Senin, 31 Januari 2011

NAPSU GILA / 1973

 


(Suzana) melamar jadi perawat jompo di Wisma Cikolot yang tempatnya  terpencil. Penghuni rumah jompo ini diantaranya Nurnaningsih mantan  bintang film yang filmnya tidak pernah sukses, mantan kapten kapal (Tan  Tjeng Bok) yang mempunyai hobi mengintip wanita. Sejak kedatangan Piah,  sering terjadi pembunuhan misterius terhadap penghuni rumah. Mula mula  Nurnaningsih mati tergantung. Piah menganggapnya gantung diri, tapi  Kapten kapal melihat Piah sebagai pembunuhnya. Kapten juga terbunuh,  tapi oleh Baron salah satu penghuni rumah jompo. Sementara itu Bisu  (Bissu) yang mencurigai Piah, akhirnya terbunuh juga. Polisi yang  menyelidiki akhirnya membuka tabir misteri, Piah lah yang melakukan  semua itu. Ia melarikan diri ke tempat itu karena telah membunuh ayah  angkatnya yang akan memperkosanya.

P.T. TIDAR JAYA FILM

DICKY SUPRAPTO
SUZANNA
BISSU
HUSIN LUBIS
NURNANINGSIH
TAN TJENG BOK
HABIBAH
NAOMIE M
ARIE SUPRAPTO
SYAMSUDIN SYAFEI
MENZANO
SOFIA AMANG

 
 
News 12 Oktober 1974
 Nafsu jompo(Nafsu Gila)

Film "nafsu gila" sutradara ali shahab, memiliki gambar-gambar yang  menarik tetapi elemen ceritanya belum digarap dengan baik. film ini lebih menampilkan kisah ribut di rumah gila    daripada tentang  orang-orang jompo.

Mudah-mudahan  tidak berlebihan, tapi saya ingin menyebut Nafsu Gila ini film  pertama yang memanfaatkan kemungkinan variasi sudut pemotretan sampai batas-batas terakhir. Suatu kemajuan, suatu prestasi. Memang. Tapi sebagian besar penonton juga tahu bahwa gambar-gambar indah saja tidak cukup memaksa kita untuk mengakui keberhasilan sebuah film. Gambar itu sendiri, meskipun elemen utama, tetap bukan elemen  tunggal dalam film. Terutama jika tontonan tersebut dibebani pula  dengan sebuah kisah. Dalam hal film Nafsu Gila, elemen cerita itulah yang justeru tercecer tak tergarap. Ali Shahab sebagai penulis cerita sebenarnya berniat berkisah tentang orang-orang jompo, tapi akhirnya yang muncul tidak lebih dari kisah ribut di rumah gila. Tingkah yang aneh-aneh para penghuni "Wisma Tjikoto" yang digambarkan oleh Ali Shahab memang bisa timbul dari kejompoan. Tapi  melihat fisik penghuni wisma itu, (perhatikan kekuatan berkelahi  Husin Lubis, Tan Tjeng Bok serta tubuh gempal Nurnaningsih) tidak  bisa lain: kumpulan orang-orang gila. Menjijikkan  Tidak cukup  dengan menggilakan tokoh-tokoh tua dalam wisma     tersebut, Ali Shahab  kemudian juga mengedankan tokoh Pia (Suzanna) yang datang ke wisma  itu sebagai pengasuh tunggal. Pia punya riwayat yang sudah amat  klise. Anak pungut dari keluarga  yang mandul, suatu malam sang ayah  angkat berhasrat menikmatinya. Ibu angkat yang menyaksikan kejadian  tegang itu. Sekali banting oleh Hadisyam Taha (bermain sebagai  ayah), mampus. Tapi Tahax juga mampus oleh tusukan tangkai payung  Pia. Karena membunuh, Pia melarikan diri ke Tjikoto yang terpencil itu. Entah bagaimana, di Tjikoto itu, Pia tiba-tiba menjadi pembunuh berdarah dingin. Dan adegan-adegan pembunuhannya itulah yang menjadi tontonan utama dalam film ini.

Sudah tentu dengan limpahan darah serta pose-pose yang meskipun kreatif, tapi ekor-ekornya bisa menjijikkan juga. Lantaran tokoh Pia itu toh sudah  ikut edan, memang tidak guna lagi menyiasati akhir cerita yang  berkesudahan dengan matinya Suzana di ujung peluru seorang pemburu  (atau barangkali juga polisi yang menyaru). Untungnya kegilaan yang  berlimpah ruah itu tidak pula sampai menghancurkan kemampupuan para  bintang tua yang dilumpuhkan Ali Shahab dalam film produksi PT Tidar Film ini. Bintang-bintang tua yang biasanya hanya mendapat  kesempatan muncul sebagai figuran, melahirkan karya Ali yang terbaru  ini, mereka nenunjukkan akting yang mengagumkam Terutama Tan Tjeng      Bok. 

Bintang sebelum perang ini bermain bahkan lebih baik dari pemunculannya di televisi dalam berbagai kesempatan melawak. Nurnaningsih yang memainkan dirinya sendiri, Bissu yang bermain sebagai ahli purbakala, Habibah sebagai nenek lumpuh, semua muncul dengan kepedihan yang kadang-kadang mengharukan, Husin Lubis, sebenarnya juga bisa bermain baik, tapi porsi permainannya yang  terlalu banyak berhubungan degan darah -- darah manusia maupun tikus  yang disantapnya tiap sarapan pagi menyebabkan berkurangnya simpati  pada dirinya. Ini terpulang juga pada Ali sebagai pengarang cerita. Bombasme yang mencuak di berbagai bagian adalal akibat langsung keinginan bersensasi sang sutradara. Memang suasana sensasionil yang timbul akibat pertemuan tokoh-tokoh di "Wisma Tjikoto" itulah yang menari Ali Shahab, bukan suatu kehidupan sosial yang melatar-belakanginya. Apalagi suatu kehidupan kejiwaan yang menjadi  inti soal-soal yang ia gambarkan. Ketimpangan macam ini rasanya  masih akan teru ada sepanjang Ali Shahab sendiri yang menulis kisah  untuk film-film yang dibikinnya. Kariernya sebagai penulis cerita  murahan yang laris itulah yang menjadi perintang baginya untuk bisa  menulis kisah-kisah yang hidup, manusiawi dan membumi. Sayang. Salim Said

Tidak ada komentar:

Posting Komentar