Rabu, 26 Januari 2011

DORCE SOK AKRAB / 1989


 
Pak Sugeng (Zainal Abidin) dan Pak Slamet (Tile) sama-sama punya anak kembar dan sama-sama menamakan anak masing-masing Dorce (Dorce Ashadi) dan Donny (Kadir). Kedua Dorce dan kedua Donny ini kemudian secara terpisah ke Jakarta, sedang Rudi (Johny Kane) anak Pak Koco (Doddy Sukma) yang berniat menjemput Dorce dan Donny anak Pak Sugeng justru keliru menjemput Dorce dan Donny anak Pak Slamet yang tiba lebih dahulu. Dorce dan Donny anak Pak Sugeng kemudian datang sendiri ke rumah Pak Koco, di sinilah keempat orang itu membuat kekacauan dan keanehan, sampai Pak Sugeng dan seorang pencari bakat datang. Kesalahpahaman itu terselesaikan.
 
 


News
05 Mei 1990 

Asal-asalan asal untung


DI sebuah bioskop kelas satu di kompleks perumahan pinggiran Jakarta, menjelang Lebaran yang lalu, film Dorce Sok Akrab hanya ditonton kurang dari 20 orang. Agaknya, penonton pun malas untuk tertawa, padahal Kadir dan Dorce setengah mati (maunya) melucu. Tapi lantaran "hubungan baik" antara produser dan pemilik gedung, ya, film mendapat jatah putar yang layak dengan dalih membantu perkembangan film nasional -- padahal gedung ini sebelumnya ogah memutar Dewi-Cipluk Semua Sayang Kamu atau Noesa Penida, yang dua-duanya kebagian Citra. Dan suasana hari raya Idul Fitri yang lalu pun dipenuhi film-film dagelan konyol khas Indonesia -- selain film legenda Saur Sepuh III Kembang Gunung Lawu. Memang sukses, jika arus penonton dilihat di gedung kelas menengah ke bawah. Asal tahu saja, Dorce yang menghabiskan dana sekitar Rp 200 juta, menurut data PT Peredaran Film Indonesia (Perfin), di Jakarta menyerap 70.000 penonton selama lima hari beredar. "Penggemar jenis film semacam ini lebih banyak dari kalangan bawah," kata Sandjojo, Penanggung Jawab Bina Peredaran Film PT Perfin. Apa boleh buat, "Penontonnya sendiri lebih suka banyolan slapstick daripada humor cerdas.

Kami kan tidak mungkin melawan arus," kata Subagyo, pemimpin Produksi PT Rapi Film, yang mempoduksi Makelar Kodok. "Pada dasarnya, penonton kita masih senang menertawakan orang lain. Orang bodoh ditertawakan," kata Deddy Arman, penulis skenario Dorce, yang sudah menggarap sekitar 80 skenario lawak itu. Produser pun, dengan bakat dagangnya, memanfaatkan situasi ini. "Kami memberikan apa yang penonton senangi," kata Direktur Parkit Film Dhamoo Punjabi. Kadir dan Doyok mampu menyedot penonton berlimpah ketika main dalam Kiri Kanan OK yang sudah dibuat dua seri. Sejak itu, keduanya dikontrak Parkit dengan target empat film setahun. Kontrak model begini dipelopori Warkop DKI. Hanya saja, Dono dan kawan-kawan membuat batasan, dua film setahun untuk peredaran Lebaran dan Tahun Baru. Kenapa produser-produser latah membuat film dagelan slapstick ini? "Mereka ditekan broker dari daerah-daerah," kata Deddy Arman. Selain itu, film model begini memang murah. Jika pun ongkos produksinya di atas Rp 200 juta, itu karena biaya terbanyak untuk membuat copy film. Film Warkop, agar bisa diputar serentak di seluruh Indonesia, dibuat dengan 70 copy. Dan sebulan setelah peredaran, kabarnya, produser untung lebih dari Rp 100 juta. Berapa honor pelucu-pelucu itu? Kabarnya, Warkop pasang harga Rp 150 juta sekali main (untuk tiga orang). Adapun Kadir dan Doyok baru dapat masing-masing Rp 4 juta. Sutradaranya dibayar sekitar Rp 5 juta. 

Bahan baku hemat. "Yang penting jadi, biar asal-asalan asal untung," kata seorang sutradara muda. Ide cerita dibicarakan bersama, biasanya datang dari produser yang membawa pesan pialang film di daerah. Penulis seperti Arman membutuhkan waktu kurang dari 10 hari menulis skenarionya.

Riset dan penelitian hampir tak ada. Shooting rata-rata sebulan. Bahkan Antri Dong (sutradara A. Rizal), produksi Parkit hanya perlu 17 hari. Antri Dong dan Jangan Bilang Siapa-Siapa (sutradara Chaerul Umam) memang mencoba tidak berkonyol-konyol. Kedua film ini ingin digolongkan komedi situasi. Tapi tetap Kadir dan Doyok dimunculkan. Apakah nanti bisa disejajarkan dengan Kejarlah Daku Kau Kutangkap -- baik mutu maupun pemasaran -- entahlah. Namun, ada pendapat di kalangan produser bahwa komedi situasi pun tak laku di bumi Indonesia. "Crocodile Dundee itu kurang apa. Filmnya bagus, lucu, bersih, berselera tinggi. Tapi penontonnya tetap masih kalah dibandingkan dengan film-film Warkop. Jadi, menurut saya, sebetulnya penonton lebih suka banyolan slapstick yang nggak usah pakai mikir. Produser pun tak bakal melawan arus," kata Subagyo. Nah, mau apa? Sri Pudyastuti R.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar