Kamis, 03 Februari 2011

SAUR SEPUH "SATRIA MADANGKARA" / 1988

SATRIA MADANGKARA


Biaya produksi serial Saur Sepuh, rata-rata Rp 500-Rp 600 juta per film. "Biaya iklannya hampir sama dengan ongkos produksi," kata Herman Dial, produser pelaksana Saur Sepuh, kepada Sandra Hamid dari TEMPO. Namun, sukses Saur Sepuh, menurut dia, karena kepopulerannya sebagai sandiwara radio. Jakob Sumardjo, kritikus sastra, melihat bahwa genre film silat adalah kelanjutan tradisi tontonan rakyat. Adegan-adegan ajaib, kepala terpenggal, silat terbang, manusia menghilang, sudah hadir sejak tahun 1890 di zaman sandiwara Stamboel sampai Dardanella. Jadi, kalau Saur Sepuh digemari, itu karena "Penonton terbiasa dibesarkan lewat cerita-cerita babad di daerah masing-masing," kata Jakob. Yang tidak adil, bila produksi film nasional hanya melayani penonton berbudaya daerah semacam itu.

Film ini sangat Fenomenal disaat itu, semua terpana oleh pembuatan film ini. Penulis skenarionya sendiri dilakukan oleh si punya ide/penulis drama itu sendiri Niki Kosasih bersama Imam Tantowi. Pak Imam mungkin terjebak pada apakah menampilkan film sejarah atau film yang kolosal dengan pertempuran? Mungkin hal yang ke dua yang dipakai pak Imam, menampilkan pertempuran yang kolosal dengan settingan jaman kerajaan dan juga menebeng kesuksesan drama radio ini. Tentu yang paling sulit adalah memvisualisasikan adegan dalam radio itu ke dalam visual/gambar. Ini tentu tidak mudah bagi pak Imam, karena drama ini sudah terkenal sekali. Penonton akan datang ke bioskop untuk mencocokan apa yang mereka sering dengar dalam imajinasi mereka terhadap layar putih yang sudah nyata/utuh. Tentu ini adalah tantangannya. Skenario ditulis juga bagaimana cara memendekan durasi radio ini kedalam durasi film yang berkisar 90 menit. Oleh karena itu cerita harus iolah lagi sehingga semakin kompleks. Pak Imam tidak mau bermain dengan imajinasi penonton yang sudah mendengarkan drama ini, yang diambil adalah bagaimana alur cerita ini mengalis dari awal hingga akhir film serta membentuk tangga dramatik film. Tentu yang diperhatikan adalah adegan-adegan favorite pendengar harus ada dalam film, percintaan, pertempuran, dan kolosalnya, semua disusun agar bertutur dengan baik.


El Badrun Penata Artistik
Film ini menggunakan dana yang banyak sekali saat itu, menggunakan set yang besar yang dilakukan oleh penata artistik El Badrun yang terbiuasa menangani film-film mistik, horor, silat dan tempo dulu yang akrab dengan effek, set besar dan kolosal, juga settingan masa lalu. Yang paling menarik adalah membangun kerajaan di studio alam miolik TVRI di Cibubur, dengan kostum kerajaan dan juga membuat pertempurannya. Yang paling ditunggu penonton adalah bagaimana bentuk burung rajawali/garuda tunggangan Brama tersebut dalam film? Ternyata El Barum membuat burung mainan yang bisa di gerakan dengan tehnik blue scree/doble screen, dengan bantuan tehnik kamera maka mereka bisa membuat settingan film ini, pertempurannya dan juga effek yang baik pada masa saat itu yang bisa mereka lakukan.

Sebagian penonton kecewa karena apa yang mereka dengar di radio tidak persis dengan apa yang mereka tonton. Tentu saja beda, adaptasi dari novel, drama radio ketika di filmkan akan pasti beda. Karena pembaca/pendengar bermain imajinasi mereka tentang set, lokasi, sosok karakternya/fisik, dan adegannya juga,..imajinasi mereka yang satu dengan yang lain pasti beda. Jadi tidak bisa membuat adaptasi dengan menyamakan persepsi dan imajinasi pendengar yang beragam itu menjadi satu dalam sebuah film.

Tetapi untunglah film ini benar-benar terkesima pada saat itu. Penonton terpesona dengan efek, kolosalnya film itu sehingga mereka melupakan protes mereka atas ketidak miripan dengan drama radio. Bahkan banyak juga yang salut dengan perfilman Indonesia yang bisa membuat film yang seperti itu, sehingga mereka merasa bangga. Sehingga film pertama ini laris manis.

Saur sepuh satu Satria Madangkara melatarbelakangi oleh kerajaan Majapahit. Satria Madangkara (Brama Kumbara) yang menjadi buah bibir di masyarakat. Film ini dibintangi oleh Fendi Pradana sebagai Brama Kumbara, Elli Ermawati sebagai Mantili dan Murtisari Dewi sebagai Lasmini.

Tunangan Lasmini dibunuh oleh Brama Kumbara karena telah mengadu domba utusan dari Madangkara. Hutang nyawa harus dibalas nyawa. Akan tetapi lasmini tidak terima sehingga lasmini menuntut balas pada Brama Kumbara. Akan tetapi ketika menghadapi Brama Kumbara….auw……lasmini langsung terpikat dan jatuh hati pada Brama yang menyebabkan muak pada Mantili. Ini awal cerita dimana Lasmini jatuh cinta yang tidak terbalas pada Brama dan menjadi musuh bebuyutan Mantili.

Menilai Burung Garudanya Brama, wah lucu juga ya teknologinya masih sangat sederhana.


NEWS
10 September 1988
Satria pribumi dengan jurus kung fu

SAUR SEPUH SATRIA MADANGKARA Pemain: Fendy Pradhana, Elly Ermawatie, Murti Sari Dewi, Anneke Putri Skenario dan Sutradara: Imam Tantowi SEJARAH Indonesia tidak mengenal Kerajaan Madangkara. Namun, Brama Kumbara, raja negeri itu, sangat populer saat ini. Kisah dinasti Madangkara masih setiap hari dipancarkan puluhan radio di berbagai kota di Indonesia, itulah kerajaan khayal ciptaan Niki Kosasih dalam serial drama radio Saur Sepuh. Brama Kumbara, begitu pula adiknya, Mantili, tak ada lagi di radio. Kisahnya sudah menginjak generasi kedua. Yang rindu tokoh ini sekarang bisa melihatnya di gedung bioskop. Sejak pekan lalu, dengan 90 buah kopi, film Saur Sepuh Satria Madangkara diputar serentak di berbagai kota besar di Indonesia. Sedikit berbeda dengan kisah yang dituturkan di radio, Kerajaan Madangkara di dalam film lebih dipertautkan pada sejarah. Bahkan fokus kisah dalam film lebih pada kemelut Majapahit sepeninggal Hayam wuruk. Yang bertakhta di Majapahit adalah Wikramawardana.

Ia menantu Hayamwuruk. Karena itu, Wirabumi, yang merasa lebih berhak menjadi raja -- karena ia anak kandung Hayamwuruk walau lahir dari selir -- tak bisa menerima kenyataan ini. Wirabumi mendirikan Kerajaan Pamotan dan kemudian menantang Majapahit. Dua kerajaan yang siap berperang itu sama-sama mencari dukungan dari raja-raja lain. Di situlah dimunculkan Kerajaan Madangkara, negeri yang digambarkan damai dengan raja bijaksana yang tak suka perang. Sebagai raja "nonblok", Brama Kumbara tak bisa berpihak. Ia menerima kedua utusan yang bersengketa. Film Saur Sepuh menghadirkan legenda dan sejarah silih berganti. Utusan Madangkara yang mengantar surat balasan ke Pamotan diserang Tumenggung Bayan di wilayah Kedaton Timur. Tahu hal itu, Brama Kumbara marah. Ia mengutus adiknya, Mantili, yang disertai Patih Gotawa, membawa kembali surat itu ke Pamotan. Sementara itu, Brama dan istrinya, Harnum, berangkat pula ke Pamotan mengendarai burung rajawali untuk menantang Tumenggung Bayan. Inilah legenda. Lalu, kemelut Majapahit menjadi satu bagian. Petualangan Brama Kumbara adalah bagian lain.

Dalam perang tanding Brama melawan Bayan, sang tumenggung kalah. Tapi pacarnya, Lasmini, menuntut balas. Pendekar remaja yang menjadi guru silat ini meminta bantuan Mata Setan -- lebih bagus kalau tokoh ini diberi nama biasa saja. Brama dan istrinya, yang kemudian sudah bergabung dengan Mantili dan Gotawa, menghadapi Lasmini dan Mata Setan. Saat Brama berduel dengan Mata Setan, Lasmini mengeluarkan aji sirep. Harnum, Mantili, dan Gotawa tidur lemas. Tiga orang ini, entah dengan cara apa, dibawa Lasmini ke suatu tempat persembunyian. Brama mencari orang-orang itu. Pertempuran antara Majapahit dan Pamotan pecah. Seperti tokoh Temon dalam film Serangan Fajar (Arifin C. Noer), Brama pun menjadi saksi peperangan. Ia menyaksikan kemenangan Wikramawardana dan kematian Wirabumi. Sampai film berakhir, satria Madangkara ini tak berhasil menemukan di mana istri dan adiknya berada. Agaknya, film ini diniatkan berseri. Akankah Saur Sepuh, sebagai film, sukses seperti di radio? Di masyarakat kelas menengah ke bawah, barangkali. Kerinduan mereka pada Brama dan Mantili -- yang sudah lama hilang dari radio -- tentu membuat ringan kaki ke gedung bioskop. Apalagi yang kecanduan. Di kalangan kelas atas, yang tak punya waktu atau tak mau mendengar siaran Saur Sepuh, masih teka-teki.

Tapi film ini sebenarnya tak terlalu buruk. Walau action berlebihan, sehingga tergelincir menjadi film silat, toh kejayaan masa lalu mengenai kerajaan besar Majapahit sempat mengusik perhatian. Melibatkan sekitar dua ribu figuran, mengambil adegan perang kuda di Sumba dan gajah di Lampung, efek khusus yang dibuat dengan teknologi perfilman yang semakin canggih, dan ongkos produksi di atas Rp 1 milyar, menyebabkan film ini "sebuah proyek besar". Untuk proyek besar yang lain, Imam Tantowi masih layak diberi kesempatan, dengan catatan punya tim riset yang lebih baik. Dan jangan terburu-buru. Saur Sepuh sebagai "sejarah" banyak lemahnya. Apa begitu busana orang di masa Kerajaan Majapahit? Untuk Kerajaan Mataram -- setidak-tidaknya setelah masuknya Islam di Jawa -- mungkin. Juga silatnya itu. Kenapa tak melakukan riset perpustakaan atau menggali kembali persilatan pribumi asli, bukan menampilkan kung fu atau tae kwon do. Imam Tantowi menampilkan adegan bagus ketika mayat Bayan dibakar dalam sebuah upacara. Di situ istri Bayan menunjukkan kesetiaannya dengan menerjunkan diri dalam api dari atas menara. Inilah tradisi umat Hindu masa lalu yang disebut mesatya, yang dilarang ketika Belanda datang. Adegan ini menjadi lebih hidup dengan suasana pedesaan di mana perempuan bertelanjang dada -- dan memang tidak disensor. Yang kemudian tidak jelas, kenapa dalam istana, Raja selalu didampingi pendeta Budha, dan bukan Hindu.

Apa, sih, agama mereka itu? Adegan ketika Pangeran Bentar belajar menulis di daun lontar pun terasa seperti masa kini. Jika riset bagus, gambaran bagaimana anak-anak masa lalu belajar dan menulis di daun lontar bisa ditemukan di museum, misalnya di Museum Bali, Denpasar. Butuh waktu, memang. Sangat mahal, itu jelas. Tapi saya percaya, seorang Imam Tantowi bisa melakukan hal itu kalau didukung -- dan tercipta -- kondisi yang baik. Ia punya modal, dan ia tampak selalu belajar dari kelemahan film-filmnya terdahulu. Sesekali, kita boleh berharap ada film tentang leluhur kita, yang konon agung dan perkasa itu, tapi tak sekadar gedebak-gedebuk dan ciat-ciat. Putu Setia

2 komentar: