Kamis, 03 Februari 2011

NOESA PENIDA (PELANGI KASIH PANDANSARI) / 1988


 
Cerita ini pernah di buat oleh Anjar Asmara tahun 1940'an dengan judul yang sama Noesa Penida merupakan film Indonesia produksi tahun 1988. Film yang disutradarai oleh Galeb Husein ini dibintangi antara lain oleh Ray Sahetapy, Gusti Randa dan Rita Zahara.

Film ini menceritakan tema yang berkisar tentang perjuangan perang kemerdekaan dengan latar belakang Bali di awal abad 20, yang dijalin degan percintaan sang pejuang dengan gadis desa.

Lewat filmnya NOESA PENIDA (1988) arahan sutradara Galeb Husen dan skenario Asrul Sani ini, Ray Sahetapy dinominasikan sebagai The Best Actor pada FFI 1989.
News
11 November 1989 Cinta di kamasan molek
NOESA PENIDA Pemain: Ray Sahetapi, Ida Ayu Diastini, Muni Cader, Sutopo Hs., Pitrajaya Burnama Skenario: Asrul Sani (berdasarkan novel Andjar Asmara) Sutradara: Galeb Husin Produksi: Prasidi Teta Film Film perdana Galeb Husin dengan gambar-gambar manis. Sayang, ceritanya cengeng. Bali tetap terasa bagaikan dongeng. SULIT untuk menghindari cipratan romantisme kalau berhubungan dengan pulau seperti Bali. Sudah banyak buktinya. Apalagi kalau itu memang sengaja dipacu. Dengan tema cinta lagi. Medan semacam itulah yang dihadapi aktor berbakat ATNI: Galeb Husin, yang kini turun ke gelanggang menyutradarai film. Film perdananya dari novel Noesa Penida karya Andjar Asmara yang diangkat oleh penulis skenario: Asrul Sani. Kisah ini membawa penonton ke masa lalu di zaman Kerajaan Tabanan. Raja I Gusti Ketut Alit terbunuh tetapi putrinya, Gusti Ayu Pandansari selamat. Abdi istana Murda (Sutopo Hs.) dan I Kompyang (Muni Cader) berhasil menyembunyikan ahli waris kerajaan itu di pantai Kusamba. Pandansari (Ida Ayu Diastini) dibesarkan bersama kedua anak Murda: I Jaya (Ray Sahetapi) dan I Pageh (Gusti Randa). Putri keraton itu kemudian dikirimkan ke Kintamani untuk belajar menari pada Rudita (Kadek Suardana).

Setelah remaja mereka berkumpul lagi. Ternyata, Jaya dan Pandansari saling jatuh cinta, apalagi setelah tahu mereka sebenarnya bukan bersaudara. Namun, di antara mereka ada pemisah yakni perbedaan kasta. Mereka pun merencanakan lari bersama pejuang Bugis bernama Daeng Azis (Pitrajaya Burnama). Tapi sebelum itu terjadi, Raja memergoki Pandansari, lalu memboyongnya ke istana. Sementara itu, dalam sebuah perkelahian untuk membela adiknya di arena sabungan ayam, Jaya tak sengaja menjadi pembunuh. Ia dibuang ke Nusa Penida. Pandansari, yang lari dari istana, berjanji akan menunggu. Suatu ketika datang kabar bahwa Jaya sudah mati. Pandansari percaya kabar itu lalu ia kawin dengan Pageh yang diam-diam memang jatuh cinta juga. Eh, tiba-tiba Jaya muncul. Hampir terjadi perkelahian antara Jaya dan Pageh. Keburu datang prajurit yang sejak tadi mengejar Jaya karena telah lari dari penjara. Jaya berhasil lari bersama Daeng Azis. Tetapi Kompyang tertembak. Kisah cinta yang berakhir sedih ini mengambil latar belakang zaman penjajahan, saat kasta masih diributkan orang. Tapi suasana bergolak yang disulut dari awal, kemudian disusul dengan pemunculan Daeng Azis, ternyata tak berkembang. Sebagai sekadar cinta ia juga tak menawarkan sesuatu yang berarti kecuali: ketidakberdayaan wanita. Tidak cukup "menggoda", karena tokoh-tokohnya seperti hampa. Cerita ini tak berhasil menjadi tragedi, ia berhenti sebagai melodrama. Kerawanan cerita merupakan kelemahan pokok film ini.

Asrul Sani memang mampu menyuntik cerita Andjar Asmara ini -- yang tetap memperlakukan Bali sebagai pulau dongeng -- hingga mengalir. Tetapi kelancaran saja tidak cukup. Berbeda dengan tragedi Romeo-Yuliet atau kisah Roro Mendut-Pronocitro yang menggigit, Noesa Penida terasa hanya semata-mata "asmara". Apalagi bahasa percakapannya, sebagaimana ciri khas Asrul, adalah bahasa formal. Buat saya -- kebetulan orang Bali -- ada beberapa kejanggalan. Dari segi geografis, misalnya. Tabanan, Kusamba, dan Kintamani adalah tiga sudut yang terletak di belahan Bali yang berseberangan. Dalam jarak itu ada batas-batas kerajaan lain yang agak menyulitkan menerima logika cerita. Begitulah jadinya kalau sutradara dan penulis skenario terlalu taat pada novel yang memang banyak punya kelemahan. Adegan menari yang amat panjang sangat terasa sebagai jualan yang ditujukan kepada turis. Sedangkan adegan pertemuan Jaya dan Pageh dengan berguling-guling di atas pasir pantai adalah salah satu contoh romantisme yang berlebihan terhadap Bali. Karya pertama Galeb Husin ini tertolong oleh musik bagus Idris Sardi. Ia menggabungkan elemen musik tradisi dengan warna Idris dalam satu paduan yang manis. Selera gambar Galeb juga bagus. Panorama-panorama yang muncul menunjukkan cita-rasa seni rupa. Adegan Jaya dan Pandansari di atas batu karang, misalnya, dengan latar matahari dan tendangan ombak, merupakan sebuah lukisan yang begitu indah dan mahal. Galeb memiliki potensi besar dalam penggambaran suasana. Kalau ia dibantu oleh cerita yang kuat, saya yakin karya perdananya ini akan jauh berbeda. Harus dicatat, warna penyutradaraan Galeb jelas. Caranya bercerita menunjukkan keterampilan seorang yang sudah terlatih di atas panggung. Bloking pemain, karakterisasi, sudut-sudut pengambilan gambar, menunjukkan usaha menciptakan suasana dramatik. Tak mengherankan, karena ia seorang yang pernah ditempa oleh ATNI. Meski tak seorang pun pemain yang berhasil menonjol, film ini secara keseluruhan tidak buruk. Putu Wijaya



Tidak ada komentar:

Posting Komentar