Senin, 14 Februari 2011

GERAKAN TUTUP STUDIO

Kalau melihat grafik produksi, memang sejak 1948 memperlihatkan garis yang meningkat. Tapi tubuh industri ini tidak sehat. Karena produksi film sejak 1952 dihasilkan oleh produser freelance, yang membuat satu dua film lalu berhenti. Yang banyak bikin film secara kontinu adalah produser yang memiliki studio, yang 5 diantara 7 studio yang ada dimiliki golongan Tionghoa yang lebih banyak membuat film "komedian' sehingga lebih merusak image pe- nonton. 

Tertumpuknya film nasional di gudang, juga merupakan akibat dari keadaan ini. Dewan Film yang dibentuk oleh Menteri PPK berusaha mendengungkan kembali seruan wajib putar film nasional. Tapi seruan ini tidak membawa perbaikan yang memadai. Situasi yang memburuk pada tahun 1956 itu telah mendorong wartawan-wartaan film membentuk organisasi. Maka lahirlah Persatuan Pers Film Indonesia (PERPEF|) yang mulai mempunyai garis tujuan lebih nyata. Para artis dan pekerja film pun mendirikan PARFI (Persatuan Artis Film Indonesia) yang dipimpin oleh Soeryo Soemanto. Dengan munculnya dua teman perjuangan ini, PPFI kemudian memperjelas kedudukannya sebagai badan hukum, yang dikuatkan di hadapan notaris. Jalan lain yang PPFI untuk memperluas pemasaran ke Malaya dengan sistem konsinasi, dengan pembagian keuntungan 650/o untuk pemilik film dan 35o/o untuk pengedar di Malaya. 

Tapi usaha ini temyata sulit untuk mengontrolnya. Sampai pada awal tahun 1957 PPFI tidak melihat jalan keluar lagi. Karena peratuaran impor tetap membuat harga film impor jauh lebih murah dari dari pada ongkos produksi film nasional.(kira-kira sepertiga)' Di samping itu Penurunan quota impor tidak disertai peraturan "screen time quota", sehingga walaupun jumlah film impor berkurang tapi film -film tersebut tetap memenuhi bioskop karena diputar dalam waktu Yang lama. Sementara itu, ekspor film ke luar negeri tetap tidak menarik karena tanpa insentif berupa premi ekspor. Terbantu oleh situasi yang kian memburuk itu, akhirnya PPFI mengambil langkah Yang tidak disangka sebelumnya. Yaitu tindakan serentak menutup semua studio film pada 19 Maret 1957. Tindakan tersebut ternyata tidak ringan konsekwensinya. Bukan saja menghadapi Pihak Pemerintah yang terus mendesak agar studio- studio tersebut dibuka kembali. Tapi juga menghadapi serangan-serangan gencar dari Pihak PKI dan antek- inteknya. 

Mereka mempersalahkan tuntutan untuk mengurangi film India, dengan mengkambing hitamkan film Amerika yang jumlahnya lebih besar. Padahal film Amerika Yang kebanyakan diputar dibioskoP kelas I sama sekali tidak menggangu film nasional. Sedangkan film India langsung merebut Pasaran film nasionaldi bioskop kelas ll.

Gerakan PPFI dengan penutupan studio ini temyata telah membuka mata Pemerintah. Setelah melalui berbagai perundingan, maka pada 26 April 1957 PPFI mengumumkan membuka kembali studio-studio anggotanya, setelah menerima janji-janji perbaikan dari pemerintah. Meskipun hanya berlangsung kurang 2 bulan gerakan PPFI tersebut, namun ketika orang-orang film mulai bergerak lagi keadaan perfilman kita sudah parah. Djamaludin Malik masuk tahanan. Kepercayaan pemilik modal menghilang. Orang-orang film mengalami ketegangan. Dalam suasana demikian, untunglah Usmar lsmail bangkit dan menghasilkan film Tiga Dara. Film ini telah menggugah kembali kepercayaan masyarakat kepada film lndonesia. Tapi sementara itu grafik produksi turun dengan dahsyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar