Jumat, 04 Februari 2011

PEREMPUAN DALAM PASUNGAN / 1980



Film ini mengisahkan tentang Fitria (Nungki Kusumastuti), simbol dari perempuan Indonesia yang rupawan, halus tutur kata, rendah hati, sederhana dan khususnya sangat fleksibel dalam semua hal. Dia selalu menuruti apa perkataaan orang tua dan suaminya (Frans Tumbuan). Dari sinilah semua masalah timbul dan tertuang dalam film ini.

Ia bercerita tentang sosok perempuan yang harus dipenjaran dan dipasung oleh orang tuanya sendiri karena dianggap gila. Status kegilaannya pun diselamatkan karena perempuan itu menolak dinikahkan dengan pria yang menjadi pilihan orang tuanya.

Kisah diurai dari sudut pandang seorang wartawan yang berusaha mendapat cerita eksklusif. Fitria (Nungky Kusumastuti), mendapat kasih sayang berlebihan dari ayah-ibunya, Prawiro (D Djajakusuma dan Sofia WD), seorang lurah. Dia tumbuh jadi gadis penurut, agak pemalu, dan tak berani mengungkapkan perasaan dan pendiriannya. Hal ini agak berbeda dengan sahabatnya, Marni (Rini S Bono), yang sebenarnya sama-sama naksir Andi (Frans Tumbuan), alumnus universitas tempat mereka belajar. Andi memilih Fitria dan pindah ke Jakarta. Ketika Marni bekerja di Jakarta juga, untuk sementara ia tinggal di rumah Andi-Fitria. Keakraban Andi-Marni masih sama seperti dulu. Fitria merasa tersiksa dan diam-diam minta bantuan Prasetyo (Sentot S), kawan sejak mahasiswa juga. Fitria diberi air penawar sekedar untuk membelokkan niat Fitria yang hendak pergi ke dukun. Ternyata Marni sakit dan meninggal. Fitria didera perasaan bersalah sampai pada tahap "gila", hingga ia dipasung oleh orang tuanya sendiri.


NEWS
PEREMPUAN DALAM PASUNGAN Dalam hidupnya, perempuan itu selalu terpasung. Film ini adalah potret tentang perempuan Indonesia sebenarnya. Sederhana, lembut dan penurut. Tapi kemudian retak dan rapuh karena diberi bingkai yang terlalu kuat. -- Ismail Soebardjo PEREMPUAN Dalam Pasungan sebagaimana dikatakan sutradara itu memang bercerita secara kilas balik tentang kesewenang-wenangan. Tapi, Ismail Soebardjo, 37 tahun, sutradara dan penulis skenarionya, tak terjebak oleh sentimentalitas yang meletup-letup. Nadanya tetap rendah dan juga tak menggurui. Fitria (Nungky Kusumastuti) -- oleh ayahnya, Prawiro (D. Djajakusuma) - disangka gila. Perempuan itu memang sedang terguncang jiwanya oleh perasaan berdosa: merasa membunuh Marni (Rini S. Bono), sahabatnya. Ia dipasung dan disekap dalam kamar di rumah ayahnya di sebuah kampung di Yogyakarta supaya tidak bikin malu keluarga. Tapi rahasia itu lantas diketahui seorang wartawan Jakarta (Dorman Borisman). Sang wartawan mencari Andi (Frans Tumbuan), suami Fitria, yang berada di Jakarta, dan meyakinkannya bahwa istrinya tidak gila. Andi -- bersama Tini, anaknya, dan wartawan itu-lalu datang menengoknya. Meskipun memang tidak gila, ternyata Fitria menolak kehadiran suaminya yang telah membiarkannya dizalimi begitu. Pun Tini, yang menghambur ke arahnya sambil menangis, tak diindahkannya. Sikap itu barangkali menunjukkan protesnya yang keras dan getir terhadap kesewenang-wenangan keluarga - atau lingkungannya. Film ini banyak kelemahannya dalam detil . Mungkin karena sutradaranya terlalu terpaku pada temanya yang dramatis. Meskipun begitu, film ini menunjukkan juga kemajuan Ismail sebagai sutradara. Sehinggga boleh pula ia diperhitungkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar