Kamis, 03 Februari 2011

CINTA DALAM SEPOTONG ROTI / 1990



adalah sebuah Film IndonesiaGarin Nugroho yang diadaptasi dari novel yang berjudul sama karya Fira Basuki. Film ini menceritakan tentang ketidakmapuan seksual seorang pria dan kenyataan masa lalu yang akhirnya membuat merasa lega akan ketidakmampuannya. Film ini juga memasukkan kalimat-kalimat puisi dari penyair Indonesia, Sapardi Djoko Damono.

Mayang (Rizky Theo), Harris (Adjie Massaid) dan Topan (Tio Pakusadewo) merupakan sahabat sejak masa kanak-kanak. Mayang, pengasuh sebuah rubrik majalah wanita, telah kawin dengan Harris, seorang profesional, sedang Topan masih lajang dan jadi fotografer. Mayang dan Harris pergi berlibur untuk menyelesaikan masalah mereka. Topan diajak serta, karena ternyata ia juga hendak pergi ke arah yang sama. Dalam perjalanan terkuaklah segala permasalahan tiga sahabat tadi. Harris mengalami kesulitan seks karena trauma masa lalunya. Mayang yang coba memahami dan membantu, hampir tidak berhasil. Topan ternyata masih menyimpan cinta masa kecilnya pada Mayang. Puncaknya: Harris curiga terhadap Mayang dan Topan. Sebuah film yang melukiskan masalah seks secara tidak vulgar dan dewasa.

P.T. PRASIDI TETA FILM
P.T. ERANUSA FILM

News
11 Mei 1991
Sepotong roti untuk garin

Film perdana Garin Nugroho yang digarap dengan gaya orisinil. Ia cuma mengandalkan tiga pemain, semuanya pendatang baru. Sutradara muda yang penuh harapan. CINTA DALAM SEPOTONG ROTI Sutradara/Skenario: Garin Nugroho Pemain: Tio Pakusadewo, Rizky Erzet Theo, Adjie Massaid Produksi: PT Prasidi Teta Film dan PT Mutiara Eranusa Film SEORANG sutradara adalah seorang pencipta. Ia harus mampu membahasakan ide-ide dan alam sekitarnya dengan visualisasi. Ia wajib menundukkan aktor untuk bisa menjadi bagian dari ciptaannya. Di Indonesia, sutradara yang sudah mampu memenuhi kategori ini tidak banyak, antara lain Teguh Karya, Slamet Rahardjo, Eros Djarot. Garin Nugroho, 29 tahun, kelihatannya mampu masuk ke dalam barisan itu. Cinta dalam Sepotong Roti adalah filmnya yang cukup eksperimental.

Di tengah loyonya sutradara yang tunduk pada selera pasar (baca: selera produser), keberanian Garin Nugroho dengan menggunakan tiga pemain utama sepanjang film patut dipuji. Bukan cuma itu. Karya Nugroho yang pertama ini digarap dengan gaya orisinil. Diiringi ilustrasi musik Kapal Api -- sebuah lagu anak-anak yang abadi -- kamera menyorot sebuah boneka bayi, radio, dan tangan yang mengoles roti dengan selai. Lalu muncul wajah-wajah yang muda dan segar. Haris ( Adjie Massaid) dan Mayang (Rizky Erzet Theo) adalah pasangan muda yang baru setahun menikah. Mereka memutuskan berlibur ke Bali dengan harapan bisa memecahkan persoalan seks mereka. Topan (Tio Pakusadewo), teman kecil mereka yang jadi fotografer, datang dan kebetulan harus memotret ke Lombok. Topan diajak untuk melakukan perjalanan bersama hingga Banyuwangi. Konflik cerita dimulai di sini. Di tengah alam Indonesia yang hijau dan basah itu, Haris tetap tak bisa melupakan bayangan ibunya. "Aku hanya ingin dipeluk sampai pagi," keluhnya kepada Mayang. "Aku istrimu, bukan ibumu," jawab Mayang. Mereka gagal bercinta, gagal berkomunikasi. Di antara kegagalan itu, Topan melangkah masuk. Cinta bagi Topan dan Mayang ditemui sejak mereka menikmati roti srikaya pada masa kanak-kanak -- sementara Haris penyantap roti dengan selai arbei. Mayang dan Topan, sesama pecinta puisi, sesungguhnya sudah saling mencintai. Di atas jerami, Mayang dan Topan meneriakkan puisi Ahmad Al Hadabri.

Keduanya tertegun, bertatapan. Dan Topan mengisap jari Mayang yang terluka dengan kenikmatan. Visulisasi adegan erotis ini begitu halus, tapi toh mampu menunjukkan bagian liar manusia. Inilah keistimewaan Nugroho. Sutradara Indonesia sering mengalami kesulitan untuk menampilkan tema seksual, karena gunting sensor yang angin-anginan. "Film silat dengan adegan yang jauh lebih seronok banyak yang lolos, sedangkan adegan persetubuhan antara Haris dan Mayang yang begitu halus dan artistik dibabat semua, padahal itu adegan yang penting," ujar Nugroho mengeluh. Untung, kita masih melihat telapak tangan Haris dan Mayang yang sedang bertumpu. Kelebihan Nugroho, yang belum disentuh sutradara lain, adalah keberaniannya bereksplorasi dengan bahasa gambar. Seperti bait puisi Ahmad Al Hadabri yang berulang kali dikutip, dan ikutilah angin takdir ..., Nugroho sangat berpihak kepada alam. Aktor dan aktris bukanlah bagian terpenting dari seluruh filmnya, melainkan garis-garis bidang sawah -- yang di-shot dari atas -- bentuk rumput, air hujan, bersatu sekaligus dengan selai roti, tangan fotomodel Lala (Monica Oemardi) dan rok Mayang yang lebar bagai parasut. Lantas adegan mesra Mayang dan Haris di atas komidi putar yang bergantian dengan wajah sepi Topan di bawah hujan sembari bermain harmonika adalah kerja sama yang antara penyunting (Arturo) dan sutradara. Gambar-gambar simbolik itu muncul secara berdesakan dan bergantian. Apalagi, ketika Mayang meletakkan cermin di atas rumput sembari mengenang masa kecilnya. Melalui cermin ini kita disuguhi Mayang kecil yang sedang bermain tali.

Gambar yang mempesona. Risiko Nugroho memakai pemain baru membuat beberapa adegan terasa menjengkelkan. Untung, Tio Pakusadewo yang berakting secara santai bisa melumerkan kekakuan kedua rekannya. Upaya Nugroho menggunakan bait puisi Sapardi Djoko Damono (Aku Ingin ....), Zawawi Imron (Lemper), dan puisinya sendiri (Ningsih) ternyata tak seefektif fungsi puisi dalam film Dead Poets Society. Dalam karya Peter Weir ini, puisi mampu menjadi tenaga gaib yang mengubah anak-anak muda berbuih dengan gelora. Karena akting anak-anak muda yang alami, ditambah keberhasilan pembauran puisi dengan dialog dalam skenario, film itu menjadi puisi. Pada Cinta dalam Sepotong Roti, adegan Mayang berteriak membacakan puisi yang mirip pembacaan deklamasi anak SMA, atau diskusi Mayang dan Topan tentang puisi Zawawi Imron di tengah sarapan, kurang berhasil membaur dengan perangkat gambar lainnya yang sudah begitu puitis. Nugroho cenderung memakai pendekatan dokumentaris -- ia telah membuat sembilan film dokumenter dan dua di antaranya mendapat penghargaan pada FFI 1986 dan 1989 -- hingga ada beberapa adegan yang tak berhasil menjadi bagian dari seluruh film. Misalnya adegan tiga anak berkaca mata hitam yang duduk di balai yang penuh dengan gantungan semangka. Film ini diakhiri dengan happy ending. Topan tidak memasuki "daerah terlarang" itu. Haris berhasil membuang trauma masa kecilnya dan pasangan itu memulai kehidupan bahagia. Akhir yang mengecewakan, karena Nugroho memilih jadi pendongeng. Namun, sebagai sutradara, ia telah berhasil memindahkan gagasannya ke dalam gambar. Dan ia melakukannya dengan baik. Sesuatu yang masih langka di dunia perfilman Indonesia. Leila S. Chudori


09 November 1991
Sutradara muda menunggu nominasi

Akhir pekan ini, juri FFI akan mengumumkan film dan aktor serta aktris yang masuk nominasi. Beberapa sutradara muda lahir dan memberi alternatif. PANGGUNG Festival Film Indonesia (FFI) akan dibuka lagi. Di tengah derasnya serangan film-film Hollywood, dan munculnya belasan cineplex baru yang menopang pemutaran film asing itu, pesta orang-orang film Indonesia yang setahun sekali ini harus tetap diadakan. Dari 70 film yang diproduksi tahun ini, ada 19 film pilihan. Akhir pekan ini para juri akan mengumumkan film dan pemain yang berhasil masuk nominasi. Pekerjaan juri FFI tahun ini, yang diketuai Asrul Sani, tidak terlalu mudah. Bukan karena film-filmnya bagus, melainkan justru karena tidak ada film yang mencuat. Ada beberapa yang layak disorot, misalnya, Potret, Cinta dalam Sepotong Roti, Lagu untuk Seruni, Boneka dari Indiana, dan ZigZag. Yang menarik, meski sutradara senior macam Teguh Karya, Arifin C. Noer, atau Slamet Rahardjo absen, lahir sutradara baru. Mereka adalah Garin Nugroho (Cinta dalam Sepotong Roti), Labbes Widar (Lagu untuk Seruni), Dimas Haring (Langit Kembali Biru), dan Ucik Supra (Rebo dan Robby). Adakah sesuatu yang baru dari mereka? "Ya, mereka semua punya kelebihan masing-masing," kata Teguh Karya. Teguh melihat suatu fenomena baru dari kecenderungan para sutradara baru ini. "Memang belum bisa dikatakan bahwa suatu aliran baru telah lahir, tapi saya melihat adanya alternatif baru dalam berbagai hal, baik dalam visi maupun cara kerja," tambahnya. Ia menunjuk bagaimana film Potret, yang gagasannya dikerjakan secara keroyokan.

Ia juga memuji pengarahan akting di dalam sebagian film karya sutradara baru itu. Tanpa ingin menyebutkan filmfilm mana yang dianggapnya terbaik, Teguh mengatakan bahwa pilihan tema dari para sutradara baru ini pun banyak yang menarik. Garin Nugroho, sutradara Cinta dalam Sepotong Roti, adalah salah satu sosok yang menjanjikan. Sebagai sutradara yang menawarkan alternatif baru dalam memvisualisasikan gagasannya, Garin bak sebuah intan yang perlu diasah. Mungkin karena Garin terlalu mementingkan bagaimana membahasakan idenya ke dalam gambar, lulusan Institut Kesenian Jakarta ini tak berkonsentrasi untuk menundukkan aktor-aktornya. Karya pertama Labbes Widar, Lagu untuk Seruni, juga memiliki beberapa persoalan. Sama seperti rekan sealmamaternya, Garin Nugroho, Labbes pun menyodorkan persoalan pasangan muda. Garin memfokuskan masalah hubungan seks, sedangkan Labbes lebih menekankan persoalan "pertandingan" menundukkan ego antara pasangan Febi (Nia Zulkarnaen) dan Arya (Tio Pakusadewo). Febi ingin mementingkan kariernya sebagai penyanyi dan rela berpisah dengan anak dan suaminya, sementara Arya -sang pencipta lagu -akhirnya harus belajar mengurus putrinya yang masih kecil sementara perlahan wanita lain memasuki kehidupannya. Tidak adil membandingkan film ini dengan Kramer vs Kramer meski ada persamaan tema.

Yang kuat dari film ini adalah akting hampir semua pemainnya sangat wajar. Agaknya, selain karena menggunakan suara langsung, Labbes sebagai sutradara dan Adi Kurdi sebagai pengarah dialog sangat berperan dalam hal ini. "Orang biasa menyangka kalau belum melotot atau berteriak namanya belum akting, tapi akting Tio (Pakusadewo) di dalam film ini sangat alamiah," puji Teguh Karya. Almarhum Nya' Abbas Akup, yang dikenal sebagai "empu" filmfilm komedi situasi, agaknya mencoba menguras sisa-sisa tenaga akhirnya dalam pembuatan Boneka dari Indiana. Film ini bukan saja sindiran halus kepada orang-orang kaya yang tak lelahnya memburu uang, melainkan terutama kisah seorang suami yang mulanya hanya bisa mengangguk seperti boneka, tapi kemudian berhasil membebaskan diri. Secara keseluruhan film ini sangat segar dan komunikatif. Didi Petet dan Lidya Kandouw bisa saja meraih peluang nominasi melalui film ini. Ziz Zag arahan Putu Wijaya memang bukan sebuah karya akbar. Meski demikian, ia menjadi menarik karena Putu membicarakan persoalan yang sangat dekat dengan kita, yakni mencari identitas. Ini adalah sebuah proses yang akan terjadi secara terus-menerus, bukan hanya pada anak-anak muda macam Egi ( Jeffrey Waworuntu), Silvi (Dian Nitami), dan Nanang (Cok Simbara), tapi juga kepada orang-orang tua macam ayah Egi (Zainal Abidin). Film yang mengajak kita merenung ini memang penuh dengan adegan dan peristiwa yang tumpang tindih yang menjadi kekuatan film ini, tapi sekaligus melelahkan. Film yang terasa paling utuh adalah karya Buce Malawau yang berjudul Potret. Buce selama ini dianggap "murid" Teguh Karya meski ia sendiri tak pernah secara resmi berguru pada "suhu perfilman Indonesia" itu.

Potret mengisahkan masa tua Herman Kawilarang (Rachmat Hidajat) di rumah jompo dan ingin kembali kepada anak-istrinya yang dahulu ditinggalkan. Memang Potret akan mengingatkan kepada film Ayahku karya Agus Elias karena sama-sama membicarakan penolakan anak tertua terhadap ayah. Namun, film Potret lebih menunjukkan berbagai dimensi kemanusiaan. Siapa pun yang rajin menonton film-film Teguh Karya akan langsung mengenali pengaruh sentuhan artistik dan visualisasi Teguh itu. Film ini mempunyai peluang besar untuk meraih banyak piala Citra, terutama untuk Rachmat Hidajat, Ully Artha, dan Gusti Randa. Adapun Film Langit Kembali Biru karya Dimas Haring yang terlalu sarat dengan misi atau Taksi Juga arahan Ismail Soebardjo yang terasa nyinyir (meski akting Ayu Azhari memberi peluang untuk nominasi) rasanya belum bisa dikategorikan sejajar dengan lima film tadi. Leila S. Chudori


23 November 1991
Citra dalam sepotong-sepotong

Piala Citra hasil FFI tahun ini terbagi-bagi di banyak film. Wajah baru menggembirakan. Tapi puncak festival sepi, lebih meriah di Mojokerto. "TAK ada film yang bulat. Tak ada yang utuh. Tak ada unsurunsur sektoral yang saling mendukung," inilah komentar Asrul Sani, ketua juri film cerita panjang Festival Film Indonesia (FFI) 1991. Asrul mengatakan hal itu beberapa saat setelah FFI ditutup, Sabtu malam pekan lalu, di TMII Jakarta. Dengan gambaran seperti itu, juri harus memilih film terbaik -pemerintah kabarnya tak suka kalau tak ada film terbaik sebagaimana FFI 1984 di Yogyakarta. Cinta dalam Sepotong Roti, karya sineas muda Garin Nugroho, akhirnya ditetapkan sebagai film terbaik tahun ini. Namun, sebagai sutradara, Garin dinilai belum berhasil. "Garin belum matang, di tengah-tengah film, ia kehabisan napas. Film itu akan jadi lebih bagus kalau diperas menjadi satu jam," kata Asrul. Kelebihan Sepotong Roti adalah "ia memberikan penafsiran relevansi sosial yang baru". Salim Said, kritikus film yang juga anggota juri FFI, melihat bahwa yang terpenting dalam FFI ini: telah lahir sebuah film yang betul-betul sinematis, artinya tidak menekankan diri pada cerita, tetapi cara bercerita dengan gambar. Yang dimaksud Salim tentulah film Garin ini pula, yang juga menyabet Citra untuk fotografi (Soleh Rosselani), artistik (Sapto Busono), musik (Dwiki Darmawan), dan penyunting gambar (Ade Prajadisastra).

Lalu, siapa sutradara terbaik? Imam Tantowi tampil lewat Soerabaia '45. "Sebagai sutradara, dia kuasai mediumnya. Dia bisa mengutarakan, dengan alat sinematik, apa yang ingin dia utarakan. Dia tidak ragu," kata Asrul. Pakar perfilman ini memuji adegan pertempuran yang dibuat Tantowi. Hanya saja, "sebagian besar kelemahan film ini karena skenario." Citra untuk skenario terbaik dipegang Dimas Haring dan Dias Cimenes untuk film Langit Kembali Biru. Pasangan ini juga memperoleh Citra untuk penulis cerita asli terbaik dalam film yang sama. Langit bercerita tentang masa pergolakan di Timor Timur menjelang integrasi ke wilayah RI. Untuk aktris terbaik muncul wajah lama yang sudah kenyang dengan nominasi. Pemeran utama wanita terbaik diraih Lydia Kandou lewat Boneka dari Indiana. Gelar pemeran pembantu wanita terbaik disabet Rina Hassim lewat Zig Zag. Kedua aktris ini tak hadir di puncak FFI. Untuk aktor ada wajah lama dan baru. Yang lama, Rachmat Hidayat untuk permainannya di film Boss Carmad. Wajah baru, Tio Pakusadewo, lewat film Lagu untuk Seruni. Film terakhir ini juga mendapat Citra untuk penata suara terbaik atas nama Hartanto. Dengan tersebarnya kekuatan pada beberapa film, kata Asrul, pertarungan para juri untuk menentukan pemenang menjadi sangat ketat. "Pokoknya, tahun ini paling sulit," katanya. Yang menggembirakan lainnya adalah munculnya anak-anak muda, baik sutradara maupun pemain. "Mereka sekarang sudah siap dan mereka punya kemauan," kata Asrul. Jika ada yang "tidak menyenangkan" dalam FFI kali ini tentulah karena semakin sedikitnya artis yang terlibat. Pada puncak FFI, suasana itu terasa sekali. Banyak artis yang "tiduran di rumah" selain ada yang ber-"FFI di Mojokerto". Siti Nurbaiti dan Dwi S. Irawanto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar