tujuh kali. Antara jam mulai hingga jam usai, tidak ada waktu yang terbuang, dan itu berlangsung puluhan tahun.

Orang yang malang ini Mamad adalah manusia sederhana yang tidak sempat mengawasi zaman yang melintas cepat dalam hiruk piruknya perubahan. Impiannya menggunakan pakaian priyai tempo dulu tidak ia lepaskan, tetapi ketika sampai ke sana, mode pakaian karya perancang dunia sudah menutupi tubuh orang disekelilingnya. 

Bukan cuma soal mode saja, cara hidup dan nilai-nilai yang dianut juga berubah drastis di luar pengamatannya. Ketika jabatan pegawai negeri sudah tinggal status dan tempat mencari fasilitas, Mamad masih saja menggantungkan seluruh hidupnya pada kerja membenahi arsip. Pada waktu orang mulai ribut dengan perlunya mengurangi laju produksi manusia (KB), Sriti, istrinya (Rina Hasim) terus saja bersibuk dengan bayi baru.

Mamad yang tragis sesungguhnya hidup dalam masa silam dan mencari makan di jaman sekarang. Terkadang ia mengeluh, tetap ia sudah bagaikan mahluk terhukum untuk menerima hidup sebagai adanya. Kemiskinan yang terus melebar digambarkan dengan plastik melalui minuman tanpa gula di pagi hari, atau rokok kretek yang terus menerus harus ngutang di depan kantor.

Tetapi ketika zaman yang berubah keras itu memasuki rumah tangganya melalui anak yang beranjak besar maupun bayi yang segera datang, nilai-nilai lama yang dianut. Mamad akhirnya toh goncang juga. Hanya ia terlambat untuk bisa meniru teman-teman sejawatnya. Satu-satunya yang mungkin ia lakukan adalah mempreteli invebtaris kantor yang kebetulan berada di bawah kekuasaannya. Konflik batin terus menyertainya ketika ia mula melancarkan operasi pencurian setiap jam kerja selesai. Kehadiran bayi yang mendesak membawanya ke toko alat tulis menulis untuk melego barang-barang curian yang terkumpul lama itu.

Masya Allah ternyata toko yang menadah barang curian itu milik kepala kantornya sendiri. Ketika menerima uangnya, Mamad sempat melihat kepala kantornya (Aedy Moward) sedang beranjak meninggalkan tokonya. Terbang seluruh semangatnya lantaran nilai-nilai lama yang berakar dalam sukmanya, tiba-tiba saja menyeretnya sebagai terdakwa. 

Tetapi ia mempunyai alasan yang kongkrit, kelahiran anaknya tidak bisa ditunda apalagi dibatalkan. Terjadi pertempuran batin yang seyogyanya tidak usah merisaukan kalau Mamad suka menyadari betapa kepala kantornya sendiri melakukan praktek sebagai tukang tadah.

Ada kesan kepala sekolah menyadari posisinya, terbukti dari sikap tidak acuhnya ketika Mamad memerlukan sedikit waktu untuk menjelaskan alasan kuatnya melakukan korupsi pertamanya sebagai pegawai arsip itu. Tapi justru sikap ketidak acuhannya itulah yang menyiksa perasaan Mamad yang terdesak hidup sulit. Dengan persetujuan istrinya hari-hari mendatangnya penuh dengan kesibukan untuk meladeni urusan sepele dijaman tak menentu macam sekarang. Pendek cerita, penolakan atasannya itu dinilai oleh Mamad sebagai tanda marah, yang pada fikirannya yang sederhana akan berakhir dengan pemecatan. Ya Allah, bagaimana dengan masa kerja 20 tahun yang perlu bagi anak-anaknya yang kecil-kecil? Walhasil, Mamad sakit, lalu mati. Habislah wirayat manusia yang pada pidato penguburannya disebut-sebut sebagai orang yang mewariskan sifat-sifat baik junjungan kita Nabi Muhammad.

Penonton tidak usah takut film ini berat, sehingga hilang peluang lucu. Pesan segar lucu dari film ini bukan karena bakat lawak Mang Udel, adalah kisah itu sendiri yang berkisah tentang manusia kecil yang sederhana di tengah jaman yang tidak semua orang sempat menyadarinya. Tidak sinkronnya sikap terhadap jaman hidup manusia. Kekonyolan demikian amat menterwakan tetapi bersama gelak tawa airmata juga bergerak ke muara. Kelucuan ini jarang terdapat di film Indonesia, ia lahir tanpa memerlukan pelawak.



News
06 April 1974
Juri dan bintang-bintang
BANYAK pembaharuan sistem penilaian yang dilakukan Dewan Juri FFI 1974 yang dipimpin Prof. Dr. Soelarko. Bukan saja cara pemberian dan pengumpulan angka digantikan dengan presedur lain, yakni pencalonan terbuka dan diskusi antar juri. Tapi yang lebih berarti bagi hasilnya ialah dalam hal memilih siapa di antara bintang-bintang film berhasil mendapatkan piala Citra. Keharusan untuk memilih aktor dan aktris terbaik dihindari yang tahu lalu nampaknya terpaksa dipatuhi karena kelaziman. Dengan sadar Dewan Juri 1974 tak ingin dipergunakannya julukan "aktor aktris terbaik 1973". Setidaknya ada 3 alasan pokok kenapa julukan itu dihindari. Pertama, buat memilih aktor & aktris terbaik dari suatu tahun, -- para juri harus menilai prestasi setiap aktor & aktris dalam film-filmnya selama setahun -- suatu hal yang bisa tidak adil karena tidak setiap pemain film dapat dan harus dinilai secara demikian. Ada yang main sekali dalam produksi setahun, ada yang muncul hampir di tiap produksi. Maka yang dinilai ialah akting masing-masing dalam satu film: prestasinya yang tampak dalam konteks suatu lakon. Alasan pokok kedua ialah: akting adalah sesuatu yang sering ditentukan oleh peran, dan peran ditentukan oleh lakon.

Rima Melati, misalnya, tak diragukan lagi "kelenturan"-nya sebagai aktris. Tapi peran yang didapatnya dalam film seperti Ayah -- yang entah kenapa ia terima -- menjadikannya bak sekedar perhiasan yang canggung ak keruan. Kemampuan akting Farouk Afero mungkin baru nampak, bila ia diberi keiempatan buat pegang peran lain selain si jahat yang "ha-ha-ha-ha!" (dalam film Indonesia, orang jahat -- selalu ketawa keras dan/atau serem). Dan khususnya Alam Surawijaya atau Rina Hasjim, yang cukup banyak menarik perhatian. Meskipun Alam jauh lebih matang dari Rina, tapi keduanya mengalami nasib yang sama: peranan yang mereka pegang semuanya kurang kaya, baik dengan kemungkinan maupun 
dengan tantangan, untuk menampakkan diri secara lebih mengesankan. 

Mujur Christine Hakim -- memenangkan akting terbaik dengan pujian dalam Cinta Pertama --boleh dibilang mujur. Bintang baru yang membikin surprise ini memperoleh peran yang memberinya kesempatan dan tantangan bagi kemampuannya. Ia mendapatkan apa yang jarang sekali diperoleh oleh bintang lain dalam film-film untuk FFl 1974: selain ia cocok untuk perannya, ia tidak harus menokohi satu konsepsi tentang satu watak, melainkanseorang manusia yang lebih utuh, lebih penuh akan fluktuasi perasaan dan ekspresinya.

Ia tak dibatasi oleh cetakan untuk melankolis terus, judes terus, mengalah terus --cetakan-cetakan yang biasanya siap sebelum film dimulai hingga film berakhir. Kelemahan umum cerita film Indonesia ialah bahwa peran-peran ditampilkan tidak dalam satu pola watak, melainkan hukum besi karakter. Salah satu unsur penyegar Cinta Pertama adalah kepekaan Teguh Karya buat peran wanita ini -- walaupun cerita dasarnya sebenarnya agak simplistis. Dan Mang Udel, alias Purnomo, juga mujir dalam Si Mamad. Peranannya selain cocok untuk dia, memungkinkan dia untuk dengan sedikit sekali terjebak dalam gaya "histrionik" -- hingga mungkin terasa datar -- tapi sementara itu menunjukkan perkembangan dalam situasi demi situasi. Mang Udel sendiri, yang baru pertama kali melihat Si Mamad dalam penutupan FFI 1974 di Surabaya, mengatakan bahwa ia "kecewa". "Tak sebaik yang saya sangka -- saya ternyata bermain lamban sekali", katanya. Kelambanannya bagaimanapun cocok dengan irama film ini -- bikinan Sjuman Djaja yang lulus dari sekolah sinematografi Moskowyang tak tangkas sebagaimana halnya film-film Rusia. Dan di situlah bisa dikatakan, bahwa akting bukanlah ternyata hanya hasil mutlak seorang aktor.

Akting berada sebagai bagian dari keseluruhan film. Maka ulasan pokok ketiga dari Dewan Juri 1974 untuk tidak memakai istilah "aktor atau aktris terbaik" ialah untuk melihat prestasi seorang pemain dalam hubungannya dengan kerja bersama yang berlangsung di seluruh Dewan Juri 1974 merasa perlu karenanya buat menyebutkan nama film di mana sang bintang bermain dan mendapatkan hadiah. Bisa difahami kiranya bahwa mereka kurang merasa enak, ketika Tatiek Tito -- yang di malam pembagian piala bertindak sebagai pengantar acara -- menyebut Rano Karno (pemenang untuk akting terbaik anak-anak dalam Rio) tak menyebut pula nama filmnya. Sang pengantar acara agaknya masih berpegang pada pola tahun lalu, yang memberikan piala buat "aktor terbaik" dan bukan "akting terbaik untuk film tertentu" . Peran "Pembantu" Yang baru dalam cara penilaian Dewan Juri 1974 ialah dihapuskannya perbedaan antara "peran utama" dengan "peran pembantu". Masing-masing pemegang peranan dalam suatu film pada dasarnya diperlakukan sama untuk dinilai: tak peduli adakah ia pemegang peran yang disebut "utama" atau "pembantu" -- yang biasanya ditentukan begitu saja oleh para produser dalam daftar pemain.

Berbeda dengan Dewan Juri 1973, Dewan Juri 1974 tak berpegang pada daftar itu, yang kebanyakan condong untuk menarnpilkan nama-nama tenar, walaupun peran mereka tak berarti. 

Dengan demikian penilaian dipertimbangkan berdasar mutu akting. Itu tidak berarti berat-ringannya peranan sebenarnya dalam suatu film tidak diperhitungkan -- sebab disadari bahwa berat-ringannya "tugas" si aktor ditentukan oleh beban dan tantangan "lakonnya" dalam cerita. Agaknya itulah sebabnya, para pemenang piala Citra untuk akting "dengan pujian" terdiri dari pemegang peran yang paling berat dalam masing-masing film, apa yang disebut "peran utama". Bahwa kategorisasi "utama" dengan "pembantu" dihapuskan dalam pengumuman juri, agaknya karena disadari bahwa belum ada kesepakatan tentang pengertian-pengertian itu -- setidaknya antara Dewan Juri dengan produser serta karyawan film lain. Cara itu mungkin terasa diperketat, tapi bukan tak ada tujuannva. Perfilman Indonesia kini masih terdesak oleh kecenderungan "silau bintang" -- yang meletakkan seorang aktor dalam casting sebab tenar dan menjamin uang masuk. Seorang bintang telah jadi semacam merek dagang. Ini sudah tampak akibat buruknya bagi mutu para bintang tenar sendiri. Sebab mereka hanya dihargai sebagai cuma "penglaris" -- bukan karena prestasi yang sebenarnya. Sistim penilaian 1974 dimaksudkan untuk jadi satu "kontrol" 
terhadap keadaan itu.


Anton chekov di mandarin
THE GOOD DOCTOR Pemain: Harry Meacher, Derek Woodward, Laura Fausner Jenny Lipman, Brian Forster Sutradara: Derek Woodward Produksi: Cafe Theatre DENGAN karcis Rp 75 ribu, Anton Chekov hadir tiga malam (16 s/d 18 Mei) di Ball Room Hotel Mandarin, Jakarta. Penulis Rusia yang mengangkat kisah-kisah sepele orang kecil dengan kocak tetapi luar biasa menggigit itu tampil lewat kelompok Cafe Theatre. Disaksikan sekitar 60 penonton dari 120 kursi yang disediakan, pada malam kedua ditampilkan delapan buah sketsa berdasarkan cerita pendek Anton Chekov. Neil Simon telah menuangkan rangkaian cerita itu menjadi lakon intim dan tangkas. Dengan memasukan tokoh Chekov sendiri sebagai narator/dalang, sekitar satu seperempat jam, dengan sekali masa jeda, penonton sempat digelitik setelah disuguhi santap malam Roast striploin of beef with tarragon glaze dari dapur hotel. Cerita pertama, berjudul The Sneeze, sering kita kenal sebagai berjudul "Matinya Seorang Klerek". Cerita sederhana ini dahsyat. Sempat mengilhami Almarhum Sjumandjaja sehingga lahir film Si Mamad yang terkenal itu. Dalam sketsa itu diceritakan bagaimana seorang jenderal menonton sebuah konser, berdampingan dengan seorang pekerja taman. 

Di tengah konser si pekerja itu bersin, sehingga ingusnya menempel ke botak Jenderal. Sang kawula kecil langsung minta maaf. Permintaan maafnya begitu berlebihan sehingga orang besar itu jadi marah, lalu meninggalkan tempat pertunjukan. Pekerja taman itu datang kembali ke hadapan jenderal tadi, semata-mata untuk "ngotot" minta maaf. Berkali-kali, dan amat merendah, ia menyatakan semuanya itu tidak disengajanya. Jenderal itu, yang sebenarnya sudah lupa apa yang terjadi, malah jadi gusar. Bukan karena soal bersin itu, tapi karena ia merasa terganggu dan marah besar. Ivan Cherdyakov, kawula alit itu (dimainkan dengan bagus oleh Derek Woodward yang merangkap sutradara), akhirnya mati. Karena ketakutan. Cerita ini dibawakan dengan tangkas. Pemain-pemain matang. Jarak penonton yang begitu dekat, memberikan kemungkinan untuk menangkap kesalahan-kesalahan kecil para pemain. Tetapi kelima aktor yang membawakan lakon itu bermain bagus dan profesional. Setelah penyuguhan yang menarik itu ditarik nomor kedua berjudul The Governess. Jenny Lipman memainkan seorang nyonya besar sedang hendak memberikan gaji kepada pelayannya yang bernama Julia (Laura Fausner). Dengan keji ia menghitung segala utang dan kesalahan Julia, sehingga setelah ditotal sisa uang gaji Julia hanya tinggal 11 rubel. Anehnya, Julia menerima saja nasibnya itu meskipun menangis. Ketika ia berbalik hendak pergi setelah menerima kantong uang, majikannya langsung marah. "Julia, kamu gila! Kenapa kamu menerima saja. Kenapa kamu tidak protes aku perlakukan tidak adil. Aku cuma mencoba. Tetapi mengapa kamu pasrah?" damprat nyonya besar itu. Lalu ia menyerahkan uang gaji Julia yang sebenarnya dan menuturi sikap yang layak dalam kehidupan. Sebagaimana cerita yang pertama, cerita ini pun sangat menyentuh. Ada pembelaan dan cinta yang sungguh-sungguh kepada rakyat kecil. Kecintaan tersebut tidak menjadi slogan yang memuakkan. Inilah kehebatan Chekov. Sementara itu, Jenny Lipman. Lebih bagus lagi penampilan Jenny dalam lakon kelima yang berjudul Too Late for Happiness. Ia memerankan tokoh wanita yang mendambakan cinta pria, tetapi selalu menampiknya. "Selalu besok dan selalu bukan hari ini," kata lelaki pujaannya yang juga amat menambakannya, tetapi malu mengatakan isi hatinya. Karya Neil Simon yang merupakan adaptasi cerita-cerita pendek Chekov ini diberi nama The Good Doctor. Pertama kali dimainkan di New York pada 27 November 1973 dengan peran utama Christopher Plummer (Sound of Music), dan disambut bagus. Belakangan dimainkan di London dengan judul The Sneeze. Cafe Theatre memberikan pertunjukan yang akrab. Mereka menjadikan teater sebagai teman, tidak hanya bagi para tukang mengerutkan dahi. Segalanya terasa apik. Ini pantas buat mereka, setelah hari-hari sibuk. Pelipur lara para eksekutif. Dengan setting yang amat sederhana dan hanya lima orang pemain andal (khususnya Brian Foster), mereka menampilkan satu segi kebesaran Chekov. Jenius yang dikenal sebagai raja plot, cendekiawan yang amat bijaksana, dan pengritik yang lihai menyembunyikan pesannya itu, terasa di dekat kita. Seperti yang ditulis dalam brosur ini memang bukan Burung Camar atau Tiga Bersaudari -- dua dari karya utama Chekov -- tapi ini bagian dari wajah Almarhum Chekov yang sudah menjadi kekayaan dunia itu. Pujian buat Mandarin yang sudah memilih "hiburan sehat" ini. Sayang, tontonan yang menarik ini mahal. Padahal ini merupakan bandingan yang baik buat pemain dan pekerja teater di Indonesia, khususnya buat yang menyenangi permainan realis. Dan buat mereka yang menginginkan teater itu menghibur, tapi tak kehilangan bobot. Putu Wijaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar