Senin, 31 Januari 2011

ALI YUGO 1940-1963

ALI YUGO


Ali Yugo (lahir di Makassar, 17 Maret 1907 – meninggal 18 Februari 1970 pada umur 62 tahun) adalah seorang pemain film di era tahun 1940an hingga era tahun 1960an. Masa kanak-kanaknya dihabiskan di Singapura. Sekembali ke tanah air, ia ikut dalam rombongan sandiwara “Dardanela”. Dalam masa pendudukan Jepang, ia memimpin rombongan sandiwara "Batu Tjinta" dan "Nusantara". Ali Yugo mulai main film sebelum perang hingga tahun 1950an.


1956
ALI YUGO yang terkenal sebagai pemain sandiwara dan film di Indonesia, kini dengan cerita film “OH IBUKU”  muncul mengunjungi penonton di Indonesia. Film ini adalah yang pertama-tama buatan Indonesia, suatu film serie dua bagian dengan titel keseluruhan adalah “GADIS 3 JAMAN”, dan dengan bijnaam untuk bagian I “OH IBUKU….!”  Dan untuk bagian II “PUTRI REVOLUSI”. Biaya untuk film serie Indonesia yang pertama ini telah mencapai Rp. 1.500.000 dan masa pembikinannya di Studio Garuda selama dua tahun.

Film ini adalah hasil joint procution “Garuda Film” dan “Semeru”. Producer adalah Turino Djunaedy, cerita Ha van Wu yang memegang penyelenggaraan keseluruhannya.

Untuk melihat film ini tentu kita pertama-tama harus mengetahui siapa yang bertindak selaku sutradaranya, ialah ALI YUGO.

Sutradara ini lahir di Sulawesi 17 Maret 1907, dibesarkan di Singapura, Malaya.  Setelah melihatkan kemauan hidupnya di lapangan seni-wayangan, maka sekeluarnya dari sekolahannya (American Boarding School Singapura) Ali Yugo terus memasukkan dirinya di “Star Opera” sebagai penyanyi dan penari cabaret barat. Dan dengan Star Opera itulah dia keliling negeri Melayu.

Sebelumnya Ali Yugo terjun ke dunia film Indonesia dan sesudah punya pengalaman sekedarnya selama di Star Opera dia kemudian, atas ajakan seorang temannya bangsa Rusia, Piedro Calimanov, dia bekerja pula di sandiwara yang terkenal “DARDANELLA”. Di sinilah dia bertemu dengan Andjar Asmara, Njoo Cheong Seng, Ferry Cock, Dewi Mada, Sho Boen Sheng, Miss Dja, Fifie Young dan lain-lain tokoh yang sampai kini  terkenal dalam dunia senia wayangan (ini menurut istilah Ali Yugo sendiri).

Seperti diketahuii Dardanella telah menjelajahi seluruh dunia pada masa jayanya. Asia, Eropa, dan Amerika Serikat. Beberapa diantara mereka kini banyak tinggal menetap di Eropa dan Amerika Serikat. Sedangkan Ali Yugo sendiri tidak turut terus karena ketika rombongan Dardanella baru sampai mengelilingi tanah Malaya, lalu pulang kembali ke Indonesia.

Miss Dja sendiri pernah menjadi ipar Ali Yugo ini, karena Ali Yugo kawin dengan adiknya Miss Dja. Tapi di sinilah juga Ali Yugo mengalamii apa yang biasa tentunya dialami pemuda dan pemudi yakni sampai-sampai dia patah hati karena berpisahan….

Dalam kehancuran hatinya, Ali Yugo bertahun-tahun mengembara keliling Sulawesi, Maluku dan kalimantan dengan satu rombongan sandiwara yang dibuatnya sendiri yakni Sandiwara “HAPPY DAYS” (1934-1938).

Pertama kali dia menginjakkan kaki di dunia film ialah pertama-tama bermain dalam film KARTINAH , satu film  yang disutradarai oleh Andjar Asmara (1941), suatu roman jaman perang dunia, dalam kegiatan-kegiatan LBD (Lucht beschermingdienst). Dan sesudah itu berpuluh-puluhlah filmya di mana ia menunjukkan bakatnya. Film-filmnya yang terkenal dapat diingat saja pada “JAUH DI MANA” (South Pacific Film orp – PFN kini).

Di jaman orang-orang Indonesia mencakapkan  soal-soal “non” dan “co” (1948), Ali Yugo bekerja di Studio Radio Jakarta bersama teman baiknya Bahrum Rangkuty, itu penyair yang digelarkan orang “Iqbal Indonesia”. Dalam penyutradaan film, Ali Yugo pertama-tama membawakan kreasinya dengan satu kesempatan yang diberikan oleh Djamaluddin Malik.
Di jaman Jepang, diapun aktif juga dalam persandiwaraan, satu bagian dari Djawa Eiga Haikyusha,

Betapa hasilnya dari penyutradaraan  film-serie di Indonesia yang untuk pertama kalinya ini, marilah sama-sama kita saksikan nantinya, setelah film-film tersebut diputar oleh bioskop-bioskop seluruh Indonesia.

Pemain-pemain dalam film ini antaranya: Soekarno M. Noor, Amran S. Mouna, Turino Djunaedy, Marlia Hardi, Lies Noor, Hasnah Thahar, Mien Tjendrakasih, dan Mimi mariany.

Sedikit kita kenalkan kepribadiannya, karena memang sebagai seorang yang sudah punya banyak pengetahuan dalam soal-soal kehidupan, dia begitu simpatik, dan dengan sebutan lain, ialah Ali Yugo tidaklah benar-benar tua, dalam arti kata yang biasa, tetapipun tidaklah muda, dalam artikata kedangkalan orang umumnya.

Demikian itulah Ali Yugo, sutradara film serie pertama di Indonesia: GADIS 3 JAMAN.

1952.
PENGGEMAR sandiwara dan film Indonesia sejak sebelum perang dahulu niscaya mengenal peran-peran terkemuka di waktu itu dan  yang sampai sekarang masih terus bergerak di lapang usahanya. Ada diantara mereka yang sudah meningkat ke jenjang yang lebih tinggi, ada lagi yang masih berjalan terus sesuai dengan jiwa dan cita-citanya. Dan antara mereka yang hendak dilukiskan di sini ialah: ALI YUGO, bintang film dan sandiwara sedari “DARDANELLA”.

Kembali ke masanya yang lalu teringat ia akan kawan-kawan lamanya yang kini sudah memegang berbagai jabatan seperti Suska dll. Sebagai seorang yang tahu akan kemauan jiwanya, Ali tetap pada pilihannya semula meskipun ia akan berjalan sendiri.

SEBELUM perang ia telah  bermain diantaranya dalam film-film: KARTINAH, ELANG DARAT, PUTERI RIMBA, DJULA-DJULI BINTANG TIGA. Sebelum beraksi di muka kamera, ia juga memulai pengalamannya dalam berbagai sandiwara seperti STAR OPERA, kemudian DARDANELLA. Dan kini ia bekerja untuk WONG BROTHER FILM COMPANY di samping sewaktu-waktu membantu perusahaan film lainnya.

TIDAKLAH lengkap menceritakan seorang manusia bila tidak disebut asal-usul kelahirannya. Bila melihat tipe muka akan menimbulkan dugaan bawa Ali ini berasal dari gurun sahara di mana terdapat kurma dan unta. Tapi ia sebenarnya adalah anak Indonesia tulen – untuk tidak menggunakan istilah asli, berasal dari Bugis yang terkenal dengan darah pelautnya. Dan dilahirkan pada tahun 1907 bulan Maret tanggal 17. Sejak berumur 7 tahun telah disekolahkan orangtuanya di Singapura sehingga dalam bicara sering terluncur bahasa Inggrisnya sepotong-sepotong.

Ali Yugo mempunyai 8 orang anak. Sebagai bapak ia keras dan berkehndak memberikan anak-anaknya pendidikan yang baik. Dan di rumah, iapun tidak segan-segan pula membantu rumah tangganya.

Sewaktu berkunjung ke tempatnya ia sedang asyik “bekerja” di dapur dalam pakaian ala Marunda. Terasa seperti mengganggu dalam kesibukannya. Tapi Ali berkata bahwa ia tidak mengapa – hanya “to keep my body fit” katanya – untuk menghilangkan ragu-ragu dan tandatanya.

Kalau melihat Ali dalam rollnya terutama dalam filmnya yang terbaru di masa federal “DJAUH DI MATA” dari South Fil Corporation di mana ia masih memegang peran orang muda yang gagah dan tampan akan merupakan surprise dalam keadannya sekarang, justru karena sudah jauh lebih tua. Meskipun rambutnya sudah dalam “dwi-colour” – black and white – tapi matanya masih tajam menentang.

Mengapa ia berhenti dari south Pasific dulu ialah karena turut terseret dalam kehangatan suasana. Sebelum perusahaan film tersebut berganti nama menjadi PFN. Dalam kehangatan pertentangan non dan co, Ali mengundurkn diri.

Mengenai kariernya sebagai peran yang telah cukup dikenal oleh penggemar-penggemar film memang tidak luput dari suka dan duka. Bagaimanapun Ali merasa bahwa dunia film itu justru adalah merupakan pilihannya sendiri yang dimimpikan sejak kecil. Justru sebagai orang yang sadar akan kemauan jiwanya banyaklah kekecewaan yang harus dialami dan kesulitan-kesulitan yang harus diatasi.

Sangatlah berat baginya untuk menekan perasaan selaku seniman yang tidak berkehendak diperkuda begitu saja untuk melaksanakan ide merdeka, di mana ia harus menyesuaikan diri dengan keadaan yang menjadi kenyataan. Adalah menjadi kenyataan bahwa para artis film Indonesia umumnya belum mendapat penghargaan sebagaimana mestinya.

Selain apa yang dinamakan mutu seni dari permainan umumnya belum dapat mencapai tingkat yang tinggi dan di samping itu pengetahuan rakyat akan arti dari nilai seni permainan itu belum dapat sempurna sehingga dapat memberikan penghargaan yang setimpal, juga dari pihak majikan dan film produser menitikberatkan pada segi komersial. Bahwa mereka itu mengutamakan usahanya dari sudut keuntungan adalah soal yang  dapat dianggap logis, sehingga perbaikan itu hendaklah menjadi titik perhatian dan perjuangan bersama dari para artis film itu sendiri. Dalam hal ini akan beruntunglah mereka yang dapat menyesuaikan diri, lebih tegas menurutkan kehendak sang majikan seperti ada yang melakukan – dengna memperoleh hasil yang lumayan.

Ali Yugo adalah seorang yang bersahaja. Dalam peran-peran yang dibawakannya  beraksi di layar, ia menunjukkan watak kuat yang patut dihargakan. Menjalankan rol-nya dalam “DJAUH DI MATA” dulu sebagai seorang buta, dengan tidak terlalu berlebih-lebihan dapatlah dikatakan sempurna. Meskipun demikian dalam menghadapi kenyataan dan kehidupan yang keras (hard life) harus banyak memakai pertimbangan.

Ia tidak suka didikte dan berkehendak untuk berdiri sendiri. Kebaikan mutu peranan yang dilakukan seorang peran itu adalah karena sejalan dengan pembawaan dan kemauan jiwanya. Dan ia tidak akan dapat berkembang bila hanya menerima dikte dari atas yang sering bertentangan dengan kehendak hati sendiri.

Berbicara tentang kekecewaan-kekecewaannya Ali menceritakan tentang kenyataan pahit yang harus dihadapinya dalam pembikinan film yang baru.

SELAIN membawa peranan dalam studio di mana ia bekerja, Ali juga mencipta cerita untuk dijadikan film. MARUNDA yang telah dibikin film oleh PERSARI adalah salah satu cerita dari Ali Yugo.

Kini sebuah ceritanya yang digubah menjadi film oleh sebuah unit dari Wong Brothers (Dragon) ialah “DJALI-DJALI” berasal dari sebuah lagu yang sudah populer bagi rakyat sehingga dapat dianggap sebagai “folksong”. Opname semuanya sudah hampir selesai dengan tidak memakan terlalu banyak tempo, apalagi karena dikerjakan secara gampangan dan buru-buru. Sesuai dengan semboyan dalam businnes life yang tak lapuk oleh hujan dan tak lekang oleh panas “time has no stop and time is money”.

Tentang “DJALI-DJALI”nya Ali sendiri menganggap hanya sebagai film pasaran dengan melihat pelaksanaan pembikinannya meskipun ide  yang dikandung semula baik. Cerita tersebut selain diinspirasi dari lagu “Djali-Djali” yang populer dan selaku penghargaan bagi pengarangnya yang sampai sekarang tidak dikenal, juga dimaksud untuk menembus kabut gelap yang masih melekat di kalangan rakyat yaitu katahyulan.

Meskipun telah menginjak ke jaman atom di mana pikiran manusia sudah begitu maju, tapi di pelosok     tanah air yang jauh terpencil tahyul dan cerita tentang hantu dan setan masih memenuhi alam pikiran rakyat yang primitif. Kalau ada orang yang jatuh sakit berubah ingatan dan sebagainya disangkalah itu hasil perbuatan jin dan setan yang jahat. Ke arah pemberantasan itulah semula tujuan film tersebut. Tapi kemudian telah berubah 90% sesuai dengan kehendak majikan.

“Djali-Djali” mengisahkan tentang seorang komponis yang dalam suatu kecelakaan telah mendapat goncangan otak (hersenschudding) sehingga melupakan masa silam. Oleh seorang kaya yang telah menolongnya dan menyerahkannya dalam eprawatan dokter ia diserahi untuk mengurus perusahaannya. Dalam kecelakaan yang diperolehnya sekali lagi dan dengan bantuan dokter yang merawat komponis ini akhirnya telah mempertemukan dia kembali dengan anak-istrinya , dan menyingkapkan tabir misteri yang telah melingkupi kehidupannya yang aneh.

Semula film itu dimaksudkan Ali Yugo selain selaku alat penerangan dan bersifat pendidikan juga mengandung arti pengetahuan. Ada dimaksud untuk menunjukkan scene-scene bagaimana seorang dokter bekerja dengan alat-alatnya yang modern dalam melakukan operasi  dan memberikanpertolongan bagi penderita. Juga lokasi keluar kota seperti ke Bogor dan Semarang tidak jadi dilakukan karena terlalu berabe dan banyak mengeluarkan begroting yang bertentangan dengan motif ekonomi dan kehendak pengusaha.

Sebagai peran dan seniman, Ali Yugo cinta akan peranan dan pekerjaannya, tapi dalam hal-hal di atas tiada daya. Karena kalau majikan telah mengeluarkan veto-nya si seniman atau si pencipta hanya dapat mengusap dada. Ia sudah boleh merasakan puas kalau buah pikiran dan ciptaannya diterima, setelah dirombak dan diubah begitu rupa.

Karena itu, mengapa para artis film kita tidak dapat bersatu dan mengumpulkan hasil dari cucuran keringat bersama untuk membikin produksi sendiri, seperti yang telah dilakukan rekan-rekannya di luar negeri? Dan untuk Ali CS masih terentang jalan panjang yang harus ditempuh.

SEHIDUP SEMATI 1949 FRED YOUNG
Actor
GAMBANG SEMARANG 1955 TAN SING HWAT
Actor
DJAUH DIMATA 1948 ANDJAR ASMARA
Actor
GEMBIRA RIA 1959 NAWI ISMAIL
Actor
DJALI-DJALI 1954 ALI YUGO
Director
BUNG TEMPE 1953 ALI YUGO
Director
KUSUMA HATI 1951 HENRY L. DUARTE
Actor
PELARIAN DARI PAGAR BESI 1951 H. ASBY
Actor
BINTANG PELADJAR 1957 DJOKO LELONO
Actor
BINTANG SURABAJA 1951 1950 FRED YOUNG
Actor
DAERAH HILANG 1956 BACHTIAR SIAGIAN
Actor
DAERAH TAK BERTUAN 1963 ALAM SURAWIDJAJA
Actor
KARTINAH 1940 ANDJAR ASMARA
Actor
PENGANTEN BARU 1951

Actor
POETRI RIMBA 1941 INOE PERBATASARI
Actor
MARUNDA 1951 ALI YUGO
Director
OH, IBUKU 1955 ALI YUGO
Director
AIR MATA IBOE 1941 NJOO CHEONG SENG
Actor
RATNA MOETOE MANIKAM 1941 SUSKA
Actor
HOLOKUBA 1959 BASUKI EFFENDI
Actor
TITIAN SERAMBUT DIBELAH TUDJUH 1959 ASRUL SANI
Actor
SRI ASIH 1954 TURINO DJUNAIDY
Actor
NOESA PENIDA 1941 ANDJAR ASMARA
Actor
SEPIRING NASI 1960 AMIR JUSUF
Actor
PUTERI REVOLUSI 1955 ALI YUGO
Director
HARUMANIS 1950 FRED YOUNG
Actor
HOUSE, A WIFE AND A SINGING BIRD, A 1956 MIRIAM BUCHER
Actor
MOMON 1959 DJOKO LELONO
Actor
TAUFAN 1952 ALI YUGO
Director
GADIS DESA 1949 ANDJAR ASMARA
Actor
BADJA MEMBARA 1961 BACHTIAR SIAGIAN
Actor
ELANG DARAT 1941 INOE PERBATASARI
Actor
DILERENG GUNUNG KAWI 1961 TAN SING HWAT
Actor
MELATI SENDJA 1956 BACHTIAR SIAGIAN
Actor
RELA 1954 DJA'FAR WIRJO
Actor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar