Kamis, 17 Februari 2011

FFI 1984 YOGJAKARTA

FFI 1984 YOGJAKARTA



 14 Juli 1984
Menjadi ketua dewan juri ffi 84
BIASA santai, Dr. Umar Kayam, 52, suatu ketika bisa juga kaget. Yaitu ketika ia tiba-tiba ditunjuk menjadi ketua Dewan Juri Festival Film Indonesia (FFI) 1984. "Soalnya, dalam sejarah FFI sudah beberapa kali saya diusulkan menjadi juri, tapi nama saya selalu dicoret. Eh, sekali ini malah menjadi ketua," kata bekas Dirjen RTF itu. Kesempatan menjurii film-film nasional diakuinya memang menyenangkan. Tapi mungkin, katanya, "Setelah menjadi juri nanti, selama 20 tahun saya tidak akan melihat film nasional lagi." Mengapa begitu? "Ya. 'Kan capek setelah menonton film-film yang difestivalkan, yang jumlahnya cukup banyak itu." Apalagi kalau film-film itu kurang bermutu. Dengan kedudukannya sebagai ketua Dewan Juri FFI 1984, Kayam sebenarnya punya masalah. Sebab, film Pengkhianatan G30S/PKI, yang ia ikut main (sebagai Bung Karno), termasuk salah satu film yang harus dinilai. Sedangkan ketentuan menyebutkan: dewan juri tak boleh terlibat dalam pembuatan film yang dinilai. "Ya, saya tidak akan menilainya. Saya hanya ingin menonton film itu, karena saya belum pernah melihat boleh 'kan?" kata dosen Fakultas Sastra UGM itu.

18 Agustus 1984
Mendapat piala citra ffi 1984
BERBEDA dengan FFI sebelumnya, kali ini si centil Meriam Bellina, 19, tak merasa perlu berhura-hura. Ia datang ke Yogya seakan-akan hanya mengambil Piala Citra saja. Datang Selasa sore dan Rabu malam muncul dengan kemenangan, Kamis pagi sudah meninggalkan Yogya. "Ya, maaf sajalah, saya mesti kembali," kata Meriam. Ke mana? Bukan ke tempat tinggalnya di Bandung atau Jakarta, tapi Kanada. Artis berwajah indo yang masih mgusan di layar perak mi memang sedang berada di Kanada ketika namanya diunggulkan. Entah diberitahu siapa atau begitu yakin akan kemenangannya, ia pulang ke tanah air dan langsung ke Yogya. Ribuan penggemarnya kecewa, karena ia tak ikut "memasyarakat" selama FFI kali ini. Mungkin Piala Citra itu diboyongnya langsung ke Kanada, tempat kakak-kakaknya berada. Permainannya dalam film Cinta di Balik Noda yang membawa keberuntungan itu dinilai banyak orang sebagai fotokopi Jennifer Beals dalam Flashdance. Meriam memang penyanyi dengan suara bagus. Tapi jawabnya tentang penilaian itu, "Apa pun yang dibilang orang, saya tak ambil pusing." Ia mau jalan terus rupanya.


18 Agustus 1984
Mendapat piala citra
KALAU Meriam Bellina seperti yakin, ke Yogya hanya mengambil Cira, El Manik masih waswas. "Saya sudah bosan masuk nominasi. Saya ini nominator abadi," katanya dengan wajah tegang menunggu pengumuman. Ketika namanya benar-benar disebut, ia hampir saja berteriak dan tenggelam dalam pelukan artis lainnya. Tapi, "Piala Citra hanya kebanggaan, bukan kepuasan. Kepuasarl saya adalah bisa bermain film," kata aktor yang sudah meraih Citra untuk pemeran pembantu terbaik 1979 ini. Sebagai aktor laris belaka,ngan ini, El Manik mendapatkan piala dari film Budak Nafsu, sementara para pengamat film menilai, permainannya justru cemerlang dalam film Rahasia Buronan. Apa kata putra Binjai kelahiran Bahorok yang suka berseloroh ini? "Bagi saya film yang sedang saya buat adalah film yang terbaik. Syukurlah setiap main saya selalu dapat peran yang berbeda," kata Manik, anak seorang guru yang gagal jadi guru meski menggondol ijazah SPG di Binjai.


18 Agustus 1984

Pendatang baru
SJUMANDJAJA tetap gentir. Sambil meletakkan piala yang baru diraihnya di kolong kursi pada penutupan FFI pekan lalu, sutradara Budak Nafsu itu mengatakan tak pernah menganggap Citra sebagai lambang puncak prestasi. Ia tak tahu berapa banyak Piala Citra sudah ada di rumahnya. "Kalau tidak lima, ya, enam," ujarnya pelan. Yang menggetirkan sutradara yang pernah berguru di Moskow ini adalah masih banyaknya ganjalan dalam pembuatan film. Ia menyebutkan satu contoh, film tentang Chairil Anwar sampai sekarang tetap tertunda. Yang bergembira dengan kemenangan Sjumandjaja, 51 tentu saja istrinya, Zoraya Perucha, 27. Sang istri memberi kecupan di pipi kiri Sjumandjaja. "Syukur alhamdulillah, kami berdua sama-sama dapat piala," komentar Perucha, yang sebelumnya mendapat piala khusus Suryo Sumanto, sebagai "aktris pendatang baru yang memberi harapan" lewat film Yang. Sebagai syukuran, malam itu Perucha menggaet suaminya nongkrong makan gudeg di Malioboro, sampai pagi

18 Agustus 1984

Menerima piala citra ffi 84
SJUMANDJAJA tetap gentir. Sambil meletakkan piala yang baru diraihnya di kolong kursi pada penutupan FFI pekan lalu, sutradara Budak Nafsu itu mengatakan tak pernah menganggap Citra sebagai lambang puncak prestasi. Ia tak tahu berapa banyak Piala Citra sudah ada di rumahnya. "Kalau tidak lima, ya, enam," ujarnya pelan. Yang menggetirkan sutradara yang pernah berguru di Moskow ini adalah masih banyaknya ganjalan dalam pembuatan film. Ia menyebutkan satu contoh, film tentang Chairil Anwar sampai sekarang tetap tertunda. Yang bergembira dengan kemenangan Sjumandjaja, 51 tentu saja istrinya, Zoraya Perucha, 27. Sang istri memberi kecupan di pipi kiri Sjumandjaja. "Syukur alhamdulillah, kami berdua sama-sama dapat piala," komentar Perucha, yang sebelumnya mendapat piala khusus Suryo Sumanto, sebagai "aktris pendatang baru yang memberi harapan" lewat film Yang. Sebagai syukuran, malam itu Perucha menggaet suaminya nongkrong makan gudeg di Malioboro, sampai pagi.

18 Agustus 1984
Terharu menonton film
INI masih ada kaitan dengan FFI Yogya, tetapi mengenai cara pelukis Affandi memperlakukan undangan menonton film unggulan. "Saya baru menonton film Indonesia kalau lebih dulu ada jaminan filmnya bagus," katanya. Walau juri sudah mengunggulkan film Sunan Kalijaga, Affahdi ternyata menyerahkan undangan menonton film itu kepada anaknya. "Anak saya bercerita, film itu bagus, maka saya kepingin melihatnya." Celakanya, film itu sudah dibawa keluar Yogya untuk diputar di Solo. Apa boleh buat, kalau Affandi lagi ngebet, ia perintahkan sopirnya ke Solo. Baru separuh film tu diputar, persis ketika adegan Ario Tejo menghukum anaknya, Raden Said, karena mencuri, pelukis besar ini dipapih keluar gedung. "Saya sangat terharu," katanya. "Daripada saya harus menyediakan ember untuk menampung air mata, lebih baik saya keluar." Affadi memuji film Sunan Kaiijag,a. "Ini film baik untuk mendiik perasaan," katanya. SayanAffandi tidak terpilih jadi juri FFI 1984 sehingga tak muncul film terbaik.

18 Agustus 1984
Dicolek pemuda
JANGAN dikira penyanyi, dangdut hanya bisa menyindir atau memberi petuak. Sekali-sekali bisa juga marah-marah. Itu misalnya terjadi pada Itje Tresnawati, 22. Ketika pawai artis FFI pekan lalu di Yogya, dagu penyanyi beranak satu ini dicolek-colek seorang pemuda. Si biduanita memaki-maki, lalu melapor kepada suaminya. "Kurang ajar, berani mengganggu istri orang, ya. ' bentak sang suami, yang tak lain adalah Eddy Sud, ke arah pemuda itu. Syukur persoalan tak berbuntut. "Mungkin pemuda itu ingin dekat dengan kesayangannya saja," kata Itje. Dan pemuda itu tak tahu rupanya orang yang sudah menyayangi Itje, suaminya, bisa lebih marah kalau didekati, apalagi dicolek-colek.

18 Agustus 1984

Kecopetan
PENCOPET Yogya rupanya tahu kalau juri FFI menerima honor cukup besar. Ketika tengah malam Ny. Tatiek Malyati, salah seorang juri, menuju bis untuk pulang ke hotel seusai penutupan pekan lalu, uang sejumlah Rp 290.000 digasak tangan jahil dari dalam tasnya. "Uang itu tak sedikit, tiga bulan gaji saya mengajar di IKJ," kata istri sutradara teater dan film Wahyu Sihombing ini. Dibandingkan honor juri, FFI yang konon Rp 1,2 juta menang tak berarti. Uang itu menjadi berarti, karena itulah bekal Ny. Tatik selama di Yogya Esoknya, pengasuh Bina Drama di TVRI dan dosen IKJ ini praktis tidak sarapan pagi. "Saya sudah berusaha pinjam uang, tahu-tahu panitia baik hati memberi uang Rp 50 ribu," katanya. Ada orang yang membisiki, mungkin kualat karena selama berada di Yogya ia terlalu sibuk rapat juri sehingga lupa nyekar di makam orangtuanya di sana. Akhirnya, putri Yogya ini tidak ikut menghadiri jamuan makan siang yang diselenggarakan Wali Kota Yogya hari Kamis. "Saya mau nyekar saja," katanya tanpa menyebut tempat makam orangtuanya.

18 Agustus 1984
Mendapat piala citra
MUTU film kita merosot. Buktinya, menurut Aktor Bambang Hermanto "Saya bermain jelek, tapi kok dapat Citra." Karena itu, ia mengambil piala itu dengan sikap dingin saja. "Ah, tak ada kejutan apa-apa. Penghargaan tertinggi untuk film Indonesia ini bukanlah ukuran terbaik ujarnya setelah turun dari pangung FFI, pekan lalu. Aktor terbaik tahun 1952 lewat film Lewat Jam Malam itu pernah dapat penghargaan internasional lewat film Pejuang (1962). "Kalau ingin yang terbaik, buktikan di festival internasioral, dong," tantang Bambang mengenai penghargaan dan piala-piala itu. Tentang Citra yang ia terima sebagai pembantu terbaik dalam film Ponirah Terpidana ini, aktor yang sudah membintangi 30-an film itu berkomentar, "Pemeran utama terbaik belum tentu bisa menjadi pemeran pembantu terbaik." Dengan kata lain, Bambang tak merasa direndahkan martabatnya dengan embel-embel "pembantu" itu meskipun, "Saya bermain jelek."


Gunting bsf kok majal
DALAM acara dengar pendapat Ko misi I dengan Menteri Penerangan Harmoko Kamis pekan lalu, sejumlah wakil rakyat yang terhormat secara keras mempertanyakan lolosnya film Pembalasan Ratu Laut Selatan -- PRLS. Kabarnya, film Ketika Musim Semi Tiba (KMST) -- dibintangi Meriam Bellina dan dijegal dari peredaran Juli 1987 lantaran dianggap terlalu porno masih kalah berani dibanding PRLS dalam mempertontonkan tubuh manusia. PRLS tak semata menawarkan kecabulan, tetapi juga sadisme yang meramu muntahan pelor plus darah-darah nyinyir yang berhamburan. Lebih dari itu, PRLS juga membawa pada kepercayaan nan jauh surut ke masa lalu, yakni dinamisme. 

Bahwa kekuatan utama bukan terletak di tangan Tuhan, tetapi pada keagungan sebilah keris yang keluar dari alat kelamin Ratu Pantai Selatan. Ram Soraya, Direktur PT Soraya Intercine Films, mengatakan bahwa PRLS menelan dana lebih dari Rp 1 milyar. Dari jumlah itu, 70%-nya berasal dari pihak luar negeri. Karena film itu merupakan hasil kerja sama dan juga dipasarkan di luar negeri, maka ide-idenya juga datang dari pihak luar, agar cocok dengan konsumen di luar negeri. "Saya tak mendengar ada orang mengatakan film itu porno," kata Ram Soraya kepada TEMPO lewat telepon. Yang jelas, kata Ram, dia sebagai produser telah melewati jalur hukum yang benar. "Saya sebagai produser telah menempuh prosedur secara benar," kata Ram, selebihnya orang bisa saja mempunyai penilaian macam-macam. Menteri Harmoko berjanji akan meneliti PRLS. Ia yakin, BSF tak bakalan meloloskan film-film porno. "Kalau berbugil-bugilan, sebaiknya di kamar saja, bukannya dipertontonkan khalayak umum," tutur Harmoko. Departemen Penerangan, kata Harmoko, berkepentingan meneliti PRLS. Jangan sampai terulang kasus yang terjadi di Surabaya beberapa waktu lalu. Sebuah film yang sudah disensor BSF, guntingannya disambung lagi dan kemudian dipertontonkan di gedung bioskop. "Kalau memang menjurus ke pornografi, PRLS akan ditarik dari peredaran," kata Harmoko kepada TEMPO. 
Apalagi kalau di balik lolosnya PRLS ada "apa-apanya". Direktur BSF Thomas Sugito, yang dicegat TEMPO di DPR, berkesan enggan membicarakan PRLS. Yang jelas, menurut Thomas, PRLS sudah terkena gunting sensor. Mungkinkah guntingan itu disambung lagi? "Wah, saya nggak tahu. Tapi potongan film PRLS itu disimpan di BSF," ujar Thomas. Sementara itu, tokoh-tokoh agama pun cukup resah dengan film model PRLS. "Ibarat menyiram api dengan bensin," tutur K.H. Hasan Basri, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia. Hasan Basri menyarankan agar BSF tak perlu sungkan menggunting. Jangan hanya menguntungkan kaum yang condong melihat film semata barang dagangan. "Kata Pak Harmoko, film bukan sekadar tontonan, tetapi juga tuntunan," ujar Hasan Basri lebih lanjut. Pada akhirnya, "Orang lebih suka nonton film ketimbang ikut pengajian," ujar Lukman Harun, tokoh Muhammadiyah, pada kesempatan lain. 

Bahwa sekarang Badan Sensor Film (BSF) banyak meloloskan film yang mempertontonkan bagian-bagian tubuh, bagi Raam Punjabi, bos Parkit Film, hal itu masih belum memenuhi keinginan produser. "Kalau dibandingkan dengan dunia internasional, itu masih terlalu minim," ujarnya. "Coba lihat, apakah dalam satu film ada adegan bercinta yang lebih dari lima menit? Kan tidak ada," katanya serius. Raam menginginkan lebih jauh dari itu. Apakah itu, Ram? "Kelonggaran bebas," katanya tegas. "Untuk mencapai kelonggaran bebas, mental masyarakat harus kita siapkan. Itu tak mungkin tercapai dalam waktu yang singkat. Tapi kalau tidak mulai sekarang, kapan lagi." Gope T. Samtani, bos Rapi Films, berkata lain kepada TEMPO. "Film-film seks dan kekerasan belum tentu laku dipasarkan," ujarnya. Satu contoh, Birahi Dalam Kehidupan produksi Rapi pada 1986. Kata Gope, film yang blak-blakan bertemakan seks ini malah merugi -- sayang, tanpa didukung angka. Tapi bukan berarti unsur seks dan kekerasan bisa digolongkan tidak penting. "Untuk daya tarik, seks menjadi penting sebagai bumbu," ujarnya. Oleh karena itu, kendati secuil -- kira-kira 10% -- kata Gope, unsur seks perlu juga. "Porsi seks sekecil itu paling tidak untuk iklan masih bisa diterima," ujarnya. Dalam FFI 1984, sebagian besar film peserta FFI cenderung menampilkan pornografi dan sadisme. Maka, tak ada film terbaik. Dewan juri pun lantas dikritik habis-habisan. "Seminggu kemudian," kata Ki Suratman, Ketua Majelis Luhur Taman Siswa Yogyakarta yang menjadi Ketua Dewan Juri FFI 1984 itu, kepada Slamet Subagyo dari TEMPO, "Presiden Soeharto mengeluarkan komitmen yang menyatakan perang terhadap pornografi dan sadisme." Komitmen itu, menurut Ki Suratman, harusnya tetap berlaku sampai sekarang. Namun, kenyataan justru mengherankan, film porno dan sadisme yang kian berlebihan. "Selama ini BSF itu kerjanya apa, sih?" kata bekas juri FFI itu. Budiono Darsono, Tri Budianto Soekarno, Sri Pudyastuti, Moebanoe Moera

Tidak ada komentar:

Posting Komentar