Minggu, 27 Februari 2011

BAMBANG IRAWAN 1955-1979

BAMBANG IRAWAN


 Lahir Jumat, 05 Pebruari 1932 di Kendal dan wafat Senin, 08 Oktober 1979 di Jakarta. Pendidikan: SMA dan ATNI. Bambang mulai melibatkan diri dalam dunia film pada 1955, sebagai pembantu penata suara dalam pembuatan film Manusia Sutji yang berlokasi di Bali. Tetapi karena waktu itu kekurangan pemain, maka sutradara Alam Surawidjaja sebagai sutradara tiba-tiba saja meminta Bambang untuk ikut main dalam film tersebut. Selain itu, sutradara USmar ISmail mengajak Bambang ikut membintangi film Tiga Dara (1956) bersama si 'tiga dara' Ternyata film ini termasuk salah satu film laris Indonesia pada tahun 1950-an. Dan sejak itu Bambang Irawan mulai dikenal sebagai pemain film. Tahun-tahun berikutnya ia hampir selalu membintangi film-film produksi Perfini, seperti Asrama Dara (1958), Tjambuk Api (1958) dan Pedjuang (1960). Setelah delapan tahun menekuni dunia film, pada 1963 ia (bersama Hardjo Muljo) mendirikan perusahaan film yang mereka beri nama PT Agora (Arena Gotongrojong Artis) Film. Dalam periode 1963-1975, perusahaan ini berhasil memproduksi 21 film, dimana Bambang menjadi pemeran utama, sekaligus produsernya. Bahkan 8 film di antaranya ia merangkap sebagai sutradara. Antara lain dalam film Mahkota (1967), Insan Kesepian (1971), dan Sopir Taksi (1973).

Sejak 1976, Agora Film tidak lagi memproduksi film. Setelah menderita sakit yang cukup lama, Bambang Irawan wafat pada 8 Oktober 1979. Dua putrinya, Dewi Irawan (unggulan dalam film Titian Serambut Dibelah Tujuh, FFI 1983) dan Ria Irawan (Pemenang Citra, FFI 1988, sebagai aktris Pembantu dalam film Selamat Tinggal Jeanette) mengikuti jejaknya. Belakangan, hanya Ria Irawan dan Ade Irawan (istri Bambang Irawan) yang masih tetap menekuni dunia film dan sinetron.

Penjaga Gawang yang Bercita-cita Jadi Sutradara
Bambang Irawan lahir di Kendal, Jawa Tengah, pada 5 Februari 1932. Keluarganya tidak berlatarbelakang seni, sehingga Bambang sangat jauh dari perfilman yang kemudian justru membesarkan namanya.

Saat masih tinggal di Semarang, ia sangat suka bermain bola. Bambang dikenal sebagai penjaga gawang paling andal di daerahnya. Namanya sebagai kiper terkenal di seantero kota, hingga ia sering dipanggil ke mana-mana untuk turut dalam perbagai pertandingan dengan sejumlah upah.

Meski demikian, ia tidak melanjutkan kariernya sebagai kiper. Menurut Bambang dalam sebuah wawancara dengan Sinar Harapan (15/7/1972), penghasilan pemain sepak bola di zaman itu tidak bisa memenuhi kebutuhan keluarga.

“Mungkin kalau diteruskan saya bisa seperti Judo Hadianto (salah satu kiper legendaris Indonesia tahun 1960-an),” ucapnya.

Keinginan untuk mencukupi kebutuhan keluarga membuat ia mencoba peruntungan dengan melamar menjadi kru film. Sekitar tahun 1954, Bambang bertugas membantu bagian penata suara.

Di saat yang sama, kerabat kerja pembuatan film yang diikutinya akan mengadakan perjalanan ke Bali untuk syuting film Manusia Sutji, yang berkisah tentang kehidupan gerilyawan selama perang revolusi. Perawakan Bambang yang tegap mendapat sorotan dari sutradara Alam Surawidjaja. Ia kemudian diajak mengisi peran figuran sebagai gerilyawan.

Setelah itu, sutradara Usmar Ismail yang dikenal kerap mengorbitkan pemain-pemain baru tertarik pada sosok Bambang. Ia pun teken kontrak dengan Perfini (Persatuan Film Nasional Indonesia) untuk periode lima tahun (1955-1960). Ia tercatat pernah menjadi lawan main Chitra Dewi, Aminah Cendrakasih, dan Indriati Iskak dalam film Tiga Dara (1956).

Dalam wawancara dengan Tempo (10/6/1978), ia mengaku banyak belajar dari Usmar Ismail. Setelah kontrak dengan Perfini usai, ia memutuskan tidak ingin hanya berhenti sebagai pemain film, tetapi juga harus bisa berproduksi sebagai produser dan sutradara.

“Saya belajar tentang film di Perfini dan saya selalu berangan-angan: kapan ya saya bisa bikin film kayak Usmar Ismail?” ujarnya.

Untung dari Film Seks
Periode 1960-an merupakan tahun-tahun yang sulit bagi perfilman tanah air. Sikap permusuhan orang-orang Kiri terhadap produk perfilman asing justru membuat produksi film Indonesia ikut kembang kempis.

Namun, kondisi itu seolah tidak berpengaruh terhadap Bambang. Ia dengan percaya diri mendirikan perusahaan film dengan nama Arena Gotong Royong Artis Film atau disingkat Agora Film.

Perusahaan film ini ia rintis pada 1963 bersama aktor Hardjo Muljo dan Pitrajaya Burnama. Agora Film menjadi motor produksi film-film Bambang sampai tahun 1975. Menurut laporan Pikiran Rakyat (9/10/1979), dari 100 film lebih yang ia ikuti sebagai pemain, 20 di antaranya merupakan produksi Agora.

Setelah lepas dari masa sulit, pemerintah memberlakukan kebijakan kredit film bagi produser Indonesia melalui dana SK 71. Program yang berlaku sejak tahun 1967 ini berhasil meningkatkan kuantitas film Indonesia. Pemerintah membiayai bidang produksi film menggunakan uang yang dihimpun dari pajak film impor. 

Bambang menjadi satu dari sekian produser film yang kecipratan dana pinjaman.

Uang pinjaman itu ia gunakan untuk memproduksi film yang berhasil membuat namanya kembali meledak di pasaran. Pada tahun 1970, untuk pertama kalinya ia menjajal produksi sekaligus bermain dalam film dengan unsur seks berjudul Hidup, Tjinta dan Air Mata.

Menurut data yang dihimpun Salim Said dalam Profil Dunia Film Indonesia (1982: hlm. 84), selang beberapa bulan setelah diedarkan, film pertama buatan Bambang itu ditonton tidak kurang dari 83 ribu orang di Jakarta.

“Tiga puluh hari setelah film ini beredar, kredit SK 71 sudah bisa lunas. Apa ini tidak hebat. Modal 15 juta bisa kembali 60 juta,” kata Bambang girang.

Keberhasilan itu membuat nyalinya untuk membuat film serupa semakin besar. Pada tahun berikutnya, secara berturut-turut ia memproduksi dua film yang banyak adegan seks berjudul Di Balik Pintu Dosa dan Insan Kesepian.

Kendati sukses di pasaran, kedua film tersebut--begitu juga dengan film sebelumnya--mendapat sorotan pers karena dianggap memperparah gejala seks dalam film Indonesia. Akibatnya, pada pertengahan 1971 Bambang terkena teguran Departemen Penerangan dan harus menghadap Badan Sensor Film.

Seniman film sohor seperti Asrul Sani merasa jengkel terhadap permainan unsur seks dalam film-film Bambang. 

Menurut Asrul, dari sekian produser dan sutradara film, Bambang paling suka mencari-cari alasan agar bisa menjejalkan unsur seks dalam filmnya.

“Unsur-unsur erotic memang sudah ada dalam kehidupan masyarakat, tetapi yang penting adegan-adegan erotic jangan ditempelkan dalam film, atau jangan dicari-cari seperti yang sering ada dalam film produksinya Bambang Irawan,” kata Asrul seperti dilansir majalah Ekspres (13/12/1971).

Bambang akhirnya tunduk pada gunting sensor. Sejak 1972, warna film produksi Agora menjadi lebih jinak. Agora mulai menjauhi unsur-unsur seks dan lebih banyak menjual kisah aksi dan adegan perkelahian. Salah satunya adalah aksi para jagoan di tengah kehidupan keras Kota Jakarta seperti dalam film Hanya Satu Djalan.

Menurut penuturan Bambang dalam surat tertanggal 13 April 1971 kepada Direktur Direktorat Film Departemen Penerangan, langkah ini diambil agar Agora dapat memenuhi tri-fungsi perfilman, yakni sebagai hiburan, pendidikan, dan penerangan.

“Kami tetap akan mengolah film ini tidak semata-mata mengeksploitir segi-segi sex dan sadisme, dan kami akan berusaha mendidik masyarakat dengan jalan film tersebut,” tulisnya.

Memilih Jadi Pemain Pajangan
Keberanian Bambang dalam meramu adegan seks boleh jadi terobosan di zaman itu. Sebagaimana pesannya kepada ketiga anaknya: “Apa kata sutradara harus dituruti, sekalipun harus melakukan adegan cium.” Baginya, perkara membuka busana hanya sebagian proses yang harus dilalui demi kesuksesan komersial sebuah film.

Di antara aktor Indonesia periode 1960-an dan 1970-an, Bambang tergolong unik. Ia berulang kali menolak disejajarkan dengan aktor-aktor terbaik dalam penobatan aktor-aktris terbaik yang diselenggarakan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) sejak tahun 1970.

“Andaikata yang keluar sebagai The Best Actor adalah saya, maka mau tak mau saya harus menuduh wartawan-wartawan film yang menjadi juri adalah wartawan goblok atau wartawan yang kena sogok,” ujarnya seperti dilansir Purnama (9/5/1971).

Bambang merasa dirinya hanya aktor pajangan. Menurutnya, ia lebih baik mencari uang ketimbang berusaha menjadi aktor terbaik. Pernyataannya itu membuat ia sering dijuluki aktor yang suka berbisnis.

“Meski harapan [menjadi aktor terbaik] ada, tapi rasanya tak mungkin. Sebab saya lebih memikirkan bagaimana film produksi saya bisa menjadi duit […] Saya adalah pemain film yang cuma jadi pajangan saja,” ungkapnya sebagaimana dilansir Purnama (13/6/1971).

Kegigihannya memperjuangkan kesejahteraan keluarga tidak berakhir seperti yang ia idamkan. Bisnis film keluarga Irawan kian merosot begitu memasuki pertengahan periode 1970-an. Penyakit lever yang diidapnya selalu menjadi penghalang dalam setiap langkah bisnis Agora. Selain itu, persaingan perfilman Indonesia yang kian keras membuat Agora Film tidak kuat bersaing.

Sejak 1976, Agora secara resmi berhenti berproduksi. Film terakhirnya merupakan film anak-anak berjudul Seribu Kenangan dan Fadjar Menjingsing yang dimainkan oleh istri dan tiga anaknya: Dewi Irawan, Adi Irawan, dan Ria Irawan. Dan pada 1978, Agora Film dinyatakan gulung tikar.

“Barangkali saya kualat dengan Hidup, Tjinta dan Air Mata,” katanya berseloroh.

 JALAN BAMBANG DAN MISBACH
04 November 1972

MINUS adegan seks yang menyolok serta banyolan Ratmi Bomber, film Bambang Irawan yang baru ini tidak lebih dari pengulangan tema produksi-produksinya terdahulu. Bambang Irawan yang pada setiap produksi Agora menjadi pemain utan dan sutradara merangkap produser, senantiasa menempatkan dirinya sebagai pahlawan, kali inipun, dalam film yang berjudul Hanya Satu Jalan, kesempatan macam itu tidak ia liwatkan. Tentu saja tidak ada peraturan yang melarang seorang produser, sutradara dan pemain sekaligus untuk membuat film di mana ia bebas menokohkan dirinya sebagai seorang jagoan atau bandit yang alim. Pemerasan. Kurang jelas, apakah Bambang (sebagai sutradara) dan Misbach Yusa Biran (sebagai penulis cerita dan skenario) sudah memperhitungkan faktor publik ketika merencanakan dan membuat film ini. Namun yang pasti hasil kerja Misbach dan Bambang cuma sampai pada tingkat penggambaran jagoan macam yang biasa dikhayalkan oleh anak-anak tanggung. Lebih dari itu, jalan cerita Hanya Satu Jalan ini sangat mengingatkan penonton pada film Hidup Cinta dan Air Mata, yang dulu dibuat oleh Bambang Irawan sendiri. 

Di sana dikisahkan Bambang sebagai bekas tahanan yang ingin melanjutkan hidupnya dengan cara damai dan tenang. Tapi bekas teman sebanditnya memaksa dia untuk melanjutkan hidup lama yang penuh dengan kekerasan, pemerasan dan darah. Melalui berbagai kekasaran itu -- baik terhadap dirinya maupun terhadap korban dan teman-temannya - Bambang akhirnya keluar dari dunia yang dibencinya. Jalan cerita seperti ini juga dengan jelas tertemukan dalam film baru yang segera beredar itu. Bedanya barangkali cuma sedikit: kali ini yang disebut sebagai penulis cerita dan skenario adalah Misbach Yusa Biran, dan Bambang keluar dari penjara tidak melalui pintu, melainkan liwat kawat berduri yang ia terobos. Adapun soal teknik pembeberan cerita, kalau tidak malah makin kabur, total jenderal sama saja. Rahasia Benny. Memang ada yang istimewa dalam filml ini: dua buah mobil sport dikorbankan dalam adegan kejar-kejaran antara para bandit dan Bambang. Tapi karena dasar dari soal kejar-kejaran itu kurang jelas - peranan hostes Leila -- maka kejar-kejaran itu dapat dinilai sehagai suatu pertunjukan tersendiri dengan biaya yang tidak murah. Kalau saja lebih diperlihatkan peranan Leila (dimainkan oleh pendatang baru Tina Djuhara) sebagai perempuan yang banyak tahu rahasia Benny (Aedy Moward), maka usaha Burhan (Marsito Sitorus) untuk memanfaatkan Bambang menggoda Leila barangkali akan lebih terasa artinya. Jangankan peranan Leila, soal pertentangan Burhan dan Benny saja tidak diperlihatkan dengan sepantasnya, sehingga peperangan yang seru antara kedua belah fihak kurang mempunyai alasan dan tekanan Burhan kepada Bambang untuk menggoda Leila menjadi kehilangan arti sama sekali. Keadaan ini menjadi lebih parah lagi oleh permainan Tina Juhara yang sungguh bagaikan orang bingung yang sama sekali tidak memperlihatkan kesan sebagai perempuan malam yang dipercayai oleh penjahat besar macam Benny. Kalau ada pemain yang harus disebut tidak dalam barisan yang menambah kegagalan film ini, barangkali cuma Masito Sitorus. Aedy Moward terlalu sedikit kebagian celuloid, sedang Sandy Suwardy entah untuk apa ia ikut lari dan tertembak.

DIAMBANG FADJAR 1964 PITRAJAYA BURNAMA
Actor
DARAH NELAJAN 1965 HASMANAN
Actor
MANUSIA SUTJI 1955 ALAM SURAWIDJAJA
Actor
INSAN KESEPIAN 1986 BAMBANG IRAWAN
Actor Director
SANTARA MENUMPAS PERDAGANGAN SEX 1977 USMAN EFFENDY
Actor
KARMA 1965 PITRAJAYA BURNAMA
Actor
LARUIK SANDJO 1960 USMAR ISMAIL
Actor
PEDJUANG 1960 USMAR ISMAIL
Actor
AJAM DEN LAPEH 1960 GATOT ISKANDAR
Actor
SELANGIT MESRA 1977 TURINO DJUNAIDY
Actor
DOSA DI ATAS DOSA 1973 ASKUR ZAIN
Director
TELESAN AIR MATA IBU 1974 IKSAN LAHARDI
Actor
BUNG KECIL 1978 SOPHAN SOPHIAAN
Actor
LAGU DAN BUKU 1961 TAN SING HWAT
Actor
TINGGAL BERSAMA 1977 BAY ISBAHI
Actor
ANAK PERAWAN DI SARANG PENJAMUN 1962 USMAR ISMAIL
Actor
TJINTA DIUDJUNG TAHUN 1965 HASMANAN
Actor
TJITA-TJITA AJAH 1959 WAHYU SIHOMBING
Actor
DELAPAN PENDJURU ANGIN 1957 USMAR ISMAIL
Actor
SOPIR TAKSI 1973 BAMBANG IRAWAN
Actor Director
TJAMBUK API 1958 D. DJAJAKUSUMA
Actor
TJATUT 1956 NAWI ISMAIL
Actor
AKULAH VIVIAN 1977 M. ENDRAATMADJA
Actor
LEMBAH HIDJAU 1963 HASMANAN
Actor
TUDJUH PAHLAWAN 1963 WISJNU MOURADHY
Actor
SERIBU KENANGAN 1975 SLAMET RIYADI
Actor
PEMBALASAN GUNA-GUNA ISTRI MUDA 1978 B.Z. KADARYONO
Actor
SI JANDA KEMBANG 1973 BAMBANG IRAWAN
Actor Director
BERMALAM DI SOLO 1962 HASMANAN
Actor
PENCOPET 1973 MATNOOR TINDAON
Actor
DIBALIK PINTU DOSA 1970 M. SHARIEFFUDIN A
Actor
SERBA SALAH 1959 L. INATA
Actor
HANYA UNTUKMU 1976 ARIZAL
Actor
HANYA SATU JALAN 1972 BAMBANG IRAWAN
Actor Director
GANASNYA NAFSU 1976 TURINO DJUNAIDY
Actor
RATAPAN SI MISKIN 1974 SANDY SUWARDI HASSAN
Actor
RATAPAN ANAK TIRI 1974 SANDY SUWARDI HASSAN
Actor
SEMUSIM LALU 1964 HASMANAN
Actor
DIBALIK AWAN 1963 FRED YOUNG
Actor
TUGAS BARU INSPEKTUR RACHMAN 1960 LILIK SUDJIO
Actor
PERCINTAAN 1973 PITRAJAYA BURNAMA
Actor
AKCE KALIMANTAN 1961 VLADIMIR SIS Drama Actor
COWOK MASA KINI 1978 KUSNO SUDJARWADI
Actor
COWOK KOMERSIL 1977 ARIZAL
Actor
ALI TOPAN DETEKTIF PARTIKELIR TURUN KE JALAN 1979 ABRAR SIREGAR
Actor
BUNGA PUTIH 1966 HASMANAN
Actor
GARA-GARA 1973 WISJNU MOURADHY
Actor
AKU HANJA BAYANGAN 1963 PITRAJAYA BURNAMA
Actor
SENGKETA 1957 USMAR ISMAIL
Actor
PAK PRAWIRO 1958 D. DJAJAKUSUMA
Actor
TIGA BURONAN 1957 NYA ABBAS AKUP
Actor
TIGA DARA 1956 USMAR ISMAIL
Actor
SEDETIK LAGI 1957 DJOKO LELONO
Actor
HIDUP, TJINTA DAN AIR MATA 1970 M. SHARIEFFUDIN A
Actor
BELAS KASIH 1973 BAMBANG IRAWAN
Actor Director
PEREMPUAN 1973 PITRAJAYA BURNAMA
Actor
TOHA, PAHLAWAN BANDUNG SELATAN 1961 USMAR ISMAIL
Actor
DUA PENDEKAR PEMBELAH LANGIT 1977 SISWORO GAUTAMA
Actor
MAHKOTA 1967 BAMBANG IRAWAN
Actor Director
DJUDJUR MUDJUR 1963 MANG TOPO
Actor
MUTIARA HITAM 1967 HASMANAN
Actor
GENERASI BARU 1963 AHMADI HAMID
Actor
MUSTIKA IBU 1976 WISJNU MOURADHY
Actor
SENYUM DAN TANGIS 1974 ARIZAL
Actor
ASRAMA DARA 1958 USMAR ISMAIL
Actor
MATAHARI PAGI 1968 BAMBANG IRAWAN
Actor Director
NINA 1960 BASUKI EFFENDI
Actor
PENGORABANAN 1974 SUSILO SWD
Actor
MASA TOPAN DAN BADAI 1963 D. DJAJAKUSUMA
Actor

Tidak ada komentar:

Posting Komentar