Senin, 31 Januari 2011

DAERAH TAK BERTUAN / 1963

DAERAH TAK BERTUAN


Kaelani (Zainal Abidin) berhasil lepas dari tahanan Inggris dan pulang ke desa. Kedatangannya membuat Item (Hamidy T. Djamil) dan gerombolannya merasa tak bisa berbuat semaunya lagi. Usaha Item untuk membunuh Kaelani, digagalkan anak buahnya sendiri, Ganda (Hadisjam Tahax). 

Meski selamat, Kaelani tetap tak percaya pada Ganda karena seperti juga Item, ia pelarian penjara Kalisosok. Ganda bisa membuktikan diri saat ia tertangkap lagi dan tak mau menunjukkan persembunyian Kaelani. Saksinya, Marno (Dicky Zulkarnaen), anak buah Kaelani. Item ditembak Amir (Jeffry Sani), lawannya, di gua persembunyian sendjata, padahal niat Item dan juga Amir adalah mencari emas. Karena hendak ditembak, Kaelani yang juga mengintip kegiatan Item, lalu menembak Amir lebih dulu. Kaelani kemudian beraksi meneruskan perjuangannya bersama anak buahnya, termasuk Marno dan Ganda yang berhasil lolos lagi. Ia membuktikan diri bahwa ia sungguh-sungguh dalam perjuangan. Ia menjadi algojo dalam menghabisi musuh. Tapi, ia sendiri tewas di tangan penolongnya yang meloloskannya dari penjara. Orang ini punya niat lain: mendapatkan emas. Maka orang ini dipaksa jadi pahlawan. Dengan tiga granat, ia berjibaku menghancurkan pos musuh.

Menurut ingatan sutradara, kisahnya dari komik "Pahlawan Kali Sosok". 




PENJARA KALISOSOK SURABAYA.



 
Menurut sejarah, hampir semua pejuang kemerdekaan Indonesia pernah merasakan kejamnya penjara Kalisosok. Terutama pada masa tahun 1940 sampai dengan 1943 ketika kita masih berjuang memerdekakan diri dari kekejaman Jepang. Sebelum kemerdekaan, tempat pengasingan bawah tanah penjara ini masih kerap digunakan untuk memenjarakan narapidana. Namun setelah 1945, ruangan bawah tanah sudah tak lagi digunakan.

Penjara ini memang disebut-sebut sebagai tempat yang paling ditakuti para narapidana lantaran tempatnya yang sempit, gelap, dan pengap. Bayangkan saja dalam satu ruangan yang kapasitasnya hanya 20 orang, dipaksa agar dapat ditempati 90 orang. Dinding antar bilik juga dibuat sangat tebal sampai paku saja tidak bisa ditancapkan di sana. Dulunya penjara bawah tanah ini juga digunakan sebagai tempat penyiksaan, sehingga tak heran bila sampai sekarang masyarakat sekitar sering mendengar suara teriakan meminta tolong setiap malam dari dalam tembok penjara. Sampai sekarang pun hampir setiap orang yang melewatinya seketika akan merinding karena saking menyedihkannya penjara tersebut.

Seperti yang sebelumnya disebutkan bahwa penjara ini menjadi saksi bisu banyak pejuang Indonesia. Selain Soekarno, ada pula tokoh Muhammadiyah bernama Kiai Haji Mas Mansur yang juga pernah mencicipi dinding penjara Kalisosok. Kebanyakan orang-orang yang dikirim ke sini adalah mereka yang dianggap mengancam serta memprovokasi agar masyarakat semakin benci dengan para penjajah.

WR Supratman dan pendiri Sarekat Islam, HOS Tjokroaminoto disebut-sebut juga sempat berada di balik dinding Kalisosok. Namun syukurlah nasib mereka tak seperti pejuang lain yang menghembuskan nafas terakhir dari dalam bilik penjara akibat kerasnya penyiksaan yang dilakukan Belanda. Tokoh Marhaenis, anti-fasis, dan PKI juga tak luput dari pengapnya udara Kalisosok yang legendaris ini.
 
 
ADA JUGA NOVELNYA YANG DI RILIS SAMA DENGAN TAHUN PEMBUATAN FILM ITU 1963, dengan judul yang sama DAERAH TAK BERTUAN.
Daerah Tidak Bertuan merupakan novel karya Toha Mohtar yang diterbitkan tahun 1963 oleh Pantjaka, Jakarta, dengan kete balan 115 halaman. Buku itu memperoleh hadiah sastra Yamin tahun 1964. Pada tahun 1971 novel itu diterbitkan kembali oleh penerbit Pustaka Jaya, Jakarta, dengan tebal 137 halaman. Sebelum terbit sebagai buku, novel ini pernah dimuat dalam majalah Warta Dunia sebagai fragmen dengan judul "Gugurnya Ganda" (1 dan 2) dan "Tuntutan" (1 dan 2). Latar novel itu berkisar zaman revolusi, dengan mengisahkan pertemuan beberapa orang yang berasal dari latar belakang yang berlainan dalam satu keyakinan, yaitu perjuangan melawan kaum penjajah. Semangat merebut kemerdekaan telah menyatukan mereka, yaitu Kaelani (komandan pasukan), Marno, Pak Mantri, Truno, Ganda, dan Solimin yang tergabung dalam Pasukan Liar. Meskipun anggota pasukan itu memiliki visi yang sama tentang kemerdekaan dan perjuangan, perbedaan latar belakang sosial (Truno, Ganda, Solimin pernah menjadi narapidana) sempat menimbulkan permasalahan yang rumit dan membutuhkan penyelesaian yang bijaksana dan adil. Pak Mantri mendapat tugas yang cukup berat dari Kaelani, yakni menyerahkan sekampil perhiasan kepada induk pasukan guna perjuangan selanjutnya. Untuk menjalankan tugasnya itu, Pak Mantri dikawal oleh Truno (mantan narapidana). 
 
Semula ada perasaan kurang nyaman pada diri Pak Mantri yang tidak mempercayai Truno. Apalagi, setelah Truno mendesak Pak Mantri untuk menjelaskan apa sebenarnya tugas mereka itu. Dengan terpaksa, Pak Mantri menjelaskan tugas yang harus mereka jalankan kepada Truno walaupun dengan perasaan khawatir. Ternyata, Truno sangat puas dengan penjelasan Pak Mantri itu. Truno merasa dianggap sebagai manusia yang utuh. Pengalaman pahit selama di penjara seketika lenyap. Ia merasa sangat berharga dan berarti bagi bangsa dan tanah airnya. Untuk itu, ia bersedia mati demi tanah air. Berbeda dengan Truno, Solimin yang juga mantan narapidana justru berbuat sebaliknya. Ia menginginkan bagian dari perhiasan yang berada di kampil itu. Untuk mewujudkan niat buruknya itu, Solimin berusaha membujuk Ganda untuk menunjukkan di mana tempat sisa perhiasan itu disimpan. Karena tidak berhasil, Solimin mengancam Ganda dengan kekerasan. Ganda memilih melawan daripada bekerja sama dengan Solimin. Sebagai akibatnya, ia tewas di tangan Solimin. Kematian Ganda mengundang kecurigaan Kaelani. Laporan Solimin yang menyatakan bahwa Ganda mungkin tewas di tangan tentara Ghurka tidak dapat diterima Kaelani. Apalagi bukti-bukti menunjukkan bahwa Soliminlah yang telah membunuh Ganda. Di antara bukti yang menguatkan perbuatan Solimin ialah pipa rokok milik Ganda yang terjatuh di tempat Ganda terbunuh. 
 
Dengan siasat yang jitu, Kaelani mengajak Marno, teman dekat Ganda, untuk mengorek keterangan dan pengakuan Solimin. Semula Solimin berbelit-belit berusaha mengelak segala tuduhan Kaelani. Akan tetapi, setelah semua bukti menunjukkan bahwa dirinya telah membunuh Ganda, Solimin mengakui semua perbuatannya di hadapan Kaelani dan Marno. Sebagai hukuman, Kaelani mengajukan dua cara penyelesaian yang harus dipilih Solimin untuk menebus kematian Ganda. Cara yang pertama, Solimin dieksekusi di tempat itu dan disebarkan segala keburukannya serta pengkhianatannya. Cara yang kedua adalah Solimin diperintahkan menyerang markas tentara Inggris dengan granat. Solimin memilih cara yang kedua, menyerang markas tentara Inggris. Walaupun telah memilih salah satu dari dua pilihan itu, Solimin ternyata masih bimbang. Kebimbangan Solimin itu telah diduga oleh Kaelani. Untuk itu, ia mengatakan kepada Solimin bahwa jika Solimin melarikan diri dari tugas itu, Solimin juga akhirnya akan mati di tangan Mobin dan Alwi, dua orang penembak mahir di pasukan itu yang akan menghadang Solimin. Tampak di situ bahwa daerah tak bertuan merupakan daerah antara hidup dan mati. Secara fisik, jelas mengisyaratkan bahwa daerah tak bertuan mengandung berbagai kemungkinan. Di daerah itu tidak ada aturan hukum. Barang siapa yang tegar akan memiliki kemungkinan untuk tetap bertahan dan hidup. 
 
Pak Mantri gugur karena ketuaannya dan ketidakmampuannya menggunakan pistol. Ganda mati ditikam Solimin karena ia kurang waspada dan salah perhitungan. Solimin mati karena ketamakannya dan pengingkarannya kepada hakikat perjuangan bangsanya. Kaelani dapat tetap hidup karena ia menggunakan nalar dan batinnya. Sebenarnya, ia dengan mudah dapat membunuh Solimin. Akan tetapi, perhitungan cermat menyebabkan Kaelani memberikan dua pilihan bagi Solimin untuk menebus dosanya. Bagi Kaelani, perjuangan adalah segala-galanya. Untuk itu, persatuan dan kekompakan pasukan ia utamakan. Dengan demikian, makna kata daerah tidak bertuan sangat kompleks. Pada daerah itulah hidup kita ditentukan di antara hidup dan mati. Menurut Jakob Sumardjo (1979) "Memang konflik batin lima tokoh utamanya digambarkan dengan jelas dan realistis, tetapi konflik-koflik batin yang personal tadi tidak terkait dalam konflik utama cerita."
Daerah Tidak Bertuan merupakan novel karya Toha Mohtar yang diterbitkan tahun 1963 oleh Pantjaka, Jakarta, dengan kete balan 115 halaman. Buku itu memperoleh hadiah sastra Yamin tahun 1964. Pada tahun 1971 novel itu diterbitkan kembali oleh penerbit Pustaka Jaya, Jakarta, dengan tebal 137 halaman. Sebelum terbit sebagai buku, novel ini pernah dimuat dalam majalah Warta Dunia sebagai fragmen dengan judul "Gugurnya Ganda" (1 dan 2) dan "Tuntutan" (1 dan 2). Latar novel itu berkisar zaman revolusi, dengan mengisahkan pertemuan beberapa orang yang berasal dari latar belakang yang berlainan dalam satu keyakinan, yaitu perjuangan melawan kaum penjajah. Semangat merebut kemerdekaan telah menyatukan mereka, yaitu Kaelani (komandan pasukan), Marno, Pak Mantri, Truno, Ganda, dan Solimin yang tergabung dalam Pasukan Liar. Meskipun anggota pasukan itu memiliki visi yang sama tentang kemerdekaan dan perjuangan, perbedaan latar belakang sosial (Truno, Ganda, Solimin pernah menjadi narapidana) sempat menimbulkan permasalahan yang rumit dan membutuhkan penyelesaian yang bijaksana dan adil. Pak Mantri mendapat tugas yang cukup berat dari Kaelani, yakni menyerahkan sekampil perhiasan kepada induk pasukan guna perjuangan selanjutnya. Untuk menjalankan tugasnya itu, Pak Mantri dikawal oleh Truno (mantan narapidana). Semula ada perasaan kurang nyaman pada diri Pak Mantri yang tidak mempercayai Truno. Apalagi, setelah Truno mendesak Pak Mantri untuk menjelaskan apa sebenarnya tugas mereka itu. Dengan terpaksa, Pak Mantri menjelaskan tugas yang harus mereka jalankan kepada Truno walaupun dengan perasaan khawatir. Ternyata, Truno sangat puas dengan penjelasan Pak Mantri itu. Truno merasa dianggap sebagai manusia yang utuh. Pengalaman pahit selama di penjara seketika lenyap. Ia merasa sangat berharga dan berarti bagi bangsa dan tanah airnya. Untuk itu, ia bersedia mati demi tanah air. Berbeda dengan Truno, Solimin yang juga mantan narapidana justru berbuat sebaliknya. Ia menginginkan bagian dari perhiasan yang berada di kampil itu. Untuk mewujudkan niat buruknya itu, Solimin berusaha membujuk Ganda untuk menunjukkan di mana tempat sisa perhiasan itu disimpan. Karena tidak berhasil, Solimin mengancam Ganda dengan kekerasan. Ganda memilih melawan daripada bekerja sama dengan Solimin. Sebagai akibatnya, ia tewas di tangan Solimin. Kematian Ganda mengundang kecurigaan Kaelani. Laporan Solimin yang menyatakan bahwa Ganda mungkin tewas di tangan tentara Ghurka tidak dapat diterima Kaelani. Apalagi bukti-bukti menunjukkan bahwa Soliminlah yang telah membunuh Ganda. Di antara bukti yang menguatkan perbuatan Solimin ialah pipa rokok milik Ganda yang terjatuh di tempat Ganda terbunuh. Dengan siasat yang jitu, Kaelani mengajak Marno, teman dekat Ganda, untuk mengorek keterangan dan pengakuan Solimin. Semula Solimin berbelit-belit berusaha mengelak segala tuduhan Kaelani. Akan tetapi, setelah semua bukti menunjukkan bahwa dirinya telah membunuh Ganda, Solimin mengakui semua perbuatannya di hadapan Kaelani dan Marno. Sebagai hukuman, Kaelani mengajukan dua cara penyelesaian yang harus dipilih Solimin untuk menebus kematian Ganda. Cara yang pertama, Solimin dieksekusi di tempat itu dan disebarkan segala keburukannya serta pengkhianatannya. Cara yang kedua adalah Solimin diperintahkan menyerang markas tentara Inggris dengan granat. Solimin memilih cara yang kedua, menyerang markas tentara Inggris. Walaupun telah memilih salah satu dari dua pilihan itu, Solimin ternyata masih bimbang. Kebimbangan Solimin itu telah diduga oleh Kaelani. Untuk itu, ia mengatakan kepada Solimin bahwa jika Solimin melarikan diri dari tugas itu, Solimin juga akhirnya akan mati di tangan Mobin dan Alwi, dua orang penembak mahir di pasukan itu yang akan menghadang Solimin. Tampak di situ bahwa daerah tak bertuan merupakan daerah antara hidup dan mati. Secara fisik, jelas mengisyaratkan bahwa daerah tak bertuan mengandung berbagai kemungkinan. Di daerah itu tidak ada aturan hukum. Barang siapa yang tegar akan memiliki kemungkinan untuk tetap bertahan dan hidup. Pak Mantri gugur karena ketuaannya dan ketidakmampuannya menggunakan pistol. Ganda mati ditikam Solimin karena ia kurang waspada dan salah perhitungan. Solimin mati karena ketamakannya dan pengingkarannya kepada hakikat perjuangan bangsanya. Kaelani dapat tetap hidup karena ia menggunakan nalar dan batinnya. Sebenarnya, ia dengan mudah dapat membunuh Solimin. Akan tetapi, perhitungan cermat menyebabkan Kaelani memberikan dua pilihan bagi Solimin untuk menebus dosanya. Bagi Kaelani, perjuangan adalah segala-galanya. Untuk itu, persatuan dan kekompakan pasukan ia utamakan. Dengan demikian, makna kata daerah tidak bertuan sangat kompleks. Pada daerah itulah hidup kita ditentukan di antara hidup dan mati. Menurut Jakob Sumardjo (1979) "Memang konflik batin lima tokoh utamanya digambarkan dengan jelas dan realistis, tetapi konflik-koflik batin yang personal tadi tidak terkait dalam konflik utama cerita."

Sumber: http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Daerah_Tidak_Bertuan | Ensiklopedia Sastra Indonesia - Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar