Sabtu, 05 Februari 2011

MISBACH JUSA BIRAN / 1962-1970



Profesi:
Wartawan, Pencatat skrip, Pembantu Sutradara, Penulis Skenario,

Ketua Redaksi Mingguan Abadi ( 1958 -1960),

Ketua Redaksi Majalah Purnama (1962- 1963),

Redaktur Duta Masyarakat (1964-1965),

Redaktur Abad Muslimin (1966),

Anggota Dewan Kesenian Jakarta (1968-1981),

Anggota Dewan Film Nasional (1969-1970)

Pengajar tetap pada Akademi Sinematografi LPKJ/IKJ untuk mata kuliah Sejarah Film Indonesia dan Teknik Penulisan Skenario (1971-1995),

Ketua I Ikatan

Karyawan Film & Televisi

(1972-1975),

Wakil Direktur TIM Bidang Artistik (1973-1975)

Kepala Sinematek /Pusat Dokumentasi Film Usmar Ismail (1975-2005)

Ketua Umum Ikatan

Karyawan Film & Televisi

(1978-1984 & 1987-1991),
Direktur Pelaksana DKJ (1980-1981),





MISBACH JUSA BIRAN

Lahir Jumat, 22 September 1933 di Rangkasbitung
Mengecap pendidikan di Taman Siswa . Sejak beberapa tahun lalu, ia menikmati masa pensiun sebagai Kepala Sinematek (Pusat Dokumentasi Film Usmar Ismail) yang di emban sejak Oktober 1975. Awalnya Misbach lebih dikenal sebagai sutradara dan penulis skenario.

Misbach, aktif dibidang penyutradaraan sandiwara sejak masih sekolah di tahun ’50-an’. Termasuk salah seorang seniman Senen’ yang membukukan kisah-kisah temannya (orang-orang film dan sandiwara) di bawah judul Keajaiban di Senen Raya”dan Oh Film.

Masa mudanya pernah aktif sebagai wartawan disamping kegiatannya dalam dunia film, dimulai sebagai pencatat skrip untuk film Putri Dari Medan”tahun 1954 yang dibintangi oleh Titien Sumarni, dengan sutradara D. Djajakusuma. Setahun kemudian mendapat kepercayaan untuk menjadi pembantu sutradara dalam Tamu Agung”di tahun 1955 yang disutradarai Usmar Ismail. Lalu lebih banyak bekerja sama dengan sutradara Wim Umboh sebagai co-sutradara dan pengarang cerita/penulis skenario. Dimulai dengan Istana Jang Hilang”tahun 1960, kemudian Djumpa Diperjalanan”tahun 1961, Bintang Ketjil”tahun 1963, yang sukses komersil, Matjan Kemajoran”tahun 1965,”…Bunga-bunga Berguguran”tahun 1970, Biarlah Ku Pergi”tahun 1971.

Misbach Jusa Biran juga menyutradarai film misalnya ‘Pesta Musik Labana”tahun 1959, Holiday in Bali”tahun 1962, film berwarna produksi Persari bekerjasama dengan perusahaan“Sampaguita”/Philipina. Operasi X”ditahun 1968 cerita tentang penumpasan G. 30. S/PKI, dan lain-lain. Terpilih sebagai Sutradara Terbaik dalam Pekan Apresiasi Film Nasional tahun 1967 untuk karyanya Dibalik Tjahaja Gemerlapan”yang dibuat tahun 1966 dan Penulisan Cerita Terbaik Menjusuri Djedjak Berdarah”tahun 1967.

Misbach menolak menyutradarai setelah timbul musim ‘film seks diawal thun ’70-an. Karena, film seks dipandang kurang etis. Ia hanya bersedia menulis skenario, Romansa”tahun 1970, Samiun dan Dasima” tahun 1970, Bandung Lautan Api”tahun 1974, Krakatau”tahun 1976, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”tahun 1977.

Sesudah menyelesaikan, Honey, Money, and Djakarta Fair”di tahun 1970 dimana istrinya NaniWidjaja menjadi peran utama, Misbach lebih banyak memusatkan pikiran dalam Pusat Dokumentasi Film yang kemudian dikenal sebagai Sinematek Indonesia, Pusat Perfilman H.Usmar Ismail. Predikat ‘haji’ diperolehnya sejak ikut membantu sutradara Asrul Sani menyelesaikan film cerita tentang haji berjudulTauhid”pada tahun 1964.


Resep Skenario dari Misbach
Ada tanggung jawab sosial dalam membuat film dan menulis skenario. Bakat bagian yang sangat menentukan keberhasilannya.

Tahun 1970-an, film Indonesia sedang terkena wabah pornografi. Rahayu Efendy menjadi simbol seks ketika tampil bugil dengan Dicky Soeprapto dalam Tante Girang (1974). Suzanna tampil sebagai bintang film berani di adegan ranjang dalam film Bernapas dalam Lumpur (1970).

Serbuan film jenis ini membuat Misbach Yusa Biran geram. Dia memprotes keras, seraya memutuskan berhenti menyutradarai film. Tapi aksi ini ternyata tidak sanggup menahan laju film-film berbau porno. Tema kekerasan dan seks masih menjadi arus utama hingga dua dekade selanjutnya, bahkan masih menjadi konsumsi masyarakat hingga saat ini. Kini, tiga dasawarsa setelah itu, Misbach melukiskan perannya saat itu: ”Arus utama tetap dominan, tapi perlu ada figur idealis.”

Misbach, Teguh Karya, Arifin C. Noer, atau Slamet Rahardjo termasuk kaum idealis. Mereka yakin film ikut mengantar penontonnya berpikiran maju, punya hati nurani, punya cita rasa. Misbach menilai masyarakat Indonesia harus mendapat pendidikan film sehingga bisa menakar kualitas film. Lihat Iran.

Kubu idealis memang kecil, sanggup bergerak dari festival ke festival dan mendapat tempat terhormat dalam peta film internasional.

Di mata Misbach, pembuatan film bermutu harus dibangun dari awal sekali: penulisan skenario. Dan dia pun membuat Teknik Menulis Skenario Film Cerita. Misbach mengumpulkan materi kuliah sinematografi sewaktu menjadi dosen di Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta pada 1972 hingga 1996. Diktat itu pula yang menjadi pegangan Mira Lesmana dan Riri Reza sewaktu menjadi mahasiswa Misbach.

Dalam kata pengantarnya, Misbach mengajukan asumsi yang selalu menjadi perdebatan panjang: perlu-tidaknya bakat. Misbach percaya calon penulis skenario harus lebih dulu mempunyai bakat mengarang. Dia menganalogikan penulis skenario dengan penyanyi. ”Biar belajar pada guru nyanyi paling hebat di ujung langit, kalau tidak ada bakat tidak bakal jadi pandai menyanyi,” katanya.

Tentu saja Misbach, misalnya, berbeda dengan Elizabeth Lutters. Sosok yang menulis Kunci Sukses Menulis Skenario ini merasa tidak punya bakat menulis. Elizabeth hanya punya kebiasaan menulis buku harian sejak masa sekolah menengah pertama.

Bakat juga bukan menjadi persoalan bagi Enang Rokajat Asura, penulis buku Panduan Praktis Menulis Skenario, dari Iklan sampai Sinetron. Menurut dia, kunci sukses penulis skenario adalah latihan. Bukan mengandalkan pemberian alam. ”Alam memang telah memberi talenta. Tapi talenta tidak akan menjadi apa-apa kalau tanpa proses latihan,” kata Enang dalam bukunya.

Misbach termasuk penulis skenario yang otodidaktik. Dia pertama menulis skenario dengan judul Kroncong Kemayoran pada tahun 1955, tanpa belajar teori dan teknik. Misbach hanya mengandalkan pengalaman mengetik ulang skenario karya S. Sumanto dan menjadi asisten sutradara Usmar Ismail. Studio Persari membeli naskah Misbach, yang kemudian difilmkan dengan judul Saodah (1956).

Misbach terus menulis skenario tanpa pijakan pemahaman teknik dan teori. Dia mampu merampungkan karya Istana yang Hilang, Matjan Kemajoran (1965), dan Di Balik Tjahaja Gemerlapan (1966). Misbach mengerjakan semua skenario itu dalam tempo yang cepat dan tanpa kesulitan. Hanya, dia tidak bisa menganalisis kesalahan konstruksi dramatik skenarionya. Misbach akhirnya berpendapat, bakat tetap harus mendapat polesan dengan teknik dan teori penulisan skenario.

Skenario merupakan desain penyampaian cerita dengan media film. Cerita asalnya bisa berupa karya tulis seperti novel atau cerita pendek. Dalam bab awal, Misbach memberi bekal bagi calon penulis skenario soal cerita yang bisa dijadikan skenario. ”Sebuah karya sastra yang bagus belum tentu bagus dituturkan dalam bahasa film,” ujarnya.

Misbach juga memberi landasan pemahaman yang mendalam mengenai detail skenario. Menurut dia, penulis skenario yang baik harus menguasai prinsip kerja kamera, penataan visual, komposisi, editing, ilustrasi musik, dan akting. Misbach pun memerinci unsur media visual dan audio dalam skena-rio. Media visual terdiri dari aktor, tempat kejadian, properti, dan cahaya. Sementara audio berupa dialog, efek suara, dan ilustrasi musik. Misbach pun memberikan contoh karya film klasik seperti The Godfather.

Dalam setiap pembahasannya, Misbach selalu memberikan penekanan soal hak cipta. Bahkan dia memberikan ruang khusus pada halaman akhir. Menurut dia, penjiplakan adalah kejahatan dalam dunia seni. Misbach mencontohkan karya filmnya Ayahku yang diilhami naskah drama Jepang Cici Kaeru, atau Irisan-irisan Hati (1988) dari film Italia Sunflower (1960). Setelah menjadi film, ternyata produser tidak mencantumkan titel kreditnya. ”Ada produser yang dengan ringan menugaskan penjiplakan,” katanya.

Penulis skenario adalah sebuah profe-si. Untuk itu, Misbach mengharapkan calon penulis harus menguasai konsep dasar penulisan skenario. Dia pun berharap penulis pemula punya pemahaman soal tanggung jawab sosial sebuah skenario. ”Jangan orientasinya selalu uang. Kalau mutunya sudah terjamin, hal itu pasti menyusul,” ujarnya. Tapi, soal tanggung jawab sosial ini juga yang membuat Misbach bingung saat mendapat order menulis skenario yang menampilkan konflik keluarga secara berlebihan.

BINTANG KETJIL1963WIM UMBOH
Director
DIBALIK TJAHAJA GEMERLAPAN 1966 MISBACH JUSA BIRAN
Director
HOLIDAY IN BALI 1962 TONY CAYADO
Director
APA JANG KAUTANGISI 1965 WIM UMBOH
Director
PESTA MUSIK LA BANA 1960 MISBACH JUSA BIRAN
Director
OPERASI X 1968 MISBACH JUSA BIRAN
Director
PANGGILAN NABI IBRAHIM 1964 MISBACH JUSA BIRAN
Director
MENJUSURI DJEDJAK BERDARAH 1967 MISBACH JUSA BIRAN
Director
HONEY, MONEY AND DJAKARTAF FAIR 1970 MISBACH JUSA BIRAN
Director

Tidak ada komentar:

Posting Komentar