Kamis, 10 Februari 2011

SATU MALAM DUA CINTA / 1978

SATU MALAM DUA CINTA


Ibu guru SD (Widyawati) yang berasal dari keluarga yang berada harus berhadapan dengan murid yang bandelnya Yosi ( Santi Sardi). Agaknya hal ini hanya jadi perantara untuk kemudian terlihat perkenalan dan persoalan ayah Yosi, Ir Johny ( Fadly) duda karena di tinggal lari istrinya, Silvy (Yattie Octavia) Sita berhasil menaklukan kebandelan Yosi dan sekaligus Johny, Lalu ia sendiri jadi ragu ketika tahu bahwa Sylvy adalah ibu kandung Yosi, sementara Johny masih mencintai Sylvy. Untung diawal film sudah diperkenalkan pemuda lain, Bobby (August Melaz) hingga film berakhir ceria.

P.T. BHASKARA INDAH CINE FILM

FADLY
WIDYAWATI
YATIE OCTAVIA
AUGUST MELASZ
SANTI SARDI

01 Juli 1978 Satu cinta dua sutradara
KEKISRUHAN FFI Ujung Pandang belum lagi terselesaikan. Dan heboh baru melanda perfilman Indonesia pekan silam. Persatuan Karyawan Film dan Televisi (KFT) dalam rapatnya Sabtu siang pekan silam menjatuhkan hukuman skorsing terhadap 5 anggotanya yang dinilai telah menodai nama organisasi. 
 
"Mereka dianggap bersalah telah melakukan kerja sama dengan tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia tanpa izin resmi dari Pemerintah maupun rekomendasi KFT," kata sebuah sumber di kantor persatuan karyawan Film ini pekan silam. Sebelum para pimpinan KFT bersepakat menjatuhkan hukuman, kalangan artis sudah lebih dahulu tegang. Tanggal 21 Juni yang lalu Soekarno M. Noor, Ketua Persatuan Artis Film (Parfi) telah menandatangani sepucuk surat peringatan keras kepada sejumlah artis film (drg. Fadly, Panji Anom, Widyawaty, Agus Melaz, Yatty Octavia) yang ikut bermain dalam film Satu Malam Dua Cinta (SMDC). Film yang diproduksi PT Bhaskara ini ternyata telah mempekerjakan seorang sutradara Hongkong, Paul Chang Chung, tanpa izin dan rekomendasi yang berwajib -- dan para artis itu "lalai dalam melaporkan kejadian tersebut kepada Parfi." Dirahasiakan Kisah tentang tenaga asing yang dipekerjakan PT Bhaskara ini sebenarnya sudah menarik perhatian kalangan KFT bulan April yang silam, ketika pembuatan film SMDC itu baru dimulai. Ketika itu kabarnya terjadi sedikit keributan antara Yudi Astono, pemilik PT Baskara, dengan sutradara Sugiman Djajaprawira. Yang terakhir ini tidak bersedia bekerja sama dengan Paul Chang Chung yang khusus didatangkan Yudi dari Hongkong untuk produksi itu. Sugiman berkeras. Yudi juga bertahan -- dan pergantian sutradara pun tak bisa dihindari. Kini muncul Usman Efendi, sutradara baru yang sehari-harinya rcporter surat kabar berbahasa Cina, Harian Indonesia. Pembuatan Film berjalan lancar. Tapi soal lain timbul, dan KFT turun tangan. Tanggal 20 April, Yudi Astono berjanji akan mengembalikan Paul ke Hongkong. Tapi laporan para artis pendukung film itu menunjukkan bahwa Paul masih saja mendampingi Usman dalam tiap opname. Karena itu tanggal 24 April, KFT mengeluarkan lagi peringatan keras kepada Yudi Astono. Semua peringatan itu ternyata tidak digubris. "Malahan tempat shootingnya dirahasiakan, hingga pengurus KFT tidak bisa melakukan pencekan langsung pada saat opname," kata Bustal Nawawi, Sekjen KFT. Dalam urusan merahasiakan tempat pengambilan itu, pihak KFT tidak cuma menyalahkan Yudi Astono. 
 
Tapi juga karyawan film lainnya: Usman Efendi, sutradarai T. Surydi, juru kamera Nazar Ali, penata artistik A.D. Hidayat, unit manajer -- yang dianggap telah bersekongkol denan produser, Yudi Astono. Karena itulah para karyawan tersebut mendapat hukuman skorsing, yang berarti tidak boleh bekerja sebelum keputusan dicabut. "Ini untuk memberi pelajaran kepada mereka agar tidak seenaknya melanggar disiplin organisasi," kata Haji Misbach Yusa Biran Ketua KFT. Yudi Astono sendiri punya komentar lain mengenai kasus Paul Chang Chung itu. "Lho, dia itu tamu pribadi saya," katanya. Tapi mengapa tamu dengan visa turis kok ikut campur langsung dalam pembuatan film? "Sebagai teman, saya kira tidak ada salahnya kalau saya meminta nasehat Paul dalam urusan pembuatan film saya. Dia itu orang pintar." Konon hal itu ia lakukan lantaran didesak keinginan untuk makin meningkatkan mutu film Indonesia. "Film kita begitu-begitu saja mutunya, ini harus segera diatasi," katanya. Niat Yudi ternyata dilakanakan lewat cara yang tidak berkenan di hati para karyawan film di sini. "Kalau dengan gampang produser film itu mendatangkan sutradara Hongkong atau Taiwan, bisa terjungkir periuk nasi kita di Indonesia ini," kata seorang sutradara muda pekan silam. Dari berbagai sumber TEMPO mendapat keterangan bahwa kasus karyawan film asing -- umumnya Hongkong dan Taiwan -- yang bekerja secara gelap di Indonesia sebenarnya bukan berita baru. Konon kasus seperti itu banyak kali didiamkan oleh organisasi perfilman, karena sang produser yang mendatangkan tenaga asing itu bisa menghindari kehebohan macam yang terjadi dengan kasus Sugiman versus Yudi Astono itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar