Kamis, 17 Februari 2011

TELANJANG untuk Siapa, Produser...?

16 April 1977
TELANJANG untuk Siapa,
Produser...?

PEMAIN wanita yang telanjang bulat itu berjalan ke arah pemain lelaki yang menantinya dengan tenang. Berpelukan, wanita bugil itu perlahan-lahan dibaringkan. Sudah itu gelap. "Untuk konsumsi Indonesia, adegan ini akan dipotong", begitu sutradara Syarifuddin menjelaskan salah satu adegan dari film terbarunya. Manajer Hotel. Kalau toh akan dipotong - sebab pasti kan digunting oleh Badan Sensor Film (BSF) -- mengapa adegan itu toh dipotret? Dan Syarifuddin (film-filmnya: Hidup Cinta dan Air Mata, Tiada Maaf Bagimu) menjawab: "Itu kehendak produsen. Adegan-adegan itu dimaksudkan untuk konsumsi ekspor". Sang produser, Herman Samadikun SH, membenarkan keterangan Syarifuddin. "Kami akan minta sensor agar tidak usah menggunting film yang akan diekspor. Adegan semacam itu di luar negeri belum apa-apa", kata Samadikun.

Tapi justru karena "belum apa-apa" itulah maka banyak produser dan sutradara film Indonesia enggan membuat film sex. Nico Pelamonia, misalnya, ia mengaku tahu betul bahwa film-film kita yang tanggung itu akan kalah total dengan film sex buatan Eropa. Dan jika ingin film kita laku di pasaran luar, resep Wim Umboh boleh dinilai cukup menyenangkan sembari juga mengentengkan kerja BSF. "Bikin film-film yang berlatar belakang kebudayaan kita. Orang asing senang". Harus Lolos Dulu Bicara mengenai sensor, ribut-ribut para produser untuk merebut pasaran di luar negeri. Ternyata juga bikin pusing anggota BSF maupun pihak Direktorat Bina Film Deppen. Mestinya "film Indonesia, yang diedarkan dalam negeri atau yang akan diekspor, semua harus lolos sensor dulu", begitu Haji Abdul Karim sekretaris BSF memberi penjelasan. 

Tapi karena film-film Indonesia sekarang ini dikerjakan di laboratorium luar negeri - Hongkong di Tokyo - maka banyak kali terjadi ekspor dilakukan tidak lewat Indonesia, melainkan langsung saja dari Tokyo atau Hongkong ke negara pembeli. Kebocoran demikian, menurut Karim, akan sulit diatasi selama di Indonesia belum ada laboratorium. Karena itulah maka BSF dan Deppen sangat bergembira mendengar kabar bakal dibukanya laboratorium film berwarna milik Nyoo Han Siang serta milik Perusahaan Film Negara (PFN). "Kelak jika lab PFN dan milik Nyoo sudah bekerja, kebocoran tadi tentu bisa ditekan. Sebelum diserahkan kepada pemiliknya, film-film yang diproses di dua lab itu harus diserahkan dulu 07 April 1973






Cari mutu, bukan cari kutu

KONGRES KFT (Karyawan Film dan Televisi) berakhir. Gubernur Ali Sadikin yang menerima audiensi penourus baru, menyinggung soal pemilihan karyawan-karyawan terbaik perfilman Indonesia. "Memang sejak lama kami mempersiapkan suatu konsep untuk rnengadakan penilaian terhadap film secara menyeluruh", sambut Soemarjono, ketua baru perkumpulan orang film tersebut. Konon dari pembicaraan itulah Festival Film Indonesia tahun 1973 itu mendapatkan titik tolaknya secara kongkrit. fientu tidak bisa dikatakan bahwa sebelum Yayasan Festival Film Indonesia tahun silam didirikan tidak ada usaha penilaian terhadap pencapaian dalam dunia film kita. Selain tiga kali Festival Film terdahulu (lihat Box Festival, Dahulu Kala) sejak tahun 1970, seksi film PWI Jaya telah pula turun tangan dalam memilih bintang bintang film terbaik. Meskipun usaha ini mulanya bertolak dari kompetisi antar para wartawan yang saling berpecah oleh kongres Palembang 1970, hasil kerja pers film itu, paling tidak dinikmati oleh para bintang yang mereka pilih. Entah karena repot atau memang tidak menduga bakal serius soalnya, tapi "ke-alpaan" fihak panitia festival yang tidak menghubungi PWI seksi film sebagai yang di-nyatakan oleh Wakil Ketua PWI Jaya Zulharmans -akhirnya hanya menciptakan ketegangan terselubung di antara mereka. "Jika dilihat secara terbuka, maka sumber dualisme itu adalah sikap arrogant prang-prang film, . Yang setelah merasa kedudukannya sudah kuat baru menunjukkan acting sibuk menyeleng gerakan festival", tulis Setiadi Tryman di Sinar Harapan pertengahan bulan silam. W artawan film ini sangat menyesalkan sikap tak acuh orang-orang film yang dianggapriya tidak bisa menghargai jasa jasa pers .film, yang sejak tiga tahun silam telah mengambil alih tanggung jawab mereka. Banyak Unsur Sebagai ketua pelaksana festival, Soemarjono tidak tanpa argumentasi. 

Ia menjelaskan: "Penilaian. terhadap film tidak bisa dilakukan oleh satu badan saja, sebab film mengandung banyak unsur". Lalu sambungnya pula: "Penilaian lebih baik diserahkan kepada orang-orang yang bergerak di bidang film-, dan sebagai wartawan jangan sampai terlibat kepada obyek yang selama ini mereka teropong terus, sebab mereka nanti tidak bisa obyektif". Editor film yang memang tidak mendapatkan manfaat langsung dari hasil kerja PWI seksi film itu nampaknya memang sangat beralasan untuk mensukseskan festival, ini. "Karyawan selama ini tidak pernah mendapat sorotan. Mereka tenggelam dalam popularitas para artis, dan festival ini membuka kesempatan bagi mereka untuk memenangkan hadiah dan sekaligus popularitas". Mungkin menyadari akibat "dualisme" PWI seksi film dan panitia Festival itulah maka Turino Djunaidi pada pembukaan festival di bioskop New Garden Hall tanggal 26 bulan lalu memerlukan untuk berkata: "Festival ini tidak merasa sebagai saingan dari PWI yang tiap tahun memilih aktor dan aktris terbaik. Aktor dan aktris terbaik itu merupakan k6giatan penilaian lembaga masyarakat, dalam hal ini PWI, sedangkan festival merupakan kegiatan dari lembaga yang bergerak di dalam film itu sendiri". Tapi ucapan berendah hati itu agaknya tidak terdengar lagi oleh pimpinan PWI Jakarta Raya. Sejauh penelitian wartawan TEnapo, baik Harmoko (ketua) maupun Zulharman (wakil) keduanya tidak pernah muncul dalam setiap kegiatan festival, meskipun Tuxino Djunaidi telah memperlihatkan iktikad baik dengan mengeluarkan seruan, agar anggota PPFI menyertakan, film-film mereka dalam acara PWI yang nampaknya kurang mendapat sambutan pemilik film itu. Ketidak-akuran kedua fihak penyelenggara pemilihan itu nampaknya sudah demikian parah, sehingga tidak satupun dari kedua belah fihak yang memberikan tanggapan terhadap penyesalan Haji Djohardin ataupun R.M. Soetarto (ketua Badan Sensor Film) akan kejadian tersebut. "Memang lumrah banyak yang melakukan pemilihan, tapi alangkah baik nya kalau PWI dan Yayasan Festival bersatu saja. Yang satu memilih aktoraktris, yang satunya memilih secara keseluruhan", kata Djohardin. Apa Sudah Waktu? Soal ketidak-akuran macam ini kalau mau diulur-ulur tentulah tidak akan kehabisan benang sengketa. Tapi ketika berita-berita sekitar festival tidak kunjung mendapat tempat yang cukup dalam koran-koran ibu kota, sutradara Wahyu Sihombing bertanya dari Taman Ismail Maruki: "Apa sudah waktunya kita bikin festival begini?" Pasti ad keraguan pada orang itu maka ia bertanya. "Kalau tidak sekarang, ya, kapan lagi. Bagaimanapun harus ada saat untuk mulai", begitu Soemardjono menjelas kan. 

Bukan hanya Sihombing, Soemardjono ataupun Soetarto, tapi hampir sebagian besar orang-orang film bersetuju untuk masih menganggap film-film kita sebagai hasil yang mutunya masih rendah. Akan lebih menyedihkan lagi kalau sutradara muda Frits G. Schat ikut bicara. Katanya: "Kita ini masih dalam taraf menggunakan ABC film, belum lagi membuat kalimat, apalagi membuat puisi". Tapi pendapat begini tentu tidak usah mengecilkan hati orang-orang yang berusaha menemukan yang baik dari balatentara kekurangan itu. Meskipun Ekana Siswoyo -- salah seorang anggota juri festival - tidak melihat kemajuan berarti sejak film Bernafas Dalam Lumpur, tapi Soetarto yang juga mengeluh terhadap mutu rata-rata film Indonesia, akhirnya juga sempat menemukan tokoh-tokoh yahg tetap tekun dan menghasilkan tontonan yang baik. "Tentu ada kemajuan pada Wim Umboh, Nawi Ismail dan Turino. Terutma pada Wim, dia itu mempunyai kemauan keras", katanya pula. Mencari mutu memang membutuhkan kesabaran dan toleransi dari pada mencari kutu. Dan terbukti bahwa hasil kerja orang-orang itu mendapat sambutan yang layak dalam masyarakat, sedang para juri memberi penilaian yang baik pada Perkawinan karya Wim Umboh lihat (box: Wim tentang Wim). Lepas dari pendapat Turino Djunaidi tentang "mutu yang tidak selalu sejalan dengan segi komersil", keinginan untuk memperbaiki mutu kelihatannya sudah menjadi buah bibir orang-orang film di sini. Sebagai pimpinan organisasi karyawan, Soemardjono sejak lama memang nemperlihatkan usaha kearah peningkatan mutu anggota-anggotanya. Setelah secara pribadi melakukan semacam kursus editing terhadap beberapa peminat di ruang kuliah LPKJ (Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta), dalam suatu seminar KFT di bulan September tahun silam, Soemardjono dan kawan-kawan berhasil menelorkan gagasan untuk membuka suatu bengkel kerja bagi artis dan karyawan film. Gagasan itu kemudian mendapat bentuk - setelah mendapat bantuan Deppen - pada bulan Pebruari yang lalu. Ini terjadi setelah Akademi Cinematografi LPKJ akhirnya menjadi terlantar, bukan karena uang melainkan ditinggal pergi oleh penggagas dan pendirinya sendiri yang sibuk membuat film. Tak Bisa Memaksa Andai katapun soal mutu film-film Indonesia itu bisa diselesaikan dengan segera melalui pendidikan, maka soalnya toh masih belum mendadak beres. "Kita tidak bisa memaksa orang-orang itu masuk sekolah", kata Nyonya Malidar Hadiyuwono, Direktris PT Dewi Film. 

Dan sementara keluhan melimpah-ruah terhadap tingkat kemampuan bermain bintang-bintang film kita, bintang yang mendaftar pada Kino Workshop kabarnya cuma Pipi Adjie. Kelas untuk karyawan memang penuh, tapi orang hendaknya tidak lalai untuk mencoba tahu betapa banyak karyawan-karyawan film kita yang telah mendapatkan pendidikan baik di luar negeri, akhirnya mejadi penganggur yang menyedihkan, di balik kekurangan alat-alat di TVRI maupun PFN. Siapa yang salah dalam soal ini, sebaiknya tidak dipersoalkan, sebab masalah mutu tidak menyangkut kamera, dolli atau lampu-lampu melulu. Di atas segalanya, dan sepanjang film masih tetap diakui sebagai suatu hasil kerja sama, maka sektor-sektor lainpun harus mendapat perhatian. Hampir semua juri festival dan sebagian besar pengamat film Indonesia tidak membantah pernyataan tentang lemahnya skenario-skenario film-film nasional. Tidakkah kita memiliki penulis yang baik? "Itulah soalnya. Skenario itu kan uang, dan produser ingin semurah mungkin", begitu biasanya Asrul Sani mcngeluh. Tidak berarti bahwa produser film itu seluruhnya mata duitan. Ada juga persoalan lain - soal selera -- sehingga biasanya iapun ikut campur tangan dalam menentukan diubah tidaknya sang skenario inilah misalnya sumber sengketa antara Arifin C.Noer dengan Latif Macca (Alam Film Makassar), atau antara Syuman Djaya dengan Turino Djunaidi ketika yang terakhir ini mengobrak-abrik skenario Ibuku Kekasihku yang dikerjakan Syuman. Amatir Tapi barangkali yang teramat parah dalam soal mutu ini adalah terlibatnya produser-produser amatir yang ingin cepat mendapatkan uangnya kembali. Selain memilih karyawan asal tunjuk, merusak harga pasaran bintang, orang-orang ini juga umumnya mengarang sendiri cerita yang akan mereka filmkan. Mudah diduga bahwa akhirnya kisah-kisah yang dipersembahkan melalui filmnya tidak lebih dari sebuah kollase yang bahannya dicuri dari berbagai film Hongkong, Taiwan ataupun India. 

Dan kalau film-film itu nanti tidak mendapatkan pasaran yang baik, yang bakal menjadi korban adalah fihak Yayasan Film yang telah bersusah payah mengeluarkan 7,5 juta rupiah dari Dana SK 71. Saking banyaknya produser amatiran macam inilah sehingga bekas Menteri Penerangan Boediardjo dalam pidatoidi depan hadirin pada pembukaan festival perlu mengingatkan tertumpuknya utang sebanyak 70 juta rupiah akibat permainan para produser yang kebanyakan memang kurang bonafid itu. "Surat teguran sudah sering diberikan cuma belum di perhatikan", kata Djohardin yang konon tidak sampai hati mengerasi produser-produser itu, meskipun "bisa saja kita memblokir film mereka", katanya. Walhasil, soal mutu memang bukanlah soal satu dua orang, atau masalah yang bisa diselesaikan melalui satu dua kursus atau Kino Workshop. Oleh karena itulah maka disamping kekurangan-kekurangan yang menyertainya (lihat: Catatan-Catatan Seorang Juri) Festival Film Indonesia 1973 paling tidak merupakan kesempatan untuk menilai pencapaian dunia perfilman kita secara keseluruhan setelah sejak bertahun-tahun tanpa pegangan. Polemik bisa saja timbul terhadap pilihan atas Benyamin sebagai aktor terbaik, misalnya, tapi justru dari perbenturan pendapat itu akan lahir ide-ide yang lebih sempurna untuk di trapkan pada Festival-Festival mendatang. Kecuali mungkin atas diri Benyamin - maka pilihan yang lain tidak terlalu berbeda dengan apa yang dispekulasi kan kalangan perfilman maupun pers film. Sehingga kekhawatiran atas kwalitas par] juri yang pernah ada nampak nya agak dilebih-lebihkan. Kalau toli kesangsian itu tetap ada, nampaknya bersumber pada anggapan orang tentang tidak mudahnya menentukan akting yang baik atau buruk. Selain pekerjaan demikian memang memerlukan keahlian dan pengalaman menonton yang, banyak konon sistim yang dipakai para juri juga kurang membantu mereka yang rnemang tidak terlalu ahli dalam soal akting itu. Tapi begitulah akhirnya hasil kerja mereka yang dipilih atas pertimbangan pendapat umum, seperti yang selalu di canangkan oleh Soemardjono. 

Tapi serta pilihan para juri atas tiga film yang patut untuk dipertunjukkan - Perkawinan, Intan Berduri dan Pemberang - yang terakhir langsung ditolak oleh pemilik bioskop Jakarta. Alasannya: keduanya sudah memasuki peredaran. Dari sini jelas kelihatan bahwa usaha keras kalangan perfilman tidak selalu mendapatkan tanggapan yang baik bahkan dari kalangan dekat mereka, dunia perbioskopan. Tapi itulah kenyataan yang ada.

 BSF", tambah Karim pula. Menanti beberapa tahun, hingga hari ini belum seorang juga yang sanggup memastikan saat diprosesnya semua film berwarna di dalam negeri. Sementara itu film-film dengan adegan sex makin banyak saja dibuat di negeri ini. Dalam peredaran di bioskop-bioskop Indonesia, adegan-adegan yang hangat itu memang sulit ditemukan. Tapi di luar negeri dan di kantor BSF tidak sulit menikmati "kehebatan" bermain di ranjang Yatti Octavia dengan Yan Bastian (Sentuhan Cinta), sampai-sampai suami artis itu terkejut melihat kebolehan isterinya di atas ranjang (film). Menantu Musim film berani macam Manajer Hotel dan Sentuhan Cinta itu tiba-tiba membangkitkan kembali kenangan orang film pada kisah-kisah tante girang yang masyhur di tahun enam puluhan. Nah, lahirlah film Tante & Sex. Siapa pula yang memainkannya kalau bukan Tuty S.? Dan sutradaranya tidak lain dari Bay Isbhahy, anak menantu artis kawakan itu. Yang menarik dari film ini bukan saja cerita dan penampilannya, tetapi juga produsernya. Washi Dipa, dulu pernah mengungkapkan bahwa ia tidak bakal membuat film-film yang berbau sex, "sebab itu bertentangan dengan pesan orang tuanya". Tapi film Tante & Sex ini kemudian dibikinnya juga lantaran "broker-broker meminta saya membuat film sex yang katanya sedang disenangi oleh para penonton, terutama di daerah-daerah". Berbeda dengan Herman Samadikun Washi membuat adegan sex dengan harapan ada pasar dalam negeri. Meski ia tetap juga akan menjual filmnya ke Hongkong, tempat film-film itu diproses, sehingga guntingan sensor Indonesia masih tetap bisa ditolong oleh lab Hongkong yang mempunyai kopi guntingan tadi. Gope Samtani (PT Rapi Film, pembuat seri Ateng Sok Tahu, Ateng The Godfather) sependapat dengan Washi dalam hal pasaran. Menurut Gope: "Pasaran film Indonesia di dalam negeri, terutauna di daerah pada umumnya baik". Karena baik itulah maka Gope tidak suka bikin film sex, sebab film itu - karena diguntingi oleh sensor - akan tiba di mata penonton dalam keadaan tidak utuh. "Ini akan sangat mengecewakan para penonton dan kalau mereka sudah kecewa bisa berabe akibatnya", kata Gope pula. Karena itu Gope bersama sutradara Has Manan, sibuk terus dengan Ateng. Iskak dan Vivi Sumanti. Sampai tua?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar