Senin, 31 Januari 2011

KARMILA / 1974

KARMILA


Film terlaris II di Jakarta, 1976, dengan 213.036 penonton, menurut data Perfin.
Kisah Karmila (Muriani Budiman), mahasiswi kedokteran yang hamil karena diperkosa Feisal (Awang Darmawan) dalam sebuah pesta. Gadis yang keras hati itu terpaksa kawin, meski pujaan hatinya tetap menyatakan kesediaannya menerima apa adanya. Ia juga sebenarnya menolak kehadiran anak yang dikandungnya itu. Feisal yang menyesal, berusaha mengubah watak dan sikap untuk menarik hati Karmila. Karmila berubah sikap ketika anaknya sakit gawat. Naluri keibuannya muncul dan ia kembali pada suami dan anaknya.

Dari novel laris berjudul sama yang pertama kali dimuat secara bersambung di Kompas. Film ini dipersengketakan di pengadilan oleh PT Citra Indah Film, salah satu produsernya, karena produser lain, PT Madu Segera Film dianggap menguasai sepenuhnya film yang sudah siap edar. Film ini tampaknya selaris novelnya, yang waktu film itu beredar sudah memasuki cetakan kedelapan dan mencapai angka 55.000 yang terjual. Sejak kebangkitan film nasional tahun 1970, film ini merupakan film kelima yang berhasil menembus dan bertahan lama di bioskop kelas atas. Empat film lainnya: Bernafas dalam Lumpur - Pengantin Remaja - Bing Slamet Koboi Cengeng - Ratapan Anak Tiri. 
 P.T. CITRA INDAH FILM
P.T. MADU SEGARA FILM

MURIANI BUDIMAN
AWANG DARMAWAN
MANG UDEL
NANI WIDJAJA
UMAR KAYAM
ROSIHAN ANWAR
CASSIM ABBAS
ROSALINE OSCAR
SRI WIDIATI


SEPERTI  bayi yang terlahir dan keadaan sulit film Karmila yang tersendat-sendat pembuatannya, diharapkan akan dapat mengeruk kantong penonton. Harapan  siapa? Eltahlah, karena siapa pemilik kopi-kopi film itu belum lagi  ketahuan. Nyonya Sevira Sudjarwo, Direktris BT Citra Indah Film,  produser, mengaku film itu dia punya. Fihak lain, Drs. Ibrahim  Syamsuddin, PT Madu Segara, penangung keuangan pembiayaan film itu, juga  merasa punya hak. Sengketa yang menunggu diputus oleh pengadilan itu  sementara mereda. Bismar Siregar SH Ketua Pengadilan Negeri Jakarta  Utara Timur, yang memeriksa perkara itu, bulan lalu menyarankan  ditempuhnya jalan perdamaian. Maka untuk sementara ditetapkan agar dua  fihak yang bersengketa itu bersama-sama mengedarkan novel Marga T yang  sudah dilayar-perakkan itu. Hasilnya bagi-bagilah menurut perjanjian  yang bisa dicapai. Bismar mengharap, "sambil menunggu keputusan saya,  film boleh diputar dan diambil manfaatnya bersama". Asal jangan timbul  sengketa baru lagi saja, begitu.

Metah-mentah Yang memulai  memperkarakan adalah Nyonya Sudjarwo. Ia mengajukan gugatan kepada: Drs.  Ibrahim. Pengurus Ekspedisi Union Ekspres, Departemen Penerangan  khususnya Direktur Pembinaan Film, dan Japan Air Lines (JAL) Seksi  Cargo. Dari kesemua tergugat itu. nyonya ini mengharapkan mendapat  berbagai ganti rugi sebesar Rp 200 juta lebih. Bulan Oktober 1974 antara  yonya Sudjarwo dan Ibrahim telah terjadi sutu perjanjian kerja untuk  membuat dan mengedarkan film Karmila berdasarkan novel terkenal Marga T  dan dengan sutradara Ami Prijono. Film berwarna 35 milimeter itu harus  selesai dibuat oleh produsernya, Nyonya Sudjarwo, paling lambat 3 bulan  dengan biaya dari Ibrahim sebesar Rp 45 juta. Dari hasil peredarannya  nanti, produser akan memperoleh 30% dan selebihnya adalah hak yang punya  uang. Membuat film ternyata tidak gampang. Mula-mula timbul kericuhan  antara produser dengan sutradara. Di samping itu di sana-sini muncul  protes dari para artis serta para karyawan film lainnya yang juga tidak  puas dengan sihap si produser. Keluhan berkisar -a(la keuangan yang  seret. Dengan sutraara Ami Prijono, persoalan kelambatan pembuatan film  lebih diperuncing lagi oleh Nyonya Sudjarwo: sang sutradara dipecat  mentah-mentah. Nyonya ini menuduh Ami terlalu lamban bekerja Ami tidak  membantah, cuma membela diri: ia memang sutradara baru, jadi maklum saja  tidak bisa secepat kerja sutradara Turino atau Nawi Ismail, misalnya  (TEMPO. 15 Pebruari 1975). Menurut Ibrahim, yang menyanggah sulat  gugtan: kericuhan antara produser dan anak buahnya itulah penyebab  kelamhatan pembuatan Karmila. Tapi tidak begitu kata Nyonya Sudjarwo.  Apa yang dianggpnya sebagai alasan yang sebcnarnya. diuraikannya panjang  lebar dalam surat gugatannya.

Uang Lembur Bulan Desember 1974,  Ibrahim menyuruh orangnya menemui Nyonya Sudjarwo untuk meminjam  msh-copy yang telah selesai 40%. Karena alasan sekedar meminjam dan  hanya untuk melihat lihat saja, nyonya produser memberikannya. Tapi  hingga selesai pembuatan film itu, barang pinjaman itu menurut Nyonya  Sudjarwo, tidak pernah dikembalikan. Lalu bulan Januari tahun  berikutnya, sebagai produser, Nyonya Sudjarwo menyodorkan tagihan uang  lembur kepada Ibrahim. Namun penanggung pembiayaan ini keberatan  membayar. Kepada Nyonya Sudjarwo dimintakan agar -  mempertanggungjawabkan lebih dulu pengeluaran keuangan sebelumnya. Belum  lagi selesai tahap pertama sengketa ini, muncul peristiwa baru:  rush-copy kedua yang biasanya diterima oleh produser dari perusahaan  ekspedisi atas kiriman dari perusahaan laboratorium di Jepang, ternyata  telah berada di tangan Ibrahim lagi. Nyonya Sudjarwo menuduh, dalam  gugatannya. Ibrahim telah mengambilnya dengan paksa dan "mengancam  dengan pisau" pada pegawai ekspedisi di lapangan terbang Halim Perdana  Kusuma. Dari peristiwa ini,- penggugat menyebutnya: "sejak itulah  terjadi opan clash alias perselisihan terbuka. Akhir Januari berikutnya,  produser menyodorkan penncian keuangan yang harus dibayar oleh Ibrahim  sekitar Rp 9 juta. Sebagai "perincian anggaran biaya hooling terakhir",  begitu disebut dalam surat gugatan. Ibrahim juga tidak memenuhi tuntutan  produsernya. Ia mengundang agar persoalan Karmila itu di selesaikan  dengan musyawarah kembali, dengan mengambil tempat di Kantor Direktorat  Pembinaan Film. Produser menolak ajakan ini dengan alasan: Ibahim yang  dari PT Madu Segara itu ukan pengusaha film sehingga tak ada  sangkut-pautnya dengan Departemen Penerangan. Karena itu tidak pada  tempatnya mengu ndangnya bertemu di Kantor Direktorat Pembinaan Film  Deppen. Malah berikutnya Nyonya Sudjarwo menyatakan dirinya: secara sah  menjadi pemilik Karmila karena Ibrahim sudah menyalahi perjanjian  kerja--tidak memenuhi kewajibannya membayar biaya pengambilan adegan  terakhir.

Campur Tangan Dalam saat yang keruh itu Direktur  Pembinaan Film, H. Johardin, turun tangan. Melalui suratnya bulan Juni  1974, tegas-tegas dinyatakannya: Karmila harus lanjutkan pembuatannya  tanpa campur tangan produsernya, PT Citra Indah Film. Nyonya Sudjarwo  menuluh instruksi Direktur Pembinaan Film ini sebagai campur tangan yang  memihak dan merugikan fihaknya. Namun karena tangan Johardin itulah,  maka Karmila selesai dibuat. Merasa mendapat dukungan dari Johardin, PT  Madu Segara akan segera saja mengedarkan Karmila. Hampir saja terjadi  'sesuatu' ketika Karmi11a akan diputar perdana di Jakarta Theatre, 21  Oktober tahun lalu. Hakim Bisrnar Siregar memerintahkan agar pemutaran  film itu dibatalkan, karena pengadilan belum memutuskan siapa yang  berhak memutarnya. Tentu suli untuk menaati perintah Bismar, karena para  undangan sudah harus hadir dan perintahnya sungguh mendadak. Syukur  Bismar bisa mengerti keadaan ini. Hanya setelah pemutaran perdana,  terpaksa 6 copy film (12 Trailer) disimpan dipengadilan. Bismar  mengharapkan: "Kalau bisa saya tidak usah memutuskan perkara ini, asal  perdamaian dapat tercapai secepatnya dan sebaik-baiknya"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar