Minggu, 30 Januari 2011

OPERASI TINOMBALA / 1977

Dari peristiwa nyata.



Film Operasi Tinombala (1977) adalah film Indonesia pertama yang gambarnya diambil dengan kamera Panavision.

Film ini ingin mengungkapkan kembali peristiwa jatuhya pesawat WNA di gunung Tinombala setahun sebelumnya. Pemaparan cerita tidak lebih dari apa yang terungkap dalam harian dan majalah. Sutradara lebih menonjolkan mekanisme kerja SAR dan pemandangan di gunung. Kecemasan keluarga yang menunggu, usaha pencarian korban kurang diperhatikan. Film ini cukup baik sat itu, dan ini film berdasarkan dari kisah nyata sebuah kecelakaan pesawat. Tentu banyak orang yang ingin menontonnya.

P.T. BINA BUDAYA FILM
P.T. JATI FILM JAYA
News
23 April 1977
SAR: Biar Lambat, Asal ..

PRESIDEN Soeharto, yang menaruh perhatian khusus sejak mula, pekan lalu menyatakan kagum. Menteri Perhubungan Emil Salim memuji. Dan banyak orang menunjukkan penghargaan kepada para anggota tim SAR dalam mencari dan menolong mereka yang nyaris hilang dalam kecelakaan pesawat Twintter MNA di Gunung Tinombala. Ini adalah usaha SAR yang terbesar selama ini. Hampir sebulan lamanya, telah dikerahkan satu heli raksasa Puma dan 4 buah heli biasa dari jenis Allouette dan Bolkow. Turut serta hampir 50 orang anggota pasukan Kopasgat dan Linud yang didatangkan dari Jakarta, Bandung dan Ujung Pandang. Juga: kesatuan Kodim setempat, 40 orang yang dipimpin Pelda Mathius. Memasuki minggu ke-4 setelah kecelakaan 29 Maret itu, dari 23 orang (penumpang dan awak), tercatat 12 orang meninggal dunia, 10 orang selamat dan seorang lagi belum ditemukan. Mereka yang meninggal adalah: Husni Alatas, Harsoyo, Nyonya Kim Peng, Nyonya Chaerul Tiwi, Nyonya Teki Andaya, Nyonya Tini Angjaya, Jani Angjaya, Mety Anaya, Sumarto Kolopaking, kapten pilot Ahmad Anwar dan juru mesin Irawan. Mereka yang hidup: Hasan Tawil, Haji Saleh Midu, Han Tek Lay, Hartono, dr. Dwiwahyono, Suryadianto, Nyonya Husni Alatas, Munzir Hanafi, Sugiono serta ko pilot Masykur. Menurut berita terakhir dari Palu, seorang penumpang yang masih belum diketahui nasibnya (karena meninggalkan pesawat) adalah Teki Anaya, seorang pengusaha dari Gorontalo. Tapi toh, kerja tim SAR tak dapat dikatakan cepat.

Adanya sejumlah orang yang mati bukan karena luka, tapi karena terlalu lama tak tertolong dan kelaparan, merupakan inti tragedi kisah ini. Mungkin sadar akan kelambatan kerja SAR, keluarga Teki Andaya mencoba mempercepat pencarian. Mereka mengadakan sayembara berhadiah. Mula-mula dijanjikan hadiah Rp 500.000 bagi yang menemukan Teki dalam keadaan hidup. Pasaran melonjak cepat kemudian, jadi Rp 5 juta. Ternyata usaha ini ditangguk orang-orang yang suka duit. Tiap calon pencari diberi uang bekal rata-rata Rp 15.000, tapi di antara mereka ada yang cuma berputar-putar sedikit di hutan, lalu kembali lagi dengan laporan: "belum berhasil". Dan minta bekal lagi. Tak salah lagi: lokasi sulit, cuaca buruk dan SAR kurang peralatan. Dirjen Perhubungan Udara, Kardono, sendiri tiba-tiba berkata: "Peralatan SAR perlu mendapat perhatian, personalia harus dididik secara baik dan teliti". Mungkin suara ini tak perlu dianggap baru - meskipun tetap benar. Sejak 22 tahun yang lalu, ketika Dewan Penerbangan pertama kali terbentuk, soal SAR ini sudah jadi fikiran. Usaha ini dilanjutkan di tahun 1959 oleh beberapa orang pejabat penerbangan sipil dan militer. Sayang lama tak berkelanjutan. Tak ada biaya. Tahun 1970 lahiir pilot proyek SAR Jakarta dengan mendirikan Pusat Kordinasi Rescue yang kemudian berubah menjadi Kantor Kordinasi Rescue (PKR). Dua tahun berikutnya (1972) melalui Keputusan Presiden organisasi ini lebih disempurnakan dengan lahirnya Badan SAR Indonesia (BASARI).

Badan ini merupakan kerjasama antar departemen yang bertugas mengkordinir pencarian dan pemberian pertolongan sesuai dengan peraturan SAR internasional. Tahun 1974 sebagai badan pelaksana dari BASARI, didirikan Pusat SAR Nasional (PUSARNAS) di tingkat pusat. Untuk tingkat wilayah dibentuk Kantor Kordinasi Rescue (KKR). Pusarnas yang dipimpin Marsekal Pertama Dono Indarto bertanggungjawab kepada Meteri Perhubungan. Pembiayaan Basari, administratif maupun operasionil jadi beban anggaran Departemen Perhubungan. Sedangkan pembinaan unsur-unsur SAR menjadi tanggung jawab masing-masing departemen atau instansi yang bersangkutan. Menurut Kolonel (Pol) Tono Amboro, Komandan Komando Satuan Udara, Polri (salah satu unsur Pusarnas) hingga kecelakaan di gunung Tinombala itu terjadi Pusarnas memang baru berfungsi sebagai kordinator saja. "Belum punya pesawat satupun", katanya. Menurut Tono, tak ada salahnya bila Pusarnas memiliki pesawat sendiri. "Ada satu saja sudah lumayan, asal pesawat mutakhir dan betul-betul merupakan versi untuk SAR", tambahnya. Sementara itu menurut Letkol (U) Q. Soenarto, Kepala Bidang Operasi Pusarnas pesawat khusus SAR itu sangat mahal dan hanya dapat dibeli berdasarkan pesanan. Pesawat ini dilengkapi radar pencari yang dalam jarak 5 menit dapat melihat benda kecil. Juga dilengkapi lampu kabut dengan pilot yang harus memakai kacamata infra merah. Soenarto mengakui Pusarnas masih serba kekurangan. Selain tak punya pesawat, katanya, alat-alat komunikasi masih kurang. Juga jumlah personil sangat tak memadai. "Jumlah personil yang minimalpun kami tak punya", tutur Soenarto.

Sementara itu, menurut sumber TEMPO yang tak mau disebut namanya bila saja waktu kecelakaan Twin Otter itu terjadi Pusarnas sudah memiliki satu saja pesawat SAR plus dana dan personil yang cukup, penanggulangan musibah itu tak akan mencapai belasan hari. Meskipun kemudian Menteri Perhubungan Emil Salim memuji hasil kerja tim SAR sebagai "prestasi yang gemilang", namun saat-saat kritis bukannya tak pernah dialami. Terutarna ketika berkali-kali usaha penerjunan pasukan dan usaha lewat darat ke tempat kecelakaan gagal. Pada saat inilah baru terlintas di kepala pimpinan SAR untuk meminta bantuan dari Wanadri, itu perhimpunan pemuda pendaki gunung. Terlintas juga fikiran untuk minta bantuan US Air Force yang berpangkalan di Pilipina. Tapi niat itu belum terlaksana. Yang nongol ialah seorang pilot Amerika, John Anderson, karyawan perusahaan minyak Arco di Tarakan, yang berpengalarnan di Perang Vietnam. Ia berhasil mengapungkan Allouette-nya di atas lokasi. Koptu Dominikus dan Serda Sunardi pun -- dari Kopasgat - turun melalui tali di pucuk pohon yang terletak 20 meter di bawah lewat seutas tali. Dari pohon sekitar 50 meter itu mereka meluncur. Mereka sampai pada 100 meter dari tempat pesawat jatuh. TAPI di tempat runtuhan pesawat itu, pekerjaan masih berat. Kedua anggota Kopasgat itu harus segera bekerja membuat landasan darurat heli (helipad) untuk pertolongan selanjutnya.

Tapi gergaji yang mereka bawa tiba-tiba macet di hari pertama, sedangkan luas helipad paling tidak harus 4 x 4 meter. Mendapat laporan tentang kesulitan membangun helipad ini, SAR sempat pula merancang satu usaha yang mirip usaha gila. Sekalipun helipad tak bisa dibangun, tapi pasukan sudah bisa turun ke tempat lokasi. Tim merencanakan penurunan pasukan yang lebih banyak. Tanpa helipad para korban akan diusahakan penyelamatannya melalui kursi yang dipasang di ujung tali yang menjulur dari pesawat yang mengapung di udara. Ke kursi itulah nantinya korban akan diusung dan diikatkan, lantas dikatrol ke heli. Untunglah rencana edan ini tak sempat terjadi. Tapi heli Allouette memang sempat latihan dengan usaha penyelamatan begini. Semangat pasukan penolong memang berkobar-kobar, sampai-sampai mereka agak lalai terhadap atasan. Anak buah Mayor Mulyono yang hendak turun ke lokasi dan memberikan bantuan dalam pembuatan helipad ternyata dilarang turun oleh Letnan Jopie sebagai instruktur. Dia melihat tehnik turun lewat tambang dari anak buah Mulyono tidak sempurna. Mereka agak kesal dengan peristiwa itu. Tapi ketika Emil Salim dan Dono Indarto sedang asyiknya menikmati papaya, pisang dan jagung bakar yang disuguhkan para transmigran Ongka pada siang hari 14 April, sekitar jam 13.35 waktu setempat, tiba-tiba ada panggilan dari radio SAR I dekat tempat kecelakaan. Dono mendapat laporan bahwa Mayor Mulyono sudah mencapai tempat kecelakaan setelah berjalan dua malam. Meletakkan gagang telepon itu, Dono kemudian duduk kembali dekat Emil Salim.

Perwira tinggi yang pendiam itu mengatakan kepada Menteri Perhubungan bahwa anak buahnya itu telah berangkat tanpa setahunya. Tetapi ketidak-disiplinan ini ternyata membawa buah jua. Merekalah yang menemukan Nyonya Tiwi dan empat korban lagi yang sudah meninggal di kaki gunung Tinombala. Merekalah yang membantu para korban itu diturunkan. Mereka membungkus dan mengikatkannya pada seutas tali sepanjang 60 meter yang dijulurkan dari pesawat heli. Dalam keadaan tergantung seperti itu mayat tadi dibawa terayun-ayun sampai ke Ongka Malino. Sebelum mencecah tanah jenazah itu disambut oleh pasukan dan cepat ditampung dengan tandu. Di perkampungan ini jenazah yang dibungkus kain selimut, plastik dan karung ditabur kopi untuk menghilangkan bau, dan selanjutnya di sebuah pos dimasukkan ke dalam peti jenazah setelah karungnya diganti dengan plastik. Dan diterbangkan ke tempat tujuan. Kedatangan Emil Salim di Ongka Malino 12 April membuat arah baru bagi rencana SAR semula. Kepada para keluarga korban yang datang menemuinya berkali-kali dia mengatakan: "Akan mengusahakan sekuat mungkin jenazah dibawa turun". Hal ini terutama dia ucapkan kepada Abdul Rachman Alatas, orang tua Husni Alatas. Sebab sebelum dia datang ke Toli-Toli keluarga besar Alatas di Toli-Toli & Palu mendengar berita bahwa korban akan dikubur di tempat kecelakaan. Direktur Utama MNA, Marsekal Muda Ramli Sumardi, berpakaian tempur, dengan pistol di pinggang terbang dan menginap di lokasi. Dia mengikuti proses penyelamatan jenazah dari pesawat yang malang tersebut. Seberapa besar kecelakaan ini makan ongkos MNA, belum diketahui. Frekwensi penerbangan perintis yang 2 kali seminggu jika dulu selalu padat penumpang, sejak kecelakaan hingga sekarang tinggal sedikit. Malahan menurut seorang agen penjualan karcis, satu kali pernah hanya ditumpangi 3 orang penumpang. Orang sekarang merasa lebih aman lewat laut.

Kecuali barangkali rute pesawat terbang akan dialihkan ke arah pantai barat, sebagaimana sudah direncanakan oleh Menteri Perhubungan. Dengan risiko 8 menit lebih lama. Tentu saja pesawat harus dilengkapi sebaik-baiknya. Sebab Twin Otter MNA yang celaka itu ternyata hanya membawa Parachute Flare Red yang sudah habis waktu bulan Pebruari 1974. Alat ini dalam kecelakaan bisa dipakai sebagai aba-aba minta bantuan. Kalau gagangnya dilepas dia akan melemparkan parachute yang membawa benda bersinar merah.

3 komentar:

  1. mana filmnya..?? tolong dong di upload....

    BalasHapus
  2. mana filmnya..?? tolong dong di upload...di tgu ya gan...

    BalasHapus
  3. pernah nonton filimnya saat masih kelas 3 SD, dan tidak pernah lagi sudah umur 37 tahun, tolong dong di share filimnya min🙏

    BalasHapus