Jumat, 25 Februari 2011

ABDULLAH HARAHAP

ABDULLAH HARAHAP
PIONIR NOVER GOTIK



Nama :Abdullah Harahap.
Lahir :
Sipirok, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, 17 Juli 1943
Pendidikan :
Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Bandung, Jurusan Civic Hukum (tidak tamat)

Profesi
Novelis,
Penulis Skenario

Karya Novel :
Dikejar Dosa (1970),
Budak dan Budak(1975),
Misteri Perawan Kubur,
Kekasih yang Hilang,
Istriku Sayang Istriku Jalang, Lembutnya Dosa Kotor, Cinta,
Impian Seorang Janda, Penyesalan Seumur Hidup, Perempuan Tanpa Dosa,
Kekasih Hatiku,
Dikejar Dosa,
Penghuni Hutan Parigi (1988),
Pemuja Setan (1988),
Menebus Dosa Turunan (1989),
Penjelmaan Berdarah (1989),
Sumpah Berdarah (1989),
Sumpah Leluhur (1989),
Manusia Srigala,
Misteri Anak-Anak Iblis,
Langkah-Langkah Iblis,
Tarian Iblis,
Panggilan Neraka,
Misteri Perawan Kubur ,
Dendam Berkarat Dalam Kubur (1989),
Babi Ngepet (1990),
Suara Dari alam gaib (1990)

Pionir novel gotik modern di Indonesia ini lahir di Sipirok, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, 17 Juli 1943. Penggemar roman Motinggo Busye itu sudah mengarang fiksi sejak duduk di bangku sekolah menengah atas. Ketika kuliah di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Bandung, Jurusan Civic Hukum (tidak tamat), ia mulai mengarang cerita pendek, yang beberapa kali diterbitkan di harian Indonesia Jaya dengan redaktur Ali Shahab.

Ketika kuliah ia juga terjun ke dunia jurnalistik sambil bekerja sebagai wartawan di harian Gala, Bandung. Selanjutnya menjadi wartawan di Selekta Group, yang menerbitkan majalah Senang, Stop, Detektif dan Romantika, dan Selekta di Jakarta. Di sini Abdullah kerap meliput peristiwa kriminal, yang akhirnya mempengaruhi gaya penulisan novelnya.

Pada 1970-an itu, ketika pasar buku Indonesia dibanjiri novel populer bertema percintaan, yang sudah dirintis Motinggo Busye pada awal 1960-an. Serta kemunculannya beberapa perempuan pengarang pada masa ini, seperti Marga T, La Rose, Yati Maryati Wiharja, Marianne Katoppo, dan Titiek W.S, rupanya membuatnya ikut terseret arus besar ini. Ia tergolong produktif dalam menghasilkan cerita pendek dan cerita bersambung yang dimuat di media anggota Selekta Group. Cerita bersambungnya kemudian dibukukan oleh Selekta dan beberapa penerbit lain dari kelompok Pasar Baru sebelum akhirnya diterbitkan oleh Gultom Agency.

Abdullah mengaku telah menerbitkan sekitar 50 judul novel pada dekade itu, seperti Kekasih yang Hilang, Istriku Sayang Istriku Jalang, Lembutnya Dosa Kotornya Cinta, Impian Seorang Janda, Penyesalan Seumur Hidup, Perempuan Tanpa Dosa dan Kekasih Hatiku. Buku-bukunya tersebut dicetak dalam format buku saku murahan. Sampulnya selalu dihiasi gambar perempuan cantik yang kadang ditemani seorang lelaki. Tercatat beberapa karya novelnya tersebut ada yang di angkat ke layar lebar yakni Penyesalan Seumur Hidup dan Perempuan Tanpa Dosa. Bahkan film Penyesalan Seumur Hidup menjadi unggulan Festival Film Indonesia 1987.

Namun tidak semua masyarakat Indonesia menyukai dan menerima kehadiran buku novel karyanya tersebut, karena sebagian masyarakat menuding novel-novelnya tersebut terlalu banyak menyuguhkan adegan ranjang. Abdullah mengakui bahwa di masa itu dia, Ali Shahab, dan Motinggo kerap disebut penulis porno. "Pada masa itu Ali Shahab pernah menulis tentang tante girang, saya menulis om senang," kata Abdullah, yang berkawan dengan kedua pengarang tersebut.

Satu karya Abdullah bahkan sempat dibawa ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan tuduhan pornografi pada 1975. Karya itu berupa cerita bersambung Budak dan Budak, yang dimuat di majalah Mayapada. Tokoh cerita itu seseorang yang hiperseksual dan tentu saja di situ ada adegan seksnya. Namun berkat pembelaan ‘Paus Sastra’ H.B. Jassin yang tampil sebagai saksi ahli dan menilainya sebagai karya sastra. "Adegan seks itu untuk menunjukkan penyakit' sang tokoh, kalau tidak ada penggambaran itu, karakter itu hilang," ujar Jassin. Berkat pembelaan Jassin tersebut, dakwaan atas karya itu akhirnya dicabut.

Selain menulis novel bertema percintaan, Abdullah juga membuat novel misteri, novel gotiknya yang pertama yakni Dikejar Dosa, dimuat di tabloid Stop pada awal 1970-an yang kemudian diangkat ke layar lebar oleh sutradara Wim Umboh. Sejak 1975, ia sepenuhnya meninggalkan roman bertema percintaan dan menulis sekitar 70 judul cerita horor. "Dalam novel misteri, saya lebih leluasa menulis. Pada roman itu ada tata dan logika yang harus dijaga, sedangkan dalam menulis misteri kita bisa suka-suka, sepuas-puas hati," ujarnya. Bukunya antara lain Sumpah Leluhur, Manusia Serigala, Menebus Dosa Turunan, Dendam Berkarat dalam Kubur, Misteri Anak-anak Iblis, Langkah-langkah Iblis, Tarian Iblis, Panggilan Neraka, dan Babi Ngepet.

Novelnya tersebut dicetak dalam format buku saku setebal 100-300 halaman. Tahun terbit jarang disebut dan tanpa ISBN. Sampulnya biasanya bergambar perempuan cantik dengan dandanan seksi dan manusia berwajah seram atau makhluk yang menakutkan. Menurut Abdullah, ia bisa menyelesaikan satu novel dalam satu bulan. Namun, jika ia sedang tidak mood, walau sudah sampai halaman 60, ia bisa berhenti dan merobek naskahnya. Sering pula ia dikejar tenggat untuk menyelesaikan ceritanya karena penerbit sudah membayar di muka.

Alur ceritanya sering bergaya detektif. Banyak menggali bahan novelnya dari cerita-cerita orang atau legenda yang hidup di suatu daerah. Menggunakan metode wawancara dalam setiap penelusurannya. Pola ini dia terapkan karena pengalamannya sebagai wartawan kriminal yang mengenal lika-liku penyelidikan polisi.

Tahun 1990-an, ia mulai berhenti menulis novel, meski tidak total dan mulai beralih membuat skenario untuk siaran televisi, khususnya yang bertema roman dan horor. Sejak itu pula novelnya mulai langka di pasaran. Di tahun 2010 beberapa anak muda yakni Intan Paramaditha, Eka Kurniawan dan Ugoran Prasad saling berkolaborasi membuat suatu proyek pembacaan kembali karya Abdullah yang di gelar di TIM. Gairah terhadap genre horor ini kemudian disambut pula oleh Paradoks, anggota Kelompok Kompas Gramedia, dengan meluncurkan Misteri Perawan Kubur, karya lama Abdullah.

Kini ia menetp di Bandung, Jawa Barat, dan sesekali masih menulis kisah-kisah horror untuk skenario televisi Tahun 2001, stasium televisi TPI/MNCTV pernah mengangkat karyanya dalam acara serial TV Misteri. Selain itu, namanya juga menjadi salah satu merek kitsch cool yang sangat digemari.


Beda dengan temannya Ali Sahab dan Motinggo, yang merambah ke dunia film menjadi sutradara. Ia konsisten dengan menulisnya.

+++++++
KEDAI buku beratap seng itu terletak di bagian dalam pasar buku Pasar Senen, Jakarta. Tanpa papan nama, seperti kebanyakan kedai buku di sana.

Sebuah meja besar memenuhi kedai itu. Di atasnya bertumpuk buku teka-teki silang yang biasa dijajakan pengasong di terminal. Beberapa novel remaja murahan tertata di salah satu rak. Di dinding lain ada beberapa komik tipis Petruk-Gareng dan novel horor Mira Karmila yang sudah berdebu.

Kedai buku itu dulu sangat terkenal di Senen. Inilah Gultom Agency, penerbit yang pada 1990-an mencetak dan mengedarkan novel-novel horor karya Abdullah Harahap. "Itu buku lama, Bang. Sudah tak ada lagi di sini," kata seorang lelaki penjaga kedai itu pada Senin dua pekan lalu.

Novel horor Abdullah kini menjadi barang antik yang langka. Tak mudah menemukannya di lapak-lapak pedagang buku. Kalau beruntung, Anda masih bisa mendapatkannya terkubur di antara buku-buku loakan. Beberapa penjaga lapak memperlakukannya sebagai buku kuno yang harganya bisa empat kali lipat harga buku saku biasa. Bahkan ada yang mengira pengarangnya sudah lama meninggal karena tak ada lagi buku barunya yang terbit.

Tapi, "Akhir-akhir ini Abdullah kembali hip, sebagai salah satu merek kitsch cool yang digemari kaum menengah, terutama di Jakarta," kata Mikael Johani, mantan editor Metafor Publishing dan Jurnal Perempuan, yang menjadi pembicara dalam "Bincang Tokoh Abdullah Harahap" yang digelar Dewan Kesenian Jakarta di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Sabtu tiga pekan lalu. Banyak anak muda Jakarta, kata Mikael, kini kembali memburu novel Abdullah bersama roman-roman Fredy S. dan Maria Fransiska layaknya harta karun dan mengunggahnya di Twitpic.


YANG LAIN
Penggemar roman Motinggo Busye itu sudah mengarang fiksi sejak duduk di bangku sekolah menengah atas. Ketika kuliah, dia mengarang cerita pendek, yang beberapa kali diterbitkan di harian Indonesia Jaya dengan redaktur Ali Shahab-pengarang roman yang belakangan lebih dikenal sebagai sutradara drama serial televisi Rumah Masa Depan.

Karier jurnalistiknya dimulai sebagai reporter di harian Gala, dan akhirnya menjadi wartawan di Selekta Group, yang menerbitkan majalah Senang, Stop, Detektif dan Romantika, dan Selekta di Jakarta. Di sini Abdullah kerap meliput peristiwa kriminal, yang akan mempengaruhi gaya penulisan novelnya.

Pada 1970-an itu, pasar buku Indonesia dibanjiri novel populer bertema percintaan, yang sudah dirintis Motinggo Busye pada awal 1960-an. Beberapa perempuan pengarang muncul pada masa ini, seperti Marga T., La Rose, Yati Maryati Wiharja, Marianne Katoppo, Titiek W.S., Maria A. Sardjono, Mira W., Titie Said, dan Ike Supomo. Adapun lelaki pengarang antara lain Motinggo, Ashadi Siregar, Ali Shahab, Asbari Nurpatria Krisna, Eddy D. Iskandar, Yudhistira Adhi Nugraha, Remy Sylado, Teguh Esha, dan Saut Poltak Tambunan.

Abdullah rupanya terseret arus besar ini dan tergolong produktif dalam menghasilkan cerita pendek dan cerita bersambung yang dimuat di media anggota Selekta Group. Cerita bersambungnya kemudian dibukukan oleh Selekta dan beberapa penerbit lain dari "kelompok Pasar Baru". Dia mengaku telah menerbitkan sekitar 50 judul novel pada dekade itu, seperti Kekasih yang Hilang, Istriku Sayang Istriku Jalang, Lembutnya Dosa Kotornya Cinta, Impian Seorang Janda, Penyesalan Seumur Hidup, dan Kekasih Hatiku.

Menurut Abdullah, sebelum diterbitkan Gultom Agency, buku-bukunya diterbitkan jaringan perbukuan yang disebut "kelompok Pasar Baru". Tapi kelompok yang bermarkas di Pasar Baru, Jakarta, itu kini sudah tak ada. Menurut para pedagang buku, bos kelompok itu sudah pindah usaha ke perdagangan valuta asing.

Buku-buku itu dicetak dalam format buku saku murahan. Sampulnya selalu dihiasi gambar perempuan cantik yang kadang ditemani seorang lelaki. Pada Penyesalan Seumur Hidup, yang difilmkan dan menjadi unggulan Festival Film Indonesia 1987, sampulnya juga disertai iklan "Artis terbaik Dewi Yull mengatakan: Jika tidak membaca buku ini, Anda akan menyesal seumur hidup".

Dalam Novel Populer Indonesia (1985), Jakob Sumardjo menyebut Abdullah sebagai pengekor Motinggo dalam mempopulerkan novel percintaan dengan melukiskan seksualitas yang lebih terbuka dan kisah asmara yang manis serta menyisipkan tema gotik. Jakob menilai beberapa karya Abdullah sebenarnya memiliki teknik bercerita dan gaya penyampaian yang matang, tapi mungkin karena ia terlalu produktif, beberapa karyanya tergelincir menjadi kekanakan dan berbau penulis pemula.

Sebagian masyarakat menuding novel-novel populer ini terlalu banyak menyuguhkan adegan ranjang. Abdullah mengakui bahwa di masa itu dia, Ali Shahab, dan Motinggo kerap disebut penulis porno. "Pada masa itu Ali Shahab pernah menulis tentang tante girang, saya menulis om senang," kata Abdullah, yang berkawan dengan kedua pengarang tersebut.

Tapi Jakob menilai novel dekade itu jauh lebih sopan ketimbang buku saku 1960-an. "Novel-novel ini tidak berbahaya dalam arti tidak membangkitkan berahi'," tulisnya.

Namun satu karya Abdullah sempat dibawa ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan tuduhan pornografi pada 1975. Karya itu berupa cerita bersambung Budak dan Budak, yang dimuat di majalah Mayapada. Tokoh cerita itu seseorang yang hiperseksual dan tentu saja di situ ada adegan seksnya.

Paus Sastra H.B. Jassin tampil sebagai saksi ahli dan menilainya sebagai karya sastra. "Adegan seks itu untuk menunjukkan penyakit' sang tokoh. Seperti kata Jassin, kalau tidak ada penggambaran itu, karakter itu hilang," ujar Abdullah. Berkat pembelaan Jassin, dakwaan atas karya itu dicabut.

Abdullah sebenarnya dapat disebut sebagai pionir novel gotik modern. Di Indonesia, novel-novel yang mengangkat tema dunia gaib ini lazim disebut "novel misteri", istilah yang juga digunakan Abdullah untuk menyebut karyanya. Ketika novel-novel Abdullah diangkat ke layar televisi TPI pada 2001, nama acaranya pun Teve Misteri.

Penyebutan ini menyimpang dari definisi umum dalam teori sastra. Novel misteri umumnya dikaitkan dengan atau menjadi bagian dari novel detektif, seperti kisah-kisah karya Alfred Hitchcock dan sepak terjang detektif Sherlock Holmes rekaan Sir Arthur Conan Doyle.

Sedangkan novel bertema dunia gaib biasanya dimasukkan ke keranjang novel gotik, yang diperkenalkan oleh pengarang Inggris, Horace Walpole, lewat novel Castle of Otranto (1764). Disebut gotik karena novel-novel itu biasanya berlatar kastil atau biara dengan lorong-lorong gelap bawah tanah, ruang tersembunyi, dan pintu-pintu jebakan. Unsur kengerian dan kekerasan kerap menjadi menu utamanya.

Contoh karya klasik dari genre ini adalah Frankenstein karya Mary Shelley dan Dracula karya Bram Stoker. Adapun pengarang masa kini yang meneruskan tradisi itu antara lain Stephen King dan Anne Rice.

Dalam perkembangannya, genre ini bercampur dengan genre lain. Khusus di Indonesia, genre ini bersilangan dengan genre cerita silat, seperti serial Manusia Harimau karya S.B. Chandra atau serial Tujuh Manusia Harimau karya Motinggo Busye.


NOVEL
Novel gotik pertama Abdullah adalah Dikejar Dosa, yang dimuat di tabloid Stop pada awal 1970-an dan diangkat ke layar lebar oleh sutradara Wim Umboh. Sejak 1975, dia sepenuhnya meninggalkan roman bertema percintaan dan menulis sekitar 70 judul cerita horor.

"Dalam novel misteri, saya lebih leluasa menulis. Pada roman itu ada tata dan logika yang harus dijaga, sedangkan dalam menulis misteri kita bisa suka-suka, sepuas-puas hati," katanya.

Tindakan para tokoh dalam novel horor tak harus sesuai dengan akal sehat, karena melibatkan dunia arwah, yang mengizinkan tokoh-tokohnya melangkah melampaui kodrat manusia. Bukunya antara lain Sumpah Leluhur, Manusia Serigala, Menebus Dosa Turunan, Dendam Berkarat dalam Kubur, Misteri Anak-anak Iblis, Langkah-langkah Iblis, Tarian Iblis, Panggilan Neraka, dan Babi Ngepet.

Novel itu dicetak dalam format buku saku murahan setebal 100-300 halaman. Tahun terbit jarang disebut dan tanpa ISBN. Sampulnya biasanya bergambar perempuan cantik dengan dandanan seksi dan manusia berwajah seram atau makhluk yang menakutkan.

Menurut Abdullah, dia bisa menyelesaikan satu novel dalam satu bulan. "Tapi, kalau enggak in, biar sudah sampai halaman 60, saya bisa berhenti dan merobek naskah itu," ujarnya.

Tapi sering juga dia dikejar tenggat untuk menyelesaikan ceritanya karena penerbit sudah membayar di muka. Penerbit pun tak peduli pada kualitasnya. "Yang penting nama Abang ada di sana," kata satu penerbit kepada Abdullah.

Abdullah kebanyakan menggali bahan novelnya dari cerita-cerita orang atau legenda yang hidup di suatu daerah. "Kalau saya dengar ada cerita yang menarik di suatu tempat, saya datang ke sana," ujarnya.

Metode wawancara kerap dia gunakan, misalnya bertanya kepada dokter ahli untuk mendapat penjelasan soal penyakit tertentu atau kepada pengacara untuk kasus tertentu.

Novel Abdullah biasanya berbicara tentang kutukan yang jatuh pada seseorang atau mengenai arwah penasaran yang terus melakukan pembunuhan hingga dendamnya terbalas. Lalu ada tokoh lain, sering kali wartawan, yang melacak asal-usul kutukan itu dan dibantu dukun untuk membebaskannya. Alur ceritanya sering bergaya detektif. Pola ini dia terapkan karena pengalamannya sebagai wartawan kriminal yang mengenal lika-liku penyelidikan polisi.

Misteri Perawan Kubur, misalnya, berpusat pada Larasati, perempuan yang menyebabkan matinya beberapa penduduk Desa Cikalong Wetan di kaki Gunung Galunggung. Warga desa membunuhnya dan mengubur mayatnya. Rupanya, perempuan itu memiliki kekuatan gaib yang dapat memindahkan rohnya ke orang lain. Dengan cara itu, ia terus hidup dan membunuh banyak orang. Kasus ini dilacak wartawan Ramandita.

Abdullah melihat banyak masalah di dunia nyata, seperti kasus yang tersangkut di Komisi Pemberantasan Korupsi dan kejaksaan, tak pernah tuntas.

Sebagai berita, masalah itu mungkin akan berhenti di satu titik dan akan raib karena tak ada yang bertindak. "Kalau saya tulis di novel, bisa kita bunuh saja para penjahat itu, kita kirim saja hantu-hantu," katanya.


Abdullah berhenti menulis novel,
meski tidak total, pada 1990-an dan sibuk membuat skenario untuk siaran televisi, khususnya yang bertema roman dan horor. Sejak itu pula novelnya mulai langka di pasaran.

Pasar novel horor lalu diisi beberapa pengarang baru, seperti Tara Zagita (Kereta Hantu dan Misteri Roh Jalangkung), Taufan Halilintar (Misteri Gadis Impian), Maya Lestari (Kutukan Sang Roh dan Misteri Dukun Santet), Teguh S. (Manusia Penghisap Darah dan Misteri Pena Berdarah), Maria Fransiska (Arwah Penasaran), dan Mira Karmila (Dendam Keturunan Setan dan Jeritan Hutan Keramat). Karya mereka umumnya masih mentah dan lebih banyak mengumbar kengerian. Jalan ceritanya polos dan penokohannya lemah.

Lima tahun terakhir, muncul satu nama yang memasuki genre ini, yakni Sekar Ayu Asmara, lewat Pintu Terlarang dan Kembar Keempat-keduanya diterbitkan Gramedia. Sekar lebih elegan dalam bercerita, kaya dalam penokohan, dengan plot lebih rumit. Temanya tak melulu soal arwah penasaran, tapi juga alam pikiran penderita skizofrenia dan inses.

Lalu muncul Intan Paramaditha dengan kumpulan cerita pendek Sihir Perempuan. Intan kemudian berkolaborasi dengan Eka Kurniawan dan Ugoran Prasad dalam proyek pembacaan kembali karya Abdullah. Karya mereka sebelumnya dimuat di lembar sastra beberapa koran. Setelah tujuh bulan, mereka melahirkan kumpulan cerpen Budak Setan, yang menampilkan keragaman tema dan teknik bercerita dalam cerita horor.

Gairah terhadap genre horor ini disambut Paradoks, anggota Kelompok Kompas Gramedia, dengan meluncurkan Misteri Perawan Kubur, karya lama Abdullah, yang dilabeli "edisi terbatas" pada bulan lalu. "Akan diterbitkan juga Misteri Sebuah Peti Mati dan Misteri Lemari Antik. Ini langkah awal. Nanti kami terbitkan pula buku lama dan buku baru saya," kata Abdullah.
Abdullah Harahap tampaknya telah bangkit dari kuburan buku loakan.


WAWANCARA.
Nama Abdullah Harahap mungkin tidak membunyikan lonceng di kalangan anak muda Indonesia, tetapi tanyakan siapa saja yang masih remaja di tahun 1970-an atau '80 -an, dan kemungkinan mereka dapat mengingat merasa ketakutan setelah membaca salah satu horor terlaris berusia 67 tahun yang laris. -misteri novel.

Sejak 1969, Abdullah telah merilis sekitar 130 buku (bahkan dia tidak yakin dengan jumlah pastinya), menjadikannya salah satu penulis paling produktif dalam sejarah.

Dia mendapat istirahat saat di sekolah menengah di Medan, ketika sebuah majalah lokal menerbitkan salah satu cerpennya.

Setelah menghabiskan waktu bersekolah di sekolah hukum dan bekerja sebagai jurnalis (pengalaman yang nantinya akan disaring ke dalam buku-bukunya), Abdullah memutuskan untuk beralih penuh waktu ke fiksi.

Dan walaupun dia terkenal karena horor, upaya pertamanya, cukup mengejutkan, dalam genre romansa. Dia memperkirakan bahwa sejak 1969 dia menulis sekitar 60 novel roman.

Perselisihan menghantui dengan korban perkosaan selama tahun-tahun kuliahnya mengilhaminya untuk mulai menulis horor di awal tahun 70-an. Buku-bukunya dengan cepat mulai terbang dari rak, dan penerbit mulai berjuang mati-matian untuk hak penerbitan.

Namun, popularitas harus dibayar mahal, dan Abdullah telah menghabiskan sebagian besar karirnya membela diri melawan pembajakan, plagiarisme, dan tuduhan pornografi.

Pada tahun 70-an, ia pergi ke pengadilan untuk membela salah satu kisahnya yang dianggap oleh pemerintah yang dipimpin Suharto sebagai pornografi. Dia dibebaskan berkat bantuan sarjana sastra terkemuka HB Jassin.

Tetapi kesusastraan Indonesia tidak selalu begitu mendukung, sering menyebut tulisan Abdullah sebagai "murahan."

Hari-hari ini, Abdullah menulis terutama untuk sinetron, tetapi merencanakan novel baru yang terinspirasi oleh keserakahan dan ketidakmampuan yang ia lihat di DPR.

The Jakarta Globe berkesempatan untuk duduk bersama penulis legendaris di rumahnya yang damai di Bandung untuk berbicara lebih banyak tentang kisah-kisah yang ditulisnya, hari-hari kejayaannya sebagai penulis terlaris dan pemikirannya tentang para kritikus.

Apa yang mengilhami Anda untuk mulai menulis cerita-cerita horor-misteri?

Ada seorang wanita dengan gangguan mental yang biasa berjalan-jalan di lingkungan tempat saya belajar hukum. Suatu hari saya mengetahui bahwa dia hamil.

Orang-orang mengatakan bahwa sekelompok pria memperkosanya. Saya tidak bisa mengerti bagaimana mereka bisa tega melakukan hal seperti itu padanya.

Berdasarkan itu saya menggunakan imajinasi saya: bagaimana jika dia membalas dendam pada mereka yang telah menyakitinya. Saya mengembangkannya menjadi cerita berjudul "Dikejar Dosa" ("Dikejar oleh Dosa").

Apakah orang menyukai ceritanya?

Iya. Sutradara film [Terkenal] Wim Umboh bahkan menghubungi saya dan membuat film.

Mengapa ceritamu disebut 'cheesy?'

Jujur, saya benar-benar tidak tahu. Tetapi saya sering disebut sebagai penulis Perancis versi Indonesia Emile Zola. Saya membaca buku-bukunya dan menemukan sesuatu yang sama di antara kami: tulisan kami menggunakan bahasa dan gaya yang mudah dicerna oleh pembaca.

Dan dalam satu publikasi, saya menemukan bahwa tulisannya sering diberi label "murahan." Jadi saya berasumsi bahwa itu karena cerita kita tidak sulit dibaca dan cenderung menghindari jargon.

Saya perhatikan bahwa semakin sulit dan rumit suatu tulisan untuk dibaca, orang akan menamakannya sastra. Di sisi lain, semakin mudah dan sederhana ceritanya untuk dibaca, orang-orang akan menandainya murahan.

Apakah labelnya membuat Anda marah?

Ya, karena saya merasa bahwa [kritikus sastra] hanya menilainya dari satu sisi. Mereka tidak melihat sudut lain tulisan saya. Saya memasukkan banyak masalah sosial, interaksi manusia dan nilai-nilai moral lainnya ke dalam cerita saya.

Tapi kemudian saya berpikir, mengapa saya harus peduli dengan labelnya? Saya menulis agar orang-orang menikmati buku-buku saya dan untuk mengetahui apa yang terjadi di sekitar mereka, tidak membuat hidup mereka sulit, berusaha keras untuk memahami setiap kalimat yang saya tulis.

Sekarang, beri tahu saya, apa sastra dan apa batasannya?

Apa yang terjadi di awal tahun 70-an ketika Anda dituduh menulis cerita porno?


Majalah Mayapada membuat serial cerita saya berjudul “Budak dan Budak” (“Seorang Budak dan Budak”) dalam beberapa edisi.

Dalam satu angsuran, saya menggambarkan satu karakter, seorang pria, yang sedang dirawat oleh seorang wanita yang membiayai hidupnya, seperti biaya kuliah dan barang-barangnya.

Pada saat yang sama, pria itu merasa seolah-olah dia adalah budak wanita itu, termasuk dalam seks. Dan saat itulah cerita itu dianggap porno.

Kementerian Informasi pada waktu itu sangat ketat. Apa pun yang berhubungan dengan seks dan tindakan yang dianggap melawan pemerintah dengan cepat mengundang reaksi dari mereka.

Bagaimana Anda mengalahkan tuduhan itu?

Terima kasih kepada HB Jassin, yang menjadi [saksi ahli] di pengadilan. Dia mengatakan bahwa hal seperti itu tidak dapat dianggap porno, dan bahwa apa yang saya jelaskan diperlukan dalam cerita.

Dan jika itu tidak ada di sana, itu tidak akan membuat cerita. Dan kemudian mereka membebaskan saya.

Anda adalah kesayangan banyak penerbit selama bertahun-tahun. Kenapa begitu?

Setiap buku misteri-horor yang saya tulis yang mereka terbitkan segera terjual habis di pasaran dan perlu dicetak ulang hanya dalam beberapa bulan.

Mereka mendekati saya untuk meminta saya mengirimkan skrip saya dan kemudian mereka akan menerbitkannya.

Anda mengatakan dua orang mengadopsi nama pena yang mencurigakan mirip dengan milik Anda untuk membuat pembaca membeli buku mereka. Bagaimana itu bisa terjadi?

Ketika saya mengalami stroke pada tahun 1991, saya tidak bisa menggerakkan tangan kiri saya dan harus berhenti menulis selama tiga tahun. Selama ketidakhadiran saya, tidak ada buku baru dari saya.

Penerbit perlu mempertahankan bisnis. Dan yang mereka lakukan adalah membuat orang lain menulis tema yang sama dan menyalin gaya saya.

Yang lebih mengerikan, mereka mengubah nama mereka agar terdengar seperti Abdullah Harahap.

Seorang lelaki, seorang Sunda yang bekerja sebagai guru matematika, memakai nama Nasrullah Harahap, sementara lelaki lain, seorang Betawi, menjadi Abdullah Siregar. Masing-masing berhasil menerbitkan lima dan tiga buku, masing-masing.

Apa reaksimu?

Saya mengetahuinya dan mencari mereka, meskipun saya masih sakit. Mereka meminta maaf kepada saya. Bagi saya, itu tidak akan menjadi masalah jika mereka menggunakan nama mereka sendiri, tetapi ini mengerikan.

Apa beberapa kelemahan lain dari ketenaran Anda?

Sekelompok penerbit yang dikenal sebagai Grup Pasar Inpres berhasil memikat saya untuk meninggalkan grup penerbitan saya sebelumnya. Mereka berkata, “Kami juga dari Sumatera Utara dan dari agama yang sama.” Ternyata mereka menghancurkan buku-buku saya.

Apa yang kamu maksud dengan dihancurkan?

Mereka mencetaknya pada kertas berkualitas buruk, mengurangi cerita dan mencetak lebih banyak salinan daripada yang kami sepakati. Kami memiliki kesepakatan untuk mencetak 8.000 tetapi di belakang saya mereka mencetak hingga 30.000.

Saya mengetahuinya ketika, bahkan setelah satu tahun, tidak ada permintaan untuk dicetak ulang. Itu sangat tidak biasa.

Namun, yang benar-benar membuat saya geram adalah mereka menambahkan bagian seks pada apa yang saya tulis. Kisah-kisah itu menjadi sangat vulgar.

Saya mengancam akan membawa kasus ini ke pengadilan jika mereka tidak menarik semua buku dari pasar. Itu tidak bisa dipercaya.

Seorang teman dekat juga menipu saya. Dia mencetak hingga 20 judul buku saya dan menjualnya di Malaysia, Brunei dan Singapura tanpa meminta izin.

Mereka mengubah nama saya sebagai penulis dan juga mengubah bahasa menjadi bahasa Melayu. Tapi cerita-ceritanya, dari A hingga Z, persis sama.

Apa reaksimu?

Saya terdiam. Namun, saya tidak pernah ingin berurusan dengan hukum, jadi saya tidak pernah melaporkan semua kejahatan terhadap saya.

Anda telah menulis banyak cerita horor-misteri. Apakah Anda sendiri seorang pemberani, dalam arti Anda tidak takut pada hantu?

Saya takut hantu [tertawa]! Saya belum pernah melihat mereka tetapi karena apa yang saya tulis saya menjadi takut. Sangat sering ketika saya menulis, saya benar-benar takut pada karakter yang saya gambarkan. Ketika itu terjadi, saya berhenti menulis dan beristirahat.

Apa yang kamu takutkan?
Saya merasakan sesuatu atau seseorang sedang menonton dan siap untuk menyerang saya. Suatu kali saya melompat dari tempat duduk saya ketika saya sedang menggambarkan sesuatu yang menakutkan dan lampu padam.

Saya menelepon istri saya dan menyalakan tiga lilin dan tidak membiarkannya meninggalkan saya.

Apa harapanmu?

Setiap kali saya berdoa, saya meminta Tuhan untuk memberikan saya kesehatan dan kekuatan. Tidak hanya fisik dan kekuatan dalam iman saya, tetapi juga kekuatan untuk dapat menggunakan imajinasi saya [untuk menulis] seperti apa yang telah diberikan kepada saya selama ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar