Jumat, 04 Februari 2011

ISMAIL SOEBARDJO 1976-1991

 

Lahir Minggu, 07 November 1943 di Maos, Cilacap. Pendidikan : SLA, Sekolah Tinggi Publisistik (tingkat III), Kino Workshop LPKJ (1974).Sewaktu masih kuliah, dia pernah jadiburuh dan berdagang. Semenjak 1972jadi wartawan pada harian Abadi, laludiharian Pedoman, 1973 sampai awal1974. Dan sekarang menjadi wartawanlepas.Ismail mulai menyentuh film ketikabekerja sebagai anggota staff produksipada P.T. Umbara Film ditahun 197I untuk film "Pengejaran Ke Neraga". Bidang penyutradaraan mulai dijamahnya ketika dia membantu menyutradarai "Setitik Noda" (1973), sembari merangkap sebagai Penata Pakaian dan Juru Catat. Dia menjadi Sutradara penuh lewat film dokumenter "Beternak Ayam" (1975) dan "Ternak Lebah" (1975) yang skenarionya dia tulis sendiri.Film cerita pertama yang di sutradarai dan ditulis skenariOnYa "Remaja '76", menyebabkan Ismail memenangkan Piala Usmar Ismail untuk Sutradara Harapan Terbaik pada FFI 77. Kemudian dia menyutradarai "Binalnya Anak Muda" (1978).

TAKSI JUGA1991ISMAIL SOEBARDJO
Director
ANAK-ANAK BUANGAN 1979 ISMAIL SOEBARDJO
Director
BINALNYA ANAK MUDA 1978 ISMAIL SOEBARDJO
Director
BERCANDA DALAM DUKA 1981 ISMAIL SOEBARDJO
Director
PEREMPUAN DALAM PASUNGAN 1980 ISMAIL SOEBARDJO
Director
REMAJA 76 1976 ISMAIL SOEBARDJO
Director
SUMPAH KERAMAT1988ISMAIL SOEBARDJO
Director

NEWS
Mengapa "Harapan" FFI Menghilang?

PUNCAK Festival Film Indonesia (FFI) 2008 Bandung berlalu sudah. Ternyata, peringkat "pemain harapan", tak pernah lagi hadir. Penerima gelar Aktor/Aktris Harapan atau Pendatang Baru Terbaik, selama ini tenggelam di balik pamor pemenang Piala Citra. Padahal, di awal kembalinya festival film (FFI 1973 Jakarta), kedua penghargaan itu menyatu ke dalam gelar Aktor/Aktris Harapan Pendatang Baru Terbaik, yang diberikan kepada Arman Effendy ("Mereka Kembali") dan alm. Tanty Yosepha dari film "Seribu Janji Kumenanti".

Kemenangan mereka, bahkan dihargai dengan Piala Citra. Sayangnya, tak pernah terdaftar dalam deretan para pemenang lambang supremasi perfilman nasional itu ("PR",7/12). Tidak setiap FFI pula, dewan juri memberi anugerah untuk insan film yang dinilai prospektif itu. Dalam FFI Surabaya (1974), Medan (1975), dan Bandung (1976), gelar pemain harapan itu absen. Di Bandung justru muncul predikat Aktor/Aktris Pendatang Baru Terbaik, yang dimenangi Enteng Tanamal dari film "Jangan Biarkan Mereka Lapar" (Christ Pattikawa), dan Marini dalam film "Cinta" karya alm. Wim Umboh.

Berselang tiga kali FFI sejak 1973, Roy Marten terpilih jadi Aktor Harapan (1977) dari film "Sesuatu yang Indah" (Wim Umboh). Meski tidak ada penerima aktris harapan, namun Ismail Soebardjo bergelar Sutradara Harapan Terbaik (film "Remaja ’76"). Itu gelar "langka", yang tak pernah berulang lagi di pentas festival film. Di Ujungpandang 1978 pun, hanya terpilih Aktor Harapan untuk Rachman Arge (film "Jumpa di Persimpangan"). Pasangan gelar Aktor/Aktris Harapan, muncul lagi di FFI 1979 Palembang, yang diraih Alan Suryaningrat ("Pengemis dan Tukang Becak"), dan Nur ’Afni Oktavia dalam film "Pulau Cinta". Amak Baljun dari film "Janur Kuning" (alm. Alam Rengga Surawidjaya), dan Farah Meuthia dalam film "Yuyun" karya alm. Arifien C Noer, merebut gelar tersebut di FFI 1980 Semarang.

Mencermati kilas-balik FFI dalam penetapan gelar harapan, terkesan menggelikan di FFI 1981 Surabaya. Seolah bimbang di antara peringkat aktor harapan dan pendatang baru terbaik! Hasilnya, Adi Kurdi yang tampil apik dalam film "Gadis Penakluk" (Edward Pesta Sirait) ditetapkan sebagai Aktor Pendatang Baru Penuh Harapan.

Kalau maknanya tak banyak berbeda dengan FFI terdahulu, kenapa gelar itu mesti berganti? Bahkan, bentuk hadiah harapan itu belum pernah baku. Seusai FFI 1973 menghadiahkan Piala Citra, penerima gelar itu berganti dengan piala khusus, seperti Piala Suryosumanto, Piala PWI Jawa Barat, serta Medali Emas Parfi. Sejak kebangkitan lagi FFI dalam kondisi kekinian, kategori harapan tak pernah mengemuka. Gelar keaktoran Adi Kurdi pun yang menjanjikan dengan "penuh harapan", hanya sekali itu saja terjadi.

Gemilang
Banyak kenyataan membuktikan, harapan di balik peringkat "harapan" itu, mampu berbuah prestasi gemilang. Pesatnya reputasi Tanty Yosepha, hingga melaju ke tingkat The Best Actrees versi PWI Jaya Seksi Film 1974, dari film "Suster Maria" (S.A. Karim), merupakan cerminan terpuji. Penerima gelar Aktris Harapan Pendatang Baru Terbaik FFI 1973 itu, menajamkan lagi suksesnya dengan gelar Aktris Terbaik FFI 1975 Medan, sekaligus berjaya di Festival Film Asia (FFA) ke-21 Jakarta, dari film "Setulus Hatimu" karya Arizal.

Tanty Yosepha penyanyi cantik bersuara melankolis, membintang dalam masa kejayaan perfilman nasional. Setelah pernah lama menghilang, kekuatan aktingnya masih berdaya saing dalam peraihan Piala Citra. Di FFI 1982 Jakarta, Tanty terjaring nominasi pemeran utama wanita terbaik dari film Dokter Karmila (Nico Pelamonia), namun tersisih kemenangan Jenny Rachman dari film Gadis Marathon (Chaerul Umam). Ismail Soebardjo sang Sutradara Harapan Terbaik FFI 1977, menguatkan pembenaran "harapan" dewan juri festival itu.

Terbukti, film karyanya kemudian, "Perempuan Dalam Pasungan", sukses menjadi Film Terbaik, dan menobatkan Ismail Soebardjo berkelas Sutradara Terbaik FFI 1981 Surabaya. Memang, tak semua pemenang harapan, mampu memperbaiki peringkatnya. Laju karier Arman Effendy (1973), Racman Arge (1978), Alan Suryaningrat (1979), Amak Baljun (1980), serta Adi Kurdi (1981), agaknya tidak terkembang secerah harapan. Reputasi Roy Marten menguat dalam perfilman, namun itu dicapainya sebelum bergelar Aktor Harapan (1977).

Sejarah bersaksi, Franky Rorimpandey sebagai Aktor Pendatang Baru Terbaik di film "Fadjar di Tengah Kabut" (Usmar Ismail) dalam Pekan Apresiasi Film Indonesia 1967, tak bisa melambungkan keaktorannya. Agaknya, peluang pemain pria tidak selicin artis wanita. Berbeda dengan alm. Suzanna sebagai Aktris Harapan (1960), dari film "Asrama Dara" (Usmar Ismail), yang secepat itu jadi bintang gemilang. Franky Rorimpandey melesat sebagai Sutradara.Terbaik dan membuahkan Film Terbaik ("Perawan Desa") di FFI 1980.

Pelengkap
Lain dengan Enteng Tanamal, Marini, dan Nur ’Afni Oktavia, yang kembali menggeluti profesinya semula sebagai pemusik dan penyanyi pop. Hanya saja Farah Meuthia, yang menghilang bersama kekuatan potensinya. Betapa pun, peringkat harapan tidak harus hilang dari FFI. Terlebih, karena penilaian sistem nominasi diterapkan sejak FFI 1979 di Palembang. Masih terbuka peluang bagi dewan juri, untuk memilih insan film yang memenuhi kriteria "harapan", dengan menjaring lagi pemenang di antara nama yang dinominasikan.

Namun, Alan Suryaningrat dan Nur ’Afni Oktavia (1979), ternyata masih saja nama di luar nominasi. Begitu juga dalam festival film berikutnya. Semasa PWI Jaya Seksi Film menggelar tradisi tahunan, pemilihan The Best Actor & Actress, konsisten menetapkan peringkat pemain harapan. Pada pergelaran pertama (1970), terpilih empat aktor (almarhum); Farouk Affero ("Noda tak Berampun"), W.D. Mochtar ("Kutukan Dewata"), Dicky Zulkarnaen ("Si Pitung"), dan Sandy Suwardi Hassan ("Nyi Ronggeng").

Predikat Aktris Harapan terbagi kepada Suzanna ("Bernapas Dalam Lumpur"), Chitra Dewi ("Nyi Ronggeng"), Widyawati ("Hidup, Cinta, dan Air Mata") dan Mieke Widjaya ("The Big Village"). Di putaran 1971, terjaring nama Rachmat Hidayat, alm. Maruli Sitompul, alm. Soekarno M. Noer dan Rima Melati. Setiap tahun, pemain harapan silih berganti, terkadang berulang dengan perbaikan peringkatnya. Tahun 1972, alm. Sophan Sophiaan berada di urutan keempat ("Perkawinan"), setara dengan Lenny Marlina ("Teror Tengah Malam").

Kejelian dalam memilih pemain harapan, menguat dengan prestasi Rano Karno sebagai Aktor Harapan I ("Rio Anakku" 1973), yang membawahi alm. Purnomo, alm. Kusno Soedjarwadi, dan Slamet Rahardjo ("Cinta Pertama"). Terbukti, Rano mampu bergelar Aktor Terbaik FFI 1990 dari film "Taksi" (Arifien C. Noer). Tak banyak lagi diingat orang, Christine Hakim pun pemboyong enam Piala Citra, berangkat dari prestasi Aktris Harapan II ("Cinta Pertama"), setelah alm. Fify Young dari film "Jembatan Merah" (1973).

Ini bisa dimaknai, predikat "harapan" bukan sekadar gelar pelengkap! FFI 1973 dan 1974 pernah memilih peringkat "terbaik II" bidang film, sutradara, aktor, dan aktrisnya, namun kemudian gelar itu lenyap. Tak jelas, dari jaringan nominasi saja tak pernah lahir pemenang harapan. Bahkan FFI 1980 Semarang memvonis tidak ada aktor terbaik di antara sederet nama yang dinominasikan. Tragis, aktor harapan pun luput.***
Yoyo Dasriyo, wartawan, pemerhati film nasional dan sinetron, tinggal di Garut.

Cerita angka, ffi 1977
Dari 27 film cerita yang ikut ffi 1977, 23 buah berkisah mengenai manusia kota bertempat di kota (85,1%) dan 4 buah mengenai manusia yang hidup di lingkungan desa (14,9%).

Penyair Taufiq Ismail adalah salah seorang juri dalam FFI 1977. Ia sejak lama "penasaran" tentang tuduhan bahwa film Indonesia "banyak sex", "tidak mencerminkan kenyataan Indonesia", "memamerkan kemewahan" dan semacam itu. Apa betul? Berapa persen yang begitu? tanya Taufiq dalam hati.

Maka sejak hari pertama penjurian ia bawa buku catatan dan menyiapkan satu sistem buat menghitung, seberapa jauh tuduhan di atas terbukti. Sehabis penjurian ia pergunakan mesin hitung (jangan lupa, dokter hewan ini pernah belajar statistik). Hasilnya ia terakan di bawah ini: DARI 27 film cerita yang ikut Festival Film Indonesia 1977, 23 buah berkisah mengenai manusia kota bertempat di kota (85,1%) dan 4 buah mengenai manusia desa dengan desa sebagai lingkungan (14,9%). Hampir seluruhnya mengenai kelas menengah (92,6%). Hanya dua film saja murni bercerita tentang petani di pedesaan (7,4%). Dari dua film selebihnya yang mengambil tempat di desa juga, sebuah (3,7%) para pelakunya berpindah ke kota, sedangkan satu lagi (3,7%) pada prinsipnya para pelakunya tinggal di desa saja walaupun pernah pindah ke kota dalam jangka waktu pendek. Film terakhir ini misalnya, berkisah tentang dua keluarga di desa: satu kelas menengah pernah tinggal di kota (orang kaya dengan sejumlah sawah, kebun dan ternak) dan satu kelas bawah (pedagang kopi di warung dinding bambu). Lambang Kekayaan Mobil Jerman Barat Mercedes-Benz sebagai simbol kekayaan mulai digeser oleh sedan mahal bikinan Swedia itu, Volvo Lima buah film secara menyolok memperlihatkan merek-merek mobil ini (18,5). Mercedes-Benz bersiluncur dengan sedapnya pada tiga film (satu di antaranya di jalanan desa tak beraspal, milik petani-peternak kaya itu), dan Volvo pada dua film. Pada dua film terakhir ini, Volvo terdapat lebih dari sebuah dan lebih dari satu warna, pada masing-masing film. Perabot Ukir Sebagai pertanda taraf ekonomi orang Indonesia yang tinggi baik juga disebut tentang perabot ukir. Pada 55,5% dari seluruh film (15 buah), atau 65,2 dari film yang ceritanya bermain di kota, nampak perabot ukir menjadi unsur penting dalam penataan artistik. Perabot ukir ini meliputi kursi dan meja tamu, kursi dan meja makan, lemari hiasan dan lemari pakaian. Lampu gantung berukir bergantungan di langit-langit. Pada sebuah rumah pelacuran nampak sampai tiga lampu gantung semacam ini masuk dalam frame. Sejalan dengan perabot ukir dan lampu gantung berukir ini juga hampir selalu digunakan bunga plastik dan permadani.

Bunga plastik tidak selalu tumbuh di rumah tokoll-tokoll Indonesia kaya saja, tetapi terdapat juga sebagai elemen penataan artistik di rumah tokoh yang tidak berada. Pada dua film (7,2%) perabot ukir sedemikian berdesak desaknya dalam adegan, sehingga kelihatan seperti toko meubel yang tak punya gudang atau rumah orang kaya Indonesia yang meluap nafsu pamernya. Pada kedua film tersebut penataan artistik semacam ini tidak lagi mendukung dramaturgi. Gejala Anak Tunggal 70,3% film menampilkan tokoh anak tunggal. Artinya tokoh pada 19 film adalah anak satu-satunya dalam keluarga. Baru pada 8 film selebihnya (29,7%) keluarga Indonesia itu beranak lebih dari satu orang. Dari film yang 19 itu, dua film (7,4%) menunjukkan dua anak tunggal dalam setiap filmnya, sedangkan satu film (3,7%) menampilkan empat anak tunggal. (Ceritanya begini: dua anak tunggal berpacaran, kawin dan beranak. Anaknya tunggal pula. Salah satu tokoh dalam plot cerita juga anak tunggal. Jadi ada empat anak tunggal dalam satu film). Bagaimana kira-kira keterangan wajah anak tunggal yang demikian dominan dalarn film kita ini? Anak yang banyak menyulitkan penulis skenario. Dia mesti mengarangkan dialognya, mengembangkan perwatakan mereka, menganyam mereka dalam jalinan konflik secara rapi, mengatur pengadeganan mereka, pokoknya repotlah. Kenapa mesti repot-repot amat? Anak Tunggal Sajalah Begitu juga dengan tokoh-tokoh tambahan lain, yang dari sudut pandangan produser menambah biaya saja. Biasa pula jadi korban adalah pembantu rumah-tangga. Demikianlah kita lihat pada 5 film (18,5%) ada keluarga Indonesia yang kelas sosial dan secara ekonomis berkecukupan, tetapi tidak ada pembantu atau babunya, tanpa alasan yang logis terjalin dalam alur cerita. Kehormatan Kelab malam muncul pada 52,1% film yang ceritanya berlangsung di kota (12 dari 23 film, jadi lebih dari separo). Di setiap adegan kelab malam selalu ada botol minuman keras dan hostess. Seperti di sasana tinju, kerja orang Indonesia selalu berantem di kelab malam.

Pada keenam film (22,2%) di mana diceritakan wanita Indonesia hidup ekonominya terdesak, Ibu Kita Kartini dipaksa untuk: menjual kehormatannya, menyanyi lantas menjual kehormatan, dan memijat di rumah mandi uap dan akhirnya menjual kehormatan juga. Tidak pada sebuah filmpun yang ikut FFI 1977 ini wanita Indonesia yang hidupnya secara ekonomis sudah terlampau kepepet, diberi jalan mencari nafkah dengan mati-matian menjahit, jualan gado-gado, jadi guru, makelaran barang perhiasan, mencuci pakaian orang, menyapu jalan raya, kerja di pabrik plastik, jadi buruh batik, atau kerja kasar lainnya. Semuanya ambil jalan pintas: jual kehormatan. Hubugan Kelamin Hubungan kelamin di luar pernikahan yang dinampakkan di layar putih terdapat pada 11 film, atau 40,7%. Dari 11 film itu, 5 film (18,5%) memperlihatkan adegan hubungan sex dengan pelacur dan bukan-pelacur, pada satu film (3,7%) dengan pelacur saja, dan pada 5 film (18,5%) melulu dengan bukan-pelacur. Dilihat dari jumlah peristiwa hubungan kelamin, maka terdapat 6 peristiwa hubungan kelamin dengan pelacur (37,5%) dan 10 peristiwa hubungan kelamin dengan bukan-pelacur (62,5%). Yang dimaksud dengan bukan-pelacur itu adalah kekasih, kenalan, babu dan isteri orang. Indikasi ke arah masyarakat permissive? Hubungan sex dengan yang sejenis dan masturbasi tidak ada. Kasus perkosaan tidak dicatat. Tokoh yang bunuh diri terdapat pada dua film (7,2%) dan yang mencoba bunuh diri tapi gagal atau digagalkan ada pada 4 film (14,4%). Tema dan Cerita Dilihat dari ceritanya, 20 film (74%) berjenis drama, 2 buah (7,4%) komedi, sebuah kisah kejahatan dengan suspense (3,7%), 3 buah cerita anak-anak (11,2%) dan sebuah lagi cerita anak-anak belasan tahun atau remaja (3,7%). Tiga dari 20 film drama tersebut merupakan film berurai air mata (15%). Enam buah di antaranya (30%) diramu dengan bumbu dan cabe sex yang kuat. Contoh dialog dari salah satu di antara film sex yang pedas itu: "barangmu itu masih mulus".

Nafsu berahi dikatakan "ngumpul di paha". Dan ketika tante syahwat itu berbaring-baring malas dengan pejantan sewaan di atas pasir pantai, dia mengelus lutut sang gigolo dengan tungkai kirinya seraya memuji "bulu maut" lelaki itu. Lingo di kalangan tante-tante sex umur 40-an adalah istilah ekonomi input untuk hubungan kelamin dan output untuk entah apalah itu. Contoh salah satu adegan Tante Sex (skenario Pitrajaya Burnama, sutradara Bay Isbahi): kamera menembak reproduksi Venus Boticelli, pelahan menggusur ke bawah dan Tuty S berbaring miring, pakaiannya dua potong tekstil hitam agak menerawang yang dinamakan orang pakaian dalam, dan di depannya anak belasan tahun (Rano Karno) melotot mempelajari topografi Tante Kita yang tidak berimbang komposisi hormonnya itu. Exhibisionisme untuk pendidikan sex? Dari 27 film ini cuma sebuah yang menggambarkan patriotisme (3,7%), yaitu mengenai penunaian tugas merebut Irian Barat (Semoga Kau Kembali, skenario dan sutradara Motinggo Busye). Yang dalam alur cerita memaparkan revolusi kernerdekaan dengan adegan pertempuran cuma satu juga 3,7%) yaitu Mustika Ibu (skenario Sufriamin Umar, sutradara Wisjnu Mouradhy). Namun kisah utamanya adalah perjalanan hidup seorang pengusaha, sebuah biografi sebenarnya seorang usahawan perkapalan Indonesia turunan Cina dari Nam An. Apakah film kita kehilangan tema patriotisme? Ya. Berjuang melawan tahayul adalah tema film Apa Salahku (skenario dan sutradara Sandy Suwardi Hasan), sebuah film drama berurai air mata, yang satu-satunya menggarap tema ini (3,7%). Tanpa berkhotbah mengenai modernisasi, tanpa pretensi mau jadi manusia moderen, Apa Salahku menggambarkan pertikaian di masyarakat desa yang masih membandel percaya pada kesialan yang dibawa sejak lahir paa seorang anak perempuan desa kecil, Faradilla Sandy. Drama satire satu-satunya (3,7%) Si Doel Anak Moderen, skenario dan sutradara Sjumanjaya, mencemooh pemuda pinggiran yang mau jadi pemuda ibukota (yang kepingin jadi "anak modern") dan juga mengejek habis-habisan orang Betawi keturunan Arab Hadramaut sekaligus orang-orang kampung yang karikatural itu.

Orang-orang kampung itu diberi Syumanjaya kopiah haji di kepala mereka. Pembukaan wilayah rimba raya Indonesia yang mengundang mesin-mesin baru nampak sebagai latar belakang pada sebuah film -(3,7o), skenario Arifin C. Noer, sutradara Wim Umboh, berjudul Sesuatu Yang Indah. SYI bertema kisah cinta segitiga-segiempat dua orang penerbang kakak-adik. Masalah manusia Indonesia dengan alam rimba raya yang perawan dan keras, dengan kerja menggali tambang dan kontak manusia dengan mesin-mesin baru serta konflik yang munkin timbul karenanya. tidaklah dipersoalkan dalam SYI. sebab tidak diangap Penting. Film anak-anak (11,2%) yang 3 buah itu berturut-turut mengenai penculikan anak orang kaya, fantasi jadi gubernur Jakarta selama satu hari dan perlawanan terhadap tahayul orang desa. Sebuah film remaja (3,7%) berjudul Remaja 76 (skenario Ismail Soebardjo dan Teguh Esha, sutradara Ismail Soebardjo) mengisahkan kehidupan biasa anak-anak remaja di sebuah SMA Jakarta. Alur cerita mendatar tetapi hidup dengan dialog yang segar, bukan bahasa-buku. Walaupun kisah drama dengan bumbu dan cabe sex banyak (30%), tetapi yang bertema kekerasan, hanya satu (5%). Orang biasanya menggandengkan kecenderungan sex dengan kekerasan. Film dengan tema cerita rakyat absen dalam festival ini (0%). Meskipun film-film kita ternyata urban (85,1%), tetapi tema yang diangkat dari masalah sosial di kota berpusu-pusu di sekitar soal terbatas benar: narkotika, kesulitan ekonomi (erat dengan jual kehormatan), cinta tidak sampai, otoritas orang tua pada anak. Masalah sosial yang aktuil seperti sulitnya mendapatkan kesempatan kerja, hancurnya industri kecil, krisis perumahan, berjangkitnya hama pertanian, kepadatan penduduk di pulau Jawa, mahalnya biaya pendidikan, untuk beberapa misal, belum dipetik jadi tema yang dikembangkan sebagai kisah manusia Indonesia. Produser tidak tertarik pada tema-tema ini? Betul. Film Dokumenter Ada sebuah film animasi dan 9 dokumenter.

Dari yang 9 ini 4 mengenai pembangunan fisik, 2 mengenai olahraga, dan berturut-turut masing-masing satu mengenai adat, bunga dan riwayat hidup pemimpin pergerakan nasional. Sembilan dari 10 film ini bertata-warna, dan sebuah hitam-putih, yaitu Ki Hadjar Dewantoro. Sehabis melihat segala yang gemerlapan dari entri festival, menyaksikan film hitam-putih dokumenter mengenai almarhum Ki Hadjar, saya jadi terpukau. Film itu secara teknis, miskin. Dengan teknik wawancara kita dibawa menyelusuri kehidupan pemimpin tua itu. Wajah Ki Hadjar yang kerut-merut, kurus, berkemeja katun itu mengingatkan kita bahwa pernah dulu ada di antara kita keteguhan cita-cita, keluhuran budi dan kesederhanaan hidup, yang kini begitu menipis di zaman kita ini. Adegan pemakaman alangkah mengharukan. Kolonel Soeharto, berbintang tiga, adalah inspektur upacara. Jenazah masuk tanah, semua mengusap mata: sebuah kesederhanaan telah dikuburkan. Lampu ruangan hidup kembali dan kita tercenung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar