Jumat, 04 Februari 2011

PAREH, HET LIED VAN DER RIJST / 1935


PAREH, HET LIED VAN DER RIJST
PAREH, DE MACHT VAN DE KRIS
PAREH
PAREH, SONG OF THE RICE

Film ini di Sutradarai oleh ALBERT BALINK dan MANNUS FRANKEN
Cameraman: MANNUS FRANKEN dan JOSHUA WONG
JAVA PACIFIC FILM

RD MOCHTAR
DOENAESIH
SOEKARSIH
T. EFFENDY
ROEGAYA


Kisah Mahmud (Rd. Mochtar), seorang pemuda dari kampung nelayan dan cintanya pada Wagini (Doenaesih), gadis petani. Sawah, pengunungan dan pemandangan alam melatarbelakangi kisah cinta ini, disertai lagu dan berbalas pantun.

Judul lain: "Het Lied van de Rijs", atau Nyayian Padi.
Judul Pareh yang dipakai di film ini maksudnya adalah padi dalam bahasa Sunda. Tahun produksinya diambil menurut riwayat hidup Mannus Franken dalam buku "Mensch en Kunstenaar". Pertunjukan perdana di bioskop Odeon Theater, Den Haag, 20/11, 1936. Perkenalan pertama Rd Mochtar dan Soekarsih. Mereka menikah setelah pembuatan film "Terang Boelan" (1937). Pasangan ini awet hingga kakek-nenek.



FULL MOVIE


Zie ook: Pareh, een Rijstlied van Java
Romance

Indonesië, 1936, 75 min.
Scenario: Albert Balink, Mannus Franken Camera: Mannus Franken Productie: Java Pacific Film 

Regie: Albert Balink , Mannus Franken
Met: Doenaesih (Wagini), T. Effendy , R.D. Mochtar (Kisah Mahnud), Roegaya , Soekarsih

Geef je mening over "Pareh".
Zie ook: Pareh, een Rijstlied van Java

Pareh (dalam bahasa Sunda berarti "beras"), dirilis di luar negeri dengan judul Pareh, Song of the Rice, adalah sebuah film Hindia Belanda (sekarang Indonesia) tahun 1936. Film ini disutradarai Albert Balink dan Mannus Franken dari Belanda dan dibintangi oleh aktor amatir pribumi Raden Mochtar dan Doenaesih. Alurnya bercerita tentang cinta terlarang antara seorang nelayan dan putri petani.

Balink mulai mengerjakan film ini pada 1934, bekerja sama dengan Wong Bersaudara selaku sinematografernya. Mereka mengumpulkan dana sebesar 75.000 gulden – lebih besar daripada film-film lokal lainnya – dan memboyong Franken dari Belanda untuk membantu pembuatannya. Film ini disunting di Belanda setelah direkam di Hindia Belanda. Film ini sukses dan disambut hangat oleh penonton Eropa, namun mengecewakan para penonton pribumi; meski sukses, Pareh membuat para produsernya bangkrut.

Pareh menjadi tonggak peralihan dunia perfilman Hindia Belanda yang sudah lama berorientasi pada penonton Tionghoa. Film-film selanjutnya mulai ditargetkan pada penonton setempat. Balink kemudian sukses besar melalui Terang Boelan (1937). Antropolog visual Amerika Serikat Karl G. Heider menganggap Pareh dan Terang Boelan dua karya sinema Hindia Belanda terpenting tahun 1930-an.

Mahmud (Rd. Mochtar), seorang nelayan, jatuh cinta dengan Wagini (Doenaesih), putri seorang petani. Akan tetapi, takhayul yang berkembang saat itu meramalkan hubungan mereka akan membawa petaka. Hal ini seolah benar-benar terjadi setelah keris kepala desa dicuri, tetapi akhirnya Mahmud dan Wagini berhasil bersatu.

Sepanjang 1934 dan awal 1935, semua film fitur yang dirilis di Hindia Belanda diproduseri The Teng Chun, diadaptasi dari mitologi Tiongkok atau seni bela diri, dan ditargetkan pada penonton kelas bawah, umumnya orang Tionghoa-Indonesia. Situasi ini tercipta akibat Depresi Besar yang memaksa pemerintah Hindia Belanda menaikkan pajak, sehingga pengiklan meminta bayaran lebih tinggi, dan bioskop menjual karcis lebih murah. Strategi tersebut berusaha menciptakan margin laba yang sangat rendah bagi perfilman lokal. Pada waktu itu, bioskop-bioskop di Hindia Belanda masih menayangkan film Hollywood.

Albert Balink, seorang jurnalis Belanda, mulai mengerjakan Pareh tahun 1934. Tidak seperti The Teng Chun, Balink yang tidak berpengalaman memutuskan menargetkan filmnya pada penonton Belanda. Ia mempekerjakan dua anggota Wong Bersaudara, pembuat film Tiongkok yang tidak aktif setelah membuat Zuster Theresia (Sister Theresa) tahun 1932.

Wong Bersaudara menyumbangkan studio mereka – pabrik tepung tapioka lama – dan peralatan pembuatan film mereka. Sementara itu, pendanaannya berasal dari pihak lain. Menurut sejarawan film Indonesia Misbach Yusa Biran, dananya berasal dari pengusaha perfilman Buse, sedangkan catatan EYE Film Institute menunjukkan bahwa pendanaan film ini dibantu oleh Centrale Commissie voor Emigratie en Kolonisatie van Inheemschen dan bertujuan mempromosikan migrasi dari Jawa ke Sumatra.

Balink dan Wong Bersaudara menghabiskan dua tahun untuk mengumpulkan dana dan Balink ditugaskan memimpin Java Pacific Film, sebuah usaha patungan.[9] Balink justru menginginkan kesempurnaan dan memiliki bayangan jelas tentang aktor yang ia inginkan dalam film tersebut.[9] Tidak seperti pembuat-pembuat film sebelumnya di negara ini, Balink menghabiskan waktu dan uangnya untuk mencari lokasi dan aktor sebagus mungkin tanpa mempertimbangkan apakah ia terkenal atau tidak.

Kebanyakan pemeran Pareh belum pernah berakting sebelumnya.[8] Peran untuk Mahmud terisi saat Balink sedang kumpul-kumpul bersama Joshua dan Othniel Wong. Ia melihat seorang pemuda tinggi, kuat, dan tampan – sesuai yang diharapkannya – sedang mengemudi. Balink memanggil Wong Bersaudara dan mereka langsung mengejarnya. Pria tersebut, Mochtar, seorang priyayi Jawa, diminta memakai gelar Raden untuk film ini. Mochtar dan keluarganya sudah tidak lagi memakai gelar tersebut. Menurut antropolog Indonesia Albertus Budi Susanto, penekanan gelar Mochtar bertujuan menarik penonton kelas atas.

Pengarahan artistiknya dan sebagian penulisan naskahnya ditangani Mannus Franken, seorang pembuat film dokumenter avant-garde asal Belanda yang dibawa Balink ke Hindia Belanda. Franken memaksa agar film ini menyertakan adegan etnografis agar dapat menampilkan budaya lokal secara lebih baik kepada penonton asing. Franken tertarik dengan aspek dokumenter dan etnografi dalam film ini dan menyutradarai adegannya, sedangkan Wong Bersaudara menangani adegan umum. Menurut Biran, pembagian tugas mereka terlihat dari sudut kamera yang digunakan.

Film ini, yang direkam menggunakan film 35 mm dengan peralatan sistem tunggal, dibawa ke Belanda untuk menjalani penyuntingan. Di sana, suara-suara asli pemerannya dialihkan ke suara aktor Belanda, sehingga bahasanya bercampur dan memiliki aksen Belanda yang kental. Sejak awal sampai akhir pembuatannya, Pareh menghabiskan 75.000 gulden (sekitar US$ 51.000), 20 kali lebih banyak ketimbang film reguler lokal. Setelah proses penyuntingan, dihasilkan 2.061 meter film atau sama dengan durasi 92 menit.

Pareh ditayangkan di Belanda dengan judul Pareh, een Rijstlied van Java (dan Het Lied van de Rijst) pada 20 November 1936 dan juga ditayangkan di Hindia Belanda. Film ini gagal mengembalikan biaya produksi dan membuat produsernya bangkrut. Film ini mendapat tanggapan positif di Belanda, sebagian karena keterlibatan Franken. Meski berhasil menarik perhatian kaum intelek Hindia Belanda, Pareh tidak diminati penonton pribumi. Mochtar tidak pernah menontonnya sampai habis. Penulis dan kritikus budaya Indonesia Armijn Pane menulis bahwa Pareh melihat penduduk pribumi Hindia Belanda dari mata Eropa saja dan ini salah besar.

Sejarawan film Amerika Serikat John Lent tahun 1990 mendeskripsikan Pareh sebagai film yang "sangat terperinci dan memakan biaya" yang bertujuan tidak hanya mendapatkan uang, tetapi memperkenalkan budaya setempat. Antropolog visual Amerika Serikat Karl G. Heider menganggap Pareh sebagai satu dari dua karya sinematik Hindia Belanda terpenting pada 1930-an; satu lagi adalah film terakhir Balink, Terang Boelan (1937). Heider, John H. McGlynn, dan Salim Said menulis bahwa film ini memiliki kualitas teknis yang masih bisa dimaklumi, tetapi dikenal justru karena mengubah arus perkembangan perfilman di negara ini.

Peluncuran Pareh diikuti oleh pergantian genre yang dipopulerkan oleh bioskop setempat. The Teng Chun, yang terus menjadi satu-satunya pembuat film aktif bersama Balink di negara ini sampai 1937. Mulai beralih ke cerita yang lebih modern dan populer di kalangan pribumi. Biran berpendapat bahwa aksi ini dipengaruhi oleh Pareh. Sejumlah pembuat film lain pada akhir 1930-an yang terinspirasi Pareh mulai memperbaiki kualitas suara pada film-film mereka.

Mochtar dan Soekarsih, yang pertama kali bertemu saat ambil peran dalam Pareh, akhirnya menikah setelah terlibat dalam Terang Boelan. Film tersebut melibatkan pemeran yang sama dan sukses besar, sehingga memunculkan kembali ketertarikan masyarakat terhadap industri perfilman Hindia Belanda. Terang Boelan menjadi film lokal paling sukses sampai Krisis tahun 1953 yang dirilis setelah Indonesia merdeka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar